ESAi
TERKINI
Memandangi Lukisan Affandi di Kawedanan - Eko Setyawan
SajakMerangkul Jalan - Said S. Tejasmoro
SajakGerakan Golongan Putih - Kurnia Gusti Sawiji
CerpenGerakan
Golongan Putih
Kurnia Gusti Sawiji
Pesan itu muncul melalui salah satu media
sosial saya, dan isinya terlalu panjang untuk dikatakan sebagai surat pembaca.
Terlalu rumit, kaku, dan teoretis; ia lebih mirip sebuah esai. Mengintip profil
si pengirim pesan, yang saya temukan adalah foto seorang wanita muda anggun
berusia 20 pertengahan bernama Aina Maiazora. Dari cara berpakaian dan
tatapannya, saya bisa menafsir bahwa dia orang berpendidikan. Pesannya
merupakan ulasan kepada cerpen saya yang berjudul Gerakan Golongan Putih, dimuat di salah satu koran nasional dua
pekan lalu. Mungkin karena bertepatan dengan tahun politik, cerpen itu kini
ramai diperbincangkan dan didiskusikan.
Cerpen
itu adalah karya pertama saya bertema politik. Di situ saya membayangkan sebuah
peradaban masa depan di mana memilih kepala negara adalah kewajiban, bukan hak.
Tokoh utama adalah seorang anarkis yang mengajak masyarakat ramai-ramai tidak
memilih, karena ceritanya di antara calon-calon yang ada, semua baginya tidak
layak memimpin negara. Hal ini membuat dia menjadi sasaran aparat. Bagian akhir
cerita saya biarkan terbuka, dan saya pastikan tidak ada keberpihakan ke mana
pun.
Pesan
dari si Aina ini merupakan salah satu ulasan terlengkap yang saya baca mengenai
cerpen itu. Alhasil, kami pun banyak berdiskusi tentang keterkaitan di antara
gagasan dalam cerpen dengan realita yang ada. Saya sampaikan bahwa sebenarnya
inspirasi cerpen ini muncul karena saya belum bisa memastikan ke mana hak suara
saya akan dilayangkan beberapa bulan ke depan. Turut saya beberkan beberapa
proses kreatif dan interpretasi pribadi saya, dan dia membalasnya dengan sangat
cerdas. Ada ajakan untuk saling bertemu, namun tentu saya tolak. Hubungan
antara penulis dan pembaca cukuplah seperti ini: mendiskusikan karya tanpa perlu
saling mengenal.
***
Saya
baru sadar bahwa percakapan saya dengan Aina Maiazora berakhir pukul 1 dini
hari. Hasil dari ini adalah tertidurnya saya sampai pukul 8 pagi, dan baru terbangun
ketika ketukan terdengar di depan rumah. Saya pikir itu loper koran, tetapi
ketika ketukan terdengar berkali-kali seolah di balik pintu adalah orang paling
tidak sabaran di dunia, mau tidak mau saya beranjak. Saya belum mandi, belum
sarapan, dan masih berpakaian tidur.
Saya
cukup kaget ketika melihat dua pria besar melalui lubang intip di pintu. Si
besar yang satu lebih ke arah gemuk, sementara si besar yang lainnya lebih ke
arah tegap, seperti jenderal. Saya membukakan pintu, dan mereka memperkenalkan
diri; saya semakin kaget ketika tahu mereka dari kepolisian. Tetapi mereka
cepat-cepat menyampaikan bahwa mereka hanya ingin bersilaturahmi dan sedikit ngobrol.
Mereka mengajak saya masuk ke dalam rumah saya sendiri, dan meminta saya
menutup pintu sembari mereka masuk. Saya masih berharap mereka tidak akan
bertindak ekstrem.
“Ingin
saya buatkan sesuatu?” tanya saya. Keduanya menolak dengan sopan. Tahu bahwa
saya sedang waswas, mereka mencoba mencairkan suasana.
“Kami
berpikir seorang penulis sekelas Anda akan tinggal di tempat yang lebih mewah,”
ujar si besar gemuk. Saya tertawa kecil. Saya tetap membuatkan teh untuk mereka,
karena saya pikir itu akan menimbulkan kesan baik.
“Perkenalkan,
saya Dori,” ujar si besar tegap, “Dan saya Bogi,” ujar si besar gemuk. Mereka
lanjut memperkenalkan diri sebagai bagian dari divisi keamanan siber kepolisian
di kota tempat saya tinggal.
“Untuk
bapak berdua datang langsung menemui saya, tentu ada perkara besar. Meskipun
saya tidak tahu apa yang diinginkan kepolisian dari seorang penulis sederhana
seperti saya,” kata saya.
“Yah,
atasan memang menginginkan kami membawa Anda langsung ke kantor polisi dan
menjalankan proses interogasi sesuai prosedur, tetapi kami juga mengatakan hal
yang sama; Anda hanya seorang penulis sederhana. Oleh karena
itu, di sinilah kita,” balas Bogi. Saya agak kecut. Tetapi Dori langsung
menambahkan.
“Tenang
saja, Pak. Anggap ini acara bedah karya yang biasa Anda hadapi. Kali ini, kita
akan membedah cerpen Anda, Gerakan
Golongan Putih yang terbit di Harian M dua pekan lalu.”
Ah,
lagi-lagi cerpen jahanam itu. Tidakkah ia sudah terlampau banyak menarik
perhatian? Apakah makna yang terkandung dalam cerpen itu dianggap aparat
berbahaya? Seharusnya tidak. Saya tidak menyinggung siapa-siapa, dan cerpen itu
murni hasil imajinasi saya, tidak saya dasarkan ke keadaan nyata.
“Begini,
Pak. Bagaimana proses kreatif Anda menulis cerpen itu?” Tanya Dori. Dan saya
jawab sebagaimana saya sampaikan kepada dewan pembaca beberapa paragraf yang
lalu: saya bingung menentukan paslon mana yang akan saya coblos, dan dari situ
saya terinspirasi membuat cerpen itu.
“Berarti
bukan karena memang Anda tidak mau mencoblos, ya?” tegas Dori. Saya katakan:
jelas tidak. Untuk apa saya punya hak suara kalau tidak saya pakai. Mendengar
hal itu, Dori dan Bogi memandang saya agak intens. Hal ini membuat saya kagok
dan menanyakan mengapa mereka memandang saya seperti itu. Bogi bersandar sambil
meregangkan perut, Dori yang menjawab.
“Maksud
Anda kewajiban bersuara, kan?”
“Maaf,
apa?”
“Kewajiban
bersuara, Pak. Bukan hak bersuara. Anda wajib memilih salah satu di antara
paslon yang ada, dan negara berhak mengawasi Anda sepanjang prosesi pemilihan
umum. Negara bisa tahu jika Anda sengaja tidak memilih, atau mencoblos kertas
suara tidak sesuai prosedur, dan mempidanakan Anda. Bukankah setiap lima tahun
begitu prosedurnya, sejak Anda punya KTP?” balas Bogi.
Saya
mulai menyadari ada yang tidak beres. Tetapi naluri saya mengatakan bahwa saya
harus menyetujui apa pun ucapan mereka berdua, dan mengatakan bahwa saya baru
bangun, sehingga saya masih separuh sadar. Hal ini tidak serta-merta membuat
mereka meredakan intensitas pandangan mereka ke saya, namun saya bisa merasakan
hawa longgar di udara ketika Dori tersenyum simpul dan mengajak saya menyeruput
teh kembali.
“Sekali
lagi kami mohon maaf atas ketidaknyamanan ini, Pak. Belakangan ini, kami menangkap
banyak konten kampanye negatif tentang setiap paslon yang ada. Hal ini
menimbulkan sebuah persepsi lebih baik tidak memilih, jika pilihan yang ada
kenyataannya tidak ada yang baik,” jelas Dori.
“Sialnya,
pembuat konten-konten ini berlindung dengan menggunakan akun berbasis
kecerdasan buatan; AI. Sehingga banyak konten yang tidak dapat kami telusuri dari
mana jejak asalnya,” lanjut Bogi.
“Dan
saya hanya penulis sederhana. Anda tahu siapa saya, Anda bisa menemukan rumah
saya. Dengan kelemahan seperti ini, saya akan terlihat bodoh kan, jika ingin
membuat konten-konten yang melanggar aturan?” pungkas saya. Bogi terdiam, lalu
memandang Dori, dan secara sistematis keduanya tersenyum.
“Mohon
dipahami, yang berpikir seperti itu adalah atasan kami. Di sini, kami hanya
menjalankan tugas. Menurut atasan, adanya konten atau persepsi seperti itu
tentu karena ada gagasan di sebaliknya. Yah, kebetulan salah satu yang
tertangkap di radar adalah karya tulis Anda. Tetapi jangan salah paham, Pak;
cerpen itu bagus! Walaupun saya polisi, saya cukup menikmati karya sastra. Nah,
makanya kami ke sini ingin mengklarifikasi kembali proses kreatif di sebalik
cerpen itu,” balas Dori.
Yang
selanjutnya terjadi adalah percakapan singkat (namun lebih dalam) tentang
cerpen itu. Setelah semua selesai, dan itu memakan waktu kurang lebih 90 menit,
mereka berdua bergegas pergi dengan meninggalkan secara tersirat pesan jelas:
saya bebas berkarya apa pun, tetapi mata mereka telah menangkap saya. Bagi
seorang penulis, hal itu adalah bencana besar. Lantas saya pun menghubungi
editor saya setelah memastikan dua aparat itu sudah benar-benar tidak ada di
kawasan saya.
“Kita
sudah diskusikan ini kan, Mas? Tapi sampean
bilang lanjut, ya kukatakan lanjut,” ujar Mufa enteng. Dia adalah editor
novel-novel saya, dan saya selalu berdiskusi dengannya sebelum menulis sesuatu.
“Tapi
kata mereka itu lho, Mas. Masa mereka bilang pemilu itu kewajiban? Pemilu dari
dulu sampai sekarang kan hak,” sanggah saya.
“Ya
nggak, Mas. Bukannya periode lalu sudah berubah? Masa pean lupa,” balasnya. Dan terjadilah perdebatan antara dia dan
saya. Akhir perdebatan dibiarkan terbuka, karena Mufa ada urusan lain dan saya
masih tidak percaya akan apa yang terjadi.
“Di
kotaku sedang ada demo besar-besaran. Biasa, tentang AI. Mau kuliput,”
ungkapnya. Selain editor, Mufa bekerja sebagai wartawan partikelir di sebuah
media alternatif berbasis di Surabaya. Saya tahu demo yang dimaksudnya. Belakangan
ini, muncul semacam kabar burung bahwa penelitian negara di bidang AI telah
berkembang sampai ke tahap menggunakannya untuk mengendalikan pikiran manusia.
Meskipun saya penulis sastra, saya dulu sempat kuliah di jurusan informatika.
Hal mengenai AI mengendalikan pikiran manusia tidak lebih dari fiksi sains yang
kurang ilmiah.
Seusai
berbicara dengan Mufa, saya cepat-cepat mandi dan menyiapkan sarapan. Bisa jadi
sekarang ini saya masih bermimpi, dan semesta cerita yang saya bangun menjadi
latar mimpi saya lantaran betapa asyiknya mendiskusikan cerpen itu bersama si
Aina Maiazora. Setelah puas saya menjalankan semuanya dan yakin bahwa kenyataan
ini tempat saya berpijak, saya membuka laptop dan berselancar di internet.
Apa
yang saya temukan di internet membuat saya mengulang-ulang kembali pencarian
saya. Lima tahun silam, di tahun akhir jabatan Presiden N, terbit undang-undang
baru yang menyatakan pemilihan kepala negara bukan lagi sebuah hak, namun
kewajiban. Latar belakang undang-undang ini adalah demonstrasi besar-besaran yang
disebut sebagai Gerakan Golongan Putih: sebuah ajakan masif untuk tidak
mencoblos lantaran paslon yang ada dinilai tidak mewakili rakyat maupun nilai luhur
bangsa. Waktu itu ada tiga paslon, dan ketiganya memiliki rekam jejak buruk:
penggusuran, pelanggaran HAM berat, korupsi, KKN, dan lainnya yang tidak diusut
negara. Hasil dari gerakan ini begitu kentara: perhitungan suara di KPU sudah
mencapai 70 persen, tetapi lebih dari 80 persennya adalah suara tidak sah. Stabilitas
politik negara goyah, dan desakan dari petinggi-petinggi partai untuk merevisi
dasar hukum pemilihan kepala negara meningkat.
Alhasil,
ketentuan pemilu pun berubah. Prosedurnya sama seperti yang disampaikan Bogi:
ketika seseorang akan mencoblos, dia masih bebas untuk tidak membocorkan siapa
paslon pilihannya kepada orang lain, kecuali kepada negara. Artinya, dia wajib
membuktikan kepada negara bahwa dia telah memilih, dan negara punya hak penuh
mengetahui paslon mana yang dia pilih. Seorang pemilih akan masuk ke ruang
khusus yang dipantau CCTV, dan melakukan proses pencoblosan seperti biasa. Seusai
mencoblos sesuai prosedur, dia wajib menunjukkan kertas suara yang sudah
dicoblos ke CCTV sebagai bukti pendataan bahwa warga negara sekian telah
mencoblos paslon sekian. Prosedur ini sementara hanya berlaku untuk pemilihan
kepala negara, dan belum diberlakukan untuk pemilihan kepala daerah ataupun
anggota legislatif.
Belum sempat
saya menyimpulkan penemuan ini, gawai saya berbunyi. Pesan dari Aina Maiazora.
Dipikir-pikir kembali, kejanggalan ini muncul setelah percakapan dengannya
kemarin. Tidak ada salahnya saya coba bertanya kepadanya. Saya buka pesan, dan
isinya adalah permohonan untuk menjadikan cerpen saya bahan penelitian skripsinya.
Dia meminta waktu untuk bisa berkorespondensi melalui panggilan video. Saya
pikir ini waktu yang tepat, dan mengatakan bahwa saya bersedia melakukannya
sekarang.
Aina membuka
percakapan dengan sangat sopan, dan gayanya berbicara mengingatkan saya kepada gaya
tutur penyiar berita atau narator video. Dia berpakaian persis seperti fotonya,
namun kini saya hanya bisa melihat bagian atas tubuhnya. Saya ceritakan
kejadian pagi ini, dan Aina menyimaknya secara saksama.
“Saya pikir
cerita Anda tidak janggal, namun kenyataannya memang tidak sesuai dengan apa
yang Anda katakan. Tetapi Anda tidak perlu khawatir. Kenyataan dapat diubah
sesuai keperluan yang diminta,” balasnya sambil tersenyum. Video terputus-putus
karena statik jaringan. Belum sempat saya menanyakan makna jawaban janggal itu,
ketukan di pintu kembali terdengar berkali-kali, seolah di balik pintu adalah
orang paling tidak sabaran di dunia. Dan kali ini saya tahu itu bukan Dori dan
Bogi.
Tangerang, Februari 2024
Membaca Seratus Tahun Kesunyian Marquez - Juli Prasetya
EsaiMembaca Seratus Tahun Kesunyian
Marquez
Juli Prasetya
Diawali
dengan “Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak yang akan
mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendia jadi teringat suatu sore, dulu
sekali, ketika diajak ayahnya melihat es” (hlm.9)
Dan
diakhiri dengan “Sebab sudah diramalkan bahwa kota penuh cermin (atau
khayalan) akan dienyahkan angin dan terhapus dari ingatan manusia tepat ketika
Aureliano Babilonia selesai membaca perkamennya dan bahwa apa yang tertulis
takkan bisa diulang sejak awal waktu sampai selamanya. Sebab bangsa yang
dikutuk seratus tahun kesunyian tak akan memperoleh kesempatan kedua di bumi
ini.” (hlm.482)
Begitulah
sepenggal cerita awal dan akhir dari novel Cien Anos De Soledad atau One
Hundred Years of Solitude atau Seratus Tahun Kesunyian (Terj.
Djokolelono, Gramedia Pustaka Utama, 2018) karangan Gabriel Garcia Marquez,
seorang penulis dan peraih nobel sastra dari Aracataca, Colombia.
Dalam
Macondo, Para Raksasa, dan Lain-lain Hal karangan Ronny Agustinus, Gabo
(panggilan akrab Marquez) sendiri mengaku bahwa Novel Seratus Tahun Kesunyian
ini adalah novel pertama yang ia tulis saat usianya 16 tahun, hal ini terungkap
dalam wawancara bersama sahabatnya Vargas Llosa saat membahas tentang proses
kreatif Gabo
Gabo
: Begini aku mulai menulis Seratus Tahun Kesunyian ketika berusia enam belas
tahun
Vargas:
Mengapa kita tidak mulai dari buku pertamamu? Yang paling pertama
Gabo : Yang pertama justru Seratus Tahun
Kesunyian […] aku sendiri tidak percaya akan apa yang akan aku ceritakan, maka
aku pun menyadari bahwa kesulitan itu semata-mata teknis, yakni aku tidak memiliki unsur-unsur teknis
dan bahasa untuk membuatnya kredibel, bisa dipercaya. Aku pun pergi menggarap
empat buku lain sementara waktu itu. Kesulitan besarku selalu adalah menemukan
nada dan bahasa agar bisa dipercaya (hlm. 68)
Seratus
Tahun Kesunyian berkisah tentang takdir yang telah selesai keluarga Buendia
selama tujuh turunan yang telah diramalkan dan ditulis dengan bahasa Sansekerta
oleh seorang Gipsi pengembara, mistikus (saya menyebutnya mistikus karena ia
berani menembus batas ilmu pengetahuan manusia), sekaligus seorang penemu
bernama Melquiades. Semua tokoh di dalam cerita ini mendapatkan porsi yang
berbeda namun tidak kehilangan bobot penceritaannya, seperti Jose Arcadio
Buendia sang petualang, ilmuwan, dan gila karena gagal menjadi alkemis lalu
diikat di pohon Kastanye dan mati di sana. Lalu Ursula Iguaran seorang
perempuan tangguh, pembuat permen berbentuk hewan warna-warni, yang menjadi
kepala keluarga Buendia selama berpuluh-puluh tahun menggantikan suaminya dan
tidak pernah menyerah dengan usia tua, kebutaannya, dan hanya mengumpat satu
kali pada dunia yang brengsek dan takdir keluarganya yang memukau, sampai pada
kematiannya yang ia ramalkan setelah hujan selama 4 tahun 11 bulan dan 2 hari
di Macondo mereda.
Dan
tentu saja sang tokoh utama di novel ini adalah Kolonel Aureliano Buendia yang
tak pernah memenangkan 32 pertempuran dalam perang-perang yang dilaluinya
bersama 21 kawan seperjuangannya, dan memilih melupakan semua kenangannya dan
melakukan terapi seumur hidupnya di kamar kerjanya untuk meredakan guncangan
jiwa akibat perang dan kepahitan hidup dengan menulis berjilid-jilid puisi dan
membuat kerajinan ikan hias dari logam. Yang ketika kerajinan ikan hias itu
telah selesai ia akan meleburkannya kembali dan mengulang pekerjaannya dari
awal.
Pertama
kali saya membeli novel ini pada tahun 2019 di Toko Buku Gramedia di Jakarta.
Saat pertama membacanya tentu saja merasa bingung dan aneh, ada ya cerita
tentang keluarga turun temurun dengan nama yang berulang, selain itu tentu saja
saya merasa banyak keanehan dan kemustahilan yang disajikan di dalam novel ini,
sehingga pelan-pelan saya membaca, dan lambat laun saya takjub sendiri dengan
ceritanya yang magis, tapi juga begitu tampak nyata. Saya seperti dipaksa untuk
menuntaskan novel ini. Lalu pembacaan kedua saya lakukan beberapa hari yang
lalu, dan saya memulai untuk menuliskan ulasan ini dengan nuansa dan daya baca
yang tentu saja berbeda dari saat pertama kali saya membacanya.
Kita
bisa belajar proses kreatif dan kepengrajinan Marquez dari novelnya ini, bagaimana
ia menyelipkan satu potongan cerita di satu bab, yang nanti akan juga kita
temukan di bab berikutnya dan kita menjadi penasaran memang apa yang akan
terjadi selanjutnya, jadi Marquez memainkan suspense cerita untuk menarik rasa
penasaran pembaca. Lalu kemudian bagaimana ia mencampuradukan antara masa lalu
masa kini dan masa depan. Bagaiamana ia membaurkan antara yang terjadi, mungkin
terjadi, dan kemustahilan. Hal-hal biasa di tangan Marquez menjadi tampak luar
biasa, hal ini tidak lepas dari pengaruh neneknya yang suka mendongeng dengan
melebih-lebihkan ceritanya. Dan teknik inilah yang kemudian digunakan oleh
Marquez dalam novel Seratus Tahun Kesunyian-nya.
Cerita
pertama pada novel ini sebenarnya menceritakan tentang perkembangan peradaban
dunia, dari mistik ke ilmu pengetahuan bagaimana penemuan-penemuan magnet, kaca
pembesar, gramofon, pianola, Daguerrortype, listrik dan kereta
api di Macondo yang dianggap luar biasa di masa itu. Kemudian bagaimana
setiap suku memiliki kekhasannya sendiri dalam melakukan perjalanan, adat
istiadat, mitos dan kepercayaan-kepercayaan tentang leluhur, dan tentu saja ada
satu pantangan tentang pernikahan sedarah yang akan melahirkan anak dengan ekor
babi, ini adalah satu pantangan yang paling terkenal di keluarga Buendia namun lambat
laun dilupakan.
Keluarga Buendia dari generasi ke generasi
memiliki takdirnya sendiri-sendiri yang terjalin begitu kompleks, rumit, dan
aneh. Cerita-cerita unik aneh dan luar biasa ini tentu saja menjadi hiburan
tersendiri bagi pembaca. Selain itu di sini Marquez menulis secara sembarang
saja, semau dan sebebas dia mau memulai dari mana, mencampuradukan antara masa
lalu dan masa kini, namun hal itu tidak memisahkan jalinan cerita yang tampak
menyebar dan ngawur, tapi cerita itu malah tetap bisa dinikmati menjadi satu
kesatuan karena kesemrawutannya itu, tetap bisa dinikmati meskipun penceritaan
dan teknik berceritanya sebebas dan seelastis itu.
Di
dalam novel ini cerita yang paling menarik menurut saya adalah saat Macondo
terkena wabah penyakit tak bisa tidur. Sebuah penyakit yang mengakibatkan
orang-orang Macondo tak bisa tidur dan terjaga selama berbulan-bulan, dan
akibat atau efek dari penyakit ini selain tak bisa tidur adalah perlahan mereka
akan melupakan segalanya. Pertama-tama lupa akan nama suatu benda, kemudian
fungsinya, kemudian mereka akan lupa pada kenangannya sendiri, dan melupakan
siapa diri mereka, dan melupakan orang lain. Namun penyakit wabah tak bisa
tidur ini kemudian berhasil diatasi saat Melquiades yang telah dilupakan datang.
Ia yang dikira telah mati terkena demam di Pantai Singapura dan jasadnya
dilarung di Laut Jawa secara ajaib tiba-tiba datang ke kediaman Buendia, dan
tersinggung karena orang-orang melupakannya, tapi kemudian ia tahu bahwa memang
ada yang tidak beres di Macondo sehingga ia membuka peti bersisi ramuan ajaib
yang dibawanya dan membebaskan Macondo dari penyakit tak bisa tidur dan tentu
saja dari lupa.
Di
sini kita tidak akan menemukan perasaan sentimentil dan rasa aneh dengan cerita-cerita
yang sebenarnya luar biasa dan aneh itu, Marquez akan menuntun kita untuk
menerima semua ceritanya yang meyakinkan bahwa cerita tentang pembantaian 3000
orang pekerja buruh perkebunan pisang, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang
ditembaki dengan senapan mesin oleh tentara di dekat stasiun itu benar-benar
terjadi dan pernah ada.
Seratus
tahun kesunyian tidak hanya menjadi sebuah cerita tentang sebuah keluarga yang sudah
diramal takdirnya akan berakhir dengan kutukan seratus tahun kesunyian, yang
dialami oleh keturunan Buendia dari generasi ke generasi, tapi secara simbolis juga
menjadi pelajaran bahwa kehidupan, sejarah, dan takdir manusia itu tidak
berjalan dengan linier tapi sirkular, berputar, dan berulang. Serta sebagai pengingat
agar kita tidak melakukan hal-hal yang di luar batas perikemanusiaan, bahwa
pernah ada sebuah bangsa yang pernah ada di muka bumi ini namun karena
melakukan hal-hal yang di luar batas, maka kemudian sebuah bencana
menghancurkannya, sebagaimana angin tornado datang meluluhlantakan Macondo dan
tidak memberikan kesempatan kedua di bumi ini, hilang dari sejarah, hilang dari
peta, namun tetap tersimpan dan mengendap dalam ingatan dan hati pembaca.
Membicarakan “Terlambat di Djalan” Kumpulan Puisi Abdul Hadi WM yang Jarang Dibicarakan - Khanafi
EsaiMembicarakan “Terlambat di Djalan” Kumpulan Puisi Abdul Hadi WM yang
Jarang Dibicarakan
Khanafi
Di
antara penyair besar Indonesia, nama Abdul Hadi W.M (lahir, Sumenep, 24 Juni
1946) tidak mungkin disisihkan. Sebagai penyair, Abdul Hadi sangat produktif
(prolifik), terutama dilihat pada masa-masa awal kepenyairannya.
Produktivitasnya dalam menulis sajak cukup layak untuk dibicarakan lebih jauh
dan mendalam. Sebab menurut saya masih banyak segi yang belum dibicarakan dari
sosok Abdul Hadi WM ini, terutama mengenai karya-karya awalnya yang sedikit
banyak membawa nuansa impresionist dan surealis yang berbeda daripada penyair
lainnya, misalnya seperti Sapardi Djoko Damono yang terkenal dengan sajak
suasana, atau Goenawan Mohamad yang sajak-sajaknya dianggap “gelap”.
Beberapa kumpulan sajak Abdul Hadi WM yang pernah diterbitkan, antara
lain: Riwayat (1967), Terlambat di Ujung Jalan (1968), Laut
Belum Pasang (1972), Cermin (1975), Potret Panjang Seorang
Pengunjung Pantai Sanur (1975), Meditasi (1976, 1982), Tergantung
pada Angin (1977), dan Anak Laut Anak Angin (1983).
Di antara kumpulan sajak yang terbit itu, tentu ada banyak sajak yang
kuat (selain Tuhan Kita Begitu Dekat, sajak yang terkenal itu) tetapi
kurang mendapat perhatian (kurang dibicarakan). Sebab mungkin beberapa kumpulan
sajak itu selain sukar didapatkan di toko-toko buku bekas atau di perpustakaan
di kota-kota besar, juga tidak pernah dicetak banyak apalagi cetak ulang. Hal
demikian itu membuat kesulitan untuk melacak sajak-sajak awal atau sajak-sajak
yang tidak terkenal tapi kuat, dan sajak-sajak lain yang jarang dibicarakan. Saya
akan coba membicarakan salah satu kumpulan sajak yang jarang dibicarakan itu,
yaitu kumpulan sajak Terlambat di Djalan yang berbentuk stensilan
kemudian terbit ulang dengan judul Terlambat di Ujung Jalan.
Selain menulis sajak, Abdul Hadi juga banyak menulis ulasan, kritik,
telaah, dan sebagainya, dan ia juga menerjemahkan karya sastra dari luar
negeri, baik dari Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Abdul Hadi bisa dikatakan
mengikuti perkembangan sastra ketika itu, bahkan turut mewarnai khazanah sastra
Indonesia dengan nafas sastra yang sebelumnya belum terhirup keterpengaruhannya,
yaitu sajak impresionis-surealis, sufistik “pencarian Tuhan”, dan sajak
pemikiran yang lebih akrab tinimbang sajak Subagio Sastrowardojo, misalnya,
yang referensinya cukup sukar dan struktur kata-katanya cukup sulit.
Kumpulan sajak Terlambat di Djalan berisi sajak-sajak yang
ditulis Abdul Hadi antara tahun 1967 – 1968 ketika ia berada dan berkisar
antara Yogya, Solo, Madura, Surabaya, Medan. Tetapi kebanyakan sajak sebenarnya
bertitimangsa Yogya (letaknya di awal dan di tengah-tengah), karena beliau
berkuliah di UGM ketika itu. Bisa dikatakan sajak-sajak dalam kumpulan ini
adalah sajak-sajak awal Abdul Hadi WM meniti jalan kepenyairannya, ejaannya pun
masih menggunakan ejaan lama. Terasa sekali nuansa impresionistik dan sedikit
campuran surealistik yang kuat dalam kumpulan sajak Terlambat di Djalan
ini (saya tidak akan berbicara aspek impresionistik atau surealistik di dalam
tulisan pendek ini), yang kemudian berkembang lebih kuat pada kumpulan sajak
berikutnya seperti Laut Belum Pasang dan Cermin, pada yang
disebut terakhir pengaruh haiku juga kental (karena beliau sedang kuliah di
Iowa dan tekun menerjemahkan sajak-sajak Jepang).
Stensilan Terlambat di Djalan karya Abdul Hadi WM ini tidak
tebal, tidak sampai 50 halaman, hanya 30-an halaman. Buku stensilan ini dipengantari
oleh penyair Darmanto Jatman, dan diberi catatan singkat tentang siapa Abdul
Hadi WM oleh Kuntowijoyo. Agaknya di bagian belakang terdapat keterangan bahwa
stensilan ini digunakan sebagai bahan diskusi di UGM pada tanggal 10 Agustus
1968. Copyright STUDIOGRUP MANTIKA, Jogjakarta, dan diterbitkan kembali
oleh Lingkaran Sastra & Budaja Mahasiswa Fakultas Sastra & Kebudajaan
Universitas Gadjah Mada. Dengan redaksi penyelenggara antara lain; Kuntowijoyo,
Raf’an Jusuf, Sumardi, Suharno, Siti Fiestana, sampul kulit buku dibuat oleh
Tarfi Abdullah. Agaknya tradisi diskusi ini masih terus berlanjut di UGM
mungkin setiap bulan bahasa, yaitu mendiskusikan puisi, meskipun belakangan
lebih ditekankan pembahasan melalui esai kritik, bukan menyajikan karya atau kumpulan
secara utuh seperti dulu.
Alangkah unik stensilan itu dan sungguh menarik ketika membayangkan
diskusi sastra kala itu, apalagi ada beberapa nama besar yang hingga kini masih
bersinar dalam bidang sastra dan ilmu sejarah, seperti Kuntowijoyo. Bisa dibayangkan
lingkaran sastra ketika itu di UGM diisi oleh mereka yang benar-benar
intelektuil, dan dalam ruang-ruang yang lain ada PSK, ada perkumpulan dan
komunitas lainnya, dan sebagainya, sehingga tidak heran masa-masa itu di Yogya
juga memiliki sumbu-sumbu yang membuat sastra kian bersinar walaupun dalam
ruang yang benar-benar sunyi.
Dalam pengantarnya penyair Darmanto Jatman menyebut kumpulan ini
sebagai sajak-sajak “impresionis”, kendati begitu kecenderungan surealistik dan
suasana sublim seperti pada sajak-sajak Goenawan Mohamad bercampur dengan
Sapardi Djoko Damono kentara sekali di dalam kumpulan Terlambat di Djalan
ini. Keterpengaruhan itu pun sedikit disinggung Darmanto Jatman di pengantarnya
yang pendek itu. Tetapi meski ada keterpengaruhan coraknya lain sama sekali
dengan sajak-sajak yang memengaruhi itu.
Puisi-puisi dalam Terlambat di Djalan sangat unik, tidak hanya
sajak pendek, tetapi justru sajak-sajak yang relatif agak panjang. Beberapa
sajak menghadirkan citraan alam yang sungguh memikat (sebagaimana kekhasan
Abdul Hadi WM), pelan-pelan tetapi membangkitkan jiwa pada suasana kontemplatif.
Meski kebanyakan sajak berkisar dari tahun 1967 – 1968 tetapi pokok bahasannya
tidak melulu sama.
Kumpulan sajak ini amat tipis (berisi kurang lebih 20-an sajak, 30
halaman) diawali dengan sajak Senja Susut dan Wadjahku, sajak yang
membawa napas sajak Goenawan Mohamad dan Sapardi Djoko Damono.
SENDJA SUSUT
DAN WADJAHKU
Lewat
djendela
Sendja
susut dalam ruang
Kau
saksikan
Aku
sendiri sajang
Dan wadjah
jang tenggelam dalam sangsai ini
Dan ketika
kudengar gaung pandjang
Bersahutan
Bersama
bajang jang berhenti
Ketika
itupun
Kau disana
Dimuka
jendela, tertegun
Dan
mentjari kerdip tjaja pada mataku
Serta sisa
debu pada kakimu, perdjalanan djauh
Jang kau
tempuh
Alangkah
gersangnja djalanan
Saatpun
bulan dan gerimis bergetaran
Ketika itu
aku tak tahu
Saat
djampun melontjat kebumi
Dan malam
jang berdjedjalpun
Menjapu
wadjahmu, menjapu kakimu
Menjapu
bajangmu jang kelabu
Dan
teramangu pada sendat gerimis lalu.
Jogja
1967
Ada frasa-frasa yang akrab dengan stylistik milik Goenawan Mohamad, seperti; susut dalam ruang, di muka jendela, dan ketika kudengar gaung pandjang, ketika itu aku tak tahu, dan seterusnya. Kemudian yang mirip dengan Sapardi Djoko Damono; menjapu wadjahmu, menjapu bajangmu jang kelabu, saat djam pun, dan malam jang berdjedjalpun, melontjat kebumi, dan seterusnya. Terlihat bahwa Abdul Hadi membaca dengan baik sajak-sajak penyair besar Indonesia sebelum dia, bukan hanya itu, Abdul Hadi membawa pelukisan yang terasa lebih “mencari” daripada melankoli seperti sajak GM atau terlalu sublim dan suasana penuh teka teki seperti SDD. Abdul Hadi memasukkan “pribadi” atau subjektivitasnya ke dalam sajaknya yang terpengaruh itu, sehingga terasa bahwa sajak ini benar-benar mewakili Abdul Hadi sendiri daripada mewakili dua penyair yang disebut tadi.
Puisi-puisi Jogjanya sebenarnya
terasa lebih merenung ketimbang puisi-puisi yang bertitimangsa kampung
halamannya; Madura. Seperti pada sajak-sajak terakhir dalam kumpulan Terlambat
di Djalan; Serenade, Di Muka Rumah, Gelisah Telah Menunggu,
atau yang Udjung Ke Kamal (Surabaya). Citraan laut kembali menguat pada
sajak-sajak kampung halamannya itu, berbeda dengan sajak yang dikutip utuh di
atas tadi, terasa digambarkan suatu tempat seperti gurun, perjalanan yang gersang,
walaupun muncul juga kata-kata alam; senja, tetapi lebih digambarkan
suatu ruang, seperti jendela, jalan, bukan lagi laut, ombak, dst.
Agaknya Abdul Hadi mencoba melukiskan pengalaman merantaunya di Jogja melalui
sajak Sendja Susut dan Wadjahku.
Pada sajak yang bertitimangsa Jogja, juga muncul kata-kata seperti kembara, lampu, ruang, jalan, jendela, kamar, dst. Seperti pada sajak Dan Angin di Luar Jendela;
DAN ANGIN
DILUAR DJENDELA
Lampu
padam
malam mati
dan angin
diluar djendela jg sayuppun
terhenti
ruang jang
berkemas kumandang hilang
lebih
dingin, Tuhan
dan
desakan langit dalam udara
dan
kemarau jang berbagi sisa
padaku
Pada
bajangan mengetjil
pada
bajangan jang tak terdengar sentuhan
terbisik
djuga sadjak dan tjeritera
tapi tak tahu
detikpun djam
bersama
musim turun perlahan
Tuhan,
sadjak jang kini termangu, dingin
abadi
terhenti
sebelum djadi
diluar,
angin, didjendela dan bulan kian biru
pudar
diatas bahuku
Tuhan,
Selamat malam.
Jogjakarta 1967
Dalam perantauan dan kembaranya,
Abdul Hadi merasa kedekatan dengan Tuhan, bahkan penyair menyapa dan
mengucapkan; selamat malam. Di sajak ini muncul gambaran ruang yang
jelas, meski diksi-diksi alam kembali menyusup dengan pelan dan tenang,
membantu melukiskan suasana yang “sunyi”. Dalam sunyi itu penyair seolah
bercakap-cakap dengan Tuhan begitu akrab, bertanya tentang sajak yang abadi
tetapi terhenti sebelum djadi. Ada kegelisahan tetapi juga tanya
yang disimpan dan terus bergerak mencari jawabnya, sampai akhirnya kembali lagi
atau dikembalikan lagi ke alam; diluar, angin, didjendela dan bulan kian
biru/pudar diatas bahuku.
Menghadapi sajak-sajak abdul hadi
kita seolah dibawa menuju suatu ruang yang “solitude”, ruang yang mungkin amat
penyair sukai atau teralami (terus menerus) dirasakan. Meskipun aku lirik
di dalam sajak-sajaknya terasa kuat, walaupun tidak bermakna sebagai
aku-si-penyair, tetapi “jejak” penyair masih terasa di sana. Mungkin ketika
Abdul Hadi menulis tentang Madura, subjek aku lirik itu bisa diasosiasikan
dengan kenyataan diri penyair itu sendiri (sebagai anak Madura), walaupun
sebenarnya ada “pesan” penting yang lebih menarik untuk ditelisik daripada
sekedar mengulik soal aku lirik itu.
Sajak-sajak Abdul Hadi adalah
sajak-sajak yang “akrab”, dan keakraban itulah yang selalu coba menyentuh
sanubari setiap pembaca sajak-sajaknya, dan menurut saya memang pribadi beliau
sendiri amat akrab dengan kemanusiaan universal. Meski Abdul Hadi adalah
seorang intelektual, tetapi ia seolah ingin sajak-sajaknya tidak terkesan sulit
dan abstrak, alih-alih rumit justru sajak-sajaknya sedari awal kepenyariannya
ingin dekat dengan kehidupan kita, kehidupan keseharian kita, kehidupan
kejiwaan kita, kehidupan spiritual kita.
Dengan bahasa yang lugas tetapi tegas, Abdul Hadi WM mengarahkan kita
dan menggelitik akal kita untuk kemudian tidak hanya hanyut tetapi turut
mempertanyakan hakikat kehidupan dari pengalaman keseharian kita. Ternyata
memang benar, Abdul Hadi yang mengakrabi alam membawa kita turut juga
menghayati alam, maka citraan-citraan alam itulah sebagai “kail” untuk
memancing perhatian kita agar bertanya “hakikat” kehidupan dan bagaimana
memaknai keseharian kita.
Diksi-diksi seperti angin, ombak,
cuaca, senja, angin, matahari, bulan, langit, kabut, dan
sederet benda-benda alami sering muncul dalam sajak-sajak Abdul Hadi WM, bahkan
pada sajak-sajaknya tentang kota, beliau menggambarkan suasana itu dengan
membandingkan dengan sifat-sifat alam; seperti gersang, kemarau, bayang,
dan seterusnya.
Sudah jelas, Abdul Hadi amat terpesona dengan unsur-unsur alam, hingga
unsur-unsur itu dipakainya sebagai alat pembanun imaji atau citra dalam
sajak-sajaknya. Khasanah alam yang gemar ia mainkan membuat suasana terasa
dekat, akrab, dan kita diajaknya berasyik masuk dengan alam itu untuk
menghayati makna-makna kata-katanya yang “menyapa” dan “ramah” itu.
Pada sajak-sajak perantauan di kumpulan Terlambat di Djalan
agaknya menjadi tanda bahwa Abdul Hadi WM masih merasa bahwa alam begitu
penting, dan sepertinya itulah tempat atau “rumah” yang menjadikannya tentram
dan damai. Kendati demikian, perhatiannya kepada alam tidak membuatnya gagap
membicarakan nasib dan kehidupan perkotaan. Justru diksi-diksi alam yang tadi
dicontohkan dalam kedua sajak yang saya kutip utuh di atas terasa padu dan
tepat, tidak terasa hal-hal janggal malah begitu akrab.
Terlambat di Djalan menjadi
titik awal yang cukup kuat, sekaligus pintu masuknya untuk keluar dari
sajak-sajak penyair terdahulu yang digandrungi Abdul Hadi WM kepada sajak-sajak
lain yang menjadi miliknya di kemudian hari, menjadi karakternya yang
benar-benar khas. Sekarang sepeninggal Abdul Hadi WM belum lama ini, terbukti
apa yang dikatakan alm. Darmanto Jatman, bahwa beliau Abdul Hadi telah
menemukan kepenyairannya yang paripurna (sejati). Wassalam.
Menyaksikan Lelaki Tua Diciptakan Kembali - Imam Budiman
SajakImam Budiman
Menyaksikan Lelaki Tua Diciptakan Kembali
—the old man and the sea
-ernest hemingway-
Tengah abad dua puluh pengarang itu tiba di satu kota kecil
menyinggahi tepi aciarolli—pasca kejatuhan fasis mussolini
kota harum sejarah yang senantiasa menguarkan bau merah.
Ia menerjemahkan segala gelagat; angin yang bimbang, lindap
langit di barat, beserta isyarat tubuh laut semeja dengan taktik
masstracio. sejak perjumpaan itu, lengkung joran menghantui
setiap sudut rumah—dapur, ruang kerja, dan seisi kepalanya.
Ada mata kail yang menarik lengan tangannya ke mesin ketik
barangkali sebuah prosa satu tokoh, tanpa syak harus berakhir
pada sebuah toko buku—kemudian pantas bunuh diri.
-santiago-
Tujuh camar berparuh masa lalu terlahir yatim, bermain di antara
kapal-kapal tua pesisir kuba. matahari belum tanak memanggang
kanal—seorang kanak menyelundup kaleng sarden sebagai bekal.
Delapan puluh empat kali layar mesti susut dan jatuh—tetapi
adakah yang lebih menyakitkan dari sepi dalam penderitaan?
Dan tidak pula hari ini, gulf stream telah memanggil namaku
sebelum mengangkat sauh, nelayan sial berpenyakit kulit itu
tak putus berdoa, kuatkan kenurku dan turunkan kepadaku
sejenis musim ajaib dari surgamu, tuhan, yang memenuhi
lambung perahu kecilku dengan wangi darah ikan segar.
Hari-hari gugur dan sederet gigi koloni hiu nyaris menyusut
cita-citanya. dayung bermata pisau menjelma pedang sabit
demi menyelamatkan tubuh marlin itu; meski yang tersisa
hanya separuh kepala dan belulangnya.
2024