MEMBACA BANYUWANGI DARI
PERSPEKTIF SEORANG PENYAIR
Sunu Wasono
(Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia)
Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki
keunikan budaya adalah Banyuwangi. Secara geografis, Banyuwangi terletak di
ujung timur Pulau Jawa. Secara administratif, Banyuwangi merupakan salah satu
kabupaten yang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. Kabupaten ini
merupakan salah satu penghasil beras terbesar di Jawa Timur. Secara historis, Banyuwangi memiliki sejarah
yang tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan kerajaan-kerajaan masa lalu di
Jawa, khususnya Majapahit, Mataram, dan kerajaan di wilayah Bali. Nama Minak
Jinggo atau Menak Jinggo senantiasa disebut-sebut bila orang berbicara tentang
Majapahit. Dalam kaitannya dengan orang Banyuwangi, Minak Jinggo adalah tokoh
historis yang sangat dihormati. Ia merupakan sosok pribadi yang gagah perkasa,
berani, dan konsisten. Sebaliknya, bagi wilayah “pusat” (Majapahir, Mataram)
atau kulonan, Minak Jinggo adalah sosok pemberontak.
Terlepas dari soal itu, Banyuwangi—yang dulu lebih dikenal sebagai Blambangan—merupakan daerah yang secara kultural menarik. Di wilayah ini terdapat masyarakat Using atau Osing yang memiliki budaya yang unik. Ritual-ritual tertentu sebagai bagian dari keyakinan masyarakat Osing masih terus diadakan (dilestarikan) hingga kini. Berbagai kesenian tradisional masih bertahan di sini. Tari Gandrung Banyuwangi yang menjadi kebanggaan masyarakat Banyuwangi tetap terpelihara dengan baik. Di Banyuwangi terdapat batik yang khas Banyuwangi. Bahasa Osing menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah. Masyarakat Banyuwangi berpendirian bahwa bahasa Osing bukan merupakan variasi dari bahasa Jawa. Dari segi alamnya, Banyuwangi pun memiliki objek-objek wisata alam (pantai dan hutan) yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan daerah lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan kiranya bilamana daerah ini belakangan banyak dikunjungi wisatawan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Kekayaan dan keunikan budaya tampaknya tidak hanya menjadi daya tarik wisatawan, tetapi juga menjadi daya tarik dan perhatian para seniman, khususnya penyair. Salah seorang penyair yang tertarik atau merasa terdorong untuk melukiskan kekayaan dan kekhasan budaya Banyuwangi adalah Rissa. Antologi ini pada dasarnya merupakan ekspresi rasa bangga dan tanggapan Rissa terhadap Banyuwangi, kota kelahirannya, yang kaya akan budaya itu. Sesuai dengan judulnya, sajak-sajak yang terhimpun dalam buku ini sebagian melukiskan sosok penari dan seni tari itu sendiri yang menjadisalah satu kekuatan, kebanggaan, dan daya tarik Banyuwangi. Berbagai jenis tari, utamanya tari seblang dan gandrung Banyuwangi, terlukiskan dalam antologi ini.
Sajak pertama yang menjadi awal atau pembukaan antologi menggambarkan latar yang menjadi tempat berpijaknya para penari yang digambarkan dalam sajak-sajak berikutnya. “Tanah Penari,” judul sajak itu, melukiskan karakteristik tempat yang segera menautkan pikiran orang pada Banyuwangi. Sejumlah nama, seperti Prabu Menak, Sri Tanjung, Damar Wulan, dan Banterang yang disebut dalam bait pertama sajak itu menjadi penandanya. Karakteristik tempat itu dilukiskan dalam bait-bait berikutnya yang antara lain disebutkan bahwa tanah penari itu bertuah, tanak akan ritual, dan kental akan adat-istiadat. Lukisan pada bait berikutknya makin meyakinkan bahwa tanah penari itu memang Banyuwangi. Daerah mana lagi kalau bukan Banyuwangi ketika nama Osing disebut-sebut. Munculnya bait selanjutnya yang sepenuhnya menggunakan bahasa Osing kiranya mengukuhkan tafsiran bahwa memang Banyuwangilah yang dimaksud “tanah penari” dalam sajak ini.
“Tanah Penari” yang ditempatkan di pembukaan kiranya menjadi latar sekaligus panggung bagi tema yang diusung dalam sajak-sajak berikutnya. Dijumpailah sajak-sajak tentang sampur dan penari gandrung, seblang di Olehsari, para penari jaranan, janger, gandrung sewu, dan lain-lain. Perbendaharaan budaya di Banyuwangi diperkenalkan sekaligus ditunjukkan, juga seni tari tertentu yang tampaknya kini tinggal nama.
Hal itu terlihat dalam sajak “Janger”. Pada sajak itu, aku lirik mengutarakan pengalaman masa kecilnya ketika menonton tari janger yang kini agaknya sudah tidak ada lagi, setidak-tidaknya di tempat aku lirik yang sedang mengenang masa lalunya. Ada nada sesal pada aku lirik ketika seni tari janger yang di masa kecilnya menjadi tontonan baginya itu kini hanya tinggal kenangan yang menikam, seperti yang terlukis dalam penggalan bait berikut ini.
tak ada yang membekas di sana
kecuali kenangan yang menikam
Demikian antara lain kata aku lirik dalam sajak itu. Dua larik dalam sajak itu jelas melukiskan perasaan kecewa aku lirik yang merasa kehilangan apa yang di masa kecilnya menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan kesehariannya. Namun, di sisi lain, tergambar juga rasa bangga dan kagum subjek lirik terhadap seni tari lain yang indah dan menakjubkan. Hal itu terlukis dalam “Gandrung Sewu” yang terdiri atas lima bait. Melalui lima bait itu dilukiskan bagaimana indahnya tari Gandrung Sewu yang dibawakan di sebuah pesisir pantai. Subjek lirik di situ bertutur layaknya seorang pemantau yang melaporkan jalannya pertunjukan di suatu perhelatan. Supaya lebih jelas dan terlihat konkret, ada baiknya dikutip sepenuhnya bunyi sajak yang dimaksud.
GANDRUNG SEWU
pesisir banyuwangi
tiba-tiba riuh oleh penari
seribu gandrung memadati
di tengah cuaca terik matahari
gending-gending menggerakan
semua penari menyeblang
selendang di kanan kiri
bersama debur ombak
seribu penari meliuk
melenggang melenggok
sampur-sampur menyalak
mengikuti irama yang rampak
matahari bergerak di atas kepala
seolah ikut merituali suasana
tak perduli peluh di dada
kuyup oleh keringat
gandrung sewu
wonderfull indonesia
hari itu ribuan mata bersaksi
pada helat yang tak diingkari
bekasi, 20.11.2020
Sekadar informasi, di Banyuwangi sering diadakan ritual sekaligus perayaan untuk menarik minat wisatawan. Salah satu tempat ritual itu adalah pantai. Di pantai itulah diadakan pertunjukan tari gandrung Banyuwangi yang dibawakan oleh seribu penari. Sajak di atas, “Gandrung Sewu,” melukiskan tarian gandrung Banyuwangi yang ditarikan oleh seribu penari. Melalui sajak itu terbayang betapa meriahnya acara tersebut.
Tanah penari yang tidak lain adalah Banyuwangi memang memiliki kekayaan budaya yang—setidaknya-tidaknya bagi Rissa Churria, penyair ini—menakjubkan. Di tanah ini tersimpan sejarah dan budaya yang menginspirasi para budayawan dan seniman, khususnya budayawan dan seniman yang berasal dari Banyuwangi, dalam berkarya. Hasnan Singodimayan, peraih berbagai penghargaan yang juga sesepuh dan sastrawan Banyuwangi, misalnya, melalui sejumlah novelnya telah mengungkapkan berbagai aspek kultural dan historis Banyuwangi. Persoalan-persoalan yang terkait dengan Gandrung Banyuwangi sebagai seni yang menjadi ikon dan kebanggaan masyarakat Banyuwangi telah diangkatnya ke dalam novel Kerudung Santet Gandung. Sementara itu, hal-hal yang terkait dengan sejarah Banyuwangi diangkatnya pula ke dalam novel Niti Negari Bala Abangan. Dalam esai-esainya yang dimuat di media lokal, Hasnan Singodimayan juga mengupas berbagai persoalan seni dan budaya Banyuwangi. Antariksawan Jusuf dan sejumlah nama lainnya melalui karya-karyanya juga telah mengusung berbagai persoalan yang terkait dengan dinamika masyarakat dan budaya Banyuwangi. Kini Rissa dengan antologi ini telah menambah daftar panjang “Lare Banyuwangi” (putra Banyuwangi) yang menunjukkan perhatian terhadap tanah leluhurnya sendiri: Banyuwangi.
Hampir semua yang terkait dengan seni dan budaya Banyuwangi tercakup dalam antologi ini. Kisah-kisah heroik dan kisah-kisah lain serta adat-istiadat budaya Banyuwangi (kawin colong dan berbagai ritual di desa Kemiren) yang menjadi kekayaan sejarah dan budaya masyarakat Banyuwangi terlukis dan terabadikan dalam sajak-sajak Rissa. Dalam melakukan itu Rissa sering bertindak sebagai seorang peliput yang melaporkan suatu event atau peristiwa tertentu yang disaksikannya sendiri. Dalam melukiskan kisah-kisah heroik di sekitar tokoh Minak Jinggo (Menak Jinggo), misalnya, ia bertindak bagai juru kisah yang berhadapan dengan khalayak penontonnya. Paparan dan narasinya tentang peristiwa atau kejadian begitu detail dan runtut. Terkait dengan itu, sejumlah nama yang barangkali amat dikenal oleh sebagian orang Jawa yang masih akrab dengan seni kethoprak, seperti Minak Jinggo, Damar Wulan, Kebo Marcuet, dan Sri Suhita hadir dalam serangkaian sajak tentang Minak Jinggo. Semua tokoh itu—berikut ciri fisik dan karakternya—dilukiskan sedemikian rupa dengan diksi yang lugas sehingga mudah dicerna. Namun, di sana-sini muncul kosakata lokal atau tempatan (bahasa Osing) yang kadang-kadang disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, kadang-kadang tidak. Untuk itu, mungkin ada baiknya disertakan semacam senarai kata atau glosarium di belakang agar pembaca non-Banyuwangi dapat memahaminya.
Satu hal perlu ditambahkan bahwa kadang-kadang penutur dalam sajak-sajak ini, ketika menggambarkan sesuatu, berdiri di luar (sebagai pelapor), kadang-kadang berada di dalam sebagai aku lirik yang terlibat dalam pokok masalah atau peristiwa yang digulirkan. Keterlibatan aku lirik—yang boleh jadi merupakan representasi dari tokoh yang terlukiskan—tidak terlepas dari upaya seorang penyair untuk meresapi dan menghayati pokok masalah yang diusung ke dalam karyanya. Di sini perlu digarisbawahi pentingnya sikap konsisten dan berhati-hati dari penyair. Konsistensi cara bertutur (yang menjelaskan sudut pandang penutur) akan memengaruhi kejelasan sikap penutur terhadap berbagai hal yang digambarkan dalam sajak. Begitu penutur mengambil posisi di luar objek yang dikisahkan, ia tidak bisa sekonyong-konyong mengubah posisi itu sampai penuturannya selesai, kecuali pengubahan itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan atau mengejar efek tertentu. Dengan pernyataan itu tidak dimaksudkan bahwa penutur (subjek lirik) dari himpunan sajak yang diikat oleh satu tema tertentu, contoh konkretnya antologi ini, harus diri yang terlibat terus (sudut pandang orang pertama—akuan) dalam objek yang dituturkan atau diri yang berada di luar objek yang dikisahkan (sudut pandang orang ketiga—diaan). Pemilihan sudut pandang itu amat bergantung pada kebutuhannya. Di kala penutur ingin berada di luar yang dituturkan, ia menggunakan sudut pandang orang ketiga, sebagaimana terlihat, misalnya, dalam sajak berikut.
SEBLANG OLEHSARI
dialah seblang oleh sari
perempuan dedara yang dipinang
oleh budaya masyarakat osing
mentadaburi bersih desa
tawasul cinta dan rasa syukur
liuk gemulai yang tak pernah dimengerti
inilah laduni menggerak dan digerakkan
tanpa aba-aba hanya mengikuti alun gending
tak pernah belajar sebelumnya
dia melenggang melenggok
mengikuti aroma angin
yang berdesir
tangan kaki dan seluruh tubuhnya
menjelma gerak yang rampak
lentik jemari simbol ketentraman
matanya tertutup omprok
hanya terpejam tanpa berkedip
dia gadis seblang
menari mengikuti pusaran bumi
entak kakinya adalah mata kehidupan
didaulat alam sebagai dewi pembawa keberkahan
ada aroma mistis di antara selendang
kain yang menutup jelenjang tubuh
gambuh meniupinya dengan mantra
sembari kepul dupa mewarnai ritual
dia terus menyeblang
menari tanpa henti
bekasi, 13.07.2021
Dengan sudut pandang orang ketiga, penutur menempatkan dirinya sebagai pengamat yang melaporkan apa yang diamati. Konsistensi sudut pandang itu kiranya membuat sesuatu menjadi jelas, setidak-tidaknya jelas siapa menuturkan apa atau siapa bersikap bagaimana terhadap sesuatu. Terkait dengan itu, barangkali ada baiknya ditampilkan satu contoh lagi untuk memperjelas apa yang saya maksud.
SAMPUR GANDRUNG
cerita dalam lakon hidup
serupa sritanjung menyeblang
di hadapan banterang
pandang aku dengan teduh mata
tanggalkan gairah yang merusuhi pikir
niatkan segala gerak hanya pada keagungan
sang wisesa memberi energi
dibarengi perintah suci
akulah penari
pada mata ini
telah dititipkan sorotnya
pada lengan dan bahu
diletakkan keindahan cipta
pada pinggang terbebat kendit
peredam cuaca dari segala gersang dunia
pada kaki gemerincing gentamaya
cipta sempurna mahluk
sampur-sampur berjatuhan
di antara bahu dan lengan
pitutur dan penghambaan
pada angin kutitipkan bisik
pada hujan kutitipkan cinta
pada cuaca kutitipkan kesejukan
padamu aku ada di sembarang ladang
bekasi, 07.07.2021
Dengan sudut pandang orang pertama, jelas kiranya
bahwa yang bertutur dalam sajak di atas adalah aku lirik yang terlibat dengan
objek yang dituturkannya yang tidak lain adalah dirinya sendiri, yakni penari.
Persoalan sudut pandang tidak dapat dipandang sepele dalam kaitannya dengan
penulisan sajak. Rissa di dalam himpunan sajak ini jelas menyadari hal itu. Ia
kadang-kadang ber-ia, kadang-kadang ber-aku sesuai dengan kebutuhan. Ketika ia
ingin menjadikan objek yang dilukiskan itu "tontonan" bersama, ia
menempatkan penutur di luar objek yang dituturkan. Sebaliknya, ketika objeknya
bercerita sendiri, ia menempatkan penutur
di dalam objek yang dituturkan. Sebetulnya masih ada satu lagi sudut
pandang yang dapat diambil, yakni sudut pandang orang ketiga yang juga memberi ruang orang pertama ikut bertutur sehingga ada dua
penutur dalam satu sajak. Bisa juga ada dua sudut pandang, seperti yang terjadi
dalam prosa. Sajak-sajak dalam himpunan ini banyak yang naratif. Dalam sajak
naratif, kesempatan untuk menampilkan sudut pandang yang beragam sangat
dimungkinkan. Namun, semua bergantung pada kebutuhan. Tampaknya Rissa tidak
memerlukan itu. Tiap penyair berhak atas pilihannya.
Terlepas dari persoalan tersebut, secara keseluruhan sajak-sajak yang terhimpun dalam antologi ini telah memberikan gambaran yang relatif “banyak” tentang Banyuwangi—dengan segala aspek yang terlingkup di dalamnya—yang menjadi tumpah darah penyairnya sendiri. Melalui antologi ini pembaca seakan-akan “digiring” ke Banyuwangi untuk menyaksikan kekayaan serta keelokan budaya dan panorama alam Banyuwangi yang nyatanya memang kaya dan elok. Dari sikap penuturnya, jelas sajak-sajak yang terhimpun dalam buku ini memperlihatkan nada yang positif tentang Banyuwangi.
Secara tersirat terlihat betapa Rissa amat mencintai dan bangga terhadap Banyuwangi: tanah penari dan tanah airnya. Boleh jadi Rissa bukan orang pertama yang membaca dan mengabadikan “keindahan” Banyuwangi ke dalam seni, utamanya ke dalam bentuk puisi. Namun, melalui antologi ini ia telah berusaha menampilkan sebanyak mungkin apa yang dialami, diketahui, dipahami, dirasakan, dan dihayatinya tentang Banyuwangi ke dalam bentuk puisi yang rapi (dengan memperhitungkan aspek tipografi) dan komprehensif. Tentu saja sebagai pembaca dan penikmat puisi, saya menyambut baik dan gembira atas kelahiran antologi ini. Selamat dan sukses untuk Rissa.
Pondok Rajeg, 13 September 2021.