KIDUNG NUNUNG YANG MENGALAMI
DAN MEMAHAMI
(Penyair, Kurator,
tinggal di Denpasar, Bali)
Bukan suatu kebetulan bahwa buku puisi Nunung Noor El Niel kali ini merangkum 60 puisi terpilih terkininya. Penyair yang telah melahirkan sejumlah buku kumpulan puisi ini dilahirkan tanggal 26 September 1961; tahun ini tepat berusia 60. Dengan demikian, kehadiran puisi-puisi dalam buku bertajuk “Sumur Umur” adalah sebuah perayaan penanda usia sekaligus permenungannya sebagai seorang pencipta; penghayat kata.
Bila pada buku-buku terdahulu, semisal Solitude (2012), Perempuan Gerhana (2013), Kisas (2014), Perempuan dan Tujuh Musim (2016), serta Betinanya Perempuan (2019), Nunung mengemuka sebagai penyair perempuan yang menjadikan wilayah domestik hidupnya sebagai sumber penggalian metafor sekaligus penegasan sikap terhadap budaya patriarti yang dirasa membatasi dan tidak adil. Puisi-puisi periode-periode tersebut mengemuka dengan paduan kata yang pilihan diksinya menunjukkan siratan amarah ataupun ungkapan kepedihan yang mendalam sebagai perempuan atau sosok-sosok terpilih metaforik lainnya, berangkat dari gambaran kaum hawa atau sosok diri yang teraniaya.
Puisi-puisi permenungannya kali ini masih terbaca sebagai karya seorang penyair perempuan yang mengalami kepiluan sebagai akibat dari bias gender atau prasangka patriarki yang pada hakikatnya masih membayang-bayangi masyarakat nusantara ini; di mana perempuan di satu sisi diagungkan sebagai Dewi atau Ibu, tapi di sisi lain mudah didustakan atau dinistakan sebagai hal yang sebaliknya; sumber masalah atau mula dosa.
Pada karya-karya sebelumnya, kita akan mudah menemukan diksi-diksi bernada “keras”, menyiratkan luapan emosi, sekaligus menyuratkan penegasan sikapnya yang memberi kesan kuat bahwa sosok dirinya mengalami berbagai perlakukan tidak adil, juga sebuah renung diri bahwa hal serupa dialami oleh kaumnya. Simak petikan puisi berjudul Betinanya Perempuan berikut ini: hanya untuk sebuah pernyataan/ di antara napas gender yang binal/: di antara betinanya perempuan.
Atau puisi berjudul Bingkai yang juga dimuat dalam buku kumpulan puisi Betinanya Perempuan (2019), berikut ini: ada saatnya memang aku menyalin rupa/ tanpa mungkin pernah bertanya/ di mana aku harus menyisipkan setiap kata/ agar kau dapat tetap percaya setiap erangan/ bukan dusta dalam skenario film biru/ jika harus memekik tanpa orgasme
Menarik disimak, bahwa pada kumpulan puisinya kali ini Nunung bukan hanya mengelak dari ungkapan yang ekspresif dengan diksi kerasnya, serta berpanjang-panjang baris guna mengucapkan satu momen erangan diri. Puisi-puisinya terbilang ringkas, pendek dan padat; terdiri dari beberapa baris laiknya sebuah haiku yang menampilkan kata-kata bersahaja untuk sebuah dunia yang sederhana namun menyentuh kedalaman makna.
Sebagian besar puisi-puisi Nunung menyuarakan soal Sang Waktu dalam berbagai metafor atau ungkapan serta momen-momen terpilih tertentu, seakan sang penyair tengah menandai ruang kehadirannya yang terbatasi oleh hari atau waktu. Puisi-puisi alitnya dibayangi kesadaran penyair akan ambang petang hidupnya yang segera dimasuki, sekaligus kilatan-kilatan permenungan tentang masa-masa muda yang mendamba segala atas nama kecemerlangan usia.
Puisi-puisi terbaiknya kali ini mencerminkan kematangan, bukan semata atas diksinya yang kian jernih dan bebas dari emosi yang berlebih, melainkan juga kontemplatif karena sang penyair menundukkan diri; menyadari yang memang harus disadari; memahami dari yang harus dipahami yakni pengalaman hidup, selaku cermin batin.
Simaklah contoh puisi berikut ini :
TEROMPET
suara terompet
di ujung tahun
meniupkan hari-hari yang lalu
mengumandangkan harapan
waktu yang menjelang
DI LEKUK USIA
doa yang kuaminkan di hari minggu
telah menjelma sayap-sayap merpati
di mana ruh diembuskan
dari keimanan yang teguh
WAKTU (1)
......
mungkin pada sebilah waktu
cahaya itu akan mengurapi
setiap kekhilafan
bukan hanya menjadi bayangan
tapi keinsyafan
MENGURUT WAKTU
mengurut usia dalam kamar
persendian hidup gemeretak
tinggal selongsong tubuh
menggeliat dalam penantian
telah kujamah dengan kesabaran
meskipun tak kutahu
sampai kapan
Baris-baris puisi Nunung bersahaja, kata-katanya jernih, momen peristiwanya tembus pandang. Seketika pembaca dapat menyelami dunia dalam sang penyair sekaligus juga menemukan pengalaman pribadinya yang bertaut dalam sebuah dunia rekaan yang berlapis kejadian. Kita tidak akan lagi menemukan kiasan-kiasan klise atau hiperbola atau semangat penyair untuk menemukan paduan kata yang mengejutkan; melainkan satu aksentuasi kesabaran, kehati-hatian, berikut kebeningan pengucapan. Karya-karya tersebut tentulah buah proses penulisan yang panjang, bukan semata satu kecakapan bersifat teknis belaka melainkan kesanggupan untuk melakukan sublimasi atas pengalaman kehidupan kesehariannya.
Maka tidak mengherankan bila isi dan bentuk, pesan dan pengucapan, bunyi dan arti saling bertaut padu, berupaya membangun satu kesan keseluruhan yang utuh. Meski tentu saja di sana-sana masih memerlukan pergulatan lain, dengan tema-tema menantang lainnya, perihal bagaimana menjadi tua yang bijaksana, atau bagaimana sebagai pendosa yang mengakui luput salahnya; puisi lalu adalah sebuah cermin reflektif yang memungkinkan siapa saja yang datang kepadanya menemukan keharuan yang dalam; sejurus pertanyaan dari mana dan akan ke mana hidup ini.
Hal-hal semacam itu rupanya dipicu oleh peristiwa nyata ketika berpulangnya penyair Yoevita Soekotjo, sahabat kreatif sekaligus teman dalam berbagai peristiwa kehidupan. Ada dua puisi ditulis Nunung tertaut berpulangnya sahabatnya ini. Satu sama lain puisi itu hakikatnya adalah sebuah obituari, di mana puisi menjadi temali batin untuk menyadarkan sang diri bahwa pada akhirnya sebuah capaian eksistensi akan berakhir atau berujung pada ketiadaan; sebentuk solilokui.
YOE
: Alm. Yoevita Soekotjo
tak dapat kita mengulang
dan mendorong waktu
seperti puisi yang kutulis
rindu adalah setetes madu
di antara kepingan cinta
dalam ranting-ranting kehidupan
UNTUKMU CIN…
: Alm. Yoevita Soekotjo
.....
mengulum ingatan, tak terbayar
dari bulan-bulan tertunda
tak dapat kupinjam sepejaman mata
kecuali menunggu mujizat
di celah-celah waktu
kubisikkan namamu
jika aku selalu merindukanmu
meskipun kau jauh dari
: pelupuk mataku
Upaya sublimasi bukan hanya terletak pada bagaimana menghasilkan metafor yang jernih dan jelas serta momen peristiwa yang dapat diungkap dalam baris kata yang padat kuat tapi juga sebuah imajinasi yang sugestif. Karya-karya Nunung memperkaya pembaca justru karena puisi itu tampil bersahaja. Bacalah misalnya:
MIMPI
malam tadi aku bermimpi
menyusuri jalan setapak
di bawah rembulan dan bintang
samar kulihat bayanganmu
melintasi kornea mataku
melambai, mencibir
penuh kedengkian
....
DARAH TINGGI
kolestrol yang menyumbat nadi
hingga membuatmu darah tinggi
dan jantungmu berdebar berhenti
karena kau tak pernah perduli
dengan kesehatanmu sendiri
dan kematian adalah takdir
misteri yang tak dapat kau tafsir
sekali pun dengan pikir
sekali pun dengan sihir
biarkan semua mengalir
dengan penuh zikir
hingga batas akhir
.....
Masih terbuka peluang ke depan bagi Nunung untuk memperkuat stilistik dan ragam estetik puisi-puisi alitnya ini, di mana kata-kata bercahaya untuk dunia yang sekilas sederhana namun berlapis makna.
Puisi-puisi Haiku, karena sifat dan bentuknya yang sedemikian rupa, memerlukan komunikasi intim; pembaca diharapkan tergugah imajinasinya oleh kesanggupan sang penyair dalam menciptakan paduan kata segar atau metafor original.
Haiku yang berakar dari puisi tradisional Jepang, menuntut penyairnya untuk mengeksplorasi sekaligus menyelaraskan bunyi dan arti Kata sebagai suatu kesatuan pengucapan yang utuh menyeluruh. Kata-kata terpilih dihadirkan bukan semata untuk meyuratkan gambaran nyata dan konkrit, melainkan juga menyiratkan suatu latar tertentu (alam berikut penanda musimnya). Dengan demikian, Haiku datang kepada pembacanya bukan sebagai gagasan yang bersifat abstraksi, akan tetapi berupa sensasi indrawi yang seketika menyentuh imajinasi kita.
Simaklah petikan puisi-puisi Nunung berikut ini:
SELIMUT SIANG
mencoba melipat selimut siang di ranjang
di antara biasan cahaya yang memantul
masih adakah sisa mimpi di antara bantal dan guling
itu?
: aku ingin mendekapnya erat
BUS KOTA
ada yang menjauh
tapi bukan jarak
ada yang mendekat
tapi bukan waktu
....
Timbang Renung
Melalui ulasannya
yang mendalam tentang buku kumpulan puisi Betinanya Perempuan (2019), Conie
Sema mengungkapkan bahwa melalui puisi-puisi periode ini Nunung tengah
mengumandangkan penyikapannya perihal feminisme atau sikap perjuangannya pada
kesetaraan gender.
Seraya mengulas keunikan pengungkapan puisi-puisi Nunung, Conie menerakan pandangan dari Helene Cixous, seorang penulis feminisme Prancis, perihal bagaimana ‘tubuh’ sebagai teks yang perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal guna dibangkitkan menjadi wacana eksternal manusia; sehingga dapat merangkum proses perdebatan yang telah berlangsung panjang tertaut topik bahasan feminim dan maskulin menyikapi hasrat (desire) kehidupan, seks, dan kematian.
Nada pemberontakan Nunung memang sudah tak lagi tersuratkan secara meluap-luap dalam buku ini. Yang terungkap adalah buah proses pengendapan, sehingga yang mengemuka perihal penemuan sosok Ibu, baik harfiah maupun simbolis, yang hakikatnya menyertai keberadaan seorang perempuan. Puisi kepada Ibu menunjukkan sisi diri Nunung yang merindu. Bukan semata atas kasih sayang yang bersifat permukaan semata, namun juga satu kedalaman kasih yang bersifat esensial, kasih diri kepada semesta dan kepada yang ilahi.
IBU
ibu,
itukah tuhan yang datang
aku melihatnya serupa air
yang menyiram tubuhku
.....
ibu,
apakah tuhan murka
menghamparkan kepingan cemas
hingga gigilku tak lekas beranjak
tak kuingat lagi saat deru angin
menyeretku pada tiang kokoh
di ujung jalan sana
Bolehlah ke depan kita berharap, dari kesetiaan, kesungguhan, keteguhannya sebagai penyair, yang sudah teruji waktu, akan menderas karya-karyanya yang tetap sugestif dan imajinatif; berlapis arti namun kian rendah hati berbagi perenungan. Ibu yang Mengalami dan Memahami. ***
-Sumber: Epilog Sumur Umur, Nunung Noor El Niel, Jakarta: JSM Pres, 2021