Ampak-ampak di Langit Pegunungan Kapur Utara - Heru Sang Amurwabumi

@kontributor 12/12/2021

AMPAK-AMPAK DI LANGIT PEGUNUNGAN KAPUR UTARA

Heru Sang Amurwabumi




Mengapa Dewata membiarkan terjadinya perang? Apakah ia sudah bosan melihat kedamaian dan ketentraman manusia? Mengapa Dewata gemar membuat teka-teki? Lihatlah Tuban, gugusan permata molek di selatan Kambang Putih. Hamparan pantai menawan dengan ombak dan guyuran sinar matahari sepanjang tahun, hasil bumi melimpah, serta manusia-manusianya yang rajin menyembah Penciptanya. Bandingkan dengan bangsa mata sipit yang belum lama ini diusir kesatria-kesatria Tuban: tandus, bengis, dan serakah. Tidak seharusnya Dewata menurunkan kutukan berupa pertumpahan darah di sini.

Pertanyaan demi pertanyaan itu terus berkeliaran di pikiran Ranggalawe. Tubuhnya gemetar begitu hebat. Hatinya terasa dicabik-cabik manakala mengingat peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Mengingat rencana perang yang akan kembali melibatkan orang-orang Tuban. Bukan hanya kebanggan sebagai senopati Wilwatikta yang sanggup memangkas habis kuncir rambut Ike Mese, Kau Hsing, dan Shih Pi—tiga pemimpin pasukan [1]Mongol yang datang ke Jawa untuk menghukum Kertanegara—direndahkan, namun segala pengabdiannya kepada Sanggramawijaya seperti lampus begitu saja.

Masih terpancang kuat dalam benaknya, bagaimana ia telah berjuang habis-habisan membantu Sanggramawijaya mengalahkan Jayakatwang di Kadiri, kemudian membuat kocar-kacir orang-orang mata sipit dari Mongol. Namun kini justru ia tidak bisa menerima kenyataan ketika hanya diberi kedudukan sebagai adipati di Tuban, setelah ia hantarkan Sanggramawijaya menduduki takhta negeri baru di bekas hutan Tarik. Padahal tanpa sepak terjang Ranggalawe di medan perang, apalah arti kekuatan Sanggramawijaya.

“Kesatria Wilwatikta  macam apa aku ini?” keluh Ranggalawe dengan perasaan kian bimbang.

Adipati Tuban itu masih gemetar. Dari keningnya mengalir keringat dingin. Bibirnya meracau mengucapkan kalimat yang tidak jelas. Beban pikiran yang begitu berat itu membuat kesadarannya menipis. Ranggalawe merasa tidak bisa lagi menguasai diri. Bahkan sekadar untuk menopang tubuh sendiri. Ia rebah di atas balai-balai. Pandangan matanya pelan-pelan menjadi kabur. Hingga dalam ambang batas antara sadar dan tidak, samar-samar ia melihat sebuah bayangan berdiri di hadapannya. Bayangan dari seorang lelaki tua berselendang kain putih di pundak. Rambutnya yang digelung rapi di atas ubun-bun nyaris dipenuhi uban. Lelaki tua itu bertelanjang dada. Entah melalui pintu mana dan sejak kapan lelaki tua itu datang, tiba-tiba saja sosoknya telah berada di dalam bilik Ranggalawe.

Ngger, Putraku Lawe.” Lelaki tua itu berujar pelan, suaranya parau dan berat, “Apakah kau sudah lupa dengan kodratmu, Ngger?”

“Siapa kau?” Ranggalawe gelagapan.

“Apa yang telah kaulakukan, Thole? Apa yang kauinginkan? Apakah kau merasa hina jika hanya mendapatkan kedudukan sebagai seorang adipati di Tuban? Apakah kau merasa Sanggramawijaya tidak memanusiakan pamanmu, Lembu Sora, jika tidak mengangkatnya sebagai Mahapatih Amangkubhumi? Tidakkah kau sadar bahwa dipilihnya Nambi menduduki kursi kepatihan, tentu telah dipikirkan sisi baik dan buruknya oleh junjungan kalian?”

Ranggalawe mengusap kedua kelopak matanya berkali-kali. Mencoba menemukan kesadaran.

“Aku ingatkan sekali lagi, Ngger. Kodratmu adalah menjadi seorang rangga. Rangga artinya kesatria. Lawe berarti wênang, kemenangan. Letak dari kemenangan seorang kesatria adalah ketika ia bisa mengendalikan amarahnya sendiri. Mampu mengalahkan gejolak ketidakpuasan atas perlakuan Sanggramawijaya yang menurutmu tidak manusiawi dalam membalas budi para pengikutnya!” Lelaki tua itu bertutur dengan sorot mata tajam. “Satu hal yang harus kau ketahui, menjadi seorang Mahapatih Amangkubhumi butuh kecakapan dalam ilmu tata praja dan tata nagari: bijaksana, bisa berdiplomasi, serta lapang dada jika dicela. Itu yang tidak ada pada dirimu dan Lembu Sora. Kau dan pamanmu dikodratkan hanya menjadi kesatria yang gagah berani di medan perang.”

Lelaki tua itu melambaikan tangan, lalu berjalan meninggalkan Ranggalawe yang masih tercengang dengan kehadirannya. Ketika punggungnya hilang di balik pintu, barulah Ranggalawe mengenali siapa sosok yang telah datang.

“Ki Palandongan?”

Seketika Ranggalawe berlutut dan buru-buru melakukan sembah dada. Sesaat kemudian ia bangkit, mengejar sosok lelaki tua yang baru saja keluar dari biliknya. Namun sampai di halaman kadipaten, yang dicarinya sudah tak bisa dijumpai. Sosok lelaki tua yang banyak berperan dalam membentuk jiwa kesatria Ranggalawe muda itu seperti lenyap di telan gelap.

***

Malam itu, di tengah kegelapan Bale Tatag Rambat Wilwatikta, beberapa blencong nampak menyala. Penglihatan yang tertutup pekat, menjadi bisa menangkap pemandangan meski samar-samar. Blencong-blencong itu terpasang di setiap pilar kayu penopang bangunan yang terbuat dari kayu jati. Nyalanya sesekali berkelebatan ketika hembusan angin menerpa. Dari sela-sela kilauan cahaya blencong, nampak pula kepulan asap. Kepulan yang keluar dari prapen, menebar aroma harum dupa asthanggi.

Kilatan cahaya blencong-blencong itu juga menimbulkan bayang-bayang bagi benda yang ditimpanya. Nampak ada tiga bayang-bayang manusia sedang berkumpul di sana. Bayang-bayang dari Sanggramawijaya, Ranggalawe, dan Kebo Anabrang.

“Aku sudah memikirkan penobatan ini melalui pertimbangan panjang,” ucap Sanggramawijaya.

“Apa jasa Nambi? Mengangkat senjata sekali saja ia tidak pernah!” sanggah Ranggalawe. “Apakah Kangjeng tidak ingat, bagaimana Paman Lembu Sora jatuh bangun menggendongmu menyeberangi sungai dan rawa-rawa, ketika orang-orang Jayakatwang mengejar Kangjeng dalam pelarian menuju Songeneb?”

“Tidak mungkin aku lupa semua jasa Paman Lembu Sora.”

“Apakah Kangjeng lupa, sepasukan kuda yang kupimpin membuat Meng Khi dan anak buahnya lari tunggang langgang ke Kambang Putih?”

“Tentu saja aku mengingatnya.”

“Mengingatnya dengan memperlakukan aku dan Paman Sora secara tidak adil?!”

Ranggalawe mengangkat sembah dada, berjalan jongkok mundur tiga kali, lalu berdiri dan berjalan meninggalkan Bale Tatag Rambat. Kebo Anabrang yang sejak tadi hanya diam, buru-buru menyusul lelaki yang baru saja dinobatkan sebagai Adipati Tuban oleh Sanggramawijaya itu.

***

Adipati Tuban itu mengusap air matanya. Menyeka keringat dingin yang bercucuran membasahi tubuh. Melepas ukiran kelat emas di lengan bahu dan sumping di kedua telinganya. Lalu ia membersihkan setiap jengkal tubuhnya, mulai ujung kaki hingga ubun-ubun. Ia bersihkan segala kebimbangan yang membebani hatinya semenjak bersitegang dengan Sanggramawijaya dan Kebo Anabrang. Namun, perasaannya masih saja diselimuti kabut kegamangan. 

[4]Kebimbangan itu semakin memuncak, manakala Ranggalawe teringat pertengkarannya dengan Kebo Anabrang di halaman Bale Tatag Rambat. Kebo Anabrang meminta Ranggalawe meninggalkan Trowulan dan lekas menyiapkan orang-orang Tuban untuk menyambut kedatangannya. Iya, Kebo Anabrang memang melontarkan kalimat pedas bahwa sebaiknya ketidakpuasan Ranggalawe kepada Sanggramawijaya diselesaikan secara kesatria dengannya.

Setelah merasa bersih, Ranggalawe berganti pakaian dengan hanya mengenakan cawat dan selendang putih. Ia berjalan menuju sanggar pamujan yang terletak di dalam sebuah goa. Ia duduk di atas sebongkah lempeng batu dengan posisi siddhasana. Jari tangannya memutar aksamala yang terbuat dari untaian biji genitri, lalu berusaha memusatkan pikiran kepada Sang Pencipta. Bibirnya berdesis membaca puja mantra, seiring hembusan napas yang semakin pelan dan datar. Batin Ranggalawe mendadak sunyi. Hatinya memasuki sebuah lorong bercahaya putih, merayap hingga mencapai di ujung jalan. Ujung keheningan rasa. Di ujung jalan itu, tiba-tiba ia melihat sebuah sosok yang menyerupai dengan dirinya sendiri.

“Kenapa kau bimbang, Lawe? Bukankah kau seorang kesatria?” Sosok itu bertanya.

Ranggalawe terdiam. Tidak ada sepatah kalimat yang keluar dari bibirnya.

“Seorang kesatria harus berani menjawab.” Suara itu terdengar sangat lembut, namun serupa sembilu yang menyayat perasaan Ranggalawe.

“Jawablah, Lawe. Jangan hanya diam. Agar kau bisa mengambil sikap.”

“Kalau kau tidak menjadi seorang Mahapatih Amangkubhumi, apakah kau merasa bahwa harga dirimu terinjak-injak?”

“Apakah kau juga merasa ikut terhina ketika pamanmu, Lembu Sora, hanya menduduki jabatan Rakryan Apatih di Daha?”

“Ketika ayahmu, Arya Wiraraja, menyuruh seorang putranya membantu Sanggramawijaya mengusir bangsa mata sipit, apakah kau mengharap imbalan kekuasaan duniawi? Tidakkah pengabdianmu itu dilandasi niat tulus untuk membela tumpah darahmu, tanah Jawa?“

“Ingat, Lawe. Pertumpahan darah demi mengumbar amarah untuk memperebutkan kekuasaan duniawi, hanya akan merobek-robek tirai luhur kemanusiaan!”

Sesaat semuanya hening.

[5]Tiba-tiba Ranggalawe melihat dirinya yang tak lagi berwujud adipati Tuban maupun senopati Wilwatikta sedang dikepung puluhan orang di tepi sebuah sungai. Orang-orang itu merentangkan gendewa dan membidik ke arahnya. Dalam sekejap, puluhan anak panah menghujani tubuhnya bertubi-tubi, melesat silih berganti seperti gelombang laut pasang. Ranggalawe menceburkan diri ke sungai. Dalam kondisi tubuh penuh luka, Kebo Anabrang memiting tubuhnya di dalam air. Pitingan yang membuat Ranggalawe gelagapan kesulitan bernapas. Di ujung napasnya yang tinggal tersisa di kerongkongan itu, samar-samar ia sempat melihat pamannya, Lembu Sora menyibak kerumunan orang-orang, lalu ikut menceburkan diri ke sungai dan menyasarkan sebilah keris tepat ke dada Kebo Anabrang.

Ranggalawe menjerit. Ringkik kuda Nila Ambara di luar sanggar pamujan menyadarkannya dari samadi. Pelan-pelan pikirannya kembali ke jagad kasunyatan. Ketika ia membuka mata, sosok yang pertama dilihatnya adalah Nyai Martaraga, istrinya yang dua hari ini setia menjaganya saat saat menjalani raja yoga. Kesadaraannya mulai bisa menemukan kenyataan bahwa yang sekarang sedang dihadapi adalah bagian dari garis takdir yang tidak dapat dihindari.

“Mari kita kembali ke kadipaten, Yayi. Aku harus bersiap-siap menjemput kedatangan Rakawi Kebo Anabrang sebelum ia sampai di Tuban.”

Ranggalawe mendongakkan kepala ke cakrawala malam. Tiba-tiba aroma wangi menyergap, pintu sanggar pamujan seperti ditaburi kembang tujuh rupa. Sisa ampak-ampak di atas Pegunungan Kapur Utara tersingkap, langit dipenuhi kerlipan jutaan bintang. Gugusan bintang-bintang itu seperti membentuk sebuah sosok sedemikian rupa yang menyerupai wujud Batara Yamadipati. Dalam indera batinnya, Ranggalawe melihat dewata pencabut nyawa itu sedang melambaikan tangan sembari memanggil-manggil namanya, “Ranggalawe, Ranggalawe, Ranggalawe.” (*)


Note:

Ampak-ampak (bahasa Jawa) = Mendung hitam.

Ngger, Kependekan angger (bahasa Jawa), anak.

Thole, Panggilan kepada anak lelaki yang usianya jauh lebih muda.

Bale Tatag Rambat,  Nama lain Bale Manguntur, tempat menghadap raja berdasarkan Nāgarakṛtâgama.

Blencong, Pelita kuno (Jawa), biasa digunakan untuk pentas pergelaran wayng kulit.

Prapen, Tungku pembakaran dupa.

Dupa asthanggi, Dupa yang dibuat dari ramuan rempah-rempah khusus, sehingga berbau harum.

Songeneb, Sumenep, Madura sekarang.

Siddhasana, Posisi duduk bersila dengan kedua telapak tangan diletakkan di atas lutut.

Aksamala, Tasbih.

Gendewa, Busur panah.

Jagad kasunyatan, Alam nyata. 

Rakawi, Kakak. 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »