Budi Darma
SASTRAMEDIA.COM - I. Kesalahan kebanyakan orang dalam membicarakan kritik sastra adalah menyamakan kritik sastra dengan kritik biasa. Padahal, dan inilah yang perlu diketahui, kritik sastra dapat juga mengungkapkan segi-segi yang baik karya sastra yang dikritiknya. Kalau kita berpendapat bahwa kritik sastra hanya mengungkapkan kelemahan-kelemahan karya sastra saja, maka pendapat sementara orang yang menyatakan bahwa kritik sastra tidak bisa tumbuh subur di Indonesia bisa jadi tidak keliru. Sakit hatinya yang kena kritik, lepas dari benar tidaknya kritik, subjektivitas yang mengkritik, dan simpang-siurnya isu, cenderung untuk membunuh kritik sastra. Padahal, sekali lagi, kritik sastra tidak sama dengan kritik dalam pengertian umum, baik dalam kritik yang membangun maupun kritik yang menghancurkan.
Akhir-akhir ini ketidakpuasan terhadap kehidupan kritik sastra merajalela. Salah satu ketidakpuasan tercermin dalam Simposium Sastra 80, yang diselenggarakan oleh IKSI (Ikatan Keluarga Sastra Indonesia) di FSUI bulan April 1980. Di antara sekian pendapat, ada yang menyatakan bahwa kritik sastra di Indonesia tidak akan tumbuh dengan baik karena masyarakat kita agraris dan tradisional. Mungkin pendapat ini betul, sekali lagi kalau kritik sastra disamakan dengan kritik dalam pengertian umum. Dan pendapat lain yang menyatakan bahwa kuantitatif kritik sastra di Indonesia cukup banyak, akan tetapi kuantitatif tidak baik, adalah benar. Mulai darı kritik sastra yang dianggap ilmiah, seperti yang kita lihat dalam penataran-penataran resmi pemerintah, dan sekian banyak skripsi, sampai dengan kritik sastra yang dianggap populer karena dimuat dalam media massa, memang banyak yang tidak baik.
Pendapat yang menyatakan bahwa kritik sastra menuntut kemampuan kritis analitis kritikusnya tentu saja betul. Dan tanpa kemampuan ini, kritikus cenderung untuk gagal melihat persoalan, seperti yang sering kita saksikan. Kritik sastra yang sama dengan penceritaan kembali jalan cerita karya sastra, dan kritik sastra yang impresionistis adalah contoh ketidakmampuan tersebut.
Pendapat yang menyatakan bahwa kritik sastra menuntut kemampuan estetis kritikus tentu saja juga betul. Lepas dari soal subjektivitas, menganggap karya sastra yang baik sebagai buruk atau sebaliknya adalah pertanda ketidakmampuan ini.
Bahwa di antara sekian banyak sumber kekalutan kritik sastra Indonesia terletak pada kurangnya kemampuan kritis, analitis, dan estetis kritikusnya, seperti yang disinggung dalam simposium di atas, tentu saja tidak keliru. Dan pada segi inilah kita dapat menyamakan kritik sastra Indonesia dengan kebudayaan Indonesia pada umumnya, yaitu kebudayaan yang konvensional dan tradisional. Kebudayaan semacam ini mau tidak mau menomorduakan kreasi dan inovasi, karena orang cenderung untuk tetap memegang nilai-nilai yang sudah turun-temurun berlaku. Kalau nilai-nilai sudah tersedia, dan nilai-nilai ini pada garis besarnya tidak pernah berubah, maka daya kritis, analitis, dan estetis seseorang juga cenderung untuk tidak berkembang. Ketidaksukaan pada kritik (dalam pengertian umum) bukan bersumber kemampuan kritis analitis estetis kritikus semata-mata, akan tetapi pada anggapan bahwa mengkritik itu "saru", dan tidak seharusnya dilakukan. Seorang anak muda seharusnya tidak boleh mengkritik orang tua, seorang bawahan tidak seharusnya mengkritik atasannya, inilah letak sumber yang utama ketidaksuburan kritik dalam pengertian umum di sebuah masyarakat konvensional tradisional.
Kritik sastra tidak terletak pada soal "saru" atau "tidak saru", akan tetapi pada kemampuan objektif kritikusnya. Kritik sastra yang menceritakan kembali isi karya sastra, yang subjektif, dan yang impresionistis tidak seharusnya diterima. Bukan karena kritik sastra semacam ini"tidak pantas" atau "saru" dalam masyarakat konvensional tradisional, melainkan karena kritik sastra semacam ini mencerminkan kebodohan kritikusnya. Dan dia bodoh, langsung tidak langsung karena dia adalah produk masyarakatnya, yang nilai-nilainya tidak memberinya kesempatan untuk mengembangkan kemampuan kritis, analitis, dan estetisnya.
Kurangnya buku teks buatan Indonesia dalam sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan tidak ada sangkut-pautnya dengan nilai-nilai sopan-santun, akan tetapi karena kita memang kurang mempunyai kemampuan analitis. Karena itu kita berpaling pada buku teks asing, dan notabene memang orang Barat lebih analitis daripada kita. Dalam buku teks asing orang tidak bercerita. Penulis-penulisnya mempunyai kemampuan lebih jauh daripada "sekadar mendongeng atau bercerita". Rektor IKIP Bandung, Muhammad Numan Somantri, misalnya, pernah menyatakan bahwa paper-paper mahasiswa kita kebanyakan hanya "dongengan" atau "cerita" belaka. Dan perlu kita ketahui, bahwa kualitas paper semacam ini tidak ada sangkut-pautnya dengan nilai-nilai sopan-santun kita, tapi karena memang daya analisa kita kurang.
Kritik sastra mempunyai tuntutan yang berbeda. Kecuali kepekaan analitis, kritik sastra juga menuntut kepekaan estetis. Dan kekecewaan terhadap kehidupan kritik sastra kita pada hakikatnya bersumber pada kurangnya kepekaan kita dalam dua hal tersebut.
II
Pernyataan sebuah makalah dalam simposium tersebut di atas, mengenai disambut hangatnya metode Ganzheit beberapa tahun yang lalu, adalah benar. Kita semua tentunya masih ingat rame-rame ini. Rame-rame ini sebagai sebuah rame-rame memang baik, meskipun mungkin rame-rame ini hanyalah omong kosong, dan sekaligus mencerminkan sikap tidak bertanggung jawab.
Kita pernah, dan mungkin sekarang masih, dilanda oleh kritik puisi. Sekian banyak kritik hanyalah mengenai puisi. Pernyataan Gertrude Stein bahwa puisi adalah puisi, adalah benar. Puisi dapat dijungkirbalikkan, ditafsirkan, dan dibicarakan dengan segala macam cara yang nampaknya tidak akan keliru, karena apa pun yang dikatakan mengenai puisi bisa jadi benar. Dengan demikian puisi menjadi sasaran utama para kritikus. Ekses kritik puisi adalah pemberian peluang bagi kritikus untuk menyembunyikan kebodohannya.
Rame-rame mengenai metode Ganzheit ada miripnya dengan kesibukan para kritikus dalam menjungkirbalikkan puisi. Sebab utamanya juga mirip: meskipun mempunyai patokan-patokan, apa vang dinamakan sebagai metode Ganzheit maupun apa yang dinamakan Aliran Rawamangun pada dasarnya adalah los, longgar, dan siap untuk ditafsir-tafsirkan bagaikan puisi. Dan sumber ini ada, karena metode ini lebih bersifat teoretis, dan tidak berpijak pada karya sastra. Rame-rame mengenai yang di awang-awang memang lebih enak daripada rame-rame mengenai sesuatu yang kongkret, sebab apa pun yang dikatakan seseorang bisa menjadi benar. Karena itu, ketika seseorang berusaha untuk menunjukkan bahwa dalam salah satu kritiknya Arief Budiman benar-benar telah mempraktikkan teori Ganzheit, argumentasi orang itu menjadi kedodoran, karena memang antara metode tersebut dan praktik sangat jauh jaraknya. Dengan demikian, yang paling enak adalah berdebat di awang-awang tanpa mengusik-usik hubungannya dengan praktik. Dan kritik puisi mirip juga dengan kegiatan semacam ini.
Memang kritik yang jauh dari karya sastra, atau kritik atas kritik sastra, tidak hanya terdapat di tempat kita. Banyak kritik semacam ini yang sudah menjadi bagian dari kehidupan sastra suatu bangsa. Dan keuntungan dari adanya genre semacam ini memang ada: kita diajak untuk berpikir abstrak, yang dalam beberapa hal mirip dengan apa yang terjadi dalam filsafat. Debat-mendebat dalam filsafat pada hakikatnya juga bergerak di awang-awang. Lepas dari segi omong kosong dan tidak bertanggung jawab seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang ikut-ikutan rame-rame, debat mengenai metode Ganzheit mempunyai segi lain, yaitu mengajak orang untuk berpikir abstrak, yang tidak lain dan tidak bukan merupakan kegiatan intelektual.
Arti "intelektual" di sini tidak sama dengan "ilmiah". Intelektual lebih bersifat abstrak, sedangkan ilmiah cenderung untuk membuktikan kenyataan. Kerja abstrak lebih banyak mempermasalahkan tesis, sedangkan kerja ilmiah lebih banyak merupakan usaha untuk membuktikan bahwa suatu tesis itu benar. Usaha untuk membuktikan bahwa Sitti Nurbaya mempunyai unsur-unsur pop, misalnya, adalah suatu kegiatan ilmiah. Akan tetapi kegiatan yang mempermasalahkan hubungan antara imajinasi dan proses kreativitas, misalnya, yang sifatnya abstrak, dan tidak banyak dapat dihubungkan dengan proses penciptaan pengarang-pengarang tertentu, lebih banyak merupakan kegiatan intelektual.
Seperti juga lukisan abstrak, kegiatan intelektual memberi peluang sementara orang untuk menyembunyikan kebodohannya. Kita tentu mafhum bahwa sekian banyak lukisan abstrak dibikin oleh sekian banyak pelukis hanya semata-mata karena mereka tidak becus melukis gelas, tali sepatu, lubang kancing, sehelai daun, atau sebutir kerikil tajam. Untuk menyembunyikan kebodohan melukis objek nyata dalam lukisan potret, mereka mengada-ada dalam lukisan abstrak. Demikian juga dalam kegiatan intelektual. Ini terjadi karena memang mereka kurang mempunyai kapasitas intelektual, dan sebagai akibatnya mereka kurang mempunyai daya abstraksi. Sinyaleman Rektor IKIP Bandung, Muhammad Numan Somantri, bahwa paper-paper mahasiswa Indonesia adalah dongeng, juga menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai cukup daya abstraksi. Dan kita harus mengaku, bahwa kita memang kurang mempunyai daya abstraksi.
III
Memang kita serba kekurangan. Dan andai kata kita hanya menyandarkan diri pada membaca karya kita sendiri, maka daya estetis kita tidak akan banyak bertambah baik. Pada hakikatnya memang kelengkapan kita untuk menulis kritik sastra yang baik serba terbatas: kita kurang analitis, kurang kritis, dan juga kemampuan estetis kita terbatas. Dan meskipun ketidakpuasan terhadap kritik sastra kita ada yang hanya bersifat mencaci-maki, pada hakikatnya memang kritik sastra kita jelek. Dan, sekali lagi, kejelekan ini tidak bersangkut-paut dengan nilai-nilai sopan-santun kita.
Kita juga sering melihat, bahwa banyak kritik sastra yang dinamakan ilmiah ternyata hanya merupakan hasil gagah-gagahan. Memang dalam kritik sastra ilmiah semuanya harus eksplisit: tesisnya jelas, data-datanya dapat dipertanggungjawabkan, dan konklusinya juga jelas. Sebagai eksesnya, banyak kritik sastra hanya berpura-pura ilmiah, dalam arti bahwa semua datanya tampak dapat dipertanggungjawabkan. Kritik semacam ini rame dengan kutipan dari sana-sini, lengkap dengan sumber-sumbernya. Memang nampak gagah. Hanya sayang, banyak kutipan yang sebetulnya tidak relevan, dan lebih banyak berfungsi sebagai pajangan supaya nampak dapat dipertanggungjawabkan. Usaha semacam inilah yang justru menyrimpet kritikus: dalam keinginannya untuk memajangkan pengetahuannya yang dilakukan dengan menempelkan sekian banyak kutipan, tesisnya menjadi kabur dan konklusinya menertawakan. Atau dengan kata lain, dan memang di sinilah letak soalnya, untuk menutupi kebodohannya, yaitu supaya tidak tampak jelas bahwa dia tidak mempunyai tesis, dan dengan demikian tidak mempunyai konklusi yang matang, kritikus mengobral sekian banyak kutipan.
Sungguh perbuatan yang tidak cerdik. Atau dengan kata lain. kemampuan ilmiah kita memang kurang. Meninjau tema dengan jalan menceritakan kembali isi cerita, meninjau moral cerita juga dengan jalan menceritakan kembali isi cerita, dan meninjau struktur karya sastra juga dengan cara yang sama, adalah pengejawantahan ketidakmampuan kita melihat persoalan. Dengan demikian kita tidak dapat membuat tesis, dan dengan demikian kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa.
Semua kekurangan kita sebetulnya berjalinan satu sama lain. Daya kritik, daya analisa, kepekaan estetis, kemampuan intelektual, kemampuan berpikir abstrak yang semuanya serba kurang, dan kebodohan melihat persoalan, dan lain-lain kebodohan, pada hakikatnya satu, senyawa, dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Kritik sastra yang dangkal, subjektif, impresionistis, mengada-ada, dan seterusnya, adalah manifestasi dari segala macam kekurangan tersebut.
IV
Salah satu gagasan Wiratmo Soekito dalam tulisannya "Tradisi Buruk dalam Dunia Sayembara Sastra'" (Horison, Mei 1978) adalah menyayangkan adanya penyair yang menjadi juri sayembara penulisan puisi. Kalau kita mempunyai kebebasan sedikit untuk menafsirkan gagasan ini, dengan kata lain Wiratmo Soekito ingin memisahkan fungsi kritikus dari fungsi penulis kreatif. Kedua-duanya harus berjalan sendiri-sendiri dan tidak melanggar batas wewenang masing-masing. Dalam Simposium Sastra 80, ada juga peserta yang mempunyai pendapat mirip. Wahyu Wibowo dari FSUI, demikian nama peserta tersebut, tidak ingin melihat "seorang wasit sepak bola yang juga ikut main bola". Mungkin pendapat semacam ini mencerminkan keinginan sebagian orang-orang sastra kita.
Pendapat Wiratmo Soekito sebetulnya tidak relevan dengan kehidupan kritik sastra sendiri. Baik ketidakpuasan terhadap kritik sastra, maupun ketidakpuasan terhadap karya sastra sendiri, tidak perlu dialamatkan apakah kritikus ikut terlibat dalam penulisan karya sastra atau sebaliknya. Siapa pun bebas menjadi kritikus, dan siapa pun bebas menjadi pengarang, atau pengarang sekaligus kritikus. Kita tidak perlu berprasangka bahwa fungsi yang satu akan membunuh fungsi yang lain. Wiratmo Soekito sendiri mengatakan, bahwa ada orang-orang yang merangkap kedua jabatan itu dengan baik, seperti misalnya Bertolt Brecht.
Meskipun dasarnya lain, baik kritikus maupun pengarang mempunyai fungsi sama, yaitu mempunyai pendapat orisinal. Dan seseorang dapat mempunyai pendapat orisinal kalau orang itu kreatif. Kalau tidak, maka orang itu tidak akan mengeluarkan pendapat apa-apa. Dan di sinilah fungsi kritikus dan fungsi pengarang bertemu: mereka mempergunakan bahan yang berbeda, dan mengadakan pendekatan pada bahan masing-masing dengan cara yang berbeda, akan tetapi kedua-duanya sama-sama mempunyai pendapat yang orisinal. Dan, sekali lagi, untuk mempunyai pendapat yang orisinal, seseorang harus kreatif.
Persoalan mengenai kritik sastra tidak hanya berhenti di sini. Begini: kritikus adalah seseorang yang mempunyai pendapat dan mengeluarkan pendapatnya. Cara mengeluarkan pendapat inilah yang mengelompokkan macam apa kritik sastranya ilmiah, mungkin populer. Tentu saja mutu pendapatnya itu sendiri juga ikut mempengaruhi cara apa yang sesuai untuk dipakai. Meskipun demikian, yang lebih menentukan sebetulnya adalah kreativitas kritikus sendiri. Dan kreativitas tentu saja banyak sangkut-pautnya dengan orisinalitas. Makin orisinal pendapat seseorang, makin sanggup orang ini mengemukakan pendapat dengan cara apa pun. Kalau perlu kreativitas dan orisinalitasnya akan menundukkan cara-cara konvensional. Kritikus semacam inilah yang kemudian menimbulkan genre baru dalam kritik sastra, yaitu kritik sastra kreatif. Ini belum banyak kita pikirkan.
Beberapa orang pernah berpendapat, seperti yang sudah disebut di atas, bahwa pengarang Čebaiknya tidak menjadi kritikus, dan sebaliknya. Dengan catatan bahwa segala sesuatu tergantung pada pribadi masing-masing, sebetulnya pendapat di atas tidak ideal. Meskipun bahan yang digarap oleh kritikus dan penulis kreatif berbeda, sebetulnya baik kritikus maupun pengarang dituntut untuk mempunyai persepsi dan kreativitas yang sama. Mereka dituntut untuk mempunyai pendapat yang orisinal, dan cara mengemukakan pendapat yang juga orisinal. Meskipun lapangannya berbeda, dalam berpendapat dan menentukan cara apa yang dipergunakan untuk mengeluarkan pendapat, mereka dituntut untuk kreatif. Sekali lagi, memang segala sesuatu tergantung pada pribadi masing-masing. Meskipun demikian, sebetulnya secara ideal kita akan dapat menemukan kemampuan untuk menulis genre ini, yaitu genre kritik sastra kreatif, justru pada pengarang yang sekaligus menjadi kritikus. Lepas dari soal mutu, dalam praktik memang sudah banyak pengarang (penyair) kita yang mempunyai jabatan rangkap. Andai mungkin 32 kata orang mengeluh, sebetulnya yang perlu dikeluhkan adalah mutunya dan bukannya jabatan rangkap mereka. Mungkin orang-orang berprasangka, bahwa mutu kritik sastra mereka kurang memuaskan semata-mata karena mereka adalah pengarang. Letak persoalan sebetulnya tidak di sini. Sekali lagi, lepas dari soal orangnya masing-masing, justru seorang pengarang sebetulnya dapat menjadi kritikus yang baik.
Apakah mutu sastra Indonesia baik atau tidak, dapat dijadikan bahan pembicaraan tersendiri. Meskipun demikian, tampak jelas bahwa sebetulnya karya sastra Indonesia dapat menjadi lebih baik, andai kata para pengarangnya mau lebih berhati-hati. Dengan hanya membaca-baca karya sastra Indonesia sepintas lalu kita dapat mengetahui, bahwa karya-karya tersebut adalah hasil kerja sesaat atau instant. Tidak jarang sekian banyak pengarang siap menerbitkan karyanya begitu selesai menulis tanpa keinginan untuk meninjau kembali tulisannya. Tidak jarang kita melihat kalimat tidak keruan dan alinea yang kacau dalam karya sastra kita. Ini segi teknis.
Yang lebih penting dari segi teknis sebetulnya adalah segi lain, yaitu keinginan untuk belajar. Sinyalemen Subagio Sastrowardoyo dalam bukunya Bakat Alam dan Intelektualisme sampai sekarang masih banyak berlaku. Pengarang hanya mengandalkan bakat alamnya tanpa keinginan untuk belajar.
Sekali lagi, lepas dari apakah karya sastra Indonesia baik mutunya atau tidak, mutu sastra Indonesia sebetulnya masih dapat diperbaiki. Dan di sinilah letak persoalannya: kekurang-hati-hatian para pengarang kita yang menjadi kritikus tercermin juga dalam kritik sastra mereka. Tapi masalah ini tidak boleh dijadikan alasan untuk menyarankan supaya pengarang tidak merangkap menjadi kritikus. Mereka sudah mempunyai modal pokok.
V
Karya sastra pada umumnya tidak berpura-pura untuk membuktikan sesuatu. Tema, perwatakan, alur cerita, gaya bahasa, dan lain-lain bercampur menjadi suatu kebulatan. Karya sastra yang baik juga tidak menggurui, dan tidak mengemukakan perumusan-perumusan. Dari mana alur cerita dimulai, terserah keperluan pengarangnya, tanpa menyimak terlebih dahulu kaidah-kaidah menulis. Kritik sastra kreatif juga demikian.
Berbeda dengan kritik sastra ilmiah, dalam kritik sastra kreatif bagan organisasi pemikiran tidak perlu ditonjolkan. Dalam kritik sastra kreatif, kritikus tidak perlu terlebih dahulu menyatakan apa tesisnya, tidak perlu mengambil data pendapat-pendapat orang lain untuk menunjang argumentasinya, dan tidak perlu secara eksplisit menyatakan apa kesimpulannya. Seperti juga halnya dalam karya sastra, kritikus tidak perlu menjabarkan segalanya menjadi eksplisit.
Inilah contoh bagian sebuah kritik sastra ilmiah:
Mengenai "alur" Boulton berkata bahwa alur adalah suatu pilihan kejadian yang disusun menurut "waktu" dan satu sama lain peristiwa itu mempunyai hubungan sebab akibat (1975: 45). Dari pendapat di atas "waktu" benar-benar merupakan dasar utama penghubung peristiwaperistiwa. Hukum sebab akibat pun sangat jelas di sini karena "sebab" dan "akibat" itu berlangsung dalam "waktu" (1975: 65). Pendapat ini sejajar dengan pendapat A.L. Becker yang menyatakan bahwa "waktu" merupakan salah satu unsur alur yang dapat mendukung kesatuan cerita. Jadi aspek alur merupakan salah satu unsur alur yang memberikan kesatuan keseluruhan (1978: 54). Mengenai "tokoh" peƱeliti berpegang pada pendapat A.L. Becker yang menganggap tokoh itu sebagai "participant" yang dapat diketahui identitasnya selain dari hubungan tokoh itu dengan peristiwa juga dapat dikenal dari hubungan keterangan mengenai tokoh itu dengan keterangan-keterangan lainnya mengenai tokoh yang sama (1978: 67). Mengenai hubungan tokoh dengan peristiwa, sejajar dengan pendapat Jonathan Raban yang memberi petunjuk bahwa untuk mengenal tokoh itu dapat dilihat dari hubungannya dengan laku, cakapan, tempat, dll. (1978: 94). Dalam meneliti fungsi "alur" dalam keseluruhan karya, peneliti bertitik tolak dari arti "alur'" seperti yang disebutkan dalam pendahuluan yaitu bahwa alur mengandung peristiwa-peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat.
(Ny. Anita K. Rustapa, "Fungsi Alur dan Tokoh dalam Cerkan Pergolakan", Seminar Penelitian Sastra Tahap III, Oktober 1979, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen P & K, Jakarta, 1979, hal. 5)
Sebelum terjun ke cerkan Pergolakan, Anita berusaha terlebih dahulu untuk mempertanggungjawabkan data-data yang akan dipergunakannya untuk berargumentasi. Argumentasi harus berdasarkan data yang jelas dan sudah diterima oleh umum sebelumnya. Sebaliknya, dalam kritik sastra kreatif kritikus dapat langsung menyatakan pendapatnya yang murni tanpa diikat oleh tata cara untuk membuktikannya terlebih dahulu. Kita ambil contoh:
Yudhis adalah penyair yang lugu. Keluguannya kadang-kadang sampai kepada titik nekat. Sebagai penulis sajak Yudhis nampaknya tidak memperdulikan apakah yang ditulisnya itu benar-benar sajak atau Kitsch, suatu pekerjaan untung-untungan atau petualangan yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh penyair-penyair yang berbobot. Ambillah contoh sajaknya yang berjudul "Tak Sudi":
Kalau di tiap tak sudi
orang boleh minggir
itu namanya: kiri!
Sajak di atas juga dengan sajak yang berjudul "Tak Mau" dari kumpulan sajak-sajaknya "Sajak Sikat Gigi" berhasil memberikan kesan Kitsch atau snobisme. (...) Sebenarnya ini tidak berarti akan menghasilkan de sajak-sajak yang dangkal, kalaulah saja sang penyair mempunyai kedalaman intuisi dan persepsi. (...) Dibandingkan dengan para penyair yang saya sebutkan namanya itu humor dalam sajak-sajak Yudhis tidak mempunyai daya tukik yang dalam dan hanyalah datar bagaikan stes kedataran sebuah lapangan terbang.(...) Dan pada sajak Yudhis di atas apa yang saya dapatkan hanyalah kesan perenungan banal, bagaikan int mendengar celoteh dari nenek cerewet.
(Sutardji Calzoum Bachri, "Tentang Sajak Sikat Gigi Yudhistira Ardi Nugraha", Sinar Harapan, 1 Maret 1978.)
Bahwa Yudhis adalah penyair yang lugu, adalah pendapat murni Sutardji. Dia tidak perlu terlebih dahulu mempertanggungjawabkan pendapatnya berdasarkan pendapat-pendapat yang sudah ada mengenai apa arti lugu dan Kitsch. Dan pada waktu dia mengambil contoh sajak Yudhis untuk dijadikan bukti penilaiannya, dia dapat langsung mengutipnya, dan tidak merasa perlu untuk membuktikannya secara terperinci. Dia lebih banyak berbicara mengenai puisi Yudhis sebagai sebuah kebulatan, dan bukannya sebagai sesuatu yang setiap seginya harus diuraikan dan dipertanggungjawabkan.
Dua macam penulis kritik sastra di atas tidak lepas dari bahaya: yang ilmiah (di sini bukan Anita, akan tetapi penulis kritik sastra semacam dia) bisa jadi tidak tahu di mana meletakkan pendapatnya sendiri, atau malahan mungkin tidak mempunyai pendapat apa-apa. Pendapat penulis kritik sastra kreatif, sebaliknya, dapat menjadi kabur karena kriteria pendapatnya kadang-kadang tidak jelas. Karena itu Wahyu Wibowo, salah seorang peserta Simposium Sastra 80, menggerutu:
Dan saya tidak dapat menalar, apakah humornya Yudhis kurang menukik kedalamannya hanya karena seperti datarnya lapangan terbang? Di lain sudut, bagaimana dan apa keterangan mengenai "kedalaman intuisi dan persepsi' yang dimaksudkan kritikus di atas. Atau apakah maksud 'sajak dangkal'? Tidak ada yang jelas bagi kita, kecuali kesadaran kita akan bukti bahwa fungsi kritik sastra di media massa tersebut hanya sebagai penampung kedangkalan dan kedongkolan. Fungsi kritik sastra itu sendiri, kabur bagi kita.
Wahyu Wibowo menganggap kritik di atas, yang dimuat dalam media massa, sebagai kritik sastra pop-mungkin karena (rupanya ini yang penting) kritik tersebut dimuat dalam media massa yang hadirinnya adalah orang kebanyakan, dan mungkin juga karena penyajian Sutardji populer. Lepas dari soal itu, sebetulnya ada alasan mengapa kita dapat menganggap kritik sastra Sutardji tersebut kreatif. Seperti yang sudah disebutkan di atas, kritik semacam ini "memenuhi syarat" untuk dianggap sebagai kritik sastra kreatif, tentu saja dengan catatan. Catatan ini demikian: memang di Indonesia belum banyak kritik sastra kreatif yang bermutu tinggi. Di waktu-waktu yang akan datang, mungkin penulisan kritik seperti ini dapat lebih matang.
Dalam sastra Amerika, Lionell Trilling dan Mark Schorer adalah jago-jago kritik sastra kreatif. Hadirinnya bebas, siapa saja boleh. Meskipun demikian, kenyataannya orang awam tidak mengikuti tulisan mereka. Dari segi ini dapat dianggap bahwa tulisan mereka tidak populer. Dan memang penjabaran mereka tidak populer. Sebaliknya, mereka juga tidak berusaha mengungkapkan pikiran mereka dengan apa yang lazimnya dianggap sebagai cara-cara ilmiah. Meskipun dalam taraf lain, mereka menulis macam Sutardji, dan bukan macam Anita. Karena Trilling dan Schorer kreatif, pendapat mereka orisinal, dan tidak terikat oleh kaidah dan pendapat orang lain. Kritik mereka menjadi unik, dan diterima baik oleh orang sastra maupun oleh para akademisi. Kritik Trilling mengenai novel Jane Austen Emma dan Mansfield Park, dan kritik Schorer mengenai novel Jane Austen Pride and Prejudice dianggap sebagai kritik sastra yang klasik.
Sekali lagi, semua tergantung pada orangnya. Meskipun demikian, secara mantis seorang pengarang dapat menjadi kritikus kritik sastra kreatif yang baik. Trilling sendiri sebetulnya juga seorang pengarang cerpen. Karena lebih banyak menulis kritik sastra, dan kritik sastranya lebih baik daripada cerpennya, dia lebih dikenal sebagai kritikus, Kritik sastra T.S. Eliot mengenai drama jaman Elizabeth I juga dapat dianggap sebagai kritik sastra kreatif. Dan kritik ini juga dimasukkan ke dalam kelas kritik sastra yang klasik.
Kecuali Sutardji yang sudah disebut di atas, kita juga mengenal beberapa penyair dan pengarang Indonesia yang sekaligus menulis kritik sastra kreatif. Dalam majalah Horison, misalnya, Goenawan Mohamad pernah menulis kritik mengenai puisi Sapardi Djoko Damono, dan Sapardi Djoko Damono pernah menulis kritik mengenai puisi Abdul Hadi W.M.
Sekali lagi, semua tergantung pada orangnya. Dan ini berarti tidak semua pengarang dapat atau mau menjadi kritikus kritik sastra kreatif, dan tidak semua kritikus kritik sastra kreatif harus pengarang. Kalau kita mengingat bahwa kritik sastra lahir sebagai akibat adanya karya sastra, dan bukan sebaliknya, maka kita dapat meramalkan, makin baik karya sastra kita, makin banyak kemungkinan kritik sastra kreatif kita berkembang.
VI
Dalam Simposium Sastra 80, Satyagraha Hoerip mengatakan bahwa kritik sastra adalah blasteran antara ilmu dan seni. Tentu saja pengertian "ilmu" tidak sama dengan mengutip-ngutip pendapat orang lain dengan dalih ingin mempertanggungjawabkan tesis tanpa mempunyai tesis sendiri. Ilmu menuntut penemuan dan orisinalitas. Seni juga menuntut orisinalitas. Dan orisinalitas lebih luas ruang lingkupnya dalam kritik sastra kreatif daripada dalam kritik sastra ilmiah. Karena itulah, kritik sastra ilmiah tergantung eksistensinya pada kritik sastra kreatif. Periksalah kritik sastra ilmiah yang baik, Di situ akan kita ketahui, bahwa data-data argumentasi kritik semacam ini banyak yang diambil dari kritik sastra kreatif. Dan eksistensi kritik sastra kreatif sendiri sudah barang tentu tidak bisa lepas dari karya sastranya sendiri.
1980
-Sumber: Solilokui, Kumpulan Esei Sastra, Budi Darma, Jakarta, Gramedia, 1983