Arisan Bulan Madu
Perempuan tua yang menyambutku di konter membuatku teringat pada Nenek. Nenek yang memberi tantangan sampai aku terdampar di penginapan ini, dan disambut resepsionis yang sudah nenek-nenek pula. Seusai menerima uang sewa kamar untuk dua hari ke depan, dia keluar dari konter lalu menyandarkan tubuhnya di sofa dekat tangga dan posisi duduknya itu masalah bagiku.
Segera kucari siasat untuk memancingnya keluar dari sana, agar aku bisa leluasa menaiki tangga ke kamar yang aku sewa tanpa membuatnya terperangah. Masih kupikirkan siasat terbaik dia sudah bertanya, “Sendiri?”
Aku tersenyum dan berkata, “Berdua dengan istri.” Ketika dia menoleh ke luar lekas kutambahkan, “Masih di mobil. Dia mabuk.”
“Aturan di penginapan kami,” dia memajukan wajah, “penyewa tidak boleh minum minuman keras, apalagi sampai mabuk.”
“Dia cuma mabuk perjalanan.” Aku tertawa seraya menatap tulisan penunjuk arah ke toilet. Penunjuk arah itu menerbitkan ide di kepalaku.
Toilet itu ada di ujung lain koridor dari tempatnya duduk. Aku ke sana dan di dalam toilet aku memekik.
Siasatku membuatnya tergopoh-gopoh datang. “Ada apa?”
“Ada kecoak! Aku kecoakphobia ... oh, apalah istilahnya....”
Agak segan dia melongok ke dalam toilet. Reaksinya yang terkesan tidak percaya segera kuyakinkan, “Saat melihat kecoak, isi lambungku serasa diaduk-aduk,” lalu berlekas meninggalkannya sambil ‘mengoak’ pura-pura akan muntah.
Dari halaman tempat memarkir mobil, bagian tengah penginapan yang juga berfungsi sebagai lobi bisa terlihat, jadi bila dia kembali ke tempat duduknya di dekat tangga aku bisa melihatnya. Buru-buru kukeluarkan sosok itu dari jok belakang, menelungkupkan di punggungku dan kedua tangannya kulingkarkan di leherku, kemudian setengah berlari aku kembali masuk ke penginapan. Berbelok ke arah tangga, tak sesenti pun aku menoleh ke arah toilet. Baru saja kakiku menjejak anak tangga ketiga, kudengar perempuan tua itu melaung.
Tak kuhiraukan apa yang dia ocehkan kemudian, terus saja aku berlari ke lantai atas, merasai kedua jenjang kaki sosok di atas punggungku menyepak-nyepak bokongku seakan aku kuda tunggangannya. Di dalam kamar, kududukkan sosok itu di sofa dekat jendela, lalu kembali keluar.
Di puncak tangga, aku berdiri kaku melihatnya mendongak, menatapku dengan rupa aneh. Lekas kusahuti, “Sudah kubilang, istriku mabuk.”
“Biar saya telepon dokter. Anak teman saya....”
“Tidak usah, biasanya sesudah tidur dia akan baikan. Asal tidurnya pulas tanpa gangguan.” Kutekankan kalimat itu, semacam peringatan untuknya.
Aku turun hendak mengambil tas pakaian di mobil. Perempuan tua itu mengikutiku, membuatku tergelak ketika dia bersungut, “Tidak ada kecoak di kamar mandi. Kamu perlu tahu, kebersihan penginapan kami sangat terjaga.”
***
Memang, berhulu dari tantangan Nenek sampai aku mencari penginapan yang suasananya bisa mendukung. Ibu dari almarhum papaku yang tinggal dan sudah menjadi warga negara Belanda itu memberi kami cucu-cucunya sebuah tantangan yang dia namai ‘Arisan Bulan Madu’. Kami meyakini itu sebenarnya cara Nenek mewariskan sebagian simpanannya sekaligus untuk membahagiakan kelima cucunya. Tiga cucu Nenek yang terserak tinggal dan bekerja di negara lain, termasuk satu di Belanda, sudah pernah mendapatkan arisan itu. Sisa aku dan adik perempuanku yang belum kebagian. Sesuai runtun kelahiran kami, tahun ini giliranku mendapatkan.
Yang menjadi masalah karena Nenek membuat deadline. Nenek serius dengan aturannya itu; bisa jadi, budaya disiplin orang Eropa sudah melekat pula dalam prinsip hidupnya. Nenek membuktikannya ketika kakakku sebelum giliranku terkena penalti pemotongan separuh dana arisan karena melewati batas waktu yang ditentukan.
Batas waktu yang ditetapkan Nenek untukku sudah mepet, membuatku kepepet. Ruwetnya, jangankan calon istri, pacar pun sedang kosong. Riang hatiku yang bengkar membayangkan dana arisan itu bisa segera mewujudkan cita-citaku memulai membuka bisnis kafe, seketika susut begitu Nenek mengultimatum batas waktu dengan ancaman penalti: dana arisan untukku bisa hangus.
Bukti penyerta yang diminta Nenek sebenarnya tidaklah sulit, hanya foto-foto kebersamaan kami sebagai pasangan yang sedang berbulan madu. Agaknya Nenek cukup percaya pada cucunya sehingga tidak minta foto buku nikah, misalnya, walaupun itu mudah saja aku manipulasi dalam foto. Kata Nenek, foto-foto bulan madu cucunya akan menjadi koleksi album foto keluarga yang paling menyenangkan hari tuanya.
Aku tidak ingin asal mengajak seorang perempuan berpura-pura sebagai istriku lalu berfoto-foto mesra selayaknya pasangan sedang berbulan madu. Sudah kutimbang-timbang, itu berpotensi memunculkan masalah. Begitu tahu tujuannya untuk mendapatkan dana, bisa-bisa perempuan itu meminta bagian yang besar, atau malah memerasku dengan mengumbar foto-foto mesra kami ke media sosial dan membeberkan fakta bahwa kami hanya ‘pasangan bulan madu pura-pura’. Tidak terbayang akibatnya bila sampai ke Nenek!
Untung kemudian kutemukan solusinya dari iklan di medsos.
***
Bertepatan benar saat kubuka pintu kamar seringai perempuan tua itu muncul di hadapanku. “Saya mau bersihkan kamarmu.”
Keinginannya membersihkan kamar yang kusewa membuat udara pagi yang kuhirup mendadak terasa pengap. Apalagi sikapnya terlihat hendak menyerobot masuk, sampai spontan kupasang badan tepat di tengah ambang pintu. Di samping untuk menghalangi geraknya, juga menutupi tatapannya yang mencari-cari celah melongok ke dalam kamar. Sikap ingin tahunya bisa mengganggu rencanaku.
Kutarik handel pintu di belakang punggungku.
“Setiap pagi semua kamar harus dibersihkan,” seakan dia protes. “Pegawai saya habis kecelakaan motor dan belum bisa menggerakkan tangannya. Jadi saya yang akan membersihkan kamar kamu.”
“Sapunya disimpan saja di depan pintu,” elakku, agak tersingahak mengetahui ternyata dia pemilik penginapan. “Nanti aku yang bersihkan. Aku mau beli makanan dulu.”
Dia keras kepala, khas nenek-nenek! Tidak bergeser dari depanku, dia malah memaksa, “Kamu pergilah beli makanan, sementara saya bersihkan kamarmu, sekalian mengobrol dengan istrimu. Siapa tahu dia mau mencoba resep saya, menghindari rasa mual di perjalanan.”
“Masak Ibu sendiri yang akan membersihkan kamar?”
Kalimat penghiburku malah dia balas dengan mata mendelik. “Saya wajib menjaga kebersihan penginapan peninggalan suami saya.”
Masih kucari alasan agar dia segera pergi ketika kepalanya malah meneleng ke arah pintu, terlihat menajamkan pendengaran sebelum berkata, “Istrimu belum baikan? Tidak kedengaran ada kegiatannya di dalam kamar. Biar kutelepon saja anak teman saya yang dokter itu.”
“Eh ... dia baik-baik saja ... cuma tidak ingin diganggu.” Aku sampai panik dibuatnya. Untung cepat kutemukan pelabi, “Istriku pengarang. Seharian kegiatannya kalau tidak menulis, ya membaca.” Meski garing, kucoba tertawa nyaring. “Oya, kami menginap di sini di samping untuk berbulan madu, juga dalam rangka penyelesaian novelnya.”
Dan alasan itu yang mangkus membuat dia berbalik menuju tangga turun.
***
Aku yakin rabun mata Nenek tidak bisa lagi membedakan keaslian obyek yang sudah di’gosok’ aplikasi pemoles foto. Hanya berselisih setengah hari setelah kukirimi foto-foto mesra kami, chat-nya masuk: Istrimu cantik sekali. Kulitnya kelihatan putih-mulus begitu, seakan kulit orang Eropa. Nenek kepingin melihat dan menyentuhnya langsung. Bingung harus menulis apa, akhirnya kubalas saja dengan emotikon tertawa lebar.
Semalam berlalu dan Nenek mengirim pesan yang kukira bukti dana arisan bulan madu sudah ditransfer, ternyata malah meminta syarat tambahan yang membuatku pening. Kalimat awalnya sungguh membuatku girang karena dana akan dinaikkan mengikuti besaran inflasi, sehingga yang akan kuterima sedikit lebih besar dari yang pernah diterima kakak-kakakku. Namun, syarat tambahan yang Nenek minta membuat rasa girangku terlipat-lipat sampai aku pening berlarat-larat. Bukti bulan madu kami, harus disertai pula video berlatar pemandangan asri kota kami; sepertinya Nenek sudah merindukan kota kelahirannya, atau malah curiga dengan foto yang sudah kukirimkan?
Mendatangi tempat-tempat berpemandangan asri untuk dijadikan latar video tidaklah sulit, pemandangan seperti itu ada beberapa di sini; tetapi membawa-bawa sosok molek nan cantik itu berkeliaran bersamaku? Uh, tak terbayangkan seperti apa reaksi orang-orang saat melihat kami. Demikian juga memvideokan kebersamaan kami, itu sangat muskil!
***
Termangu ganar di ambang jendela penginapan, kutatap parkiran yang hanya ditongkrongi tiga mobil. Senyapnya suasana penginapan memang amat cocok untuk menjalankan misi ‘bulan madu’ku di sini. Usikan selama menginap hanya usilan kepo nenek pemilik penginapan, dan itu bisa kuakali. Namun, mengakali Nenek, ternyata tidak segampang yang kuduga.
Kelesah hatiku kualihkan dengan menatap sosok molek yang tertekuk bersandar di atas sofa. Mulai terpikir penalti yang akan Nenek timpakan padaku bila dia tahu hanya sosok itu yang menemaniku berbulan madu.
Kubuka kembali iklan di ponselku, yang semula kuanggap solusi, ternyata ujung-ujungnya malah membuatku bingung sendiri. Kubaca ulang, dengan senyum kecut: Daripada berbuat mesum dengan sembarang wanita yang berisiko terkena penyakit, kalau memang kepingin dan butuh lebih baik pakai love doll ini. Terbuat dari silikon murni, dengan rupa dan postur tubuh sepersis wanita dewasa. Harganya diskon. Yang minat, hubungi nomor.... ***