Membaca Sejarah pada Sebuah Novel - Nia Samsihono

@kontributor 12/12/2021

MEMBACA SEJARAH PADA SEBUAH NOVEL

Nia Samsihono



Sebuah novel seringkali menggunakan fakta-fakta sejarah sebagai latar. Novel yang menampilkan dan mengisahkan tokoh sejarah dalam berbagai aspek kehidupannya, disebut novel sejarah.  Apa yang membedakan novel sejarah dengan teks sejarah? Novel sejarah adalah novel yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah, tetapi cerita di dalamnya menggambarkan sesuatu yang tidak pernah ada atau terjadi. Novel sejarah ditulis oleh seorang novelis, sementara, teks sejarah ditulis oleh sejarawan. Seorang novelis sepenuhnya bebas untuk menciptakan dengan imajinasinya mengenai apa, kapan, siapa, dan di mana cerita dalam novel sejarah. Sebaliknya, sejarawan terikat oleh keharusan menulis sesuatu yang benar terjadi pada suatu masa, tidak boleh ditambah-tambahkan atau direkayasa. Pada novel sejarah, faktor perekayasaan dari novelis mewujudkan cerita menjadi suatu kebulatan atau koherensi dan sekali-kali ada relevansinya dengan situasi sejarah. Novelis tidak terikat pada fakta-fakta sejarah mengenai apa, siapa, kapan, dan di mana. Semua yang ia tulis dalam novel sejarah dapat berupa fiksi tanpa ada kaitannya dengan fakta-fakta sejarah. Begitu pula dengan peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam novel sejarah, tidak diperlukan adanya bukti, berkas, atau saksi. Pada novel sejarah, pelaku-pelaku, hubungan di antara mereka, kondisi dan situasi hidup serta masyarakatnya semuanya merupakan hasil imajinasi.

Teks sejarah ditulis sesuai dengan hal-hal yang memang pernah ada atau terjadi. Hubungan antara satu fakta dan fakta yang lain perlu direkonstruksi. Sejarawan perlu menunjukan sesuatu yang ada saat ini dapat dilacak eksistensinya di masa lampau. Hal tersebut berguna sebagai bukti atau saksi dari apa yang direkonstruksi mengenai kejadian di masa lampau. Sejarawan yang menulis teks sejarah terikat pada fakta tentang apa, siapa, kapan, dan di mana tentang sejarah itu. Pelaku-pelaku, hubungan di antara mereka, kondisi dan situasi hidup, serta masyarakatnya di dalam teks sejarah harus sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Tidak boleh ada rekayasa di dalam teks sejarah.

Berkaitan dengan novel sejarah, ada karya yang menarik dari Gunoto Saparie berjudul Bau yang diterbitkan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal pada tahun 2019. Novel itu menggambarkan kehidupan masyarakat, terutama di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, pada masa kolonial Belanda. Dalam novel ini kita mendapatkan informasi bagaimana bentuk kehidupan masyarakat pribumi yang terjadi selama masa kolonial Belanda. Dengan VOC-nya—yang lebih populer dengan sebutan Kompeni—Belanda melakukan penindasan terhadap masyarakat pribumi. Masyarakat pribumi dipandang lebih rendah derajatnya dibanding dengan Belanda. Terkisahlah sosok legendaris Bahureksa, Panglima Perang Mataram yang diangkat sebagai Bupati Kendal oleh Sultan Agung. Tokoh Bahureksa ini menghadapi dilema dalam kehidupannya. Di satu pihak ia harus tunduk kepada Raja Mataram, Sultan Agung, yang lebih kooperatif terhadap Kompeni. Akan tetapi, di pihak lain Bahureksa yang sangat membenci Kompeni yang menindas rakyat. Tokoh Bahureksa merupakan tokoh sejarah yang dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat Kabupaten Kendal.

Fakta dan Imajinasi

Novel sejarah merupakan perbauran antara imajinasi dan fakta. Ia tidak hanya berisi dunia imajinasi, tetapi di dalamnya juga terdapat fakta-fakta sejarah. Karya sastra, baik novel, puisi, cerita pendek, maupun drama, merupakan dunia imajinatif yang dibangun oleh sastrawan dengan memanfaatkan media bahasa bersumber dari fakta. Para sastrawan menuliskan kisah hidup, baik yang pernah dialaminya ataupun dari imajinasinya. Juga melukiskan gambaran kehidupan yang pernah dialami oleh orang lain. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin sastrawan menulis bersumber dari sejarah. Dengan adanya karya sastra yang bermuatan sejarah, maka pembaca selain mendapatkan keindahan cerita, juga dapat membaca fakta sejarah darinya. Fakta sejarah tersebut telah ditambahi cerita-cerita di luar konteks sebenarnya, sehingga latar belakang budaya yang terdapat dalam novel dapat dijadikan bahan pembelajaran yang informatif. Karya sastra sebagai sebuah struktur bersifat dinamis karena ia merupakan produk sejarah dan budaya yang berlangsung secara terus-menerus.  Fakta kemanusiaan yang terdapat pada suatu karya sastra membuat karya sastra tersebut dapat dikaji dari berbagai segi. Fakta kemanusiaan adalah segala aktivitas yang berhubungan dengan kehidupan manusia, baik yang dialami secara pribadi maupun yang dialami secara sosial masyarakat. Kita mengetahui bahwa Belanda meninggalkan bekas-bekas penjajahan yang sampai sekarang masih dirasakan oleh masyarakat. Kisah hidup Bahureksa merupakan salah satu bekas yang menjadi sebuah sejarah yang melekat pada masyarakat. Bangsa Belanda ingin menguasai rempah-rempah yang ada di Nusantara. Akan tetapi, akhirnya mereka melakukan penindasan terhadap pribumi, salah satunya pada aspek perdagangan yang merugikan masyarakat pribumi. Akibatnya, ekonomi masyarakat pribumi makin hari makin melemah. Belanda pun merampas dan menguasai seluruh daerah yang strategis. Pada novel Bau dikisahkan bagaimana penjajah Belanda menguasai perdagangan.

Karena itulah, maka Coen memberi perintah yang tidak sesuai kesepakatan dengan Baureksa. Speelman diminta membangun loji dari kayu yang cukup besar untuk menimbun beras, perkantoran, dan tempat tinggal orang-orang Belanda. Modal untuk membeli beras diberikan cukup banyak kepada Speelman. Jika ada orang pribumi tidak mau menjual beras, kalau perlu diberi kenaikan harga. Biar para pedagang pribumi gulung tikar. Pokoknya kompeni harus sanggup mempermainkan harga beras. (Hlm. 28)

Baureksa sendiri merasa berada di pihak yang lemah. Persetujuan dagang beras dengan Kompeni telah disetujui kraton. Kompeni sudah diberi izin membikin loji. Baureksa hanya bisa menggagalkan persetujuan itu dengan cara membuat ketentuan yang tidak masuk akal. Dia sudah bersikeras untuk mengizinkan kompeni membangun loji kecil dari bambu. Loji bambu kecil itu tentu saja tidak akan bisa difungsikan. Tidak ada tempat untuk tidur orang Belanda. Tidak ada pula tempat untuk menimbun beras. Itu pikiran Baureksa pada mulanya. Akan tetapi, kalau kapal Kompeni berlabuh lama bagaimana? Kompeni dari kapal langsung membeli beras dari pedagang yang membawa perahu? Tentu saja rintangan yang dibikin Baureksa tidak ada artinya. Dia merasa kalah. Kaliwungu. (Hlm. 29)

VOC merupakan salah satu serikat dagang yang dibentuk oleh Belanda untuk memonopoli perdagangan di wilayah penjajahan. Atas kepercayaan Belanda yang memberikan kekusaan atau hak istimewa pada VOC tersebut, VOC membentuk sistem pemerintahan tersendiri yang kemudian terkenal dengan istilah negara dalam negara. VOC didirikan pada 20 Maret 1602, bertujuan untuk memonopoli perdagangan dan ingin menyaingi perdagangan yang telah dibentuk oleh Inggris.

Dalam membicarakan unsur sejarah dalam karya sastra, perlu diingat, tidak semua kisahnya dapat diterima sebagai fakta sejarah yang bisa dijadikan bahan penulisan sejarah. Harus dibedakan antara penulisan sejarah dan penulisan karya sastra yang memakai bahan sejarah. Pada penulisan sejarah, pembaca menemukan kenyataan faktual, sedangkan pada penulisan karya sastra yang bersumber sejarah, pembaca menemukan kenyataan fiksional. Dalam kenyataan fiksional, pengarang memegang peranan penting dalam penulisan atau penceritaan serta pengimajinasian sebagaimana layaknya sebuah karya sastra. Meski begitu, fantasi dan imajinasi pengarang masih dalam batas koridor sejarah. Bukan bebas tanpa batas.

Novel Bau karya Gunoto Saparie menarik. Pada kisah yang menggambarkan Belanda dan Mataram, Gunoto menyisipkan informasi tentang adat Jawa. Bagaimana manusia Jawa hidup pada masa itu. Filosofi itu menjadi sumber acuan etika manusia Jawa dan disisipkan pada cerita novel ini.

…. Karta sebenarnya mau berkata banyak tentang bagaimana menghadapi orang Jawa. Budaya Jawa sangat lain dengan budaya Barat. Masyarakat Jawa terdiri dari beberapa lapis. Ada yang namanya orang pidak pedaraan, yakni orang dari kalangan rendah. Orang tingkat bawah jika berhadapan dengan orang tingkat di atasnya harus berlaku sopan. Misalnya, kalau bicara tidak boleh menunjukkan sesuatu dengan mengacungkan jari telunjuk. Dia harus menunjukkan sesuatu dengan ibu jari dan dengan badan sedikit membungkuk. Jika berdiri biasa, tangannya harus ngapurancang, yaitu tangan dibiarkan terjulur di depan badan. Ujung-ujung tangan yang bertemu harus berpegangan di bawah perut. Selain itu, orang dari tingkat bawah harus bicara memakai krama madya jika menghadapi sesamanya. Kecuali kalau sudah kenal betul baru boleh memakai bahasa ngoko. Jika yang dihadapi orang di tingkat atasnya harus menggunakan krama inggil. Orang yang tergolong priyayi, jika bercakap dengan sesama priyayi dan sudah akrab biasa menggunakan bahasa ngoko andhap antya basa. Akan tetapi, semua itu hanya aturan kesopanan. Aturan itu bukan berarti orang yang ada di tingkat atas boleh berbuat semau-maunya kepada orang yang berada di tingkat bawah. Jika orang yang berada di tingkat atas memakai bahasa kasar, maka orang yang berada di tingkat bawahnya pun hilang rasa penghargaan kepadanya. Priyayi bicaranya halus dan kehalusannya menjadi teladan bagi orang tingkat bawahnya. Namun, dalam budaya Jawa, bahasa kadang berbeda dengan makna yang sebenarnya. Kadang ada jawaban "inggih" atau "ya", tetapi maknanya justru "tidak". "Mari makan," ajakan ini biasa diucapkan kepada tamu yang datang persis tengah hari, yaitu waktunya orang makan siang. Jawaban "ya", bukan berarti dia setuju diajak makan. Jawaban "ya" bisa berarti hanya bermaksud menyenangkan orang yang memberi tawaran. Dia sendiri merasa tidak pantas kalau menerima ajakan makan itu sebenarnya. "Sudah makan?" "Sampun. Sudah," jawab orang Jawa. Padahal dia sesungguhnya belum makan. Akan tetapi, seperti itulah adat istiadat orang Jawa. Bagi orang Jawa, yang penting adalah angon ulat, yaitu melihat raut muka orang yang diajak bicara. Senang atau tidak kepada lawan bicaranya bisa dilihat dari raut muka. (Hlm. 6—7)

 

Masyarakat Jawa yang dikisahkan pada novel itu mengalami penderitaan yang memilukan di bawah jajahan pemerintahan kolonial Belanda. Konflik antara Coen dengan Bahureksa bukan hanya persoalan pembangunan loji di Jepara, namun juga menyangkut konflik kebangsaan. Pandangan sang penjajah, yaitu Belanda, terhadap pribumi memang bernada menghina. Oleh karena itu, tak mengherankan ketika bangsa pribumi melakukan perlawanan. Bagaimana cara Coen agar dapat mendirikan loji di Jepara pernah dilontarkan kepada Bahureksa dan Bahureksa memberikan syarat yang seharusnya dipenuhi oleh Kompeni.

"Maaf, tuan Bouraxa. Saya ingin meneruskan izin dagang yang telah dikeluarkan Panembahan Mas Jolang. Menurut perjanjian, setelah izin dagang disetujui, Kompeni boleh mendirikan loji di Jepara. Kompeni ingin mendapat petunjuk dari tuan Bouraxa, di manakah kompeni harus mendirikan loji?"

 "Saya tidak ingin mencampuri urusan Kompeni dalam memilih tempat. Yang terang, di tanah manapun loji itu didirikan, Kompeni harus membayar ganti rugi kepada pemilik tanah. Kompeni tidak boleh memaksa. Dasar pemakaian tanah harus secara sukarela. Orang Jawa itu punya pepatah sedumuk bathuk senyari bumi. Tanyakan itu apa artinya kepada Karta." (Hlm. 19)

Persoalan yang diangkat dalam novel ini menyangkut problematika yang dihadapi masyarakat pribumi pada masa kolonial Belanda. Barangkali karena sifatnya yang kompleks, dalam novel ini terdapat banyak tokoh. Oleh karena itu, sesungguhnya novel ini memiliki potensi cerita lebih panjang lagi dengan mengembangkan tokoh-tokoh tersebut. Karakterisasi tokoh-tokoh yang berbeda-beda itu bukan masalah sederhana. Di sini Gunoto tidak sekadar membangun dua tipe penokohan, yaitu protagonis dan antagonis. Tokoh Bahureksa ternyata tidak sepenuhnya protagonis atau antagonis. Ia justru cenderung berwatak abu-abu.

Hal ini bisa lihat dari kutipan di bawah ini:

“Baureksa kelihatan sangat tertekan batinnya. Dia sangat yakin bahwa Kompeni salah. …. Namun, dia seorang narapraja yang harus patuh kepada perintah ratu. Sinuwun telah menandaskan tidak akan berperang dengan Kompeni. Keinginan Sultan Agung harus dipatuhi.

Seluruh prajurit Baureksa pun ditarik ke Jepara. Namun, sepanjang perjalanan kembali ke Jepara, Baureksa lebih banyak diam. Kawan-kawannya yang seperahu dengan dia juga tidak banyak bicara. Mereka masih sakit hati. Mengapa Baureksa justru mengadu orang-orang pribumi? Mereka merasa sulit memahami Baureksa.” (Hlm. 204).

Fakta sejarah sudah diolah menjadi fiksi oleh Gunoto Saparie. Ia paling jago menggambarkan situasi rasa hati hubungan laki-laki dan perempuan, itu hal yang sangat dipahaminya. Di sini terlihat fakta pengarang masuk dalam fiksi. Berikut gambaran rasa yang dilukiskan oleh pengarang antara tokoh Srini dan Bahureksa.

"Kakang Bau jangan lupa. Kalau ke Jepara harus nyekar ke makam Isabella. Biar ruhnya ikut mendoakan kakang," kata Srini seraya jongkok di depan Baureksa. Tangannya usil pura-pura memperbaiki wiron kain. Baureksa tersenyum, menikmatinya. Kain itu sebagian dilipat dan sebagian dijulurkan. Celana yang dipakai Baureksa menjulur sampai di bawah lutut.

Baureksa merasa sangat sayang kepada istrinya. Kandungan Srini telah besar. Srini pun dibimbing diajak duduk. Perutnya dielus-elus. "Saya cuma pergi sebentar. Saya akan menunggui kamu babaran. Kira-kira bayi ini perempuan apa lakilaki?" "Kakinya kadang menendang-nendang di sebelah kanan," Srini menunjukkan bagian kanan perutnya. "Itu tandanya laki-laki." "Kalau dia laki-laki kakang yang harus memberi nama. Namanya siapa ya, kakang?" "Karena kakaknya bernama Sundana, bagaimana kalau adiknya diberi nama Suwandana?" "Itu nama yang bagus. Kalau sudah dua, cukup ya, kakang? Jangan lagi…" Baureksa tersenyum dan mengangguk. Srini pun ikut tersenyum senang. Baureksa mencubit hidung Srini. (Hlm.13)

------------------

"Kakang Bau jangan mengira, kesusahan kakang hanya dirasakan sendiri. Srini patuh pada janji yang dulu pernah diucapkan. Bukankah kakang pernah mengatakan bahwa ruh kakang dan ruh Srini adalah satu?" tanya Srini yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Namun, Baureksa merasa seperti dipaksa untuk menjawab. Namun, jawaban Baureksa ternyata terkesan seenaknya, "Itu kan omongan saya dulu, waktu kita sama-sama kalap." Mendengar jawaban yang diucapkan tak acuh seperti itu, Srini pun langsung mencubit pundak Baureksa. "Mana ada ruh kok bisa diparo-paro," ujar Baureksa menghindari cubitan Srini sembari tertawa. Srini terus melakukan serangan. Ia mencubit bagian mana saja tubuh Baureksa yang kena. "Dulu yang bilang begitu kan kakang Bau sendiri." Serangan Srini yang membabi buta itu dapat diredam Baureksa. Srini dipeluk. Rambutnya diciumi. Lalu pipinya. Bibirnya. Tangan Srini yang tadinya buas mencubiti menjadi jinak, merangkul tubuh Baureksa. Mereka pun berpelukan menumpahkan kerinduan. (Hlm. 236--237)

 

Kaidah Kebahasaan Novel Sejarah

Novel sejarah mempunyai kaidah bahasa yang khas yang berbeda dengan novel modern lainnya. Terdapat aspek kebahasaan yang sering dijumpai, yaitu kata bersifat lampau dan konjungsi kronologis. Kata atau kalimat yang bersifat lampau untuk menguatkan gambaran latar waktu dan latar tempat. Pada novel Bau beberapa kosakata yang digunakan sudah jarang dipakai di zaman sekarang. Seperti dalam narasi berikut ini.

“Hari sudah sore ketika kapal memasuki Port Jacarta. Bayang-bayang loji Inggris memanjang, separuhnya jatuh di tengah Sungai Ciliwung. Dinding kastil yang menghadap ke barat disepuh sinar kemerahan. Sinyo-sinyo kecil, anak para pembesar Kompeni yang tinggal di dalam kastil, menonton datangnya kapal yang ditumpangi Van Rijn dari waterport.”

Kata ‘loji’, ‘kastil’, ‘sinyo’ merupakan kosakata yang jarang ditemui dalam kehidupan sekarang ini. Sedangkan konjungsi kronologis untuk menggambarkan urutan waktu, misalnya ‘setelah, mula-mula, sejak saat itu, dan kemudian’.

"Kemudian," lanjut Coen, "tentang perdagangan beras yang keuntungannya cukup bisa diandalkan untuk menopang kemerosotan harga rempah-rempah, hanya Mataram yang bisa memasok jumlah beras yang diperlukan. …. Dari usul-usul yang masuk, terdapat saran agar Steven Doenssen menggantikan kepala loji di Jepara. Mula-mula saya meragukan alasan-alasan yang diketengahkan untuk mendudukkan Doenssen. …. Namun, setelah dikaji secara mendalam, ternyata ada betulnya untuk menempatkan orang semacam Doenssen. (Hlm. 67)

 

Novel ini banyak menggunakan alur maju dan sedikit alur sorot-balik.  Sedangkan latar tempat, latar waktu, dan latar suasana yang ditampilkan telah berhasil membawa para pembaca ke masa kolonial Belanda di daerah Kendal, Jepara, Batavia, Yogyakarta, dan sebagainya. Sementara pesan moral yang ingin disampaikan Gunoto adalah pentingnya mematuhi perintah sang pimpinan, meskipun hal itu bertentangan dengan hati nuraninya sendiri. Gunoto juga memasukkan pemikirannya tentang budaya masyarakat, seperti permainan anak, pemahaman terhadap kaidah agama, dan hal lain yang bermanfaat untuk dibaca.

…. Sundana sudah bermain-main dengan kawan-kawan sebayanya di halaman. Dia lincah seperti ayahnya. Kesenangannya jethungan.Ya, jethungan memang sebenarnya permainan untuk anak laki-laki. Kalau sudah lari, Sundana sulit ditangkap. Larinya sangat cepat. Akan tetapi, jethungan biasa dilakukan berkelompok. Kalau salah seorang anak dari kelompok yang bersembunyi tertangkap, maka seluruhnya harus kalah. Mereka harus ganti yang mencari kelompok yang bersembunyi. Kalau anakanak yang bersembunyi ketahuan, semua akan lari. Mereka pun mengejar berusaha mati-matian menangkap anak-anak yang lari itu. Sampai salah seorang tertangkap dan kelompoknya kalah lalu ganti mencari kelompok yang menang bersembunyi. (Hlm. 33—34)

------------------------------------

Adakah ucapannya itu telah menjurus menjadi fitnah? Sudah menjurus pada hasutan yang tidak benar? Agama melarang fitnah, hasutan, dan kedengkian. Hal-hal yang dilarang agama ini oleh orang-orang yang mencintai duniawi malah dipergunakan dan dipelajari secara cermat untuk memperoleh kesenangan duniawi. Omongan merupakan alat paling ampuh untuk mencari dukungan orang lain. Sedikit sekali orang yang mau mempertimbangkan salah dan benar dalam menerima sesuatu. Mempertimbangkan salah dan benar waktu akan bertindak. Kebanyakan manusia bertindak dan berpendirian didorong oleh perasaannya. Perasaan yang hakikatnya peka karena rangsangan nafsu. Seharusnya sebagai orang Jawa yang memiliki kebudayaan tapa, dia bertindak dengan pikiran jernih. Harus bertindak dengan pikiran heneng, hening, supaya tetap eling. (Hlm. 38—39)


Fakta Sejarah dalam Karya Sastra

Penulisan unsur-unsur sejarah di dalam karya sastra bukan sekadar laporan peristiwa bersejarah. Akan tetapi, hal itu merupakan kenyataan dan rekaan yang bercampur-baur. Kenyataan sebagai fakta sejarah diceritakan oleh pengarang dicampur imajinasi agar menarik pembaca. Sejarah yang diceritakan dalam novel itu membuat pembaca ingin mengetahui akhir cerita. Ada beberapa novel sastra yang mengambil latar sejarah dapat menggambarkan tokoh sejarah dengan menarik, salah satunya, yaitu novel Surapati karya Abdul Moeis yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Kirgis, Ubheckestan dan Kazaghstan. Novel tersebut telah mempengaruhi masyarakat di negara-negara itu menjadi bersimpati dengan perjuangan seorang budak yang bernama Surapati.

Novel Bau karya Gunoto Saparie yang diterbitkan oleh Pelataran Sastra Kaliwungu, Kendal tahun 2019 telah berhasil menyatukan unsur intrinsik dan ekstrinsik. Novel ini menjadi salah satu nomine untuk penghargaan Prasidatama 2020 kategori novel dari Balai Bahasa Jawa Tengah. Ia memperkaya khazanah kesastraan Indonesia, terutama novel sejarah, yang memang tidak banyak ditulis oleh sastrawan kita. Namun, perlu diingat bahwa novel sejarah tidak dapat menjadi acuan sejarah kehidupan suatu bangsa karena itu fiksi, bentuknya rekaan, dan bukan sebagai sejarah lagi. Kebenarannya tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai sebuah sejarah.

Jakarta, 3 November 2021

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »