SASTRA, INTERAKSI
BUDAYA, DAN KITA:
Memaknai
Keberagaman dalam Konteks Keindonesiaan
Jamal T. Suryanata
Keindonesiaan kami tidak
semata-mata karena kulit kami sawo matang, rambut kami
yang hitam atau tulang pelipis
kami yang menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa
yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran
kami.
(Surat Kepercayaan Gelanggang)
/ 1 /
Dalam perspektif kebudayaan, Indonesia tentu saja bukan hanya dipahami
sebagai sebuah negara kepulauan yang sangat luas dan memiliki kekayaan alam
begitu melimpah, melainkan juga sebuah bangsa yang multietnis dan multikultural
dengan ribuan suku bangsa yang masing-masing memiliki bahasa dan khazanah
budaya lainnya yang berbeda-beda. Dengan 17.000 pulau (besar dan kecil) yang
dihuni oleh sekitar 1.340 suku bangsa serta memiliki lebih-kurang 652 bahasa
daerah, sungguh Indonesia merupakan sebuah negara-bangsa yang besar dan patut
kita banggakan—akan tetapi, sekaligus penuh tantangan dan ancaman.
Dalam kaitan ini, menarik sekali untuk merenungkan
kembali pengalaman Prof. Melani Budianta saat menjadi narasumber dalam sebuah
seminar internasional di kota Roma pada awal 2009 silam. Pada kesempatan itu,
selepas beliau membentangkan makalahnya tentang kemajemukan Indonesia, seorang
peserta seminar berkomentar, “Dengan tujuh ratus empat belas bahasa, tiga belas ribu pulau dan tiga
ratus suku bangsa, sungguh mencengangkan bahwa negara seperti Indonesia masih
bisa bertahan sampai sekarang.”[1]
Terlepas dari soal apakah orang itu berkomentar dengan
ekspresi penuh keheranan dan sekaligus menunjukkan rasa takjubnya, tetapi
pernyataan tersebut agaknya merepresentasikan keheranan dan ketakjuban banyak
orang. Jadi, sudah sepatutnyalah jika kita merasa bangga menjadi bagian dari
bangsa yang besar ini. Kita bangga karena memiliki aneka ragam budaya daerah
dengan kekhasannya masing-masing (bahasa, sastra, tari, lagu, musik, permainan,
pakaian, serta berbagai bentuk tradisi dan adat-istiadat lainnya), tetapi
sejauh ini kita masih bisa hidup berdampingan satu sama lain. Kita bangga
karena tidak semua bangsa yang plural memiliki kekuatan untuk bertahan seperti
Indonesia.
Namun begitu, ketika pluralisme itu dipahami dalam
konteks politik (termasuk politik identitas), maka realitas kehidupan sebuah
bangsa yang multietnis dan multikultural seperti Indonesia akan menjadi
terkotak-kotak. Dalam konteks demikian, konsep “kalian” dan atau “mereka” akan
lebih mengemuka ketimbang “kita” (kekitaan). Pertentangan akan lebih dominan
daripada kesepahaman. Sebagai konsekuensinya, merajut persatuan dan kesatuan
bangsa sudah pasti bukanlah hal yang mudah dilakukan.
Dalam perjalanan panjangnya sejak proklamasi
kemerdekaan digaungkan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 hingga sekarang,
sejarah telah mencatat bahwa bangsa ini sudah berkali-kali menghadapi ancaman
disintegrasi. Munculnya beragam bentuk gerakan separatis semisal pemberontakan
PKI, DI/TII, PRRI, Permesta, GAM, OPM, dan beberapa kerusuhan antar-etnis yang
pernah terjadi di negeri ini jelas merupakan ancaman besar terhadap tegaknya
keindonesiaan yang terus kita perjuangkan. Bahkan, akibat kelalaian para
pemimpin kita dalam mengelola keindonesiaan pula, Timor Timur (provinsi ke-27
pada masa pemerintahan Orde Baru) akhirnya melepaskan diri dari bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan memproklamasikan kemerdekaannya pada 20
Mei 2002 dengan nama Republik Demoratik Timor Leste (Republica Democratica de Timor
Leste).
Persoalannya sekarang, dengan pengecualian lepasnya
Timor Timur dari NKRI, mengapa sebuah bangsa yang sangat plural seperti
Indonesia masih bisa bertahan hingga sekarang? Apa yang menjadi bingkai
pemersatu dan pemertahanannya? Sebagaimana dikemukakan pula oleh Budianta,
salah satu kuncinya adalah adanya suatu bahasa perekat yang didukung oleh seluruh anak
bangsa.[2] Dalam fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia hadir
sebagai perekat yang sangat kuat dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa.
Karena itulah, dapat dikatakan bahwa kehadiran bahasa Indonesia merupakan
anugerah terindah—bahkan suatu “mukjizat” besar—bagi kita dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
/ 2 /
Entah kapan dan dari mana sumbernya, saya pernah mendengar sebuah ungkapan
lama yang menyatakan, “Politik itu memecah belah, kebudayaan itu menyatukan.”
Sekarang, pertanyaan penting yang bisa kita ajukan terkait dengan pernyataan
ini adalah, apakah ungkapan tersebut sekadar sebuah slogan tak bermakna (tidak
membumi) ataukah merupakan suatu refleksi atas realitas sosial-politik yang
kebenarannya bisa kita buktikan?
Dalam konteks ini, harus kita akui bahwa beragam
bentuk gejolak sosial-politik yang pernah terjadi di negeri ini—seperti yang
telah saya kemukakan di atas—memang tidak berdiri sendiri. Munculnya gerakan
separatis, perang antar-etnis, dan beberapa kerusuhan massal seringkali tidak
karena alasan politik, tetapi dipicu oleh perlakuan yang tidak adil dalam
realitas kehidupan berbangsa dan bernegara, baik terkait dengan masalah hukum,
ekonomi, sosial, budaya, dan beberapa aspek lainnya. Akan tetapi, jika kita
telusuri lebih jauh, semua itu akan mengerucut dan bermuara pada satu titik:
persoalan politik.
Sementara itu, kontras dengan gambaran di atas,
kebudayaan justru hadir sebagai media pemersatu bangsa. Perbedaan tradisi,
adat-istiadat, kesenian, pakaian, dan beragam aspek budaya daerah lainnya tidak
menjadikan bangsa ini terpecah-pecah, tetapi selalu dipandang sebagai kekayaan
sebuah bangsa yang mutikultural—sebagaimana terefleksikan dalam semboyan bhinneka
tungga ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Dan, sekali lagi perlu
saya tegaskan, kehadiran bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai bahasa
nasional memiliki peran yang sangat besar dalam upaya menyatukan bangsa yang
sejatinya sangat plural ini. Sejak diikrarkannya dalam Sumpah Pemuda pada 28
Oktober 1928 hingga sekarang, keberadaan bahasa Indonesia telah menjadi alat
perekat yang sangat efektif dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Sungguh,
sulit kita bayangkan apa yang akan terjadi seandainya bangsa Indonesia tidak
menjunjung tinggi satu bahasa persatuan.
Maka, bertitik tolak dari kenyataan tersebut, sebagai
wujud aktivitas berbahasa dan sekaligus merupakan salah satu laras bahasa Indonesia,
sastra (berbahasa) Indonesia juga memiliki peran strategis dan dapat
berkontribusi besar dalam rangka membangun pemahaman yang lebih komprehensif
terhadap hakikat keberagaman dan keindonesiaan. Namun, menjadi persoalan kita
selanjutnya, bagaimana seharusnya kita memosisikan sastra sebagai alat
strategis dalam upaya memaknai keberagaman dalam konteks keindonesiaan itu?
Apakah semua karya sastra memiliki potensi yang sama dalam mengemban misi
tersebut?
Sebagai karya (seni) imajinatif, sastra memang membangun
dunianya sendiri. Bahkan, dalam perspektif strukturalisme, sastra dipahami
sebagai dunia yang otonom. Akan tetapi, perlu kita sadari pula bahwa realitas
dalam karya sastra adalah realitas imajinatif yang benar-benar tidak ada hubung
kaitnya dengan realitas faktual (kenyataan historis). Oleh karena itu, kontras dengan pandangan
tersebut, dikatakan pula
bahwa sastra tidak jatuh begitu saja dari langit.[3] Dengan kata lain, setiap karya
sastra tidak terlahir dalam kekosongan budaya, tetapi pasti muncul pada
masyarakat yang telah memiIiki tradisi, adat-istiadat, konvensi, keyakinan,
pandangan hidup, cara hidup, cara berpikir, pandangan tentang estetika, dan lain-lain
yang kesemuanya dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan.[4]
Maka, atas dasar itulah kiranya sehingga Grebstein pernah
menegaskan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya
jika dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang
menghasilkan.[5] Atau, menurut kata-kata Teeuw, “Karya sastra baru dapat dipahami
sepenuhnya kalau ditempatkan dalam lingkungan kesastraannya, dalam deretan
sastra, diberikan tempat yang selayaknya dalam rangka sejarah sastra, dan dengan
latar belakang sosio-budaya yang tepat dan sesuai.”[6]
Oleh karena itu, selaras dengan serangkaian pernyataan
teoretis di atas, pembicaraan kita selanjutnya akan lebih difokuskan pada pokok
masalah interaksi budaya dalam dunia sastra sebagai media strategis untuk
membangun kesadaran atas realitas kehidupan sebuah bangsa yang majemuk seperti
Indonesia. Konsep interaksi budaya itu sendiri pada dasarnya dapat dipahami
dari dua sisi, yaitu interaksi budaya antarsuku-bangsa (nasional) dan interaksi
budaya antarbangsa (global)—sekalipun pada kenyataannya nanti akan lebih
terpumpun pada sisi yang disebut pertama: interaksi budaya antarsuku-bangsa.
Atau, sesuai dengan subjudul tulisan ini: memaknai keberagaman dalam konteks
keindonesiaan.
/ 3 /
Secara umum, istilah “interaksi” mengacu pada hubungan antara individu atau
kelompok yang satu dengan individu atau kelompok lainnya. Dengan demikian,
konsep interaksi itu sendiri bersifat dua arah, timbal balik, dinamis, dan
kausal (sebab-akibat). Oleh karena itu, khasnya dalam konteks keindonesiaan,
pengertian interaksi budaya yang dimaksudkan di sini terutama merujuk pada
hubungan sosiokultural antar-etnis atau antara khazanah budaya (suku bangsa)
yang satu dengan khazanah budaya (suku bangsa) lainnya.
Berdasarkan pemikiran di atas, konsep “interaksi
budaya dalam dunia sastra (Indonesia)” dapat dipahami sebagai hubungan
sosiokultural antar-etnis atau antara khazanah budaya (suku bangsa) yang satu
dengan khazanah budaya (suku bangsa) lainnya, sebagaimana yang terefleksikan
dalam karya-karya sastra (Indonesia). Namun demikian, dalam pengertian ini
tidak tertutup kemungkinan akan tercakupnya karya-karya sastra tertentu yang
hanya mengungkapkan khazanah budaya tertentu dan hanya merepresentasikan suku
bangsa tertentu. Sebab, dalam berbagai pembicaraan lepas tentang persoalan ini,
esensi interaksi budaya dalam dunia sastra lebih mengacu pada ranah aktivitas
pembacanya dalam rangka memahami “orang lain” (the other man) atau
khazanah budaya dari bangsa (suku bangsa) lainnya melalui karya-karya sastra
tertentu, bukan pada hubungan antarkarya sastra itu sendiri.
Selain itu, seraya bertitik tolak dari realitas
kesastraan yang sejauh ini telah berkembang dalam sastra Indonesia, konsep
interaksi budaya dalam dunia sastra tampaknya lebih mengacu pada karya-karya
sastra yang lazim dikategorikan sebagai karya sastra berwarna lokal (local
color) yang secara tipikal mengungkapkan aspek-aspek budaya tertentu dari
suku bangsa tertentu. Sekadar beberapa contoh, novel bertajuk Ronggeng
Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Para Priyai (Umar Kayam),
atau prosa lirik Pangakuan Pariyem (Linus Suryadi Ag.),
ketiganya hanya merepresentasikan warna lokal Jawa. Begitu pula dengan
novel Warisan (Chairul Harun), Upacara (Korrie
Layun Rampan), Tarian Bumi (Oka Rusmini), Namaku Teweraut (Ani
Sekarningsih), Lampau (Sandi
Firly), Racun (Muhammad Bulkini), Puya ke Puya (Faisal
Oddang), dan Anak Bakumpai Terakhir (Yuni Nurmalia),
masing-masing karya tersebut mewakili warna lokal dari suku bangsa yang
berbeda.
Dengan demikian, pada dirinya sendiri, karya-karya
tersebut pada dasarnya bersifat searah (baca: menyuarakan warna lokal tertentu
kepada publik sastra Indonesia dengan latar budaya daerah yang sangat beragam).
Sekalipun karya-karya yang sekaligus menampilkan persandingan antara dua atau
lebih budaya daerah dalam satu karya memang ada, tetapi karya-karya sastra
berwarna lokal yang sifatnya dua arah semacam itu tidak banyak kita temukan
dalam khazanah sastra Indonesia. Sekadar contoh lagi, Salah Asuhan (Abdoel
Moeis), Keberangkatan (Nh. Dini), Burung-burung
Manyar (Y.B. Mangunwijaya), Burung-burung Rantau (Y.B.
Mangunwijaya), Ca-bau-kan (Remy Sylado), Ayat-ayat
Cinta (Habiburrahman El-Shirazy), dan beberapa karya serupa mungkin
bisa dikatakan mewakili katergori yang kedua ini (baca: bersifat dua arah).
Akan tetapi, berbeda dengan beberapa contoh untuk kategori pertama, karya-karya
yang disebutkan terakhir ini lebih merepresentasikan persilangan budaya
antar-bangsa (baca: antara budaya Indonesia dan budaya asing).
Berdasarkan kenyataan tersebut, sekali lagi perlu saya
tegaskan bahwa konsep interaksi budaya dalam dunia sastra di sini lebih mengacu
pada ranah aktivitas pembaca dalam rangka saling memahami khazanah budaya dari
berbagai daerah (suku bangsa) yang berbeda melalui pembacaan terhadap
karya-karya sastra tertentu. Lebih jauh lagi, melalui proses pembacaan
(internalisasi) terhadap karya-karya sastra berwarna lokal tersebut diharapkan
akan mampu menumbuhkan kesadaran kultural di kalangan pembaca dalam rangka
memaknai keberagaman sebagai realitas dan sekaligus menjadi ciri keindonesiaan.
Dengan begitu, jika kesadaran kultural tersebut sudah dapat ditumbuhkan, maka
setiap komponen bangsa ini niscaya tidak hanya dapat menerima keberagaman itu
sebagai bagian dari realitas kehidupan mereka, tetapi juga menjadikannya
sebagai bentuk kebanggaan bangsa.
/ 4 /
Ungkapan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta” barangkali
juga bisa kita gunakan sebagai titik tolak pembicaraan seputar topik “memaknai
keberagaman dalam konteks keindonesiaan” ini. Primordialitas kesukubangsaan
yang seringkali mewujud dalam sikap ketidaksukaan atau rasa benci terhadap suku
bangsa lain pada umumnya didasari oleh ketidakpahaman terhadap kebudayaan suku
bangsa tersebut. Secara sosiopsikologis, potensi pertentangan semacam ini
niscaya akan dapat dicairkan—bahkan dibalikkan ke dalam kondisi
penerimaan—dengan memberikan pemahaman yang baik tentang seluk-beluk budaya
atau keragaman adat-istiadat dari suku bangsa yang berbeda. Dalam konteks
inilah sastra dapat menjalankan perannya sebagai media pemahaman dan kesadaran
kultural sebagai bekal penting untuk memaknai keberagaman dalam konteks
keindonesiaan.
Kehadiran novel Puya ke Puya (2015)
karya Faisal Oddang, misalnya, dapat memberikan pemahaman yang baik mengenai
pentingnya tradisi rambu solo (upacara kematian) bagi
masyarakat Tana Toraja, khususnya untuk kalangan pembaca dari luar komunitas
budaya tersebut. Sebab, menurut ketentuan Aluk To Dolo (agama lokal orang Toraja
yang bercorak politheistik), setelah seseorang meninggal harus segera
dilaksanakan rambu solo agar nasib arwah yang bersangkutan
tidak tergantung di antara bumi dan langit atau antara alam dunia dan alam
akhirat (puya). Bahkan, dalam novel yang sama, pembaca juga dipahamkan
secara kultural mengapa orang Toraja mesti menanam (menguburkan) anak-anak
bayinya di batang pohon besar, khususnya yang meninggal sebelum tumbuh gigi
mereka. Setiap tradisi lokal yang tampak di permukaan, ada keyakinan yang
bersemayam di sana.[7]
Kemudian, melalui pembacaan terhadap novel Tarian
Bumi (2004) karya Oka Rusmini pembaca akan mendapatkan banyak
informasi tentang sistem kasta yang berlaku dalam masyarakat Hindu di Bali,
entah sekadar bentuk emanasi maupun kritik terhadapnya. Melalui perkawinan
antar-kasta antara Luh Sekar (Jero Kenanga) yang berasal dari kasta Sudra
(kasta terendah) dengan Ida Bagus Ngurah Pidada yang berasal dari kasta
Brahmana (kasta tertinggi) maupun perkawinan antara Ida Ayu Telaga dengan Wayah
Sasmitha yang keduanya juga berbeda kasta (Brahmana-Sudra), pembaca bukan hanya
dipahamkan tentang adanya perbedaan status sosial-ekonomi berdasarkan kasta,
melainkan juga akan memahami dampak sosial-budaya yang ditimbulkannya.
Setidaknya, hal ini berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Hindu di
Bali bahwa jika ada seorang perempuan dari kasta Brahmana menikahi lelaki
berkasta Sudra atau sebaliknya, maka sebagai akibatnya mereka akan hidup sial
dan tidak diterima keluarga masing-masing karena pelanggaran tersebut.[8]
Selanjutnya, novel bertajuk Racun (2013)
karya Muhammad Bulkini hadir dengan menyuguhkan kultur khas masyarakat Banjar
di Kalimantan Selatan yang dibingkai dengan kekuatan religius (Islam) tetapi
sekaligus penuh mitos. Racun yang dijadikan pemicu konflik dalam novel ini
bukanlah racun biasa sebagaimana dipahami oleh banyak orang (semisal racun
tikus atau racun serangga), melainkan racun gaib yang umumnya
“dipelihara” oleh sebuah keluarga secara turun-temurun. Pada waktu-waktu
tertentu, minimal setahun sekali, racun ini akan menagih korban: membunuh
manusia. Jika tidak terpenuhi, maka pihak (anggota) keluarga sendiri yang akan
menjadi tumbalnya. Di bagian akhir novel ini diceritakan Matsan bersaudara yang
ingin sekali memusnahkan racun peliharaan keluarganya yang mungkin sudah
berlangsung beberapa generasi. Setelah banyak memakan korban, penyelesaian pada
akhirnya dibalut dengan ritual agama (Islam) bercorak tasawuf. Botol racun itu
dilemparkan oleh Salbiyah ke tengah laut Takisung dengan keyakinan bulat
(secara hakikat) bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT dan akan kembali
kepada-Nya.[9]
Warisan (1979), sebuah novel berwarna lokal Minangkabau (Sumatra Barat) karya
Chairul Harun, menyajikan beragam dimensi sosiokultural yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat setempat dengan latar waktu sekitar tahun 1960-an.
Sebagaimana dapat kita tangkap dari judulnya, pokok masalah utama yang
didedahkan penulis dalam novel ini adalah duduk perkara harta (adanya
perbedaan antara harta rendah dan harta tinggi) dan pembagian warisan.
Namun, masalah besar yang harus dihadapi Rafilus (putra Bagindo Tahar) terkait
kedua hal tersebut karena harta warisan yang seyogianya akan dibagikan ternyata
sudah tak tersisa lagi. Warisan yang ditinggalkan ayahnya justru masalah
utang-piutang. Oleh karena itu, sementara anak-anak Bagindo Tahar dari istrinya
yang lain masing-masing menuntut bagiannya, alhasil tidak ada warisan yang bisa
dibagikan. Selain itu, pernik-pernik budaya lokal lainnya yang juga terangkat
dalam novel ini antara lain masalah tempat pemakaman, adat menjemput, dan
budaya matrilineal.[10]
Lalu, jika pembaca ingin mendapatkan pengetahuan
kultural dan sekaligus menyauk pengalaman psikologis dengan mengarungi beragam
ritual mistis dalam masyarakat (suku) Dayak Benuaq di pedalaman Kalimantan
Timur, bacalah novel bertajuk Upacara (1978) karya Korrie
Layun Rampan. Melakukan eksplorasi kultural bersama tokoh “aku” di sepanjang
halaman novel ini, pembaca akan mendapatkan banyak pemahaman mengenai beragam
tradisi-budaya orang Dayak Benuaq semisal balian (ritual
penyembuhan), kewangkey (upacara penguburan tulang
manusia), nalin taun (pesta adat tahunan berupa pemberian
persembahan pada alam dan dewa-dewa untuk keselamatan kampung dari malapetaka),
atau pelulung (upacara perkawinan). Sebagaimana diakui Korrie
sendiri selaku penulisnya, kehadiran novel ini memang dimaksudkan untuk
mengomunikasikan bahasa jiwa suatu suku bangsa kepada suku bangsa lainnya atau
dari satu individu kepada individu lainnya.[11]
Karya sastra Indonesia lainnya yang juga sangat kental
menyuarakan warna lokal (khasnya budaya Jawa dalam versi Banyumasan) adalah
novel bertajuk Ronggeng Dukuh Paruk (2003) karya Ahmad
Tohari—semula diterbitkan terpisah dalam tiga buku (trilogi): Ronggeng
Dukuh Paruk (1982), Lintang Kemukus Dinihari (1985), dan Jantera
Bianglala (1986). Dengan latar waktu menjelang hingga pasca-petaka
politik G30S/PKI (1965), novel ini menyoroti sisi gelap sekelompok masyarakat
terbelakang dan terbilang miskin di sebuah perkampungan kecil (dukuh) dan
cenderung terpencil bernama Dukuh Paruk. Sebagai salah satu karya sastra
Indonesia yang berwarna lokal, novel ini sangat kaya dengan beragam bentuk
adat-istiadat, sistem kepercayaan, mitos, dan ritual-ritual khas masyarakat
tradisional Jawa di zaman lampau. Melalui novel ini, pembaca akan paham mengapa
seorang istri tidak cemburu—bahkan merasa bangga—jika suaminya mampu
menggandeng sang ronggeng pujaan. Sebab, bagi mereka, ronggeng adalah simbol
dan sekaligus pemantik gairah kehidupan.[12]
Demikianlah, kecuali keenam novel yang telah
disebutkan di atas tentu saja masih ada sederet karya sastra Indonesia lainnya
yang juga mengangkat warna lokal (budaya daerah) masing-masing dan sepantasnya
pula dikemukakan di sini (termasuk karya-karya bergenre puisi, cerpen, novelet,
dan drama). Warna lokal Jawa, misalnya, selain yang terekam dengan baik
dalam Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari juga terungkap dalam
karya-karya Pramoedya Ananta Toer, Y.B. Mangunwijaya, Umar Kayam, Kuntowijoyo, Linus
Suryadi Ag., Yanusa Nugroho, Triyanto Triwikromo, Ramayda Akmal, dan beberapa
karya penulis dari Tanah Jawa lainnya. Bahkan, dari tangan Ahmad Tohari sendiri
masih ada beberapa novel lainnya yang juga mendedahkan warna lokal Jawa, di
samping sejumlah cerpennya dalam kumpulan Senyum Karyamin (1989)
dan Mata yang Enak Dipandang (2013).
Selanjutnya, kecuali yang sudah tergambar dalam
novel Warisan karya Chairul Harun, warna lokal Minangkabau
juga dapat kita temukan dalam beberapa karya Hamsad Rangkuti, Darman Moenir,
Edi Ruslan Pe Aman Reza, Gus tf. Sakai, dan karya-karya para penulis asal
Sumatra Barat di era Balai Pustaka dan Pujangga Baru (Nur Sutan Iskandar, Tulis
Sutan Sati, Abdul Muis, Marah Rusli, Hamka, dan lain-lain). Demikian pula warna
lokal Bali, Banjar, Batak, Bugis, Dayak, Lampung, Madura, Melayu, Sakai,
Toraja, dan berbagai budaya daerah lainnya—dengan segala pernik adat-istiadat
dan kearifan lokalnya masing-masing—tentu tidak hanya terungkap dalam beberapa
karya sastra Indonesia yang telah disebutkan di atas. Namun, dilantarankan oleh
keterbatasan pengetahuan saya sendiri, niscaya masih banyak lagi karya-karya
serupa yang luput dari pembicaraan ini.
Belum lagi jika persoalan ini kita kaitkan dengan
karya-karya sastra berbahasa daerah yang dalam satu dasawarsa terakhir tampak
semakin menunjukkan kegairahannya, baik dalam konteks penulisan maupun
penerbitannya. Setidaknya, kegairahan kembali penulisan karya-karya sastra
(modern) berbahasa daerah ini dipicu oleh kehadiran Hadiah Sastera Rancage dari
Yayasan Kebudayaan Rancage yang didirikan Ajip Rosidi. Sejak Hadiah Sastera
Rancage pertama (1989) yang saat itu baru diberikan untuk sastra Sunda (1989),
hingga sekarang karya-karya sastra berbahasa daerah lainnya yang telah
mendapatkan anugerah tahunan ini sudah mencakup enam tradisi sastra (berbahasa)
daerah—dengan perluasan selanjutnya ke sastra Jawa (sejak 1994), sastra Bali
(sejak 1998), sastra Lampung (sejak 2008), sastra Batak (sejak 2015), dan
sastra Banjar (sejak 2017).[13]
Namun, jika kita ingat kembali bahwa jumlah bahasa
daerah yang sudah terdata resmi di Indonesia mencapai 652 bahasa, kenyataan
tersebut tentu akan menjadi pertanyaan besar bagi kita. Jika sejauh ini Hadiah
Sastra Rancage baru menyasar 6 bahasa (sastra) daerah, lalu ke mana 646 bahasa
daerah lainnya? Apakah 646 bahasa daerah lainnya itu tidak memiliki tradisi
tulis, lantaran tradisi sastra lisannya tidak berkembang ke tradisi sastra
tulis, ataukah karena persoalan lain di luar urusan bahasa dan sastra itu
sendiri?
Dalam kaitan ini, saya sangat meyakini bahwa
persoalannya bukan terletak pada perkembangan tradisi sastranya, melainkan
karena tidak semua bahasa daerah itu memiliki penulis andal (juga idealis) yang
mampu menulis karya-karya sastra dalam bahasa daerahnya sendiri. Banyak
sastrawan kita yang punya kemampuan sangat baik menulis dalam bahasa Indonesia,
tetapi mereka tidak mampu menulis satu biji pun puisi atau cerpen dalam bahasa
daerah—sekalipun sejak kecil ia sudah menggunakan bahasa daerah tersebut. Hal
ini penting untuk saya kemukakan di sini karena kelak dapat dihubungkaitkan
dengan kebijakan strategis dalam rangka memperkaya khazanah sastra Indonesia
berwarna lokal—di samping kebijakan strategis lainnya yang nanti akan saya
sodorkan di akhir perbincangan ini.
/ 5 /
Kalaulah keberadaan karya-karya sastra Indonesia berwarna lokal itu
dipandang penting dan memiliki peran strategis dalam rangka memaknai
keberagaman dalam konteks keindonesiaan, maka sudah sepatutnyalah jika berbagai
persoalan yang ada di seputarnya penting pula untuk diangkat ke permukaan. Saya
yakin, dalam upaya pengembangannya, tentu ada banyak masalah yang perlu kita
diskusikan guna mencaritemukan solusinya.
Jika benar bangsa Indonesia ini terdiri atas 1.340
suku bangsa dan setiap suku bangsa itu memiliki kekhasan budaya yang
berbeda-beda, lalu berapa ragam budaya daerah yang sudah terepresentasikan
dalam karya-karya sastra Indonesia yang sejauh ini dianggap menyuarakan warna
lokal tertentu? Adakah sudah mencapai 5%, misalnya? Jika belum, berarti
kenyataan ini merupakan tantangan besar bagi kita dalam upaya pengembangannya.
Sebagai rekomendasi saya, setidaknya ada lima langkah strategis yang bisa kita
lakukan.
Pertama, sekaitan dengan keberadaan sastra (berbahasa) daerah yang belakangan ini
tampak semakin marak tradisi penulisan dan penerbitannya, perlu dilakukan upaya
penerjemahannya ke dalam bahasa Indonesia guna memperkaya khazanah sastra
Indonesia berwarna lokal. Sebab, saya sangat meyakini bahwa karya-karya sastra
daerah ini niscaya mengandung warna lokal yang kuat dari daerahnya
masing-masing. Untuk itu, pemerintah (melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa—selanjut disebut Badan Bahasa saja), lembaga-lembaga swasta, maupun para
donator hendaknya dapat memfasilitasi penerjemahan dan penerbitannya. Salah
satu jalan praktis untuk pemilihan karya adalah dengan mengambil karya-karya
yang telah mendapatkan Hadiah Sastera Rancage.
Kedua, melaksanakan bengkel (workshop) penulisan kreatif sastra dalam
berbagai genrenya (drama, novel, cerpen, puisi), tetapi secara tematis lebih
diarahkan pada karya-karya sastra berwarna lokal. Jadi, dalam rangkaian
kegiatan bengkel penulisan ini, pada tahap awal para peserta mesti diberikan
pemahaman yang memadai mengenai sastra berwarna lokal, teknik pengumpulan bahan
tulisan, teknik memasukkan unsur-unsur lokalitas dalam karya sastra, dan
beberapa konsep dasar lainnya. Para penulis muda potensial dari berbagai daerah
harus diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat mengikuti kegiatan
kreatif ini. Sebagai tagihan akhirnya, setiap peserta wajib menyetorkan minimal
satu naskah (buku) karya sastra (drama, novel, kumpulan novelet, kumpulan
cerpen, dan kumpulan puisi) dengan muatan warna lokal tertentu setelah mereka
diberikan tenggat waktu yang cukup untuk proses penulisannya. Dan, sekali lagi,
Badan Bahasa maupun lembaga swasta dan donator perseorangan hendaknya dapat
berperan sebagai pihak penyelenggara atau sekadar sponsornya.
Ketiga, melaksanakan kegiatan residensi penulisan kreatif ke berbagai daerah
pilihan yang melibatkan para penulis muda potensial dari berbagai daerah di
Indonesia (semacam International Writing Program berskala
nasional), baik digelar dalam bentuk kegiatan terpisah maupun sebagai rangkaian
dari bengkel penulisan kreatif sastra. Dalam kaitan ini, Program Pengiriman Sastrawan
Berkarya ke Daerah 3T (terluar, terdepan, tertinggal) yang telah dirintis Badan Bahasa sejak 2016 lalu
merupakan contoh konkretnya. Dari program ini, sudah puluhan penulis Indonesia
terakomodasi di dalamnya dan sudah puluhan karya sastra terlahir sebagai
produknya. Namun, untuk lebih memperluas jangkauan penulis dari berbagai daerah
di tanah air, kegiatan serupa seyogianya juga dilakukan oleh lembaga-lembaga
terkait lainnya dengan sasaran daerah yang berbeda (baca: tidak hanya daerah
3T). Bahkan, dalam suatu perbincangan virtual (life streaming di
kanal YouTube) bersama beberapa penulis dari negeri jiran (Malaysia
dan Singapura), penyair Isbedy Stiawan ZS menginginkan kegiatan serupa juga
dilaksanakan dalam skala regional Asia Tenggara (ASEAN)—barangkali,
untuk praktisnya saja, hal ini bisa diprakarsai dan dikelola oleh Majelis
Sastera Asia Tenggara.
Keempat, sebagai langkah lanjutannya adalah menyelenggarakan lomba (sayembara)
penulisan kreatif sastra (puisi, cerpen, novel, drama) berskala nasional maupun
daerah (provinsi atau kabupaten/kota). Kegiatan semacam ini dapat dikerjakan
oleh lembaga atau komunitas mana pun, pemerintah maupun swasta, sepanjang
didukung dengan pendanaan yang memadai serta mampu mengedepankan objektivitas
lomba dan kredibilitas pelaksanaannya. Dewasa ini, lomba penulisan kreatif
sastra memang semakin sering digelar, terutama dalam versi daring (online)—bahkan,
tidak sedikit yang pendaftarannya berbayar. Namun demikian, sesuai dengan
konteks pembicaraan ini, lomba penulisan yang dimaksudkan di sini lebih
diarahkan untuk menghasilkan karya-karya sastra berwarna
lokal.
Kelima, setelah keempat langkah di atas, sebagai strategi selanjutnya adalah
pemberian anugerah (penghargaan) sastra kepada para penulis (sastrawan) yang
karyanya terpilih sebagai penerima anugerah tersebut—jadi, penilaiannya
berbasis karya, bukan dedikasi, popularitas, apalagi senioritas. Kegiatan ini
hendaknya dilaksanakan oleh lembaga tertentu secara berkala dan
berkesinambungan (setiap tahun, dua tahunan, dan seterusnya). Lembaga pelaksana
harus membentuk tim khusus yang diberi kewenangan untuk merumuskan kriteria
penilaian berbasis karya dan menentukan karya (penulis) yang dinilai layak
menerimanya. Sejauh ini, kegiatan serupa sebenarnya sudah dilakukan. Di
antaranya ada Penghargaan Sastra Kemendikbud (Badan Bahasa), Anugerah Sastra
Horison, Anugerah Sastra Pena Kencana, Anugerah Sastra Litera, Khatulistiwa
(Kusala) Literary Award, Indonesian Writers Guild's Awards, dan beberapa lagi—terlepas dari berbagai masalah dan
kontroversi yang menyertainya. Akan tetapi, untuk menyelaraskan kembali dengan
topik pembicaraan ini, kita juga perlu memberikan penghargaan khusus bagi
karya-karya sastra berwarna lokal.
/ 6 /
Sebagai penutup perbincangan ini, marilah kita berandai-andai. Ya, andai
saja kelima langkah strategis tersebut sudah berhasil kita realisasikan, lalu
tradisi penulisan dan penerbitan bukunya semakin marak sehingga karya-karya
sastra berwarna lokal tersedia dalam jumlah yang sangat memadai dan sangat
mudah pula didapatkan di pasaran maupun perpustakaan, maka yang kemudian
menjadi pertanyaan kita adalah: apakah masyarakat Indonesia (dari berbagai
kalangan) akan membaca karya-karya tersebut? Jika iya, berapa persenkah mereka
dalam perbandingannya dengan jumlah penduduk Indonesia?
Mengawali sebuah esai bertajuk “Tentang Keterpencilan
Kesusastraan” yang ditulisnya lebih setengah abad silam (1969), Goenawan
Mohamad mengatakan, “Kesusastraan Indonesia adalah dunia 15 persen penduduk
Indonesia. Bahkan kurang dari itu.”[14] Sekarang,
ketika jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai lebih dari 272 juta jiwa,
adakah pembaca sastra Indonesia masih di angka 15 persen? Saya kira, dengan
mengandaikan sastra Indonesia sebagai sastra (masyarakat) perkotaan sekalipun,
pembaca sastra Indonesia dewasa ini tidak lebih dari 10 persen—bahkan kurang
dari itu. Sebab, pada kenyataannya, mereka yang membaca karya-karya sastra
Indonesia mayoritas berasal dari kalangan khusus: para penulis atau calon
penulis (sastrawan) sendiri, pengamat dan kritikus sastra, akademisi dan guru
sastra, mahasiswa jurusan sastra, dan sesekali para siswa yang mendapatkan
tugas kesastraan.
Andaikan demikianlah kenyataannya, sambil tetap
mengupayakan terlaksananya kelima langkah strategis di atas, maka pokok masalah
pertama yang mesti kita lakukan—sekaligus menjadi tantangan besar bagi
kita—adalah meningkatkan minat baca dan apresiasi sastra di kalangan masyarakat
luas. Sebab, jika masalah dasar ini belum kita upayakan secara optimal, maka
posisi sastra Indonesia tetaplah sebagai sastra perkotaan dan jumlah pembaca
sastra Indonesia tidak akan pernah melebihi 10 persen. Sayangnya, sedikit
meminjam teori hierarki kebutuhan manusia versi Abraham Maslow, ternyata
masalah ini juga tidak bisa lepas dari persoalan ekonomi dan tingkat
kesejahteraan masyarakat. Lantas, apa kabar sastra Indonesia berwarna lokal?
Bagaimana pula dengan tawaran konsep “memaknai keberagaman dalam konteks
keindonesiaan” yang kini sedang kita diskusikan?
Padahal, dari awal perbincangan ini kita sudah sangat
meyakini bahwa masalah interaksi budaya dan pemahaman keindonesiaan di tengah
kemajemukan itu niscaya dapat kita bangun melalui pembacaan (internalisasi)
terhadap karya-karya sastra berwarna lokal. Kita juga sudah berharap banyak
bahwa kehadiran karya-karya sastra Indonesia dengan kekuatan lokalitas itu akan
mampu menjadi media perekat dalam membina kesadaran bahwa kita adalah satu
bangsa. Namun, marilah kita berandai-andai lagi. Jika semua itu bukanlah suatu
kemustahilan, maka perjalanan waktulah yang kelak akan menjawabnya. []
Pelaihari, 8 Desember 2021
Note
[1] Lihat Melani Budianta,
“Keragaman Sastra dan Keindonesiaan: Sebuah Refleksi” dalam Mabasan (Vol.
3 No. 2, Juli—Desember 2009), hlm. 35. Sebagai catatan, perbedaan data yang
disebutkan dalam komentar tersebut karena dari tahun ke tahun proses ferivikasi
dan validasi data memang terus dilakukan.
[2] Ibid., hlm. 36.
[3] Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra (Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1984), hlm. 1.
[4] Lihat Burhan Nurgiyantoro,
“Sastra sebagai Pemahaman Antarbudaya” dalam Cakrawala Pendidikan (Nomor 3, Tahun
XlV, November 1995), hlm. 3.
[5] Sheldon Norman Grebstein (Ed.), Perspectives
in Contemporary Criticism (New York: Harper Row, 1968), hlm. 161.
[6] A. Teeuw, Khazanah
Sastra Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), hlm. 13.
[7] Secara khusus, mengenai tradisi penguburan bayi di
batang pohon di kalangan masyarakat Tana Toraja ini juga dikemukakan Faisal
Oddang dalam cerpen bertajuk “Di Tubuh Tarra, dalam Rahim Bunda”. Lihat Faisal
Oddang dkk. Cerpen Pilihan Kompas 2014: Di Tubuh Tarra, dalam Rahim
Bunda (Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2015), hlm. 1-8.
[8] Oka Rusmini, Tarian
Bumi (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017).
[9] Muhammad Bulkini, Racun (Banjarmasin: Tahura Media,
2013).
[10] Chairul
Harun, Warisan (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002).
[11] Korrie Layun
Rampan, Upacara (Jakarta: Pustaka Jaya, 2000).
[12] Ahmad
Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2015).
[13] Anugerah Sastrera
Rancage 2018 (Bandung:
Yayasan Kebudayaan Rancage, 2018), hlm. 10.
[14] Goenawan Mohamad, Seks, Sastra, Kita (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), hlm. 39.