Mengapa Novel Tere Liye Cenderung Best Seller?:
Sebuah Review atas Novel Selamat Tinggal
Sejak dirilis akhir tahun 2020 lalu, novel Selamat Tinggal milik Tere Liye sudah berada dalam jajaran buku best seller di salah satu toko buku terbesar Surabaya. Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang aneh, sebab hampir seluruh novel Tere Liye memang telah berpredikat best seller. Hal yang perlu ditelaah lebih jauh adalah alasan di balik laris manisnya novel-novel Tere Liye tersebut - mengingat karya-karya Tere Liye seringkali dianggap kurang berbobot, materinya terlalu sederhana, dan masih dengan diksi-diksi non-figuratif yang bisa dinikmati dengan sekali duduk. Jauh berbeda dengan Sepotong Senja untuk Pacarku milik Seno Gumira Ajidarma yang memiliki gaya bercerita surealisme atau Supernova karya Dee Lestari yang dianggap sebagai fiksi ilmiah sebab penggunaan metafora-metafora ilmiah di dalamnya. Melalui novel Selamat Tinggal, tulisan ini akan berusaha menebak tentang pertanyaan mengapa novel Tere Liye cenderung best seller? Secara subjektif-objektif -disebut subjektif karena ulasan ini merupakan sebuah opini, sementara dikatakan objektif sebab seluruh pernyataan didasari atas data yang tersedia.
Alasan pertama dari laris manisnya novel Tere Liye adalah kandungan mimesis di dalam cerita yang diolah dengan menggelitik. Sebagaimana yang disampaikan oleh Aristoteles bahwa karya seni (sastra) adalah representasi dari tingkah laku manusia. Tere Liye mampu mengolah realita sosial di tengah masyarakat menjadi sebuah bagian kecil dari cerita yang menarik sekaligus asyik. Istilah menarik dilandasi atas ide kreatifnya dan ungkapan asyik didasari atas unsur humor di dalamnya. Sebut saja seperti ungkapan tokoh Paklik tentang toko online yang diadopsi dari nama-nama toko di dunia nyata yang sengaja dipelesetkan. Berikut kutipannya, “Kata mereka mudah, cukup buka saja itu Tokosedia, Shopaa, Lezada, Bukadonglapak, itu-itulah namanya.” (halaman 63). Penggunaan unsur mimesis inilah yang membuat pembaca lebih mudah mengimajinasikannya, karena tidak jauh dengan kehidupan sehari-hari.
Alasan selanjutnya yaitu penggunaan logika sederhana untuk menjelaskan suatu hal yang terkesan asing atau rumit menurut orang awam. Misalnya saja ketika Tere Liye menjelaskan tentang sumber omzet para pembuat website-website ilegal yang bisa menyentuh angka miliaran rupiah tiap tahunnya. Bagi orang awam, ‘pekerjaan’ semacam itu seringkali tidak menjanjikan pundi-pundi rupiah. Ketidaktahuan tersebut mampu dijawab dengan logis dan sederhana oleh Tere Liye lewat kutipan berikut,
Dari mana Adam mendapatkan penghasilan dari website tersebut? Dari iklan yang terpasang di sana. Dari link, AdSense (tayangan video beberapa detik sebelum streaming film), dan sebagainya. Besar uangnya, karena yang memasang iklan biasanya website judi, forex, cryptocurrency. Tapi Adam tidak pernah membuka angka penghasilannya. Hanya dia dan Tuhan yang tahu, berapa miliar setiap tahun (halaman 198).
Penyederhanaan pemahaman seperti ini bagi Tere Liye agaknya tidak terlalu sulit, sebab Tere Liye sendiri memang seorang akuntan, jebolan kampus kenamaan di Indonesia. Oleh sebab itu, penjelasan segala hal tentang bidang ekonomi seakan menjadi ‘santapan’ sehari-harinya.
Tak hanya unsur mimesis dan penggunaan logika sederhana, alasan ketiga yang membuat novel Tere Liye digandrungi adalah kepiawaian Tere Liye dalam membuat quote. Hal ini dapat dibuktikan dengan sebaran quote-quote Tere Liye di media sosial -yang mirisnya terkadang nama penulis tidak disertakan dalam unggahannya dan sering membuat kesal Tere Liye. Beberapa quote yang terdapat dalam novel Selamat Tinggal yakni, “Aku juga sering takut dalam menulis, tapi aku lebih takut lagi jika tidak bersuara” (halaman 86), “Dalam hidup ini, lebih baik kita fokus ke hal-hal yang menyenangkan disbanding yang tidak” (halaman 34), “Bacalah banyak buku, agar besok lusa bukan hanya agar kau tidak mudah ditipu orang, tapi agar kau bisa mencegah penipu membohongi orang banyak” (halaman 134). Di era digitalisasi seperti saat ini, dunia maya lebih disukai daripada dunia nyata, sehingga unggahan quote tentang patah hati; derita hidup; perenungan diri menjadi idola para generasi milenial. Keberadaan quote-quote indah di novel Tere Liye seolah menjadi magnet bagi para remaja yang berkeinginan mencari materi untuk unggahan di media sosialnya.
Alasan terakhir terkait masalah novel Tere Liye yang seringkali (bahkan dapat dipastikan) best seller adalah keberadaan hal misterius di beberapa penghujung bab yang memicu rasa penasaran pembaca. Rasa penasaran inilah yang membuat pembaca tidak ingin berhenti untuk membuka halaman demi halaman. Di antara hal-hal misterius tersebut yaitu rahasia kecil tokoh Jess yang diungkapkan Tere Liye lewat kutipan berikut, Sintong sungguh baru tahu rahasia Jess yang satu ini. Tapi ini bukan rahasia kecil yang disimpan oleh Jess (halaman 110). Ungkapan seperti ini sejatinya memiliki tujuan sederhana, yakni membuat pembaca bertanya-tanya ihwal rahasia kecil tersebut. Ketika pembaca sudah bertanya-tanya, maka hal yang terjadi selanjutnya adalah mencari tahu rahasia tersebut hingga ketemu. Sistem polarisasi seperti inilah yang bisa disebut dengan buku bacaan yang tidak membosankan.
Satu hal yang perlu ditegaskan, buku yang laku keras tidak berarti buku tersebut memiliki isi yang berkualitas, sebab laku atau tidak adalah urusan selera. Mengapa ‘buku-buku berat’ dengan sistem baca berulang (tidak mudah dipahami dengan satu kali baca) cenderung tidak laku? Jawabannya sederhana, karena selera pembaca lebih menyukai bacaan ringan. Sampai di sini seharusnya bisa dimengerti, mengapa novel Tere Liye laris manis?