WAGGU
Polanco S. Achri
1
DINI hari—
Seorang pemuda, Arus bernama, dan lelaki tua, yang oleh Arus dipanggil dengan “Paman”, duduk pada bangku panjang yang terbuat dari kayu-kayu bekas bangunan, duduk di depan rumah yang terbuat dari anyaman bambu yang mana catnya mulai pudar dan beberapa bagiannya sudahlah rusak. Mereka duduk di sana: menantikan sesuatu yang mereka sendiri tidaklah genap tahu itu apa.
Angin berembus pelan . . .
Nak, ucap paman agak pelan, makin lama aku hidup di dunia ini, makin terasa aneh saja; makin membingungkan. Ya, walaupun aku juga tak tahu, apa yang tidak aneh dari dunia ini.
Entah mengapa, Paman, jawab Arus, aku juga merasakan hal yang sama. Sama persis malahan, Paman.
Ah, setidaknya kau masih muda, Nak, masih bisa mencari arti dan juga memahami; sedangkan aku sudah setua ini masih tak mengerti. Kadang-kadang, aku merasa begitu malu pada leluhur-leluhurku: betapa makin tua seharusnya diriku ini makin tahu dan paham, tetapi malah sebaliknya.
Arus mendengarkan; meski matanya memandangi jauh—menembus kegelapan.
Paman menepuk pundak Arus dan berkata:
Memang apa yang membuatmu merasa aneh pada dunia ini, Nak?
Aku, jawab Arus, lekas, hapal benar kalimat itu, Paman; sebuah kalimat yang berbunyi, “Dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” Namun, rasanya, diri ini tidaklah pernah menang barang sekali. Kalaupun menang, itu hanya rangkaian menuju kekalahan yang lebih dalam. Kekalahan, dan kekalahan, dan kekalahan . . .
Paman pun tertawa lirik, dan kembali berkata:
Dan sialnya, di dunia yang merupakan permainan ini, kau dilarang untuk bermain-main, ya, kan?
Begitulah, Paman; dan sebab itu juga yang membuatku mulai merasa aneh dengan dunia ini. Merupakan tempat di mana ada senda gurau, tapi tidak boleh bergurau. Dan saat aku menganggapnya serius, aku malah dihakimi sebagai manusia yang aneh. “Dunia ini hanya permainan, nggak usah serius-serius amat kali.” Sial! Tidak ada yang bisa ditertawakan di dunia ini, Paman.
Apa kau sudah pernah menertawakan kehidupan yang aneh ini? ucap Paman lekas. Menertawakan kekalahan demi kekalahan, menertawakan sesuatu yang tidak lucu sama sekali, apakah kau pernah, Nak?
Paman sendiri pernah melakukannya?
Sepertinya akhir-akhir ini sering, jawab Paman, saat aku merasakan keanehan demi keanehan di dunia ini aku pun tertawa. Aku tertawa dengan perasaan yang benar-benar tidak kumengerti, Nak. Dan aku merasa kata yang pas untuk itu semua adalah: Aneh!
Tapi, aku juga merasa kalau manusia itu juga aneh, Paman. Mereka mempertaruhkan apa-apa yang tidak pernah mereka miliki barang sebentar, barang sedetik pun!
Dan kau juga melakukan itu, kan?
Sepertinya iya, Paman. Dan aku mulai merasa diri ini memang aneh.
Sudahlah, Nak. Lebih baik kita masuk sekarang. Ia tidak akan datang sepertinya.
Maksud Paman siapa?
Sesuatu yang tidak kita ketahui, tapi kita tunggu dan nanti.
Arus pun tersenyum mendengar hal yang demikian.
Kau menganggap aku aneh, ya? tanya Paman.
Ada baiknya sesama orang aneh tidak mengatai aneh pada yang lain; meski itu juga sama-sama anehnya, ya, kan?
Arus dan Paman pun masuk ke dalam sesuatu yang tampak sebagai rumah.
2
SIANG hari yang terik—
Di bawah sebuah jembatan, yang terdapat dua rel kereta api di bawahnya, seorang penjual bingkai tengah beristirahat di tepinya. Ia mengipas-ngipaskan topinya sambil memandangi rel yang sesekali pula dilewati sebuah kereta: dan memberi-meniupkan angin!
Penjual bingkai itu berkata—kepada dirinya sendiri:
Masa kecil. Siapa sangka sebuah kenangan memang membuat manusia menyadari dirinya hanyalah sesuatu yang tidak pernah utuh. Merasakan ada yang hilang dan tertinggal, padahal tidak pernah memiliki. Manusia memang aneh! Saat masih kecil, aku sering melihat kereta api bersama teman-teman. Tetapi, sekarang, itu hanya kenangan. Mereka semua sudah menjadi orang hebat, kaya, dan ternama; sedangkan aku hanya jadi penjual bingkai. Ah! persetan dengan harga diri! ... Menipu, dan berbuat curang berhasil membuat mereka menjadi kaya dan hidup nyaman. Tetapi, aku tidak ingin mengecewakan ibu, aku tidak ingin. ... Dan semoga ibu tenang di Surga.
Seorang anak kecil lewat di depan penjual bingkai itu sambil membawa gulungan benang layangan. Penjual bingkai pun lekas memanggil berkata padanya:
Nak, apa kau mau membeli layang-layang?
Anak kecil itu pun menjawab:
Iya, Paman. Aku akan menerbangkan layang-layangku setinggi mungkin.
Tapi, di mana teman-temanmu, Nak?
Mereka banyak yang belajar untuk ujian.
Kau sendiri tidak belajar untuk ujian?
Tidak, Paman. Aku tidak terlalu suka belajar untuk ujian. Tapi, aku suka membaca buku, Paman, apalagi buku cerita. Aku menabung uang jajanku untuk beli buku cerita. Dan ternyata masih ada sisanya. Jadi, kupakai buat beli layangan saja. ... Aku duluan ya, Paman.
Sebentar, ucap penjual bingkai sambil mengambil sesuatu dari sakunya, ini untukmu, Nak, untuk beli layangan.
Tidak usah, Paman, jawan anak kecil itu. Kata ibu, aku tidak boleh merepotkan orang lain.
Tidak papa; lagipula, uang sisa itu bisa ditabung lagi, kan? Bisa untuk beli buku. Dan Paman juga suka main layang-layang saat kecil dulu. Nanti, terbangkan yang tinggi, biar Paman bisa lihat. Sekarang, ambil uangnya dan beli layangan yang besar dan bagus. Kalau ada lawan jangan sampai kalah.
Siap, Paman, jawab anak kecil itu sambil menerima uang. Terima kasih.
Tapi, kamu harus janji pada Paman.
Janji apa, Paman?
Janji harus mejadi anak yang jujur. Bagaimana?
Anak kecil itu pun mengangguk, dan berkata:
Ibuku juga sering berpesan seperti itu padaku.
Anak kecil itu berlari dengan penuh semangat—berlari menuju sebuah warung guna membeli layang-layang. Sesekali, selama masih bisa dipandangnya, ia akan menengok ke belakang dan mengucapkan terima kasih kepada penjual bingkai.
Syukurlah, ucap penjual bingkai. ... Lagi-lagi, kenangan. Dan kenangan agaknya memang membuat manusia terpaksa menemukan dirinya sendiri dalam keadaaan yang retak dan tidak utuh. Apa sebab itu manusia harus saling melengkapi?
Penjual bingkai merapikan diri dan membawa kembali bingkai-bingkainya: kembali berjalan menjajakan dagangan.
3
DINI hari yang lain—
Arus dan Paman kembali duduk di depan rumah mereka yang hanya dari anyaman bambu. Di kursi yang sama, mereka duduk, menanti sesuatu yang mereka sendiri belum tahu apa itu.
Hidup hanya menunda kekalahan, ucap Arus.
Sepertinya aku tidak asing dengan kalimat itu. Apa kalimat itu kau dapatkan dari buku yang kau temukan di dekat stasiun, Nak?
Iya, Paman. Aku menunggu dan mencari pemiliknya, tapi tak ada yang mencari. Dan mungkin pemiliknya sudah pergi dengan kereta.
Apa ada nama di dalam buku itu? tanya Paman penasaran.
Hanya tertulis: Takdir. Mungkinkah itu nama pemiliknya?
Bisa saja. Tapi, kau tidak percaya dengan kebetulan, kan?
Dan Paman sendiri selalu menganggap bahwa segala hal adalah simbol dan tanda, jawab Arus mengulang pernyataan yang sering diucapkan Paman kepadanya.
Paman pun tertawa, dan berkata:
Apa kau mengamini tulisan itu?
Entahlah, Paman. Aku rasa memang begitu adanya.
Jika hidup memang menunda kekalahan, Nak, ucap Paman. Lantas, kau kalah dari apa atau siapa?
Takdir? jawab Arus menduga.
Paman tertawa, dan lantas berkata sambil menatap buku yang ditemukan Arus:
Bukankah dunia ini memang aneh? Ditambah kita yang anah dan merasa aneh pada dunia. ... Kau berhasil menemukan orang yang mengalahkanmu, Nak.
Kalaupun, aku memang harus kalah oleh takdir, ucap Arus, maka, aku akan kalah dengan terhormat sebagai seorang manusia!
Kehormatan kau bilang? Ah! apa kau benar-benar memiliki hal itu? ucap Paman sambil tertawa kecil. Sudahlah, lagipula, aku malahan salut kepadamu, Nak, sebab bangga menjadi seorang manusia—di saat banyak orang berlomba-lomba ingin menjadi dewa. ... Kau benar-benar mirip dengan lelaki itu.
Maksud Paman . . . ?
Kalau bukan dia siapa lagi, Nak?
Arus mengingat-ingat . . . .
4
SEBUAH tempat yang amat gelap dan hanya cahaya dari lampu di atas tubuh—
Seorang lelaki berkumis tebal berkata kepada penjual bingkai:
Menurut Anda seberapa layak kehidupan di dunia?
Saya ada di mana, Tuan? ucap penjual bingkai seolah tak mendengar tanya dari si lelaki berkumis tebal.
Anda akan tahu jika menjawab semua pertanyaan yang akan saya ajukan, jawab lelaki berkumis. Karenanya, sekarang, jawablah pertanyaan barusan: Seberapa layak kehidupan di dunia?
Saya kurang tahu, Tuan. Kata ibu saya, kita tidak boleh memberikan penilaian hanya dalam sekali jalan dan sekali pandang. Perlu didalami dan dijalani secara berkali-kali.
Lalu, dengan kehidupan yang sekali itu, apakah manusia tidak bisa merasakan dan memberikan penilaian terhadap kelayakan kehidupan di dunia?
Sebab itulah, Tuan, saya tidaklah yakin. Dan untuk memberikan sebuah penilaian pada sesuatu, ibu saya berpesan harus diselesaikan sampai tuntas; pun masih harus diulang-ulang, agar menemukan jawaban yang mendalam dan tepat.
Menarik, ucap lelaki berkumis tebal. Saya tidak menyangka bahwa Anda benar-benar menarik. Menurut Anda, apa yang membuat manusia tetap ingin hidup di dunia yang nyatanya selalu mereka katakan amat pahit dan menyakitkan?
Saya tidak tahu, Tuan. Mungkin ada yang takut mati, sebab mereka belumlah tahu. Merasakan kematian sebagai sesuatu yang amat misterius, tapi di sisi lain ada manusia yang tetap ingin hidup karena ingin terus merasakan kepedihan-kepedihan. Semacam: merasakan kenikmatan dari berbagai siksaan dunia. Ada juga yang ingin mengungkap rahasia-rahasia kehidupan itu sendiri, Tuan. Ada banyak alasan. Dan itu semua bisa dicari dan diada-adakan.
Menarik. Benar-benar lelaki yang menarik. Kalau Anda sendiri, kenapa masih ingin hidup di dunia yang banyak dibilang sebagai tempat yang pahit dan pedih?
Saya ingin hidup untuk anak lelaki saya. Saya ingin mengajarinya bahwa kehidupan harus dijalani secara tuntas. Dan saya sangat ingin melihat ia menjadi manusia yang manusia.
Itulah yang saya maksud menarik. Manusia ingin hidup untuk manusia yang lain. Bahkan tanpa imbalan apa pun. Manusia memang menarik. Mungkin benar jika tanpa manusia lain manusia memang tak ingin hidup.
Tuan . . . , ucap penjual bingkai.
Ada apa? tanya lelaki berkumis tebal. Apakah Anda ingin menanyakan sesuatu? Pertanyaan dari saya, saya rasa cukup.
Mungkin kata Tuan memang benar: dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan Tuan akan membuat saya tahu saya ada di mana. Bolehkan sekarang saya bertanya?
Tentu, jawab lelaki berkumis tebal.
Apakah saya sudah mati?
Saya tidak tahu apakah kata mati sesuai untuk kondisi Anda kali ini. Akan tetapi, secara sederhana, memang, begitulah adanya.
Kalau boleh tahu, Tuan itu siapa sebenarnya?
Itu tidak terlalu penting bagi Anda, jawab lelaki berkumis tebal. Sebentar lagi kita akan berangkat menuju ke alam Sana, tempat bagi manusia yang rajin berbuat baik.
Tapi saya bukanlah manusia yang rajin berbuat baik, Tuan. Saya ini hanya penjual bingkai yang berharap anak lelakinya menjadi manusia yang manusia; menjadi seorang yang benar-benar manusia.
Itu lebih dari cukup, jawab lelaki berkumis tebal. Dan jika tidak ada yang Anda tanyakan lagi kita akan berangkat.
Tuan, apakah saya boleh menemui anak lelaki saya dulu? Saya sudah lama sekali rasanya tidak melihatnya.
Maaf, jawab lelaki berkumis tebal, jika hal itu sepertinya tidak bisa.
Saya mohon, Tuan. Hanya sebentar saja. Saya sudah lama sekali tidak bertemu dengannya.
Lelaki berkumis terdiam sebentar—dan atas suatu perintah berkata:
Baiklah. Saya juga mendapat kabar bahwa Anda diizinkan menemui anak lelaki Anda. Hanya sebentar.
Terima kasih, Tuan, ucap penjual bingkai. Terima kasih....
Dan mereka pun berangkat.
5
DINI hari yang lain lagi—
Arus dan Paman kembali duduk di depan rumah mereka yang hanya dari anyaman bambu. Di kursi yang sama mereka duduk, menanti sesuatu yang mereka sendiri belum tahu apa itu. Namun, malam ini, mereka merasa samar-samar mengetahui apa yang mereka nantikan. Meski, hal itu belum nampak benar, belum terasa amat yakin.
Paman, ucap Arus, apa yang sebenarnya kita nantikan sejak kemarin dan kemarin, dan kemarinnya lagi?
Aku juga tidak tahu, Nak; tapi, bukankah kau merasakan harus menantikannya?
Iya, Paman. Tapi, aku tidak tahu hal itu apa?
Paman juga tidak tahu, Nak.
Keduanya pun terdiam cukup lama, sampai dari kejauhan muncul penjual bingkai dan lelaki berkumis tebal yang mengantarkannya: menemui Arus dan Paman.
Bapak . . . , ucap Arus sepontan.
Penjual bingkai lekas memeluk Arus, dan berkata pelan:
Nak . . .
Paman yang mendapati hal yang demikian lekas berkata:
Bukankah kau sudah meninggal beberapa bulan lalu, . . . meninggal di tanah rantau?
Barangkali memang iya, ucap penjual bingkai. Tapi, aku sendiri tidak tahu, aku mati karena apa.
Terkadang, beberapa hal tidak memerlukan alasan . . . , sahut lelaki berkumis tebal.
Dan alasan bisa dibuat-buat dan dicari-cari, ucap Arus. Bukankah begitu?
Lelaki berkumis tebal pun berkata pada penjual bingkai:
Bukankah Anda ingin menyampaikan sesuatu kepada anak Anda? Saya mohon untuk segera; Anda hanya diberikan waktu yang sebentar.
Apa itu, Pak? tanya Arus lekas-lekas.
Bapak tidak ingin menyampaikan apa-apa, kata penjual bingkai. Bapak sudah senang diizinkan bertemu denganmu sebelum menuju alam yang Bapak sendiri tidak tahu seperti apa. Bapak berharap Arus bisa menjadi seorang manusia yang manusia. Cukup itu.
Menjadi manusia yang manusia? ucap Arus. Arus tidak tahu tentang semua itu, Pak. Tapi, Arus akan berjanji menjadi penjual bingkai yang lebih baik dari Bapak.
Bapak rasa itu lebih dari cukup untukmu, Nak, belas penjual bingkai.
Aku dulu menduga-duga, ucap Paman memecah keadaan, jika ada seorang mati yang dihidupkan lagi, maka ia ingin kembali dan lebih berhasrat untuk menjalani kehidupannya. Lebih ingin hidup! Tapi, melihatmu, aku semakin yakin satu hal, kau memang seorang penjual bingkai.
Terima kasih kau sudah mau menjaga anakku, ucap penjual bingkai. Dan melihatmu kembali, kini, aku juga semakin yakin bahwa kau adalah seorang pembuat bingkai, Dik.
Lelaki berkumis tebal pun berkata:
Apakah urusan Anda sudah selesai? Jika sudah, mari kita berangkat.
Penjual bingkai mengangguk, dan berkata:
Saya rasa cukup. Dan untuk itu, terima kasih.
Lelaki berkumis dan penjual bingkai berjalan menjauh: hilang dalam kegelapan yang mana terasa sunyi.
Untuk sesaat hening.
Paman, ucap Arus.
Ya?
Apakah kita masih harus menunggu?
Tentu, kenapa tidak, jawab Paman. Tapi untuk sekarang, mari masuk dulu ke rumah.
(2018—2021)