Bulan Angka 11
Arie MP Tamba
WWW.SASTRAMEDIA.COM | Bulan itu seperti orang tertawa-tawa,
tetapi kedinginan. Karena seorang lainnya di langit sana telah mengumpulkan segenap tenaganya
dan meniupkan badai angin berkepanjangan. Dan Jakarta, seperti biasanya, bergetar dan berkeriut
seperti sebuah rumah di kampung: dengan bangunan atas yang gemuk namun
dengan tiang-tiang fondasi yang kurus.
Tukang parkir itu menggelengkan kepala
memikirkan semua itu. Jalanan lengang sepanjang satu kilometer itu adalah
kerajaannya. Jalanan itu lengang antara deru angin dan lampu yang temaram. Dan beberapa pedagang
rokok yang meringkuk di kiosnya masing-masing sana adalah para rakyatnya yang
perlu dilindungi dari gangguan berandal yang terkadang tersesat ke jalanan itu. Dan para
pemilik mobil yang masih besuk atau berjaga di rumah sakit yang berada di tengah
kerajaannya adalah tamu-tamu yang perlu dilayani. Untuk pelayanan itu ia memperoleh
penghasilan.
Tukang parkir itu telah tua namun masih
kekar. Ketika melangkah mendekati kios salah seorang rakyatnya, ia sedang menyusun
kata-kata bijak di benaknya. Aku sudah tua, tetapi masih memiliki semangat melanjutkan hidup
yang lucu ini. Itulah kata-kata bijak yang berhasil diejanya di dalam hati.
"Bagaimana? Sudah mimpi?” tanya si
Tukang parkir.
“Sudah. Tetapi saya ragu," jawab si
Pemilik kios.
“Kenapa?”
"Tak beraturan. Sambung-menyambung.
Mimpi saya nonstop sampai pagi. Jadi banyak yang lupa...."
"Ah, pasti ada yang teringat. Paling
berkesan!" kata si Tukang parkir. Tangannya dengan ringan menyambar sebungkus kacang dari
plastik yang tergantung di dinding depan kios rokok itu.
Dari dalam kios, si Pemilik menyadari kedudukannya sebagai rakyat
tukang parkir. Di bawah cahaya lampu gas, ia tersenyum kecut
dan mengalihkan ekor matanya dari tangan si Tukang parkir yang kini menyobek bungkus
kacang.
Si Tukang parkir kemudian mengupas kacang
dengan cara meremukkan di antara dua jempol dan dua telunjuk.
"Saya langsung terbangun," kata
si Pemilik kios dengan suara serak. Sekilas ia merasa baru saja dikoyak dan diremukkan.
"Terbangun?" tanya si Tukang
parkir.
"Ya. Padahal plat mobil yang ngebut di
dalam mimpi saya terlihat jelas meskipun sebentar!”
"Apa mimpimu?"
"Saya ketabrak mobil seorang
pengunjung rumah sakit!" kata si Pemilik kios dengan suara bergetar. Mimpinya tiba-tiba menderas
dan terbentang di hadapannya .... Ia baru saja menyerahkan sebungkus rokok kepada seorang
pembeli di dalam mobil di depan kiosnya ketika sebuah mobil lain dari arah rumah
sakit datang mengebut bagai memburu dan diburu setan ... lalu menabrak mobil yang
terparkir di depan kiosnya, menghantam kiosnya, serta melemparkan tubuhnya yang segera mengalami
kesakitan luar biasa dengan napas ngos-ngosan ketakutan! Lalu, ia terbangun dengan
tubuh berkeringat dingin terbungkus kain sarung di lantai kiosnya beberapa malam
yang lalu...
Sungguh suatu malam dengan mimpi yang menakutkan! Maka, rasa kurang senang di dada si Pemilik
kios pun berganti dengan rasa nyaman karena
mendapat: teman ngobrol di antara deru angin
menjelang pukul delapan di jalan itu. Malam begitu sunyi dan lengang. Pikirnya, sebungkus kacang toh bisa
terbayar dari keuntungan sebungkus rokok. Dan si Tukang
parkir yang berdiri bagai raksasa di luar kiosnya itu, tak pernah: mengambil rokok dengan gratis. Itulah
bedanya si Tukang parkir dengan "jeger” mana pun di Jakarta ini.
"Si Rambo mimpi kawin lagi,” kata si
Pemilik kios tertawa sumbang ketika melihat si Tukang parkir memandang ke arah
kios rokok seberang.
Si Tukang parkir membayangkan wajah Rambo.
Si Kerempeng dari Tegal itu akhir-akhir ini sering mimpi kawin lagi. Seolah ia
belum puas juga dengan dua istri, yang harus dijenguknya tiap bulan dengan menumpang
truk-truk yang berpangkalan di ujung jalan sana.
“Jadi kemungkinan angka kembar ya,"
kata si Tukang parkir.
"Ya, kembar!" si Pemilik kios
menyahut bersemangat. Si Tukang parkir mengangguk dan segera meninggalkan kios rokok itu. Ia
melihat seorang keluar dari rumah sakit yang tidak memiliki halaman parkir itu, melangkah
menuju sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan. Seorang tamu kembali pulang dan mobil yang
perlu dijaga berkurang satu: satu, dua, tiga, lima, delapan, sebelas, ya, masih sebelas
mobil lagi yang perlu diamankan di kerajaannya itu.
Sebelas. Sebelas. Sebelas. Astaga! Si
Tukang parkir tersenyum riang. Satu-satu. Angka kembar. Ia harus berani memasang angka
sebelas untuk putaran togel besok. Si Tukang parkir memandang lampu-lampu jalan yang
temaram di antara badai angin berkepanjangan, seraya angannya menghadirkan sosok si Rambo
yang sering menjadi sumber angka, tetapi tak berani membeli lembaran togel itu.
Si Tukang parkir menoleh ke ujung jalan di
utara, di mana si Tamu barusan berbelok di tikungan dengan meninggalkan kerjap-kerjap
kemerahan dari lampu belakang mobilnya. Lalu ia menoleh ke selatan, tempat
kios-kios rokok para rakyatnya terdapat, sampai ke pangkalan truk di ujung sana. Sepanjang
jalan itu adalah kerajaannya yang telah menghidupi dan ia hidupi sepanjang hari, minggu,
bulan, tahun, dari muda sampai ia tua seperti sekarang. Berapa tahun sudah? Pertanyaan itu
berdenyut sekilas lalu terlupakan begitu saja dari benaknya. Ia bergegas meninggalkan depan
rumah sakit itu karena melihat beberapa pemuda yang boleh jadi berandalan sedang memasuki
kerajaannya dan telah bergerombol di depan kios yang paling dekat pangkalan truk sana.
Namun, ketika melalui kios rakyatnya yang
tadi mengisahkan mimpi ketabrak mobil itu, si Tukang parkir melambatkan langkah.
"Jadi angka kembar ya!” kata si Tukang
parkir.
"Kembar. Ganda. Kalau ngikutin mimpi
si Rambo Tegal, ya, iya!” kata si Pemilik kios sambil melangkah keluar. Ia mengira si
Tukang parkir akan mengajaknya melanjutkan membahas angka-angka yang akan diumumkan
besok. Akan tetapi, si Pemilik kios kemudian melihat bahwa si Tukang parkir yang sudah
tua, tetapi masih kekar bagai raksasa itu sedang memandang lurus ke kios paling ujung sana.
Lalu, menoleh dan mengangguk serius ke arahnya. Dan di bawah penerangan lampu gas,
keduanya kemudian saling tatap dengan banyak makna yang tak perlu
diperbincangkan.
“Siap?” tanya si Tukang parkir.
"Ah, ya, ya siap, siap. Saya akan
siap!” kata si Pemilik kios tergeragap dan kembali ke dalam kios. Lalu membungkuk dan meraih
sesuatu dari lantai kios. Dan selanjutnya, ia telah mencekal sebatang linggis dengan wajah yang
tiba-tiba saja dibanjiri keringat karena tegang.
"Tenang. Jangan langsung gentar ....
Ajak si Rambo!” kata si Tukang parkir, lalu melanjutkan langkah.
Barangkali lebih dari satu orang. Jadi
banyak orang. Ya. Banyak orang di langit Jakarta telah mengumpulkan segenap tenaga, lalu
meniupkan badai angin berkepanjangan di antara pukul tujuh dan sembilan pada malam yang
lengang itu. Maka, Jakarta, dengan bagian atas yang gemuk dan tiang-tiang fondasi yang
kurus, lebih bergetar dan berkeriut dari biasanya.
Dan kerajaannya pun lebih senyap dari
biasanya. Hampir tak ada kendaraan melintas. Padahal jalanan yang menjadi kerajaannya itu
sering dipakai para pelintas mempersingkat perjalanan, ataupun sekadar menghindari
kemacetan yang sering terjadi di ruas jalan blok sebelah. Dan jalanan itu adalah lokasi yang
ramai oleh rumah penduduk dan dihuni rumah sakit yang cukup terkenal dan laris di
Jakarta ini. Akan tetapi, malam itu yang terasa aneh lagi adalah bahwa ia sekilas menyadari
telah menghabiskan tiga perempat usianya yang hampir enam puluh tahun hanya di jalanan
itu.
Ya. Itulah kerajaannya. Dan kali ini agak
sunyi di antara deru angin, di bawah bulan yang sedang tertawa, tetapi kedinginan di
atas sana. Ketika mendekati kios rokok yang paling
ujung, ia semakin merasa kurang puas atas kehadiran para pemuda itu. la melihat
mereka telah menarik si Pemilik kios keluar dari kiosnya: keluar dari sumber hidup dan
kerajaannya. Lalu, tampak para pemuda itu mencecar si Pemilik kios dengan pertanyaan dan
tudingan. Akan tetapi, yang mengejutkan adalah si Pemilik kios terlihat memberikan penjelasan
dan bantahan dengan berani. Jadi, ada kemungkinan rakyatnya itu saling kenal
dengan para pemuda berandal yang menganggunya?
"Ada apa ini?" tanya tukang
parkir begitu tiba di antara para pemuda itu. Ia berusaha mengatur napasnya sedemikian rupa hingga
tampak wajar, tanpa rasa takut, dan jauh dari tanda-tanda ketuaan.
Si Pemilik kios dan para pemuda itu
memperlihatkan sikap sudah mengetahui kedatangannya. Hingga, tanda tanya bagi si
Tukang parkir bahwa kehadirannya ternyata mendatangkan rasa kikuk pada wajah si
Pemilik kios, sebaliknya menimbulkan pengharapan dan dukungan pada wajah pemuda-pemuda itu.
Sementara, barusan ia membayangkan bahwa kedatangannya akan disambut tatapan
lega dari rakyatnya dan tatapan keder dari para pemuda berandal itu.
Agak memicingkan tatapan karena biasnya
cahaya lampu gas, si Tukang parkir mengulangi pertanyaan. Kini bukan lagi
basa-basi untuk sebuah perlindungan atas keselamatan rakyatnya: tetapi benar-benar
rasa ingin tahu atas persoalan yang dihadapi “orang-orang muda" di depannya. Sementara ketika menoleh sekilas ke belakang, ia melihat rakyatnya yang lain telah datang menghampiri dengan masing-masing senjata darurat mereka. Si Rambo bersarung dan bertelanjang dada,
tampak mencekal botol bir yang masih berisi di tangan kanannya.
“Dia kawin lagi, Pak!" kata seorang pemuda
itu tajam.
“Tak benar itu, Pak!" kata si Pemilik
kios serak.
“Dia tak pernah pulang lagi ke rumah mbak
saya!” kata si Pemuda seraya menoleh ke arah seorang pemuda lainnya. Si Pemuda yang
ditoleh mengangguk ke arah si Tukang parkir. "Benar, Pak. Dia tak pernah pulang
lagi ke rumah mbak saya. Saya iparnya ....Ada yang melihatnya bersama perempuan lain. Banyak
yang melihatnya!” katanya sambil memandang sinis si Pemilik kios yang wajahnya kini
memerah di bawah sorotan cahaya lampu gas.
“Tak benar itu .... Mereka mengada-ada
karena prasangka, Pak!” katanya ke arah si Tukang parkir.
“Saya melihat sendiri!” kata seorang pemuda
menampilkan diri dekat si Pemuda yang mengaku sebagai ipar si Pemilik kios.
Begitulah. Dengan sabar si Tukang parkir
kemudian kembali bertanya dan bertanya kepada si Pemilik kios dan kepada para
pemuda itu agar mengetahui persoalan mereka secara jelas. Dan kemudian, ia memberikan
saran ini itu untuk meredakan suasana dan ketegangan. Sampai kemudian, ia harus
berbalik dan berlari-lari kecil ke arah rumah sakit sana karena si Rambo Tegal mengingatkan
adanya seorang pengunjung yang keluar dari rumah sakit dan sedang menghampiri sebuah
mobil.
Selama berlari itu, pikiran si Tukang parkir
kembali menampak jalan buntu untuk angka togel yang akan keluar besok. Loket
penjualan togel di blok sebelah akan tutup puluhan menit lagi, sedangkan mimpi si Rambo Tegal
boleh jadi ingin menjelaskan kehidupan baru salah seorang dari rakyatnya, yang kini
masih saling berbantahan dengan ipar-iparnya di belakang sana.
Agak susah bagi si Tukang parkir ketika
sambil berlari itu menengadah ke atas sana, dan melihat bulan yang tadi tertawa-tawa
kedinginan kini terbungkus awan. Pikirnya, sebentar lagi seseorang di langit sana akan
menumpahkan berkubik-kubik hujan untuk mengguyur malam Jakarta yang panas!
-Sumber: Dua Tengkorak Kepala, Cerpen Pilihan Kompas 2000, Jakarta, Kompas, 2000