Riri Satria
SASTRAMEDIA.COM - Pada tahun 1997, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mesin berhasil mengalahkan pecatur top dunia dalam sebuah pertandingan catur. Saat itu supercomputer IBM Deep Blue berhasil mengalahkan juara catur dunia, Gary Kasparov, dalam sebuah pertarungan legendaris di New York yang berlangsung dalam beberapa putaran. Ini adalah sebuah perjalanan panjang dalam penelitian di bidang kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) selama 39 tahun, khususnya dalam algoritma permainan catur.
Pada tahun 1958, untuk pertama kalinya dibuat program komputer yang mampu bermain catur pada mainframe IBM 704. Saat itu, penelitian di bidang kecerdasan buatan baru dimulai, dan impian dari penelitian ini salah satunya adalah membuat mesin yang mampu bermain catur seperti halnya manusia, tentu saja dengan meniru kecerdasan manusia. Saat itu para pecatur top dunia menertawakan proyek ini dan mengatakan tidak akan mungkin komputer bisa mengalahkan manusia dalam bermain catur.
Akhirnya sejarah menunjukkan kepada kita bahwa komputer butuh 39 tahun sejak pertama kali belajar main catur sampai akhirnya sanggup mengalahkan manusia setingkat juara catur dunia. Nah, kalau fenomena ini kita bawa ke dunia perpuisian, di mana pada tahun 2016 proyek penelitian kecerdasan buatan di Google berhasil membuat puisi, butuh berapa lama ke depannya komputer belajar membuat puisi sehingga mampu ‘mengalahkan’ penyair kelas dunia? Sungguh ini sebuah pertanyaan yang mengusik saya sebagai seorang penulis puisi yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu komputer.
Bahkan kalau ditelusuri ke belakang lebih jauh, penelitian mengenai komputer yang mampu menulis puisi ini sudah berlangsung lama. Pada tahun 1999, sahabat saya Ruli Manurung mempublikasikan tulisannya berjudul A Chart Generator for Rhythm Patterned Text yang kemudian menjadi disertasi doktornya di University of Edinburg tahun 2004 dengan judul An Evolutionary Algorithm Approach to Poetry Generation. Rangkuman mengenai kemajuan penelitian komputer yang mampu membuat puisi ini dirangkum oleh Hugo Goncalo Oliveir dari Universidade de Coimbra, Portugal, dalam tulisannya Automatic Generation of Poetry: An Overview tahun 2014.
Isu komputer yang mampu membuat puisi pertama kali saya sampaikan kepada kalangan penyair di Indonesia ketika menjadi pembicara pada International Seminar on Communication Science and Literature di Universitas Pakuan Bogor, bulan November 2018, lalu dilanjutkan pada Seminar Nasional Peringatan Hari Puisi Indonesia, bulan Oktober 2019, dan terakhir pada forum diskusi Banjarbaru’s Rainy Day Literary Festival 2019, akhir November 2019.
Beragam tanggapan peserta terhadap isu ini yang umumnya adalah para penyair. Ada yang merasa sangat terusik, ada yang menanggapi dengan kritis, ada yang merasa ini hanya isu biasa saja, dan sebagainya. Tetapi walaupun demikian, suka tidak suka, diterima atau tidak, faktanya ini sudah terjadi. Mesin komputer Google sudah mampu membuat puisi. Faktanya begitu!
Salah satu aplikasi komputer yang bisa membuat puisi dapat dipergunakan secara gratis di internet adalah poem-generator.org.uk. Kita bisa memilih berbagai bentuk puisi yang diinginkan, memasukkan beberapa parameter sebagai input, lalu klik, dan puisi pun selesai dibuat. Namun masih ada beberapa yang menarik untuk diamati. Untuk input yang sama, komputer bisa memberikan beberapa alternatif puisi. Tetapi kalau dibaca secara seksama, puisi yang dibuat komputer ini memang kaku dan ditengarai ada yang merupakan potongan-potongan dari puisi yang pernah ada.
Ada dua teknologi yang mendorong terwujudnya computer-generated poetry atau puisi yang diciptakan oleh komputer ini, satu teknologi utama yaitu kecerdasan buatan serta satu teknologi pendukung yaitu basis data berskala besar atau big data. Dengan teknologi kecerdasan buatan, komputer bisa melakukan pembelajaran terhadap fakta berupa data yang diberikan yang dikenal dengan istilah machine learning. Dengan demikian, dia terus menerus memperbaharui pengetahuannya.
Inilah yang dilakukan komputer sebelum berhasil mengalahkan Gary Kasparov dalam pertandingan catur. Dia terus-menerus belajar dari berbagai kekalahannya melawan para pecatur top dunia. Demikian pula dengan puisi. Setiap ada puisi yang baru, komputer akan belajar dan memperbaharui pengetahuannya tentang perpuisian. Melalui algoritme kecerdasan buatan, komputer akan melakukan sintesis pengetahuan yang dimilikinya dan merumuskan langkah-langkah ke depan (untuk main catur) serta memilih diksi dan menyusun bait-bait (untuk puisi).
Pada awal tahun 2020 ini, sebuah lembaga penelitian teknologi kecerdasan buatan di San Fransisco, AS, bernama OpenAI, mempublikasikan sebuah puisi yang mirip dengan gaya penulisan penyair Emily Dickinson, yang dibuat menggunakan aplikasi kecerdasan buatan GPT-2. Aplikasi GPT-2 ini sudah mempelajari sebagian besar puisi karya Emily Dickinson, dan akhirnya mampu menemukan gaya penulisan khas Emily.
Untuk proses itu semua, komputer membutuhkan penyimpanan data yang besar, yang mampu menyimpan data dalam volume besar, berbagai bentuk atau format, serta dapat diakses dengan cepat, dan ini didukung oleh teknologi big data. Untuk proses pembelajaran komputernya agar bisa membuat puisi lebih baik dan lebih baik lagi, big data perpuisian Google menyimpan jutaan puisi yang ditulis sejak zaman dahulu.
Secara generik, proses penciptaan puisi oleh manusia itu melewati empat tahapan, yaitu (1) observasi, (2) kontemplasi, (3) penyaringan emosi, serta (4) komposisi atau konstruksi. Semuanya dilakukan dengan melibatkan rasa, hati, dan pendalaman batiniah oleh manusia. Itulah yang membuat puisi memiliki daya gugah yang tinggi. Sementara itu komputer melakukan keempat proses itu secara mekanistik atau algoritmik, tentu saja tanpa melibatkan rasa atau proses batiniah apapun.
Tetapi jika sudah berwujud akhir puisi, apakah bisa dibedakan mana yang diciptakan komputer, serta mana yang dibuat manusia? Ini sebuah pertanyaan yang susah untuk dijawab, namun menarik untuk dicari jawabannya. Suatu saat saya ingin melakukan eksperimen. Saya kumpulkan sejumlah kurator atau kritikus puisi, lalu saya minta mengevaluasi sejumlah puisi, separuh buatan manusia, separuh buatan komputer. Apakah mereka bisa membedakannya? Tetapi pada akhirnya wawasan si kurator atau kritikus harus luas. Menurut saya, jangan-jangan proses kurasi puisi di masa depan harus dilakukan bekerja sama dengan pihak yang memiliki big data perpuisian seperti Google.
Berbagai permasalahan pada puisi yang dibuat mesin ini terletak kepada keterpakuan kepada bahasa, kosa kata, serta sintaks. Mesin menyusun sebuah puisi berdasarkan pengetahuan yang dia miliki dalam wujud bahasa, kosa kata, dan sintaks tersebut, atau aspek linguistik semata. Mesin tidak memiliki pengetahuan tentang dunia nyata dan imajinasi atau the knowledge of reality and imagination yang dimiliki manusia ketika membuat puisi. Puisi bukanlah sekedar konstruksi bahasa, melainkan memberi ruh kepada bahasa tersebut melalui realitas dan imajinasi. Inilah kelemahan mesin, setidaknya sampai saat ini.
Kita harus membuka ruang-ruang kreativitas yang baru yang merupakan keunggulan manusia yang tak pernah bisa tergantikan oleh mesin. Inilah peluang kita untuk mempertegas mana porsi mesin dan mana porsi manusia. Semua ini menantang kita untuk menjaga marwah perpuisian lebih baik lagi. Dengan demikian, para penyair harus mampu menjawab tantangan tersebut, bukan hanya sebatas membuat puisi, melainkan jauh lebih fundamental. Misalnya isu etika, apakah menggunakan komputer untuk membantu membuat puisi itu melanggar etika atau tidak? Apakah puisi yang dihasilkan mesin itu juga dapat disebut puisi? Inilah tantangan ke depannya.
Jadi, perkembangan teknologi kecerdasan buatan yang mampu membuat puisi memberikan tantangan kepada dunia perpuisian serta kepenyairan, mulai dari tantangan teknis, sampai kepada hal yang fundamental, yaitu tantangan filosofis dan etika. Inilah yang harus dijawab bersama. Kita tidak lagi pada porsi menahan lajunya perkembangan teknologi, melainkan menyikapi perkembangan teknologi dengan arif dan bijaksana, dan tentu saja dengan pemikiran dan catatan kritis, termasuk dalam dunia perpuisian dan kepenyairan.
(Jakarta, Oktober 2020)