KARENA CITA-CITANYA JADI PENYAIR
karena cita-citanya jadi penyair
ia minggat dari rumah, untuk menangis dan merindukan ibu.
ia percaya, satu-satunya keuntungan jadi penyair
adalah mampu menangis untuk apa saja.
karena cita-citanya jadi penyair
ia selalu bermimpi kalau saja ayahnya adalah gibran
yang mencintai lubuk sungai, pelesiran
juga tak henti mendongeng kebijkasanaan
sebelum ia memeluk mimpi.
tetapi ayahnya adalah sesuatu yang lain
seumpama politisi sekaligus hakim,
diserang cemas cicilan mobil dan tanah warisan yang baru dijual,
ayah yang tak henti memberi lebam pada tubuhnya,
jika ia terlambat pulang ke rumah, karena ia merasa sudah dewasa.
tak pelak ia rindu ibu dan nenek,
seperti rindu pada suatu pagi dan taman kecil di halaman rumah,
sebuah ruang yang tak pernah bisa ia kunjungi.
ibu dan nenek sudah lama ditanam, jadi akar,
menyerap air paling bening, air matanya.
di balik dingin tembok gang dan penguburan,
ia masih di sana, minggat bersama cita-citanya yang naif,
dan lolong anjing, kesiur angin, bau pesing,
juga lembar puisi, menguar mencekik malam.
Bulukumba-2018