Sastra, Interaksi Budaya, dan Kita: - Jamal T. Suryanata

@kontributor 12/26/2021

SASTRA, INTERAKSI BUDAYA, DAN KITA:

Memaknai Keberagaman dalam Konteks Keindonesiaan

Jamal T. Suryanata




Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami sawo matang, rambut kami

yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa

yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.

(Surat Kepercayaan Gelanggang)

 

/ 1 /

Dalam perspektif kebudayaan, Indonesia tentu saja bukan hanya dipahami sebagai sebuah negara kepulauan yang sangat luas dan memiliki kekayaan alam begitu melimpah, melainkan juga sebuah bangsa yang multietnis dan multikultural dengan ribuan suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa dan khazanah budaya lainnya yang berbeda-beda. Dengan 17.000 pulau (besar dan kecil) yang dihuni oleh sekitar 1.340 suku bangsa serta memiliki lebih-kurang 652 bahasa daerah, sungguh Indonesia merupakan sebuah negara-bangsa yang besar dan patut kita banggakan—akan tetapi, sekaligus penuh tantangan dan ancaman.

Dalam kaitan ini, menarik sekali untuk merenungkan kembali pengalaman Prof. Melani Budianta saat menjadi narasumber dalam sebuah seminar internasional di kota Roma pada awal 2009 silam. Pada kesempatan itu, selepas beliau membentangkan makalahnya tentang kemajemukan Indonesia, seorang peserta seminar berkomentar, “Dengan tujuh ratus empat belas bahasa, tiga belas ribu pulau dan tiga ratus suku bangsa, sungguh mencengangkan bahwa negara seperti Indonesia masih bisa bertahan sampai sekarang.”[1]

Terlepas dari soal apakah orang itu berkomentar dengan ekspresi penuh keheranan dan sekaligus menunjukkan rasa takjubnya, tetapi pernyataan tersebut agaknya merepresentasikan keheranan dan ketakjuban banyak orang. Jadi, sudah sepatutnyalah jika kita merasa bangga menjadi bagian dari bangsa yang besar ini. Kita bangga karena memiliki aneka ragam budaya daerah dengan kekhasannya masing-masing (bahasa, sastra, tari, lagu, musik, permainan, pakaian, serta berbagai bentuk tradisi dan adat-istiadat lainnya), tetapi sejauh ini kita masih bisa hidup berdampingan satu sama lain. Kita bangga karena tidak semua bangsa yang plural memiliki kekuatan untuk bertahan seperti Indonesia.

Namun begitu, ketika pluralisme itu dipahami dalam konteks politik (termasuk politik identitas), maka realitas kehidupan sebuah bangsa yang multietnis dan multikultural seperti Indonesia akan menjadi terkotak-kotak. Dalam konteks demikian, konsep “kalian” dan atau “mereka” akan lebih mengemuka ketimbang “kita” (kekitaan). Pertentangan akan lebih dominan daripada kesepahaman. Sebagai konsekuensinya, merajut persatuan dan kesatuan bangsa sudah pasti bukanlah hal yang mudah dilakukan.

Dalam perjalanan panjangnya sejak proklamasi kemerdekaan digaungkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 hingga sekarang, sejarah telah mencatat bahwa bangsa ini sudah berkali-kali menghadapi ancaman disintegrasi. Munculnya beragam bentuk gerakan separatis semisal pemberontakan PKI, DI/TII, PRRI, Permesta, GAM, OPM, dan beberapa kerusuhan antar-etnis yang pernah terjadi di negeri ini jelas merupakan ancaman besar terhadap tegaknya keindonesiaan yang terus kita perjuangkan. Bahkan, akibat kelalaian para pemimpin kita dalam mengelola keindonesiaan pula, Timor Timur (provinsi ke-27 pada masa pemerintahan Orde Baru) akhirnya melepaskan diri dari bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memproklamasikan kemerdekaannya pada 20 Mei 2002 dengan nama Republik Demoratik Timor Leste (Republica Democratica de Timor Leste).

Persoalannya sekarang, dengan pengecualian lepasnya Timor Timur dari NKRI, mengapa sebuah bangsa yang sangat plural seperti Indonesia masih bisa bertahan hingga sekarang? Apa yang menjadi bingkai pemersatu dan pemertahanannya? Sebagaimana dikemukakan pula oleh Budianta, salah satu kuncinya adalah adanya suatu bahasa perekat yang didukung oleh seluruh anak bangsa.[2] Dalam fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia hadir sebagai perekat yang sangat kuat dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itulah, dapat dikatakan bahwa kehadiran bahasa Indonesia merupakan anugerah terindah—bahkan suatu “mukjizat” besar—bagi kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

/ 2 /

Entah kapan dan dari mana sumbernya, saya pernah mendengar sebuah ungkapan lama yang menyatakan, “Politik itu memecah belah, kebudayaan itu menyatukan.” Sekarang, pertanyaan penting yang bisa kita ajukan terkait dengan pernyataan ini adalah, apakah ungkapan tersebut sekadar sebuah slogan tak bermakna (tidak membumi) ataukah merupakan suatu refleksi atas realitas sosial-politik yang kebenarannya bisa kita buktikan?

Dalam konteks ini, harus kita akui bahwa beragam bentuk gejolak sosial-politik yang pernah terjadi di negeri ini—seperti yang telah saya kemukakan di atas—memang tidak berdiri sendiri. Munculnya gerakan separatis, perang antar-etnis, dan beberapa kerusuhan massal seringkali tidak karena alasan politik, tetapi dipicu oleh perlakuan yang tidak adil dalam realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, baik terkait dengan masalah hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan beberapa aspek lainnya. Akan tetapi, jika kita telusuri lebih jauh, semua itu akan mengerucut dan bermuara pada satu titik: persoalan politik.

Sementara itu, kontras dengan gambaran di atas, kebudayaan justru hadir sebagai media pemersatu bangsa. Perbedaan tradisi, adat-istiadat, kesenian, pakaian, dan beragam aspek budaya daerah lainnya tidak menjadikan bangsa ini terpecah-pecah, tetapi selalu dipandang sebagai kekayaan sebuah bangsa yang mutikultural—sebagaimana terefleksikan dalam semboyan bhinneka tungga ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Dan, sekali lagi perlu saya tegaskan, kehadiran bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai bahasa nasional memiliki peran yang sangat besar dalam upaya menyatukan bangsa yang sejatinya sangat plural ini. Sejak diikrarkannya dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 hingga sekarang, keberadaan bahasa Indonesia telah menjadi alat perekat yang sangat efektif dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Sungguh, sulit kita bayangkan apa yang akan terjadi seandainya bangsa Indonesia tidak menjunjung tinggi satu bahasa persatuan.

Maka, bertitik tolak dari kenyataan tersebut, sebagai wujud aktivitas berbahasa dan sekaligus merupakan salah satu laras bahasa Indonesia, sastra (berbahasa) Indonesia juga memiliki peran strategis dan dapat berkontribusi besar dalam rangka membangun pemahaman yang lebih komprehensif terhadap hakikat keberagaman dan keindonesiaan. Namun, menjadi persoalan kita selanjutnya, bagaimana seharusnya kita memosisikan sastra sebagai alat strategis dalam upaya memaknai keberagaman dalam konteks keindonesiaan itu? Apakah semua karya sastra memiliki potensi yang sama dalam mengemban misi tersebut?

Sebagai karya (seni) imajinatif, sastra memang membangun dunianya sendiri. Bahkan, dalam perspektif strukturalisme, sastra dipahami sebagai dunia yang otonom. Akan tetapi, perlu kita sadari pula bahwa realitas dalam karya sastra adalah realitas imajinatif yang benar-benar tidak ada hubung kaitnya dengan realitas faktual (kenyataan historis). Oleh karena itu, kontras dengan pandangan tersebut, dikatakan pula bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit.[3] Dengan kata lain, setiap karya sastra tidak terlahir dalam kekosongan budaya, tetapi pasti muncul pada masyarakat yang telah memiIiki tradisi, adat-istiadat, konvensi, keyakinan, pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang estetika, dan lain-lain yang kesemuanya dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan.[4]

Maka, atas dasar itulah kiranya sehingga Grebstein pernah menegaskan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya jika dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang menghasilkan.[5] Atau, menurut kata-kata Teeuw, “Karya sastra baru dapat dipahami sepenuhnya kalau ditempatkan dalam lingkungan kesastraannya, dalam deretan sastra, diberikan tempat yang selayaknya dalam rangka sejarah sastra, dan dengan latar belakang sosio-budaya yang tepat dan sesuai.”[6]

Oleh karena itu, selaras dengan serangkaian pernyataan teoretis di atas, pembicaraan kita selanjutnya akan lebih difokuskan pada pokok masalah interaksi budaya dalam dunia sastra sebagai media strategis untuk membangun kesadaran atas realitas kehidupan sebuah bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Konsep interaksi budaya itu sendiri pada dasarnya dapat dipahami dari dua sisi, yaitu interaksi budaya antarsuku-bangsa (nasional) dan interaksi budaya antarbangsa (global)—sekalipun pada kenyataannya nanti akan lebih terpumpun pada sisi yang disebut pertama: interaksi budaya antarsuku-bangsa. Atau, sesuai dengan subjudul tulisan ini: memaknai keberagaman dalam konteks keindonesiaan.

 

/ 3 /

Secara umum, istilah “interaksi” mengacu pada hubungan antara individu atau kelompok yang satu dengan individu atau kelompok lainnya. Dengan demikian, konsep interaksi itu sendiri bersifat dua arah, timbal balik, dinamis, dan kausal (sebab-akibat). Oleh karena itu, khasnya dalam konteks keindonesiaan, pengertian interaksi budaya yang dimaksudkan di sini terutama merujuk pada hubungan sosiokultural antar-etnis atau antara khazanah budaya (suku bangsa) yang satu dengan khazanah budaya (suku bangsa) lainnya.

Berdasarkan pemikiran di atas, konsep “interaksi budaya dalam dunia sastra (Indonesia)” dapat dipahami sebagai hubungan sosiokultural antar-etnis atau antara khazanah budaya (suku bangsa) yang satu dengan khazanah budaya (suku bangsa) lainnya, sebagaimana yang terefleksikan dalam karya-karya sastra (Indonesia). Namun demikian, dalam pengertian ini tidak tertutup kemungkinan akan tercakupnya karya-karya sastra tertentu yang hanya mengungkapkan khazanah budaya tertentu dan hanya merepresentasikan suku bangsa tertentu. Sebab, dalam berbagai pembicaraan lepas tentang persoalan ini, esensi interaksi budaya dalam dunia sastra lebih mengacu pada ranah aktivitas pembacanya dalam rangka memahami “orang lain” (the other man) atau khazanah budaya dari bangsa (suku bangsa) lainnya melalui karya-karya sastra tertentu, bukan pada hubungan antarkarya sastra itu sendiri.

Selain itu, seraya bertitik tolak dari realitas kesastraan yang sejauh ini telah berkembang dalam sastra Indonesia, konsep interaksi budaya dalam dunia sastra tampaknya lebih mengacu pada karya-karya sastra yang lazim dikategorikan sebagai karya sastra berwarna lokal (local color) yang secara tipikal mengungkapkan aspek-aspek budaya tertentu dari suku bangsa tertentu. Sekadar beberapa contoh, novel bertajuk Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Para Priyai (Umar Kayam), atau prosa lirik Pangakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag.), ketiganya hanya merepresentasikan warna lokal Jawa. Begitu pula dengan novel Warisan (Chairul Harun), Upacara (Korrie Layun Rampan), Tarian Bumi (Oka Rusmini), Namaku Teweraut (Ani Sekarningsih), Lampau (Sandi Firly), Racun (Muhammad Bulkini), Puya ke Puya (Faisal Oddang), dan Anak Bakumpai Terakhir (Yuni Nurmalia), masing-masing karya tersebut mewakili warna lokal dari suku bangsa yang berbeda.

Dengan demikian, pada dirinya sendiri, karya-karya tersebut pada dasarnya bersifat searah (baca: menyuarakan warna lokal tertentu kepada publik sastra Indonesia dengan latar budaya daerah yang sangat beragam). Sekalipun karya-karya yang sekaligus menampilkan persandingan antara dua atau lebih budaya daerah dalam satu karya memang ada, tetapi karya-karya sastra berwarna lokal yang sifatnya dua arah semacam itu tidak banyak kita temukan dalam khazanah sastra Indonesia. Sekadar contoh lagi, Salah Asuhan (Abdoel Moeis), Keberangkatan (Nh. Dini), Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), Burung-burung Rantau (Y.B. Mangunwijaya), Ca-bau-kan (Remy Sylado), Ayat-ayat Cinta (Habiburrahman El-Shirazy), dan beberapa karya serupa mungkin bisa dikatakan mewakili katergori yang kedua ini (baca: bersifat dua arah). Akan tetapi, berbeda dengan beberapa contoh untuk kategori pertama, karya-karya yang disebutkan terakhir ini lebih merepresentasikan persilangan budaya antar-bangsa (baca: antara budaya Indonesia dan budaya asing).

Berdasarkan kenyataan tersebut, sekali lagi perlu saya tegaskan bahwa konsep interaksi budaya dalam dunia sastra di sini lebih mengacu pada ranah aktivitas pembaca dalam rangka saling memahami khazanah budaya dari berbagai daerah (suku bangsa) yang berbeda melalui pembacaan terhadap karya-karya sastra tertentu. Lebih jauh lagi, melalui proses pembacaan (internalisasi) terhadap karya-karya sastra berwarna lokal tersebut diharapkan akan mampu menumbuhkan kesadaran kultural di kalangan pembaca dalam rangka memaknai keberagaman sebagai realitas dan sekaligus menjadi ciri keindonesiaan. Dengan begitu, jika kesadaran kultural tersebut sudah dapat ditumbuhkan, maka setiap komponen bangsa ini niscaya tidak hanya dapat menerima keberagaman itu sebagai bagian dari realitas kehidupan mereka, tetapi juga menjadikannya sebagai bentuk kebanggaan bangsa.

 

/ 4 /

Ungkapan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” barangkali juga bisa kita gunakan sebagai titik tolak pembicaraan seputar topik “memaknai keberagaman dalam konteks keindonesiaan” ini. Primordialitas kesukubangsaan yang seringkali mewujud dalam sikap ketidaksukaan atau rasa benci terhadap suku bangsa lain pada umumnya didasari oleh ketidakpahaman terhadap kebudayaan suku bangsa tersebut. Secara sosiopsikologis, potensi pertentangan semacam ini niscaya akan dapat dicairkan—bahkan dibalikkan ke dalam kondisi penerimaan—dengan memberikan pemahaman yang baik tentang seluk-beluk budaya atau keragaman adat-istiadat dari suku bangsa yang berbeda. Dalam konteks inilah sastra dapat menjalankan perannya sebagai media pemahaman dan kesadaran kultural sebagai bekal penting untuk memaknai keberagaman dalam konteks keindonesiaan.

Kehadiran novel Puya ke Puya (2015) karya Faisal Oddang, misalnya, dapat memberikan pemahaman yang baik mengenai pentingnya tradisi rambu solo (upacara kematian) bagi masyarakat Tana Toraja, khususnya untuk kalangan pembaca dari luar komunitas budaya tersebut. Sebab, menurut ketentuan Aluk To Dolo (agama lokal orang Toraja yang bercorak politheistik), setelah seseorang meninggal harus segera dilaksanakan rambu solo agar nasib arwah yang bersangkutan tidak tergantung di antara bumi dan langit atau antara alam dunia dan alam akhirat (puya). Bahkan, dalam novel yang sama, pembaca juga dipahamkan secara kultural mengapa orang Toraja mesti menanam (menguburkan) anak-anak bayinya di batang pohon besar, khususnya yang meninggal sebelum tumbuh gigi mereka. Setiap tradisi lokal yang tampak di permukaan, ada keyakinan yang bersemayam di sana.[7]

Kemudian, melalui pembacaan terhadap novel Tarian Bumi (2004) karya Oka Rusmini pembaca akan mendapatkan banyak informasi tentang sistem kasta yang berlaku dalam masyarakat Hindu di Bali, entah sekadar bentuk emanasi maupun kritik terhadapnya. Melalui perkawinan antar-kasta antara Luh Sekar (Jero Kenanga) yang berasal dari kasta Sudra (kasta terendah) dengan Ida Bagus Ngurah Pidada yang berasal dari kasta Brahmana (kasta tertinggi) maupun perkawinan antara Ida Ayu Telaga dengan Wayah Sasmitha yang keduanya juga berbeda kasta (Brahmana-Sudra), pembaca bukan hanya dipahamkan tentang adanya perbedaan status sosial-ekonomi berdasarkan kasta, melainkan juga akan memahami dampak sosial-budaya yang ditimbulkannya. Setidaknya, hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Hindu di Bali bahwa jika ada seorang perempuan dari kasta Brahmana menikahi lelaki berkasta Sudra atau sebaliknya, maka sebagai akibatnya mereka akan hidup sial dan tidak diterima keluarga masing-masing karena pelanggaran tersebut.[8]

Selanjutnya, novel bertajuk Racun (2013) karya Muhammad Bulkini hadir dengan menyuguhkan kultur khas masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan yang dibingkai dengan kekuatan religius (Islam) tetapi sekaligus penuh mitos. Racun yang dijadikan pemicu konflik dalam novel ini bukanlah racun biasa sebagaimana dipahami oleh banyak orang (semisal racun tikus atau racun serangga), melainkan racun gaib yang umumnya “dipelihara” oleh sebuah keluarga secara turun-temurun. Pada waktu-waktu tertentu, minimal setahun sekali, racun ini akan menagih korban: membunuh manusia. Jika tidak terpenuhi, maka pihak (anggota) keluarga sendiri yang akan menjadi tumbalnya. Di bagian akhir novel ini diceritakan Matsan bersaudara yang ingin sekali memusnahkan racun peliharaan keluarganya yang mungkin sudah berlangsung beberapa generasi. Setelah banyak memakan korban, penyelesaian pada akhirnya dibalut dengan ritual agama (Islam) bercorak tasawuf. Botol racun itu dilemparkan oleh Salbiyah ke tengah laut Takisung dengan keyakinan bulat (secara hakikat) bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT dan akan kembali kepada-Nya.[9]

Warisan (1979), sebuah novel berwarna lokal Minangkabau (Sumatra Barat) karya Chairul Harun, menyajikan beragam dimensi sosiokultural yang hidup dan berkembang dalam masyarakat setempat dengan latar waktu sekitar tahun 1960-an. Sebagaimana dapat kita tangkap dari judulnya, pokok masalah utama yang didedahkan penulis dalam novel ini adalah duduk perkara harta (adanya perbedaan antara harta rendah dan harta tinggi) dan pembagian warisan. Namun, masalah besar yang harus dihadapi Rafilus (putra Bagindo Tahar) terkait kedua hal tersebut karena harta warisan yang seyogianya akan dibagikan ternyata sudah tak tersisa lagi. Warisan yang ditinggalkan ayahnya justru masalah utang-piutang. Oleh karena itu, sementara anak-anak Bagindo Tahar dari istrinya yang lain masing-masing menuntut bagiannya, alhasil tidak ada warisan yang bisa dibagikan. Selain itu, pernik-pernik budaya lokal lainnya yang juga terangkat dalam novel ini antara lain masalah tempat pemakaman, adat menjemput, dan budaya matrilineal.[10]

Lalu, jika pembaca ingin mendapatkan pengetahuan kultural dan sekaligus menyauk pengalaman psikologis dengan mengarungi beragam ritual mistis dalam masyarakat (suku) Dayak Benuaq di pedalaman Kalimantan Timur, bacalah novel bertajuk Upacara (1978) karya Korrie Layun Rampan. Melakukan eksplorasi kultural bersama tokoh “aku” di sepanjang halaman novel ini, pembaca akan mendapatkan banyak pemahaman mengenai beragam tradisi-budaya orang Dayak Benuaq semisal balian (ritual penyembuhan), kewangkey (upacara penguburan tulang manusia), nalin taun (pesta adat tahunan berupa pemberian persembahan pada alam dan dewa-dewa untuk keselamatan kampung dari malapetaka), atau pelulung (upacara perkawinan). Sebagaimana diakui Korrie sendiri selaku penulisnya, kehadiran novel ini memang dimaksudkan untuk mengomunikasikan bahasa jiwa suatu suku bangsa kepada suku bangsa lainnya atau dari satu individu kepada individu lainnya.[11]

Karya sastra Indonesia lainnya yang juga sangat kental menyuarakan warna lokal (khasnya budaya Jawa dalam versi Banyumasan) adalah novel bertajuk Ronggeng Dukuh Paruk (2003) karya Ahmad Tohari—semula diterbitkan terpisah dalam tiga buku (trilogi): Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1985)dan Jantera Bianglala (1986). Dengan latar waktu menjelang hingga pasca-petaka politik G30S/PKI (1965), novel ini menyoroti sisi gelap sekelompok masyarakat terbelakang dan terbilang miskin di sebuah perkampungan kecil (dukuh) dan cenderung terpencil bernama Dukuh Paruk. Sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang berwarna lokal, novel ini sangat kaya dengan beragam bentuk adat-istiadat, sistem kepercayaan, mitos, dan ritual-ritual khas masyarakat tradisional Jawa di zaman lampau. Melalui novel ini, pembaca akan paham mengapa seorang istri tidak cemburu—bahkan merasa bangga—jika suaminya mampu menggandeng sang ronggeng pujaan. Sebab, bagi mereka, ronggeng adalah simbol dan sekaligus pemantik gairah kehidupan.[12]

Demikianlah, kecuali keenam novel yang telah disebutkan di atas tentu saja masih ada sederet karya sastra Indonesia lainnya yang juga mengangkat warna lokal (budaya daerah) masing-masing dan sepantasnya pula dikemukakan di sini (termasuk karya-karya bergenre puisi, cerpen, novelet, dan drama). Warna lokal Jawa, misalnya, selain yang terekam dengan baik dalam Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari juga terungkap dalam karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Linus Suryadi Ag., Yanusa Nugroho, Triyanto Triwikromo, Ramayda Akmal, dan beberapa karya penulis dari Tanah Jawa lainnya. Bahkan, dari tangan Ahmad Tohari sendiri masih ada beberapa novel lainnya yang juga mendedahkan warna lokal Jawa, di samping sejumlah cerpennya dalam kumpulan Senyum Karyamin (1989) dan Mata yang Enak Dipandang (2013).

Selanjutnya, kecuali yang sudah tergambar dalam novel Warisan karya Chairul Harun, warna lokal Minangkabau juga dapat kita temukan dalam beberapa karya Hamsad Rangkuti, Darman Moenir, Edi Ruslan Pe Aman Reza, Gus tf. Sakai, dan karya-karya para penulis asal Sumatra Barat di era Balai Pustaka dan Pujangga Baru (Nur Sutan Iskandar, Tulis Sutan Sati, Abdul Muis, Marah Rusli, Hamka, dan lain-lain). Demikian pula warna lokal Bali, Banjar, Batak, Bugis, Dayak, Lampung, Madura, Melayu, Sakai, Toraja, dan berbagai budaya daerah lainnya—dengan segala pernik adat-istiadat dan kearifan lokalnya masing-masing—tentu tidak hanya terungkap dalam beberapa karya sastra Indonesia yang telah disebutkan di atas. Namun, dilantarankan oleh keterbatasan pengetahuan saya sendiri, niscaya masih banyak lagi karya-karya serupa yang luput dari pembicaraan ini.

Belum lagi jika persoalan ini kita kaitkan dengan karya-karya sastra berbahasa daerah yang dalam satu dasawarsa terakhir tampak semakin menunjukkan kegairahannya, baik dalam konteks penulisan maupun penerbitannya. Setidaknya, kegairahan kembali penulisan karya-karya sastra (modern) berbahasa daerah ini dipicu oleh kehadiran Hadiah Sastera Rancage dari Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikan Ajip Rosidi. Sejak Hadiah Sastera Rancage pertama (1989) yang saat itu baru diberikan untuk sastra Sunda (1989), hingga sekarang karya-karya sastra berbahasa daerah lainnya yang telah mendapatkan anugerah tahunan ini sudah mencakup enam tradisi sastra (berbahasa) daerah—dengan perluasan selanjutnya ke sastra Jawa (sejak 1994), sastra Bali (sejak 1998), sastra Lampung (sejak 2008), sastra Batak (sejak 2015), dan sastra Banjar (sejak 2017).[13]

Namun, jika kita ingat kembali bahwa jumlah bahasa daerah yang sudah terdata resmi di Indonesia mencapai 652 bahasa, kenyataan tersebut tentu akan menjadi pertanyaan besar bagi kita. Jika sejauh ini Hadiah Sastra Rancage baru menyasar 6 bahasa (sastra) daerah, lalu ke mana 646 bahasa daerah lainnya? Apakah 646 bahasa daerah lainnya itu tidak memiliki tradisi tulis, lantaran tradisi sastra lisannya tidak berkembang ke tradisi sastra tulis, ataukah karena persoalan lain di luar urusan bahasa dan sastra itu sendiri?

Dalam kaitan ini, saya sangat meyakini bahwa persoalannya bukan terletak pada perkembangan tradisi sastranya, melainkan karena tidak semua bahasa daerah itu memiliki penulis andal (juga idealis) yang mampu menulis karya-karya sastra dalam bahasa daerahnya sendiri. Banyak sastrawan kita yang punya kemampuan sangat baik menulis dalam bahasa Indonesia, tetapi mereka tidak mampu menulis satu biji pun puisi atau cerpen dalam bahasa daerah—sekalipun sejak kecil ia sudah menggunakan bahasa daerah tersebut. Hal ini penting untuk saya kemukakan di sini karena kelak dapat dihubungkaitkan dengan kebijakan strategis dalam rangka memperkaya khazanah sastra Indonesia berwarna lokal—di samping kebijakan strategis lainnya yang nanti akan saya sodorkan di akhir perbincangan ini.

 

/ 5 /

Kalaulah keberadaan karya-karya sastra Indonesia berwarna lokal itu dipandang penting dan memiliki peran strategis dalam rangka memaknai keberagaman dalam konteks keindonesiaan, maka sudah sepatutnyalah jika berbagai persoalan yang ada di seputarnya penting pula untuk diangkat ke permukaan. Saya yakin, dalam upaya pengembangannya, tentu ada banyak masalah yang perlu kita diskusikan guna mencaritemukan solusinya.

Jika benar bangsa Indonesia ini terdiri atas 1.340 suku bangsa dan setiap suku bangsa itu memiliki kekhasan budaya yang berbeda-beda, lalu berapa ragam budaya daerah yang sudah terepresentasikan dalam karya-karya sastra Indonesia yang sejauh ini dianggap menyuarakan warna lokal tertentu? Adakah sudah mencapai 5%, misalnya? Jika belum, berarti kenyataan ini merupakan tantangan besar bagi kita dalam upaya pengembangannya. Sebagai rekomendasi saya, setidaknya ada lima langkah strategis yang bisa kita lakukan.

Pertama, sekaitan dengan keberadaan sastra (berbahasa) daerah yang belakangan ini tampak semakin marak tradisi penulisan dan penerbitannya, perlu dilakukan upaya penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia guna memperkaya khazanah sastra Indonesia berwarna lokal. Sebab, saya sangat meyakini bahwa karya-karya sastra daerah ini niscaya mengandung warna lokal yang kuat dari daerahnya masing-masing. Untuk itu, pemerintah (melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—selanjut disebut Badan Bahasa saja), lembaga-lembaga swasta, maupun para donator hendaknya dapat memfasilitasi penerjemahan dan penerbitannya. Salah satu jalan praktis untuk pemilihan karya adalah dengan mengambil karya-karya yang telah mendapatkan Hadiah Sastera Rancage.

Kedua, melaksanakan bengkel (workshop) penulisan kreatif sastra dalam berbagai genrenya (drama, novel, cerpen, puisi), tetapi secara tematis lebih diarahkan pada karya-karya sastra berwarna lokal. Jadi, dalam rangkaian kegiatan bengkel penulisan ini, pada tahap awal para peserta mesti diberikan pemahaman yang memadai mengenai sastra berwarna lokal, teknik pengumpulan bahan tulisan, teknik memasukkan unsur-unsur lokalitas dalam karya sastra, dan beberapa konsep dasar lainnya. Para penulis muda potensial dari berbagai daerah harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat mengikuti kegiatan kreatif ini. Sebagai tagihan akhirnya, setiap peserta wajib menyetorkan minimal satu naskah (buku) karya sastra (drama, novel, kumpulan novelet, kumpulan cerpen, dan kumpulan puisi) dengan muatan warna lokal tertentu setelah mereka diberikan tenggat waktu yang cukup untuk proses penulisannya. Dan, sekali lagi, Badan Bahasa maupun lembaga swasta dan donator perseorangan hendaknya dapat berperan sebagai pihak penyelenggara atau sekadar sponsornya.

Ketiga, melaksanakan kegiatan residensi penulisan kreatif ke berbagai daerah pilihan yang melibatkan para penulis muda potensial dari berbagai daerah di Indonesia (semacam International Writing Program berskala nasional), baik digelar dalam bentuk kegiatan terpisah maupun sebagai rangkaian dari bengkel penulisan kreatif sastra. Dalam kaitan ini, Program Pengiriman Sastrawan Berkarya ke Daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) yang telah dirintis Badan Bahasa sejak 2016 lalu merupakan contoh konkretnya. Dari program ini, sudah puluhan penulis Indonesia terakomodasi di dalamnya dan sudah puluhan karya sastra terlahir sebagai produknya. Namun, untuk lebih memperluas jangkauan penulis dari berbagai daerah di tanah air, kegiatan serupa seyogianya juga dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait lainnya dengan sasaran daerah yang berbeda (baca: tidak hanya daerah 3T). Bahkan, dalam suatu perbincangan virtual (life streaming di kanal YouTube) bersama beberapa penulis dari negeri jiran (Malaysia dan Singapura), penyair Isbedy Stiawan ZS menginginkan kegiatan serupa juga dilaksanakan dalam skala regional Asia Tenggara (ASEAN)—barangkali, untuk praktisnya saja, hal ini bisa diprakarsai dan dikelola oleh Majelis Sastera Asia Tenggara.

Keempat, sebagai langkah lanjutannya adalah menyelenggarakan lomba (sayembara) penulisan kreatif sastra (puisi, cerpen, novel, drama) berskala nasional maupun daerah (provinsi atau kabupaten/kota). Kegiatan semacam ini dapat dikerjakan oleh lembaga atau komunitas mana pun, pemerintah maupun swasta, sepanjang didukung dengan pendanaan yang memadai serta mampu mengedepankan objektivitas lomba dan kredibilitas pelaksanaannya. Dewasa ini, lomba penulisan kreatif sastra memang semakin sering digelar, terutama dalam versi daring (online)—bahkan, tidak sedikit yang pendaftarannya berbayar. Namun demikian, sesuai dengan konteks pembicaraan ini, lomba penulisan yang dimaksudkan di sini lebih diarahkan untuk menghasilkan karya-karya sastra berwarna lokal.   

Kelima, setelah keempat langkah di atas, sebagai strategi selanjutnya adalah pemberian anugerah (penghargaan) sastra kepada para penulis (sastrawan) yang karyanya terpilih sebagai penerima anugerah tersebut—jadi, penilaiannya berbasis karya, bukan dedikasi, popularitas, apalagi senioritas. Kegiatan ini hendaknya dilaksanakan oleh lembaga tertentu secara berkala dan berkesinambungan (setiap tahun, dua tahunan, dan seterusnya). Lembaga pelaksana harus membentuk tim khusus yang diberi kewenangan untuk merumuskan kriteria penilaian berbasis karya dan menentukan karya (penulis) yang dinilai layak menerimanya. Sejauh ini, kegiatan serupa sebenarnya sudah dilakukan. Di antaranya ada Penghargaan Sastra Kemendikbud (Badan Bahasa), Anugerah Sastra Horison, Anugerah Sastra Pena Kencana, Anugerah Sastra Litera, Khatulistiwa (Kusala) Literary AwardIndonesian Writers Guild's Awards, dan beberapa lagi—terlepas dari berbagai masalah dan kontroversi yang menyertainya. Akan tetapi, untuk menyelaraskan kembali dengan topik pembicaraan ini, kita juga perlu memberikan penghargaan khusus bagi karya-karya sastra berwarna lokal.

 

/ 6 /

Sebagai penutup perbincangan ini, marilah kita berandai-andai. Ya, andai saja kelima langkah strategis tersebut sudah berhasil kita realisasikan, lalu tradisi penulisan dan penerbitan bukunya semakin marak sehingga karya-karya sastra berwarna lokal tersedia dalam jumlah yang sangat memadai dan sangat mudah pula didapatkan di pasaran maupun perpustakaan, maka yang kemudian menjadi pertanyaan kita adalah: apakah masyarakat Indonesia (dari berbagai kalangan) akan membaca karya-karya tersebut? Jika iya, berapa persenkah mereka dalam perbandingannya dengan jumlah penduduk Indonesia?

Mengawali sebuah esai bertajuk “Tentang Keterpencilan Kesusastraan” yang ditulisnya lebih setengah abad silam (1969), Goenawan Mohamad mengatakan, “Kesusastraan Indonesia adalah dunia 15 persen penduduk Indonesia. Bahkan kurang dari itu.”[14] Sekarang, ketika jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai lebih dari 272 juta jiwa, adakah pembaca sastra Indonesia masih di angka 15 persen? Saya kira, dengan mengandaikan sastra Indonesia sebagai sastra (masyarakat) perkotaan sekalipun, pembaca sastra Indonesia dewasa ini tidak lebih dari 10 persen—bahkan kurang dari itu. Sebab, pada kenyataannya, mereka yang membaca karya-karya sastra Indonesia mayoritas berasal dari kalangan khusus: para penulis atau calon penulis (sastrawan) sendiri, pengamat dan kritikus sastra, akademisi dan guru sastra, mahasiswa jurusan sastra, dan sesekali para siswa yang mendapatkan tugas kesastraan.

Andaikan demikianlah kenyataannya, sambil tetap mengupayakan terlaksananya kelima langkah strategis di atas, maka pokok masalah pertama yang mesti kita lakukan—sekaligus menjadi tantangan besar bagi kita—adalah meningkatkan minat baca dan apresiasi sastra di kalangan masyarakat luas. Sebab, jika masalah dasar ini belum kita upayakan secara optimal, maka posisi sastra Indonesia tetaplah sebagai sastra perkotaan dan jumlah pembaca sastra Indonesia tidak akan pernah melebihi 10 persen. Sayangnya, sedikit meminjam teori hierarki kebutuhan manusia versi Abraham Maslow, ternyata masalah ini juga tidak bisa lepas dari persoalan ekonomi dan tingkat kesejahteraan masyarakat. Lantas, apa kabar sastra Indonesia berwarna lokal? Bagaimana pula dengan tawaran konsep “memaknai keberagaman dalam konteks keindonesiaan” yang kini sedang kita diskusikan?

Padahal, dari awal perbincangan ini kita sudah sangat meyakini bahwa masalah interaksi budaya dan pemahaman keindonesiaan di tengah kemajemukan itu niscaya dapat kita bangun melalui pembacaan (internalisasi) terhadap karya-karya sastra berwarna lokal. Kita juga sudah berharap banyak bahwa kehadiran karya-karya sastra Indonesia dengan kekuatan lokalitas itu akan mampu menjadi media perekat dalam membina kesadaran bahwa kita adalah satu bangsa. Namun, marilah kita berandai-andai lagi. Jika semua itu bukanlah suatu kemustahilan, maka perjalanan waktulah yang kelak akan menjawabnya. []

Pelaihari, 8 Desember 2021

 

 

 


Note


[1] Lihat Melani Budianta, “Keragaman Sastra dan Keindonesiaan: Sebuah Refleksi” dalam Mabasan (Vol. 3 No. 2, Juli—Desember 2009), hlm. 35. Sebagai catatan, perbedaan data yang disebutkan dalam komentar tersebut karena dari tahun ke tahun proses ferivikasi dan validasi data memang terus dilakukan.

[2] Ibid., hlm. 36.

[3] Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1984), hlm. 1.

[4] Lihat Burhan Nurgiyantoro, “Sastra sebagai Pemahaman Antarbudaya” dalam Cakrawala Pendidikan (Nomor 3, Tahun XlV, November 1995), hlm. 3.

[5] Sheldon Norman Grebstein (Ed.), Perspectives in Contemporary Criticism (New York: Harper Row, 1968), hlm. 161.

[6] A. Teeuw, Khazanah Sastra Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 13.

[7] Secara khusus, mengenai tradisi penguburan bayi di batang pohon di kalangan masyarakat Tana Toraja ini juga dikemukakan Faisal Oddang dalam cerpen bertajuk “Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Bunda”. Lihat Faisal Oddang dkk. Cerpen Pilihan Kompas 2014: Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Bunda (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2015), hlm. 1-8.

[8] Oka Rusmini, Tarian Bumi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017).

[9] Muhammad Bulkini, Racun (Banjarmasin: Tahura Media, 2013).

[10] Chairul Harun, Warisan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002).

[11] Korrie Layun Rampan, Upacara (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000).

[12] Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2015).

[13] Anugerah Sastrera Rancage 2018 (Bandung: Yayasan Kebudayaan Rancage, 2018), hlm. 10.

[14] Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 39.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »