SUNYI ADALAH KUNCI
Joko Pinurbo
Judul kumpulan puisi ini sebenarnya sudah menyiratkan inti permenungan dari sajak-sajak Emi Suy. “Alarm sunyi” adalah diksi yang mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri karena terdiri atas dua kata yang bertentangan makna. Kontradiksi makna itulah yang mengantarkan kita kepada kesadaran mengenai fungsi (ke)sunyi(an) dalam kehidupan manusia.
Kesunyian (dalam arti kesepian) sering dianggap atau dirasakan sebagai kutukan: suatu situasi dan kondisi yang diliputi kehampaan, kesia-siaan, dan keterasingan. Dalam sejumlah sajak Emi Suy kesunyian justru dimaknai sebagai alat atau sarana untuk menjaga keseimbangan jiwa agar manusia tidak limbung oleh derap waktu yang sering sulit dikendalikan oleh nalar dan perasaan yang memang rapuh.
Benarlah bahwa dalam sunyi suara-suara alam dan suara-suara dalam diri justru terdengar nyaring seperti alarm. Dan dalam sunyi manusia dapat melihat dengan jernih gerak-gerik batinnya dan gerak-gerik batin itu sering terungkapkan dalam gerak-gerik alam. Sunyi adalah cermin paling bening yang menampakkan apa yang terpendam dan bergolak di pedalaman tubuh manusia.
daun-daun duduk
mengemas suntuk
di bangku panjang
(......)
angin menoleh
dingin menoreh
diam mematung
rindu terhuyung
(Sajak “Sunyi”)
angin
hujan
musim gugur
semua pengingat musim semi
(Sajak “Alarm Musim Semi”)
Begitulah, kesunyian dapat dihayati dan dimaknai secara positif sebagai sesuatu yang justru diperlukan agar manusia dapat dengan tenang dan bijak menanggapi peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sunyi dapat berfungsi sebagai pengingat dan peringatan agar manusia selalu merefleksikan dan memurnikan kembali hakikat dan arah perjalanannya dan dengan begitu dapat terbebas dari ambisi-ambisi hidup yang semu.
Sunyi adalah sebuah keniscayaan yang muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan manusia mengatasi kuasa waktu. Biang utamanya ialah bahwa manusia selalu terjebak dalam pusaran pergolakan antara kesementaraan dan ilusi akan keabadian. Di satu sisi manusia sering merasa jenuh dengan perjalanan, di sisi lain sering menyesal ketika perjalanan tahu-tahu sudah berakhir.
sunyi merambat perlahan
di antara riuh roda kereta melewati lintasan
(Sajak “Kereta Malam”)
Di atas rel kereta panjang
tubuhku gerbong melaju mengangkut rindu
(......)
di bangku itu kesepian panjang berjajar
menunggu gerbong tiba
(Sajak “Gerbong Kereta”)
Yang paling menyakitkan ialah bahwa sunyi sering muncul dari dalam tubuh manusia sendiri. Tubuh manusia terlalu lemah dan terbatas untuk dapat mengatasi sengketa antara kesementaraan dan gairah akan keabadian. Dalam situasi begini sunyi adalah nama lain dari rasa kehilangan, seperti rasa hampa yang menyergap sehabis gemuruh percintaan.
selamat malam, langit-langit kamar
aku memejam dan meredam
di antara suara dengkur setelah percintaan
(Sajak “Setelah”)
Sementara itu, di luar tubuh, sunyi sebagai rasa kehilangan bisa datang dari absurditas nasib yang diliputi ketidakpastian. Itulah sebabnya, mengapa sunyi sering menjelma menjadi rasa rindu dan rasa sakit yang tak terselesaikan. Namun, jika dihayati dan dilakoni dengan sikap ikhlas dan sumeleh, sunyi justru dapat memberikan atau menciptakan daya hidup yang indah.
sendiri ditemani rindu
pelan-pelan jemarinya merangkai sunyi
di antara potongan-potongan kain perca
malam adalah ujung jarum yang tiba-tiba
menusuk ujung telunjuk
berdarah dan perih tak membuatnya berhenti
meski senyap telah ditelan gelap
matanya yang layu belum tampak sayu
berkali-kali menggulung benang
yang terlepas dari skoci
ia sabar menyimpan warna-warna ingatan
dalam sebuah laci
matanya menatap dekat lubang jarum
memasukkan ujung benang dalam lubang
menjadikannya sempurna sepotong baju
(Sajak “Penjahit Luka”)
Kumpulan puisi ini kita telah mempertemukan kita dengan sosok sunyi yang ambigu. Sunyi adalah kunci. Dalam maknanya yang positif, sunyi adalah sarana untuk berdamai dengan diri sendiri, dengan nasib sendiri, dengan pengalaman hidup sendiri. Sunyi adalah sarana untuk memulihkan komunikasi dengan diri sendiri dan dengan semua yang “terlibat” dalam kehilangan. “Sebab dingin adalah kita yang berjarak” (sajak “Menjaga Jarak”).
Yogyakarta, 16 Maret 2017
-Sumber: Berguru pada Puisi, Joko Pinurbo, Yogyakarya: Diva Press, 2019