Kidung Nunung yang Mengalami dan Memahami - Warih Wisatsana

@kontributor 10/13/2021

KIDUNG NUNUNG YANG MENGALAMI

DAN MEMAHAMI

 Warih Wisatsana

(Penyair, Kurator, tinggal di Denpasar, Bali)

 


 

 

Bukan suatu kebetulan bahwa buku puisi Nunung Noor El Niel kali ini merangkum 60 puisi terpilih terkininya. Penyair yang telah melahirkan sejumlah buku kumpulan puisi ini dilahirkan tanggal 26 September 1961; tahun ini tepat berusia 60. Dengan demikian, kehadiran puisi-puisi dalam buku bertajuk “Sumur Umur” adalah sebuah perayaan penanda usia sekaligus permenungannya sebagai seorang pencipta; penghayat kata.

Bila pada buku-buku terdahulu, semisal Solitude (2012), Perempuan Gerhana (2013), Kisas (2014), Perempuan dan Tujuh Musim (2016), serta Betinanya Perempuan (2019), Nunung mengemuka sebagai penyair perempuan yang menjadikan wilayah domestik hidupnya sebagai sumber penggalian metafor sekaligus penegasan sikap terhadap budaya patriarti yang dirasa membatasi dan tidak adil. Puisi-puisi periode-periode tersebut mengemuka dengan paduan kata yang pilihan diksinya menunjukkan siratan amarah ataupun ungkapan kepedihan yang mendalam sebagai perempuan atau sosok-sosok terpilih metaforik lainnya, berangkat dari gambaran kaum hawa atau sosok diri yang teraniaya.

Puisi-puisi permenungannya kali ini masih terbaca sebagai karya seorang penyair perempuan yang mengalami kepiluan sebagai akibat dari bias gender atau prasangka patriarki yang pada hakikatnya masih membayang-bayangi masyarakat nusantara ini; di mana perempuan di satu sisi diagungkan sebagai Dewi atau Ibu, tapi di sisi lain mudah didustakan atau dinistakan sebagai hal yang sebaliknya; sumber masalah atau mula dosa.

Pada karya-karya sebelumnya, kita akan mudah menemukan diksi-diksi bernada “keras”, menyiratkan luapan emosi, sekaligus menyuratkan penegasan sikapnya yang memberi kesan kuat bahwa sosok dirinya mengalami berbagai perlakukan tidak adil, juga sebuah renung diri bahwa hal serupa dialami oleh kaumnya. Simak petikan puisi berjudul Betinanya Perempuan berikut ini: hanya untuk sebuah pernyataan/ di antara napas gender yang binal/: di antara betinanya perempuan.

Atau puisi berjudul Bingkai yang juga dimuat dalam buku kumpulan puisi Betinanya Perempuan (2019), berikut ini: ada saatnya memang aku menyalin rupa/ tanpa mungkin pernah bertanya/ di mana aku harus menyisipkan setiap kata/ agar kau dapat tetap percaya setiap erangan/ bukan dusta dalam skenario film biru/ jika harus memekik tanpa orgasme

Menarik disimak, bahwa pada kumpulan puisinya kali ini Nunung bukan hanya mengelak dari ungkapan yang ekspresif dengan diksi kerasnya, serta berpanjang-panjang baris guna mengucapkan satu momen erangan diri. Puisi-puisinya terbilang ringkas, pendek dan padat; terdiri dari beberapa baris laiknya sebuah haiku yang menampilkan kata-kata bersahaja untuk sebuah dunia yang sederhana namun menyentuh kedalaman makna.

Sebagian besar puisi-puisi Nunung menyuarakan soal Sang Waktu dalam berbagai metafor atau ungkapan serta momen-momen terpilih tertentu, seakan sang penyair tengah menandai ruang kehadirannya yang terbatasi oleh hari atau waktu. Puisi-puisi alitnya dibayangi kesadaran penyair akan ambang petang hidupnya yang segera dimasuki, sekaligus kilatan-kilatan permenungan tentang masa-masa muda yang mendamba segala atas nama kecemerlangan usia.

Puisi-puisi terbaiknya kali ini mencerminkan kematangan, bukan semata atas diksinya yang kian jernih dan bebas dari emosi yang berlebih, melainkan juga kontemplatif karena sang penyair menundukkan diri; menyadari yang memang harus disadari; memahami dari yang harus dipahami yakni pengalaman hidup, selaku cermin batin.

Simaklah contoh puisi berikut ini :

 

TEROMPET

 

suara terompet

di ujung tahun

meniupkan hari-hari yang lalu

 

mengumandangkan harapan

waktu yang menjelang

 

DI LEKUK USIA

 

doa yang kuaminkan di hari minggu

telah menjelma sayap-sayap merpati

di mana ruh diembuskan

dari keimanan yang teguh

 

WAKTU (1)

            ......

 

mungkin pada sebilah waktu

cahaya itu akan mengurapi

setiap kekhilafan

bukan hanya menjadi bayangan

tapi keinsyafan

 

 

MENGURUT WAKTU

 

mengurut usia dalam kamar

persendian hidup gemeretak

tinggal selongsong tubuh

menggeliat dalam penantian

 

telah kujamah dengan kesabaran

meskipun tak kutahu

sampai kapan

Baris-baris puisi Nunung bersahaja, kata-katanya jernih, momen peristiwanya tembus pandang. Seketika pembaca dapat menyelami dunia dalam sang penyair sekaligus juga menemukan pengalaman pribadinya yang bertaut dalam sebuah dunia rekaan yang berlapis kejadian. Kita tidak akan lagi menemukan kiasan-kiasan klise atau hiperbola atau semangat penyair untuk menemukan paduan kata yang mengejutkan; melainkan satu aksentuasi kesabaran, kehati-hatian, berikut kebeningan pengucapan. Karya-karya tersebut tentulah buah proses penulisan yang panjang, bukan semata satu kecakapan bersifat teknis belaka melainkan kesanggupan untuk melakukan sublimasi atas pengalaman kehidupan kesehariannya.

Maka tidak mengherankan bila isi dan bentuk, pesan dan pengucapan, bunyi dan arti saling bertaut padu, berupaya membangun satu kesan keseluruhan yang utuh. Meski tentu saja di sana-sana masih memerlukan pergulatan lain, dengan tema-tema menantang lainnya, perihal bagaimana menjadi tua yang bijaksana, atau bagaimana sebagai pendosa yang mengakui luput salahnya; puisi lalu adalah sebuah cermin reflektif yang memungkinkan siapa saja yang datang kepadanya menemukan keharuan yang dalam; sejurus pertanyaan dari mana dan akan ke mana hidup ini.

Hal-hal semacam itu rupanya dipicu oleh peristiwa nyata ketika berpulangnya penyair Yoevita Soekotjo, sahabat kreatif sekaligus teman dalam berbagai peristiwa kehidupan. Ada dua puisi ditulis Nunung tertaut berpulangnya sahabatnya ini. Satu sama lain puisi itu hakikatnya adalah sebuah obituari, di mana puisi menjadi temali batin untuk menyadarkan sang diri bahwa pada akhirnya sebuah capaian eksistensi akan berakhir atau berujung pada ketiadaan; sebentuk solilokui.

 

YOE

: Alm. Yoevita Soekotjo

 

tak dapat kita mengulang

dan mendorong waktu

seperti puisi yang kutulis

rindu adalah setetes madu

di antara kepingan cinta

dalam ranting-ranting kehidupan

 

 

UNTUKMU CIN…  

: Alm. Yoevita Soekotjo

 

.....

 

mengulum ingatan, tak terbayar

dari bulan-bulan tertunda

tak dapat kupinjam sepejaman mata

kecuali menunggu mujizat

 

di celah-celah waktu

kubisikkan namamu

jika aku selalu merindukanmu

meskipun kau jauh dari

: pelupuk mataku

Upaya sublimasi bukan hanya terletak pada bagaimana menghasilkan metafor yang jernih dan jelas serta momen peristiwa yang dapat diungkap dalam baris kata yang padat kuat tapi juga sebuah imajinasi yang sugestif. Karya-karya Nunung memperkaya pembaca justru karena puisi itu tampil bersahaja. Bacalah misalnya:

 

MIMPI

 

malam tadi aku bermimpi

menyusuri jalan setapak

di bawah rembulan dan bintang

 

samar kulihat bayanganmu

melintasi kornea mataku

melambai, mencibir

penuh kedengkian

....

 

DARAH TINGGI

 

kolestrol yang menyumbat nadi

hingga membuatmu darah tinggi

dan jantungmu berdebar berhenti

karena kau tak pernah perduli

dengan kesehatanmu sendiri

 

dan kematian adalah takdir

misteri yang tak dapat kau tafsir

sekali pun dengan pikir

sekali pun dengan sihir

biarkan semua mengalir

dengan penuh zikir

hingga batas akhir

.....

Masih terbuka peluang ke depan bagi Nunung untuk memperkuat stilistik dan ragam estetik puisi-puisi alitnya ini, di mana kata-kata bercahaya untuk dunia yang sekilas sederhana namun berlapis makna.

Puisi-puisi Haiku, karena sifat dan bentuknya yang sedemikian rupa, memerlukan komunikasi intim; pembaca diharapkan tergugah imajinasinya oleh kesanggupan sang penyair dalam menciptakan paduan kata segar atau metafor original.

Haiku yang berakar dari puisi tradisional Jepang, menuntut penyairnya untuk mengeksplorasi sekaligus menyelaraskan bunyi dan arti Kata sebagai suatu kesatuan pengucapan yang utuh menyeluruh. Kata-kata terpilih dihadirkan bukan semata untuk meyuratkan gambaran nyata dan konkrit, melainkan juga menyiratkan suatu latar tertentu (alam berikut penanda musimnya). Dengan demikian, Haiku datang kepada pembacanya bukan sebagai gagasan yang bersifat abstraksi, akan tetapi berupa sensasi indrawi yang seketika menyentuh imajinasi kita.

Simaklah petikan puisi-puisi Nunung berikut ini:

 

SELIMUT SIANG

 

mencoba melipat selimut siang di ranjang

di antara biasan cahaya yang memantul

masih adakah sisa mimpi di antara bantal dan guling itu?

: aku ingin mendekapnya erat

 

BUS KOTA

 

ada yang menjauh

tapi bukan jarak

ada yang mendekat

tapi bukan waktu

 

....

Timbang Renung

Melalui ulasannya yang mendalam tentang buku kumpulan puisi Betinanya Perempuan (2019), Conie Sema mengungkapkan bahwa melalui puisi-puisi periode ini Nunung tengah mengumandangkan penyikapannya perihal feminisme atau sikap perjuangannya pada kesetaraan gender.

Seraya mengulas keunikan pengungkapan puisi-puisi Nunung, Conie menerakan pandangan dari Helene Cixous, seorang penulis feminisme Prancis, perihal bagaimana ‘tubuh’ sebagai teks yang perlu dilahirkan kembali sebagai wacana internal guna dibangkitkan menjadi wacana eksternal manusia; sehingga dapat merangkum proses perdebatan yang telah berlangsung panjang tertaut topik bahasan feminim dan maskulin menyikapi hasrat (desire) kehidupan, seks, dan kematian.

Nada pemberontakan Nunung memang sudah tak lagi tersuratkan secara meluap-luap dalam buku ini. Yang terungkap adalah buah proses pengendapan, sehingga yang mengemuka perihal penemuan sosok Ibu, baik harfiah maupun simbolis, yang hakikatnya menyertai keberadaan seorang perempuan. Puisi kepada Ibu menunjukkan sisi diri Nunung yang merindu. Bukan semata atas kasih sayang yang bersifat permukaan semata, namun juga satu kedalaman kasih yang bersifat esensial, kasih diri kepada semesta dan kepada yang ilahi.

 

IBU

 

ibu,

itukah tuhan yang datang

aku melihatnya serupa air

yang menyiram tubuhku

 

.....

 

ibu,

apakah tuhan murka

menghamparkan kepingan cemas

hingga gigilku tak lekas beranjak

tak kuingat lagi saat deru angin

menyeretku pada tiang kokoh

di ujung jalan sana

Bolehlah ke depan kita berharap, dari kesetiaan, kesungguhan, keteguhannya sebagai penyair, yang sudah teruji waktu, akan menderas karya-karyanya yang tetap sugestif dan imajinatif; berlapis arti namun kian rendah hati berbagi perenungan. Ibu yang Mengalami dan Memahami. ***

-Sumber: Epilog Sumur Umur, Nunung Noor El Niel, Jakarta: JSM Pres, 2021

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »