Sastra Daerah Adalah Ibu Kandung yang Sah dari Kesusastraan Indonesia
Juli Prasetya
Karya sastra daerah masih dianggap sebagai anak tiri yang terlantar dan belum mendapatkan tempat yang strategis dalam perbincangan sastra Indonesia maupun sastra dunia. Padahal sastra Indonesia disebut sebagai sastra Indonesia, ketika ia bisa berdiri sejajar dengan sastra daerah. Karena sastra daerah juga ikut serta dalam perkembangan dan pembentukan sejarah sastra Indonesia dari kelahiran awalnya sampai era kiwari saat ini. Menurut Faisal Oddang[1] salah satu sastrawan muda Indonesia menjelaskan bahwa sastra daerah merupakan karya sastra yang dilahirkan oleh sastrawan untuk merespons fenomena budaya di suatu tempat, atau juga bisa disebut sebagai sastra Indonesia yang mengangkat isu-isu daerah atau kedaerahan. Bisa dibilang bahwa sastra daerah merupakan karya sastra yang lahir atas respons sastrawan terhadap peristiwa-peristiwa atau tafsir dari suatu kebudayaan di suatu tempat atau daerah.
Setiap sastrawan di daerah, dalam menelurkan karyanya pasti berangkat dari kebudayaan di mana mereka lahir. Karya sastra tak pernah lahir dari kekosongan budaya. Hal ini disebabkan karena para sastrawan lahir, tumbuh, berkembang, belajar, dan berpikir sesuai dengan lingkungannya, sesuai dengan daerahnya, dan sesuai dengan habit-nya masing-masing. Maka dengan demikian sastra daerah sebagai bagian dari sastra Indonesia harus dilihat secara kolektif dan komprehensif sebagai satu kesatuan, bukan dilihat secara parsial atau disekat dengan dikotomi-dikotomi antara sastra nasional dan sastra daerah. Hal ini akan menyebabkan, konteks permasalahan yang ditulis/ diwacanakan dalam sebuah karya tidak sepenuhnya menjawab permasalahan daerah. Karena sejatinya identitas kultural Indonesia adalah keberagaman, sehingga sastra harus dilihat dari berbagai perspektif dari daerah-daerah yang beragam pula.
Jika kita mau jujur, dikotomi-dikotomi antara sastra daerah dan sastra Indonesia adalah sebuah anomali, sebuah masalah dimana kita tidak bisa membedakan permasalahan nasional dan permasalahan daerah. Karena sejatinya permasalahan daerah adalah bagian dari permasalahan nasional, sehingga karya sastra yang merespons permasalahan tersebut tidak perlu digolongkan dan dipisahkan antara satu dengan yang lain. Hal ini jelas, bahwa sastra daerah adalah karya sastra Indonesia itu sendiri, namun berasal dari lingkup persoalan dari daerah yang beragam.
Membicarakan tentang sastra daerah sebagai satu kesatuan dengan sastra Indonesia, tidak bisa berhenti hanya sebagai sebuah wacana atau diskursus belaka. Di sini kita juga seharusnya melakukan sebuah upaya apresiasi karya sastra dengan cara menuliskan, membacanya, mendistribusikannya lalu menciptakan dinamika atau dialektika dari penulis ke pembaca, yakni berupa kritik sastra atau apresiasi karya sastra. Dengan hal ini diharapkan kesusastraan Indonesia akan mengalami dinamika keilmuan maupun perkembangan yang signifikan. Pembaca akan memberikan respons dan berdialektika dengan suatu karya, maka dialektika itu penting untuk perkembangan dan kesadaran berliterasi dan berkesusastraan pada hari ini, lebih-lebih di masa yang akan datang.
Sastra dan Bahasa
Tidak bisa dipungkiri bahwa sastra mewujud melalui media bahasa, peran bahasa tidak bisa dianggap remeh[2]. Sastra menggambarkan pengalaman jiwa dalam bentuk bahasa atau simbol-simbol komunikasi umat manusia. Bahasa merupakan identitas suatu bangsa, yang merepresentasikan kedalaman dan pengalaman batin perjalanan peradaban suatu individu atau bahkan bangsanya. Maka sastra dan bahasa adalah dua entitas yang saling terkait dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain dalam perjalanan menciptakan kebudayaan dan peradaban manusia.
Mengutip Ajip Rosidi[3] dalam bukunya Masa Depan Budaya Daerah menjelaskan bahwa Pasal 32 UUD 45 menyebutkan bahwa “Pemerintah memajukan kebudayaan Indonesia” dilanjutkan dalam Pasal 36 UUD 45 menegaskan “Di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri, yang dipelihara oleh rakyatnya dengan baik-baik (misalnya bahasa Jawa, Melayu, Sunda, Madura, dsb), bahasa-bahasa itu akan dihormati dan dipelihara juga oleh negara. Bahasa-bahasa itu pun merupakan sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup”
Jelaslah bahwa para penyusun Sumpah Pemuda dan UUD 45 berbuat konsisten dalam sikapnya berkenaan dengan hari depan bahasa-bahasa daerah dalam lingkungan persatuan Indonesia. Budaya dan bahasa daerah tidak dianggap sebagai ancaman bagi kebudayaan dan bahasa nasional, melainkan dianggap sebagai bagian dari kebudayaan bangsa yang hidup. Namun sayang sekali, karena pengaruh situasi politik pada suatu saat tertentu dalam perjalanan sejarah kita, maka ada anggapan negatif kepada mereka yang bermaksud mengembangkan bahasa dan budaya daerahnya, karena dianggap sebagai ancaman bagi persatuan nasional. Syukurlah anggapan demikian sekarang sudah kian memudar, meskipun bukan berarti sudah hilang sama sekali.
Namun di titik ini pula kita akan mendapati kesulitan saat menyadur sastra daerah ke bentuk yang lebih baru agar berterima di dalam masyarakat umum. Karena karya sastra daerah merupakan sesuatu yang sudah tersegmentasi sehingga pembaca di luar daerah tersebut bisa jadi kurang atau bahkan sulit untuk memahaminya.
Meskipun begitu, kita juga harus optimis bahwa di masa yang akan datang bisa jadi karya sastra yang lahir dari kekhasan wilayahlah yang akan merebut perhatian di tingkat lokal, nasional dan bahkan internasional. Kita bisa menyebut beberapa nama seperti Derek Walcott, penyair pemenang nobel yang menuliskan karya-karyanya dari persoalan konkret dan estetika yang lahir dari pedalaman Karibia. Kemudian Naguib Mahfoudz yang mendapatkan nobel juga berkat novel-novelnya yang bercerita secara mendetail mengenai kampung halamannya, terutama warung teh tempatnya ia mangkal mencari inspirasi. Di Indonesia kita tidak lupa dengan Ahmad Tohari yang mendapat perhatian luas justru ketika ia berhasil menyelami persoalan dan pedalaman masyarakat pedesaan yang hidup di kampungnya dengan mengangkat persoalan di pelosok Banyumas itu sebagai karya sastra[4], Gabriella Garcia Maequez menelurkan karya sastra klasik yang terus mengabadi hingga sekarang Seratus Tahun Kesunyian yang menceritakan tentang Keluarga Aureliano Buendia yang juga berawal dari kampung bernama Macondo, yang merepresentasikan Aracata Kolombia sebagai kampung halaman Gabo.
Agus R Sarjono[5] dalam bukunya Sastra dalam Empat Orba menuliskan dengan nada optimis, bahwa sudah saatnya komunitas-komunitas sastrawan di berbagai daerah lebih percaya pada pengalaman dan penghayatannya sendiri terhadap berbagai segi kehidupan yang konkret yang terjadi di hadapannya. Dengan begitu dapat kita harapkan lahirnya karya-karya sastra yang mengolah persoalan-persoalan konkret yang lahir dari problem sejarah, budaya, ekonomi sosial dan politik di daerahnya masing-masing.
Persoalan-persoalan konkret yang dihadapi, dihidupi, dan dihayati oleh sastrawan pada gilirannya akan mengharuskan sastrawan bersangkutan untuk mencari dan menemukan cara ucap (estetika) yang tepat bagi persoalan konkret yang mereka hadapi dan ingin mereka ejawantahkan melalui karyanya. Maka sastra Indonesia yang berpengharapan di masa depan adalah sastra yang lahir dari penghayatan habis-habisan terhadap persoalan-persoalan konkret yang terhampar di depan mata. Persoalan-persoalan konkret yang muncul dari konflik budaya, sosial, ekonomi, politik, psikologis, di wilayah yang kecil dan terbatas, dimana tempat sang sastrawan hidup dan menemukan sumber inspirasi dari keterlibatannya di sana.[6]
Karena bagaimanapun juga sastra daerah bukanlah anak tiri yang dekil dan kapiran dari sastra Indonesia. Sastra daerah adalah ibu kandung yang sah dari pergumulan panjang sastra Indonesia, dan bahkan ikut serta dalam membentuk sejarah panjang kesusastraan Indonesia itu sendiri.
Catatan Kaki
[1] Wawancara Balairung Press.com bersama Faisal Oddang, Apresiasi Sastra Indonesia Melalui Pelestarian Kebudayaan Daerah, 2019. Diakses pada tanggal 18 Maret 2020
[2] Agus Wibowo Pendidikan Karakter Berbasis Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 64
[3] Ajip Rosidi, Masa Depan Budaya Daerah. Dalam Hadiah Sastra “Rancage”, (Bandung: Pustaka Jaya, Cetakan ketiga, 2016), hlm. 72-73
[4] Agus R Sarjono, Sastra dalam Empat Orba. Dalam Sastra Abad Muka: Dari Madura ke Pergaulan Dunia, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), hlm. 295
[5] Agus R Sarjono, …, hlm. 294
[6] Ibid.
Daftar Pustaka
Http://www.balairungpress.com/2019/08/apresiasi-sastra-Indonesia-melalui-pelestarian-kebudayaan-daerah/, diakses pada 18 Maret 2020
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip. 2016. Masa Depan Budaya Daerah. Bandung: Pustaka Jaya
R Sarjono, Agus. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya