Madame Bovary: Kematian Romantisisme di Tangan Flaubert - Naning Scheid

@kontributor 12/19/2021

MADAME BOVARY: KEMATIAN ROMANTISISME DI TANGAN FLAUBERT

Naning Scheid




Madame Bovary karya Gustave Flaubert ditulis pada Abad ke-19 dalam kurun waktu lima tahun  (1851 – 1856). Awalnya muncul secara bersambung di Revue de Paris, kemudian diterbitkan secara integral oleh penerbit Lévy tahun 1857. Novel yang pernah menjadi skandal pelecehan moral dan agama tersebut, tercatat sebagai salah satu masterpiece roman realis. 


Berlatar tahun 1800-an di pedesaan negara Prancis (Tostes, Yonville, dan Rouen), novel ini bercerita tentang Emma – istri seorang dokter desa Charles Bovary – yang semasa belia gemar membaca bacaan médiocre. Kisah romantis (tidak bermutu) dalam balutan kemewahan. Anak dari Rouault, petani kaya di desa Bertaux itu mengkhayalkan kehidupan yang sama dalam rumah tangganya. Hélas, fantasinya tidak menjadi realita. Kebosanan dalam keseharian secara ganas menggerogoti jiwanya, sementara agama tidak dapat menolongnya. Frustrasi, Emma Bovary kemudian masuk dalam petualangan perselingkuhan – dengan Rodolphe dan Léon – yang membuat hidupnya sedikit “hidup”. Ia pun gemar berhutang dari Lheureux demi hasrat materialis dan tampilan prima di hadapan pria selingkuhannya. Karena kebangkrutan dan agoni, Emma memutuskan bunuh diri dengan menenggak arsenik yang dicurinya dari apotek Homais. 


Masih menggunakan alasan agoni untuk kematian karakter utama dalam novel seperti aliran pendahulunya – Romantisisme, tapi (1) mengapa Flaubert berbelok arah dan meninggalkan aliran tersebut? Lalu (2) apakah benar, kematian Emma Bovary adalah cara Flaubert membunuh para romanesques – para sentimentalis dan romantis?


Sebelum saya masuk ke uraian tentang kedua pertanyaan di atas, sedikit saya ulik tentang apa Romantisisme itu sendiri dan apa itu Realisme. Romantisisme adalah aliran sastra yang muncul sekitar akhir abad ke-18. Awal mulanya tumbuh di Jerman dan Inggris yang kemudian menyebar ke seluruh Eropa hingga pertengahan abad ke-19. Gelombang sastra yang mengutamakan sisi romantis: sisi keindahan, percintaan, kemesraan, dan segala sesuatu yang mengasyikkan. Contoh sastrawan – dalam konteks ini, Prancis – beraliran romantis adalah Hugo, Chateaubriand, Lamartine, Musset, dsb.


Sedangkan Realisme adalah aliran sastra yang lahir pada pertengahan abad ke-19 sebagai reaksi melawan Romantisisme. Penulis aliran realis menjauh dari tema-tema yang diidealkan seperti kemewahan dan percintaan kaum borjuis. Realisme mencoba lebih mempresentasikan keadaan sejujur mungkin dan seobjektif mungkin tanpa menghakimi, tidak pula “memberi petuah moral”. Style yang digunakan biasanya adalah discours indirect libre atau POV 3. Contoh pengarang Realisme Prancis: Balzac, Stendhal, Flaubert, Maupassant.


Berbeloknya haluan Flaubert tidak bisa dipisahkan dari konteks sejarah pada masa itu. Meskipun kesadaran estetikanya tumbuh dan dibesarkan dalam era Romantisisme, tapi apa yang terjadi di sekitarnya mempengaruhi karya yang ia tulis. Konteks sejarah itu misalnya:

  • Kegagalan revolusi 1848. Ketika itu banyak janji-janji politik yang tidak terealisasi seperti penghapusan hukuman mati dan penghapusan perbudakan, aturan perundangan untuk pekerja, hak pilih untuk perempuan, sekolah gratis, kebebasan press, dsb. Louis Napoléon Bonaparte yang terpilih sebagai presiden tahun 1848 melakukan kudeta pada 1851 beberapa bulan sebelum masa kepemimpinannya selesai. Otoriter. Ia mengutamakan kaum ningrat, borjuis, dan mendewakan sisi material.


  • Revolusi industri. Secara teknik, banyak kemajuan di bidang industri seperti penciptaan mesin uap, industri tekstil, industri logam, pembangunan rel kereta api. Kapitalisme berkembang pesat didukung oleh peningkatan bursa saham. Tapi, progres teknik tidak seimbang dengan progres sosial: yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Ketimpangan ekonomi pun semakin tajam.

Flaubert memberontak melalui karya. Pria yang lahir tahun 1821 di kota Rouen ini  bosan dan muak akan romantisme yang berlebihan. Press nasional Prancis ketika itu melulu menyuguhkan glorifikasi kaum bojuis, ceramah-ceramah agama, pendewaan orang-orang licik (Napoléon dan anteknya), pamer kemewahan bourgeosie – boleh dibilang seperti orang-orang yang pamer kemewahan di postingan Instagram pada zaman sekarang. Membosankan. Lalu, Flaubert “mencari jalan lain” dan meninggalkan Romantisisme bahkan mengolok-oloknya.


Dalam novel Madame Bovary, karakter-karakter ciptaan Flaubert adalah simbol olok-olok; penuh ironi dan satir:


  • Emma Bovary, karakter eponim, meskipun menunjukkan kompleksitas psikologis, dan menggiring pengamatan menuju karakter-karakter lainnya dalam novel, tapi jelas, karakter Emma adalah olok-olok bagi orang-orang naif-romantis-fatalis. 


Sosok Emma digambarkan berambisi tapi teramputasi oleh gender dan sistem sosial ekonomi.  Alih-alih “menurut” kepada sistem tradisional, ia melawan. Meskipun pemberontakannya digambarkan ceroboh dan “bikin gemas” pembaca.


Flaubert mengolok sistem sosial dan gender melalui sosok Emma, tapi Flaubert mengolok sosok Emma itu sendiri. Une satire à double fond. Satir berlapis-lapis. Emma tidak hanya menjadi objek pasif sebagai korban tapi juga subjek aktif. 


Mengutip Baudelaire dalam kritik sastra di L’Art Romantique (1857) yang dibukukan dalam Oeuvres Complètes, Gallimard Bibliothèque de la Pléaide (1976, Tome II), “elle était presque mâle” atau “Dia (Emma) hampir seperti pria”. Dalam perspektif feminis, Madame Bovary adalah simbol yang mendeskontruksi figur ideal perempuan Abad ke-19 yang tidak seharusnya mempunyai hasrat dan ambisi.


  • Rodolphe Boulanger, seorang borjuis yang don juan. Ia simbol orang kaya yang gemar mencari kenikmatan sesaat. Perselingkuhannya dengan Emma hanya satu dari banyak perselingkuhan lainnya. Ia paham betul stategi mencari “mangsa”. Perempuan-perempuan yang ditemuinya biasanya butuh dua hal:  cinta atau harta. Emma yang seorang romantis, berkorban harta bahkan berhutang kepada Lheureux untuk “lari” dengan Rodolphe. Tapi Rodolphe tidak sedang mencari istri, ia hanya mencari kesenangan. Maka Rodolphe meninggalkan Emma dalam depresi. Rodolphe adalah simbol seorang pragmatik, licik, dan egois.


  • Monsieur Homais, hipokrit. Tanpa “saran-saran” Homais, kemungkinan Emma tidak selingkuh. Tetangga Bovary yang seorang apoteker itu memberikan akses kepada Emma terhadap perselingkuhan: saran memilih rumah dengan dua pintu, satu untuk publik, satu pintu rahasia – di mana pintu ini membantu Emma bertemu dengan Rodolphe di malam hari. Tanpa saran Homais, Charles Bovary tak akan berani mengamputasi Hippolyte.


Homais selalu ada di saat-saat pengambilan keputusan penting. Sarannya tampak lugu, tapi kalkulatif. Ia digambarkan sebagai sosok tetangga yang baik hingga kedoknya terkuak pada akhir novel. Homais berhasil memborong piala kemenangan sosial ekonomi. Seorang apoteker yang mengalahkan dokter. Lebih kaya dan lebih mashyur!


  • M.Lheureux, iblis kapitalis. Dengan barang dagangannya, ia menggoda, merayu, memberi fantasi kepada Emma akan segala kemewahan. Lheureux memasok kebahagiaan sesaat kepada Emma sebelum akhirnya mencekik dengan tagihan hutang yang tidak mungkin bisa dibayar. Sadis. Tapi begitulah sistem kapitalis, sistem yang tidak bisa berkembang tanpa adanya pembelian produk atau jasa. Sistem yang sedang terjadi dalam konteks sejarah penulisan novel ini.


  • Charles Bovary: suami mengecewakan. Tak punya prinsip kuat, tak punya karisma, tak punya passion, dan membosankan. Meskipun ia berprofesi sebagai dokter yang pada zaman itu adalah profesi noble, tapi secara personal, ia masuk dalam kategori “orang biasa”. Ia pengusung simbol orang jujur yang ajur.


  • Félicité, pembantu Madame Bovary yang menjarah gaun-gaun Emma begitu ia meninggal. Madame Rollet, ibu susu Berthe – anak dari Emma dan Charles yang tamak, serta tetangga-tetangga Rouault di desa Berthaux adalah penggambaran terhadap sifat dan sikap memalukan orang-orang kecil yang tak punya empati. Mereka serakah. Hal tersebut dideskripsikan dengan apik, penuh ironi dan sindiran, sekaligus” tamparan”.


  • L’abbé Bournisien: pendeta desa Yonville yang gagal menyelamatkan Emma dari perselingkuhan maupun bunuh diri. Agama digambarkan lumpuh dihadapkan oleh perilaku korup dan hipokrit pengikutnya. 


Tetapi apakah benar, kematian Madame Bovary adalah cara Flaubert membunuh para romanesques – para sentimentalis dan romantis? Secara harfiah tentu tidak, tapi secara teknis penulisan iya


Dibanding buku sebelumnya, La Tentation de Saint Antoine, Flaubert semakin menjauhi teknis Romantisisme. Tampak jelas ketika ia menggambarkan agoni kematian Madame Bovary. Saya akan bandingkan novel Madame Bovary dengan Les Misérables-nya Victor Hugo. 


Madame Bovary dan Les Misérables sama-sama tercatat sebagai karya realis. Bila dalam Madame Bovary, Flaubert menceritakan kehidupan orang-orang di pedesaan Tostes, Yonville, dan Rouen, maka latar Les Misérables masih di sekitar Paris, tapi tidak lagi mengupas cerita kaum borjuisnya, melainkan cerita orang-orang malang. Kemalangan yang terutama diwakili oleh Jean Valjean sebagai karakter utama.


Secara tema, Bapak Romantisisme – Hugo – ini mungkin mencoba untuk up-to-date pada gelombang sastra realis, tapi secara teknik, ia masih dalam bayang-bayang Romantisisme. Hugo masih menggunakan teknik “lama” dalam menyuguhkan drama kematian: Eponine yang heroik – berkorban untuk Marius, Javert yang bunuh diri di sungai Seine karena dilema akut – buah dari kesadaran sentimental, serta kematian tokoh utamanya Jean Valjean karena agoni.


Meskipun Emma Bovary dan Jean Valjean sama-sama mati karena agoni dalam balutan novel bertema realis, tapi secara teknis Flaubert berhasil “membunuh” Romantisisme melalui penggambaran kematian Emma, sedangkan Hugo tidak. Victor Hugo masih menggunakan teknis romantis dalam menggambarkan kematian Jean. Perhatikan bedanya:


“La nuit était sans étoiles et profondément obscure. Sans doute, dans l'ombre, quelque ange immense, était debout, les ailes déployées, attendant l'âme.” – Les Misèrables Tome V.


“Malam itu, tanpa bintang gemintang dan kegelapan begitu pekat. Namun bisa dipastikan, dalam remang bayang, beberapa malaikat agung berdiri dan melebarkan sayap-sayapnya, menunggu jiwa mulia.”– Orang-Orang Malang Bab V (©terjemahan NS)


Hugo lebih mengeksploitasi sisi sentimental, heroisme dengan diksi mengharu-biru. Ia bahkan “membangkitkan” malaikat yang seakan menyambut dan mempersilakan masuk ruh Jean Valjean di negeri setelah kematian. Sedangkan kematian Emma – di Bab VIII (paragraf akhir) Bagian Ketiga dalam novel Madame Bovary – lebih digambarakan dengan detail klinis yang sangat realis tanpa melodrama berlebihan. Narasi kematian Madame Bovary lebih menekankan pada deskripsi. Seperti catatan observasi seorang dokter terhadap pasiennya yang sedang mati karena keracunan arsenik:


“Sa poitrine aussitôt se mit à haleter rapidement. La langue tout entière lui sortit hors de la bouche; ses yeux, en roulant, pâlissaient comme deux globes de lampe qui s’éteignent, à la croire déjà morte, sans l’effrayante accélération de ses côtes, secouées par un souffle furieux, comme si l’âme eût fait des bonds pour se détacher. [ ... ]  Et Emma se mit à rire, d’un rire atroce, frénétique, désespéré, croyant voir la face hideuse du misérable, qui se dressait dans les ténèbres éternelles comme un épouvantement. Une convulsion la rabattit sur le matelas. Tous s’approchèrent. Elle n’existait plus. – Madame  Bovary (page 5559 – 5579) Kindle Edition.


“Dadanya mulai terengah-engah. Seluruh lidah keluar dari mulutnya; matanya berputar, keduanya memucat seperti dua bohlam lampu yang hampir padam. Emma tampak seperti mayat, tapi sesaat kemudian tulang rusuknya terguncang oleh napas yang marah, seolah-olah jiwanya ingin melompat dan memisahkan diri dari raganya. [ ... ] Dan Emma tiba-tiba tertawa, tawa yang dipaksakan, tawa orang tersiksa, putus asa, panik, seperti sedang melihat wajah orang yang bangkit dari kubur, mengerikan dan mengenaskan, muncul dari kegelapan abadi seperti sebuah teror. Ia kejang. Tangannya menarik pinggir kasur. Semua orang yang berada di sekitarnya mendekat. Tapi, Emma kini sudah pergi. Ia tidak ada lagi di sini. – Madame  Bovary (halaman 5559 – 5579) Edisi Kindle. (©terjemahan NS)


Jelas sekali bedanya bukan?


Dari seluruh uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kematian Romantisisme di tangan Gustave Flaubert dalam novel Madame Bovary merupakan simbol dan metafora: Madame Bovary sebagai simbol yang mewakili para romanesques, ditakdirkan mati atas “kuasa” Flaubert, di “tangan” Flaubert; dan kematiannya adalah metafora kematian Romantisisme karena diilustrasikan melalui teknik penulisan yang sangat realis; lepas dari bayang-bayang teknis romantis.

Gustave Flaubert kemudian sukses dan dikenal sebagai satu di antara pionir Realisme di Prancis dan melanjutkan novel-novel selanjutnya dalam nuansa Realisme seperti Salammbô, L’Education Sentimentale, ....


Saya berharap tulisan ini bisa membuka sedikit pengetahuan tentang sisi teknis novel Madame Bovary maupun aspek-aspek lain yang bisa kita kaji di dalamnya. Betapa pun dari sejarah kita belajar untuk hari ini dan hari esok yang lebih baik.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »