Nirwan Dewanto
Sebagaimana para penyair yang mati muda, Kriapur atau Kristianto Agus Purnomo (1959-1987), yang wafat dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, menanggung beban ini: beberapa pengamat mengira dia telah meramalkan kematiannya sendiri melalui sajak-sajaknya yang gelap dan muram. Akan tetapi, acara ''Dengar Pendapat Puisi-puisi Kriapur” yang diselenggarakan oleh Forum Indonesia Kecil pada 26 Februari 1988, bukanlah acara mengenang kepergian Kriapur. Sebanyak 61 sajak Kriapur yang berhasil dijumpai di media massa, dikumpulkan di bawah judul "Yang Menulis Kematiannya Sendiri”, dengan harapan tentu saja, diskusi bisa bertolak dari himpunan puisi tersebut. Pemilihan judul tersebut, menurut para editornya adalah (1) berkaitan dengan refleksi tentang maut yang memiliki kemungkinan semantik yang luas, yang dihayati dengan intensitas yang luar biasa oleh penyairnya, (2) maut dalam puisi-puisi Kriapur tidak harus direduksi begitu saja sebagai kematian individual, tetapi juga kematian kultural, (3) kematian dan puisi penyair tidak bisa dilihat dari mitos tertentu yang mengacaukan keduanya, sehingga pembaca kehilangan integritas penyair dalam merefleksikan sikap hidup dalam puisi-puisinya.
Acara yang mengambil tempat di Goethe Institut Jakarta itu dibuka dengan pembacaan sajak-sajak Kriapur oleh Andi Bersama, Here Rumemper, dan Zainal Abidin Domba.
Dengan makalah berjudul ''Posisi Kepenyairan Kriapur: Dugaan Pendahuluan”, Wahyu Wibowo membuka diskusi. Sikap Kriapur dalam bersajak (yang bisa terbaca melalui dua esainya, ”'Menghayati Sajak-sajak Obskurantis Imajisme” dan ”Apokalipsa Kepenyairan Baru”, ND), katanya, ternyata menghasilkan sajak yang ”'biasa-biasa” saja, dalam arti, tidak mengandung permasalahan istimewa, kecuali permasalahan manusia yang teralienasi lingkungannya, manusia yang kesepian, kesunyian, gelisah, dan manusia pelamun, bahkan karena demikian dalam daya lamunnya, hampir sebagian besar sajak-sajak Kriapur mendongakkan hal-hal naif mengenai kematian atau ketuhanan.
Sejauh puisi Indonesia modern, lanjut Wahyu, diwarnai oleh sikap memberontak para penyairnya. Mereka itu menampilkan keunikan yang sama: sama-sama berontak, sama-sama bersandar pada semangat romantik (baca: Barat), namun sama-sama "'mereparasi” milik tradisinya. Sedangkan Kriapur? Kata Wahyu lagi, mungkin secara sadar ia berupaya mensejajarkan diri dengan para penyair pemberontak pendahulunya, yang supaya tidak tampak epigonistis, mencari pesemangat romantik. Bertentangan dengan sikap kepenyairannya yang tidak mengharamkan obskurantisme. Sajak-sajaknya memperlihatkan tegangan antara kegandrunagn semangat romantik dan ketidaktegaan meninggalkan tradisi persajakn penyair sebelumnya.
Dan akhirnya dengan menyatakan di akhir makalahnya bahwa “ia berupaya mendirikan tonggak kepenyairan, dan tonggak itu nyaris berdiri, sehingga sebagai pendahuluan, boleh disebutkan bahwa Kriapur terkelompok ke dalam penyair Indonesia modern tahun 80-an” Selebihnya Wahyu tidak ”menggali” kehadiran Kriapur bagi kemungkinan-kemungkinanan masa depan sastra Indonesia. Benar-benar sebuah dugaan pendahuluan.
Dalam diskusi yang dipimpin oleh moderator Irawan Sandya Wiraatmaja, persoalan-persoalan yang muncul dalam forum adalah (1) bagaimanakah cara melihat sajak-sajak Kriapur, atau apakah diperlukan metodologi tertentu untuk menyelami sajak-sajaknya, (2) dapatkah pagi-pagi menempatkan Kriapur dalam peta persajakan Indonesia, sebelum terlebih dadulu menyingkapkan segi-segi terdalam dari karya-karyanya, (3) apakah Kriapur telah memiliki bahasa kepenyairannya yang matang, dalam hal ini originalitas dan otentisitas menjadi penting dibicarakan, (4) mengapa posisi sastra Indonesia -dalam hal ini karya Kriapur bisa dijadikan contoh- berpindah dari alienasi yang satu ke alienasi yang lain. Meskipun tidak ada artikulasi pemikiran yang cukup jelas yang bisa dibaca dari forum, tarikan-tarikan dalam diskusi terlihat antara pihak yang menginginkan pengungkapan keunikan karya-karya Kriapur dan pihak yang menempatkan kepenyairan Kriapur dalam frame luas pemikiran sastra Indonesia.
Adalah menarik untuk menggarisbawahi pernyataan Wahyu Wibowo bahwa penciptaan para penyair Indonesia masih dihidupi oleh semangat romantik. Meskipun persoalan tersebut lebih terasa sebagai persoalan akademis daripada kreatif, patutlah dipertanyakan, apakah conditioning tersebut telah memperlamban, kalau tidak menghalangi, penjelajahan sastra Indonesia. Sebagai penyair berbakat kuat, Kriapur memperlihatkan kecenderungannya pada lirik-lirik kontemporer Indonesia: dengan caranya sendiri dia telah belajar dari para penyair imajis atau penyair "suasana”, dan mengadopsi teknik-teknik pengucapan mereka, malahan dia menyebut sajak-sajaknya sendiri sebagai imajis-obskurantis. Obskurantisme dalam sajak-sajaknya bisa dikaitkan dengan penjelajahannya terhadap para penyair simbolis Prancis. Namun persoalan bagi Kriapur -juga penyair Indonesia yang lain- apakah dia dapat mengambil jarak secara intelektual terhadap para pendahulunya itu.
Jika wawasan estetik puisi Indonesia, menurut Dami N. Toda, adalah mata kiri dan mata kanan, kepenyairan Kriapur telah menjenuhkan daerah estetik ”dua mata'' tersebut. Penjenuhan tersebut mestilah dilihat secara kreatif: bahwa melalui Kriapur, terlihatlah kemungkinan penciptaan yang lebih luas daripada sekadar ''mata kiri dan mata kanan”. Sebab, siapakah yang berbahagia jika para penyair kita hanya mereproduksi para pendahulunya? Maka, jika penilaian terhadap Kriapur tetap tinggal kontroversial, itulah pertanda bahwa puisi Indonesia tidak bisa dipetakan secara tunggal.***
Sebagaimana para penyair yang mati muda, Kriapur atau Kristianto Agus Purnomo (1959-1987), yang wafat dalam sebuah kecelakaan lalu lintas, menanggung beban ini: beberapa pengamat mengira dia telah meramalkan kematiannya sendiri melalui sajak-sajaknya yang gelap dan muram. Akan tetapi, acara ''Dengar Pendapat Puisi-puisi Kriapur” yang diselenggarakan oleh Forum Indonesia Kecil pada 26 Februari 1988, bukanlah acara mengenang kepergian Kriapur. Sebanyak 61 sajak Kriapur yang berhasil dijumpai di media massa, dikumpulkan di bawah judul "Yang Menulis Kematiannya Sendiri”, dengan harapan tentu saja, diskusi bisa bertolak dari himpunan puisi tersebut. Pemilihan judul tersebut, menurut para editornya adalah (1) berkaitan dengan refleksi tentang maut yang memiliki kemungkinan semantik yang luas, yang dihayati dengan intensitas yang luar biasa oleh penyairnya, (2) maut dalam puisi-puisi Kriapur tidak harus direduksi begitu saja sebagai kematian individual, tetapi juga kematian kultural, (3) kematian dan puisi penyair tidak bisa dilihat dari mitos tertentu yang mengacaukan keduanya, sehingga pembaca kehilangan integritas penyair dalam merefleksikan sikap hidup dalam puisi-puisinya.
Acara yang mengambil tempat di Goethe Institut Jakarta itu dibuka dengan pembacaan sajak-sajak Kriapur oleh Andi Bersama, Here Rumemper, dan Zainal Abidin Domba.
Dengan makalah berjudul ''Posisi Kepenyairan Kriapur: Dugaan Pendahuluan”, Wahyu Wibowo membuka diskusi. Sikap Kriapur dalam bersajak (yang bisa terbaca melalui dua esainya, ”'Menghayati Sajak-sajak Obskurantis Imajisme” dan ”Apokalipsa Kepenyairan Baru”, ND), katanya, ternyata menghasilkan sajak yang ”'biasa-biasa” saja, dalam arti, tidak mengandung permasalahan istimewa, kecuali permasalahan manusia yang teralienasi lingkungannya, manusia yang kesepian, kesunyian, gelisah, dan manusia pelamun, bahkan karena demikian dalam daya lamunnya, hampir sebagian besar sajak-sajak Kriapur mendongakkan hal-hal naif mengenai kematian atau ketuhanan.
Sejauh puisi Indonesia modern, lanjut Wahyu, diwarnai oleh sikap memberontak para penyairnya. Mereka itu menampilkan keunikan yang sama: sama-sama berontak, sama-sama bersandar pada semangat romantik (baca: Barat), namun sama-sama "'mereparasi” milik tradisinya. Sedangkan Kriapur? Kata Wahyu lagi, mungkin secara sadar ia berupaya mensejajarkan diri dengan para penyair pemberontak pendahulunya, yang supaya tidak tampak epigonistis, mencari pesemangat romantik. Bertentangan dengan sikap kepenyairannya yang tidak mengharamkan obskurantisme. Sajak-sajaknya memperlihatkan tegangan antara kegandrunagn semangat romantik dan ketidaktegaan meninggalkan tradisi persajakn penyair sebelumnya.
Dan akhirnya dengan menyatakan di akhir makalahnya bahwa “ia berupaya mendirikan tonggak kepenyairan, dan tonggak itu nyaris berdiri, sehingga sebagai pendahuluan, boleh disebutkan bahwa Kriapur terkelompok ke dalam penyair Indonesia modern tahun 80-an” Selebihnya Wahyu tidak ”menggali” kehadiran Kriapur bagi kemungkinan-kemungkinanan masa depan sastra Indonesia. Benar-benar sebuah dugaan pendahuluan.
Dalam diskusi yang dipimpin oleh moderator Irawan Sandya Wiraatmaja, persoalan-persoalan yang muncul dalam forum adalah (1) bagaimanakah cara melihat sajak-sajak Kriapur, atau apakah diperlukan metodologi tertentu untuk menyelami sajak-sajaknya, (2) dapatkah pagi-pagi menempatkan Kriapur dalam peta persajakan Indonesia, sebelum terlebih dadulu menyingkapkan segi-segi terdalam dari karya-karyanya, (3) apakah Kriapur telah memiliki bahasa kepenyairannya yang matang, dalam hal ini originalitas dan otentisitas menjadi penting dibicarakan, (4) mengapa posisi sastra Indonesia -dalam hal ini karya Kriapur bisa dijadikan contoh- berpindah dari alienasi yang satu ke alienasi yang lain. Meskipun tidak ada artikulasi pemikiran yang cukup jelas yang bisa dibaca dari forum, tarikan-tarikan dalam diskusi terlihat antara pihak yang menginginkan pengungkapan keunikan karya-karya Kriapur dan pihak yang menempatkan kepenyairan Kriapur dalam frame luas pemikiran sastra Indonesia.
Adalah menarik untuk menggarisbawahi pernyataan Wahyu Wibowo bahwa penciptaan para penyair Indonesia masih dihidupi oleh semangat romantik. Meskipun persoalan tersebut lebih terasa sebagai persoalan akademis daripada kreatif, patutlah dipertanyakan, apakah conditioning tersebut telah memperlamban, kalau tidak menghalangi, penjelajahan sastra Indonesia. Sebagai penyair berbakat kuat, Kriapur memperlihatkan kecenderungannya pada lirik-lirik kontemporer Indonesia: dengan caranya sendiri dia telah belajar dari para penyair imajis atau penyair "suasana”, dan mengadopsi teknik-teknik pengucapan mereka, malahan dia menyebut sajak-sajaknya sendiri sebagai imajis-obskurantis. Obskurantisme dalam sajak-sajaknya bisa dikaitkan dengan penjelajahannya terhadap para penyair simbolis Prancis. Namun persoalan bagi Kriapur -juga penyair Indonesia yang lain- apakah dia dapat mengambil jarak secara intelektual terhadap para pendahulunya itu.
Jika wawasan estetik puisi Indonesia, menurut Dami N. Toda, adalah mata kiri dan mata kanan, kepenyairan Kriapur telah menjenuhkan daerah estetik ”dua mata'' tersebut. Penjenuhan tersebut mestilah dilihat secara kreatif: bahwa melalui Kriapur, terlihatlah kemungkinan penciptaan yang lebih luas daripada sekadar ''mata kiri dan mata kanan”. Sebab, siapakah yang berbahagia jika para penyair kita hanya mereproduksi para pendahulunya? Maka, jika penilaian terhadap Kriapur tetap tinggal kontroversial, itulah pertanda bahwa puisi Indonesia tidak bisa dipetakan secara tunggal.***
>Sumber: Horison, Nomor 4 Tahun xxii, April 1988