Idealisme Pengarang Muda
Ade Mulyono
Knut Pedersen atau yang dikenal dengan nama pena Knut Hamsun, pada tahun 1888-an berhasil menggegerkan kalangan sastra Skandinivia khususnya Norwegia melalui novel monumentalnya yang berjudul Sult atau dalam bahasa kita berarti Lapar. Pada mulanya Sult pertama kali diterbitkan oleh majalah sastra Ny Jord (Dunia Baru) salah satu majalah sastra paling berpengaruh di Skandinivia pada waktu itu.
Novel Lapar berkisah perihal tokoh “Aku”—seorang anak muda—yang mempunyai cita-cita menjadi pengarang masyhur di Norwegia. Sialnya tokoh “Aku” harus menghadapi kenyataan pahit, bahwa hari-harinya akan dilalui dengan duka lara hingga berdarah-darah tak terperikan. Kenyataan pahit itu bernama kelaparan yang mengancam tokoh “Aku” setiap waktu. Peristiwa jatuh bangun atau bangkit dan tersungkur mengiringi perjalanan tokoh “Aku” dalam usahanya meraih impiannya menjadi seorang pengarang.
“Aku adalah pujangga! sekali kelak orang akan menyanjungku di Norwegia! dan aku hanya ingin hidup sebagai pengarang. Biar harus menahan lapar, sampai rambutnya rontok dan pusarnya berdarah… biar harapan dan harga diri gugur satu demi satu,” ucap sang pengarang muda—tokoh “Aku” dengan rasa percaya diri yang berkobar-kobar. Sebagai tanda masih panas aliran darah mudanya.
Padahal, bahaya kelaparan sedang mengepung hari-harinya yang nelangsa. Sementara yang bisa dilakukan tokoh “Aku” hanya menyeret seonggok tubuhnya mengelilingi Kota Kristiania—kota di mana kaca-kaca jendela bersinar di setiap rumahnya. Dalam keadaan lapar yang sudah berhari-hari menyerangnya, tokoh “Aku” sampai memamah serpihan-serpihan kayu hingga meminta tulang pada penjual daging dengan alasan akan diberikan untuk anjingnya. Semua itu tokoh “Aku” lakukan untuk memuaskan Id-nya: lapar. Kebutuhan primernya. Sesuatu yang tidak dapat dikenyangkan dengan imajinasi. Apalagi khayalan ngawur ala penulis dekaden.
Lapar ialah sebuah pengalaman eksistensial bagi si miskin atau bagi si “inferior” di hadapan “superior”. Pada hakikatnya pengalaman tokoh “Aku” dalam novel Lapar ini mencerminkan arti perjuangan bagi siapa saja yang ingin hidup sesuai dengan jalan keyakinannya dan panggilan yang membakar hidupnya. Meski perutnya acapkali dirobek-robek oleh rasa lapar, tokoh “Aku” dapat bertahan hidup di Kristiania. Bagaimanapun pedihnya perjuangan menghadapi kelaparan yang menyiksa dirinya itu.
Tokoh “Aku” dalam novel Lapar karya Knut Hamsun mengingatkan pada penyair kita Chairil Anwar yang hidupnya dihabiskan untuk menulis puisi, meski puisi tak mampu menghidupinya. “Aku” dalam novel Lapar bagaikan “Aku” Chairil yang meringkik, berlari, menerjang membawa luka dan mau hidup seribu tahun lagi.
Chairil—begitu kita menyebutnya, bisa dikatakan sebuah anomali dalam kehidupan yang sebenarnya. Ia seorang bohemian tulen, seniman eksistensialis, seorang penyair yang memberontak terhadap tatanan sosial, kemudian melabraknya. Kita tahu, “sisi muram” kehidupan Chairil sebagai seorang penyair yang hari-harinya dikepung derita: lapar—salah satunya. Hidupnya yang dihabiskan untuk menulis puisi, nyatanya puisi tidak bisa menyelamatkan Chairil. Bahtera rumah tangganya dengan istrinya, Hapsah, karam. Begitupun hari-harinya menjelang embusan napas terakhir sebelum sampai di tenggorokan.
Tokoh “Aku” yang mempertahankan idealismenya demi menapaki jalan kepujangganya ialah sebuah tantangan jalan hidup untuk siapa saja yang mempunyai cita-cita menjadi pengarang. Sudah siapkah kelaparan? Gagal membayar sewa uang kos-an? Menjadi gelandangan dan tidur di bangku taman? Mengutang jika tidak mau dikatakan mengemis? Tentu saja tidak semua nasib pengarang seperti tokoh “Aku” ciptaan Hamsun: menyedihkan.
Tokoh “Aku” dalam novel Lapar dikisahkan dengan epik sebagai pengarang cerita pendek. Sekali dua kali cerita pendeknya lolos kurasi redaktur koran. Ia mendapat uang imbalan tapi hanya cukup untuk makan beberapa hari. Itu terjadi pada abad 18 sebagaimana novel Lapar diterbitkan untuk pertama kalinya. Kini, di abad ke 21 di Indonesia negeri nan jauh dari Skandinavia, penulis cerita pendek dihargai mulai dari Rp50 ribu hingga paling mahal Rp1,4 juta. Meski harus bersaing dengan ratusan penulis lainnya dari Sabang sampai Merauke, dari penulis “mapan” hingga “miskin”.
Seorang penyair cum jurnalis membagikan ceritanya di “wall” Facebook pribadinya saat ia mencoba memegang handphone seharga 27 juta di mal. Ia mengaku bahagia bisa menyentuhnya meski tidak memiliki handphone yang menurutnya kelewat mahal itu. Kira-kira berapa ribu eksemplar buku puisi si penyair yang harus terjual untuk dapat menebus handphone puluhan juta itu. Sebelumnya, beberapa tahun lalu seorang penulis kondang tanah air yang novelnya merajai toko buku, menggerutu kesal karena beban pajak untuk royalti pendapatannya yang seuprit. Juga meluapkan kemarahannya pada pembeli novel bajakan.
Pertanyaan yang kemudian muncul di benak masyarakat ialah: apakah menjadi pengarang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup? Jawabannya tentu saja beragam, sekurang-kurangnya metafisika. Realitas dunia di luar kepala. Uang bukan segalanya. Ia hanya salah satu instrumen kebahagiaan. Itu makna etisnya. Meski kebahagiaan versi materialistik jelas menolaknya. Tidak ada akumulasi pemenuhan kebahagiaan tanpa menggunakan uang. Benar kita tidak bisa memunggungi kebahagiaan versi materialisme itu. Perut yang lapar tidak bisa disumpal dengan membaca puisi, bukan?
Tentu saja kita bisa “baku hantam” meributkan berapa harga yang pantas untuk karya sastra yang katanya adiluhung itu. Terlepas dari itu, baik tokoh “Aku” dalam novel Lapar karya Knut Hamsun, maupun aku “si binatang jalang” telah menginspirasi apa-apa yang disebut dengan “tahan banting”. Satu pengalaman yang hendak ditularkan kepada siapa saja terutama pengarang muda untuk tidak berhenti mengejar impiannya menjadi pujangga. Walau kelaparan akan mengepung hari-harinya.
Kebahagiaan dalam hidup tentu saja tidak melulu diukur dengan uang. Ada kebahagiaan lain. Sebagai pengarang jawaban paling aman supaya tetap terlihat gagah ialah dengan meminjam Pram: Menulis adalah bekerja untuk keabadian. Meski realitas hidup meledeknya: kelaparan.