SEEKOR AYAM
MILIK TETANGGA
Tjak S. Parlan
Seekor ayam jantan baru saja terbang dari balik tembok pagar sebuah rumah. Orang-orang yang tinggal di sekitar gang sempit itu tahu, pemiliknya tidak lain adalah Badrul Munir. Nyaris saban hari—antara pukul delapan hingga pukul sembilan pagi—Badrul Munir yang tua menjemur ayam-ayam peliharaannya. Dia menaruh ayam-ayam aduan itu masing-masing dalam kurungan bambu yang berderet di halaman depan rumahnya. Sembari menunggui ayam-ayamnya, Badrul Munir duduk di sebuah kursi yang terpacak di bawah pohon mangga; dia juga mengisap cangklong dan mendengarkan lagu-lagu dangdut mengalun dari speaker gawainya yang sember. Begitu asyik dirinya—terkadang sembari terkantuk-kantuk—hingga tidak pernah tahu ketika seekor ayam yang paling gesit, keluar dari kurungannya atau kandangnya.
“Pasti ayamnya Pak Badrul,” ujar Sulaiman dengan suara nyaris seperti bisikan. “Benar, kan? Lama-lama disate juga ayam itu sama orang.”
Fahmi Idris mengerutkan keningnya, melongok dari balik tembok gang setinggi leher orang dewasa di depan halaman sempit rumah Sulaiman. “Apa itu mengganggu?” tanyanya.
Sulaiman menoleh ke kiri-kanan sejenak, lalu suaranya kembali terdengar berbisik. “Kadang-kadang. Tapi kamu tahulah, di sini rawan. Jangankan ayam yang jelas-jelas punya harga. Sekelas anjing kampung yang berkeliaran saja, bisa dijadikan uang.”
“Botoh tua itu punya ayam yang bagus-bagus. Kualitas unggul. Pasti sudah menghabiskan uang banyak untuk hobinya itu,” tanggap Fahmi Idris.
“Ya, banyaklah!” timpal Ahmad Saleh seraya mengunyah sate kambing racikan Sulaiman. “Tapi dia juga sudah untung banyak. Banyak sekali.”
Baru saja Fahmi Idris duduk di teras, sebuah sepeda motor terdengar menderu. Lalu sebuah suara yang lain—suara keok seekor ayam yang mendadak dan tertahan. Fahmi Idris kembali berdiri dan melongok ke luar tembok. Tepat pada saat itu, seorang pemuda pengendara sepeda motor terlihat celingukan. Ketika pandangan matanya bersirobok dengan Fahmi Idris, pemuda itu segera menggeber sepeda motornya dan menghilang ke ujung gang. Fahmi Idris bergegas ke tempat kejadian, begitu pula Ahmad Saleh dan Sulaiman.
“Bajingan!” maki Fahmi Idris seraya mendesis—nyeri di giginya terasa menghantam-hantam kepalanya. “Dia melindas ayam ini dan kabur begitu saja. Sialan!”
Ayam petarung itu menggelepar-gelepar. Darah merembes dari pangkal pahanya yang nyaris ringsek dan bulu-bulunya bertebaran di atas beton kasar gang sempit itu. Fahmi Idris berjongkok dan menyentuhkan tangannya. Dada ayam itu kembang kempis; sementara paruhnya megap-megap, mengeluarkan suara yang lemah dan memilukan. Ketika ayam itu mulai berkelojotan, Fahmi Idris segera berlari ke rumah Sulaiman dan kembali dengan sebilah pisau tajam di tangannya. Lalu tanpa banyak bicara—seraya mulutnya berkomat-kamit—dia menggorok ayam itu tepat di pangkal lehernya. Beberapa saat, dia menahan pisau itu di sana. Darah segar mengucur, sebagian lainnya merembes mengikuti bilah pisau yang tajam. Dirasa tuntas, Fahmi Idris menarik pisaunya dan meletakkan ayam itu di pinggir jalan. Sekali lagi ayam itu berkelojotan, sebelum kemudian berhenti bergerak sama sekali.
Ahmad Saleh dan Sulaiman yang menyaksikan kejadian itu, bergeming. Mereka tidak mengeluarkan sepatah kata pun kecuali ketika Fahmi Idris mulai mengangkat kembali ayam itu untuk memastikan kondisinya.
“Sudah benar-benar mati,” ujar Sulaiman. “Saya baru tahu, lumayan juga caramu menggorok ayam. Sepertinya kamu sayat di bagian yang tepat.”
Fahmi Idris menatap Sulaiman sekilas. “Saya harus memberitahu pemiliknya. Ada yang mau ikut?”
Tidak ada yang bergerak. Sulaiman dan Ahmad Saleh hanya bersitatap. Fahmi Idris tidak peduli. Dia menenteng ayam yang sudah mati itu dan bergegas menuju rumah Badrul Munir. Setibanya di sana, botoh tua itu sedang duduk terkantuk-kantuk di sebuah kursi kayu berkaki pendek. Sementara di sebelahnya, segelas kopi terhidang di atas meja dan lagu-lagu dangdut mengalun dari sebuah speaker gawai.
“Aku seperti pernah melihatmu,” ujar Badrul Munir mengetahui ada seseorang yang baru saja memasuki halaman rumahnya. Matanya segera menyipit dan keningnya berkerut-kerut. “Ayam siapa yang kamu bawa-bawa itu?”
“Ini ayam Pak Badrul. Seorang pengendara sepeda motor baru saja melindasnya,” terang Fahmi Idris.
Jawaban Fahmi Idris itu membuat kening Badrul Munir semakin berkerut. Dia berdiri dan mendekat ke arah Fahmi Idris. Matanya membelalak ketika mengetahui bahwa laki-laki kurus di depannya itu sedang menenteng seekor ayam mati. Pangkal paha ayam itu nyaris ringsek dan batang lehernya terkulai sehabis digorok—dan sialnya, itu ayamnya sendiri!
“Ditabrak sepeda motor?” Badrul Munir tampak tidak percaya. “Apa maksudnya ini? Siapa yang menabraknya?”
Fahmi Idris menjelaskan secara terperinci kejadiannya. Dia juga mengatakan bahwa bukan dirinya saja yang menyaksikan kejadian itu, tapi ada dua orang lainnya yang bisa ditanyai perihal kebenaran ceritanya. Badrul Munir membolak-balik tubuh ayam yang sudah mulai kaku dan dingin itu. Sesekali dia melihat ke arah Fahmi Idris dengan tatapan curiga.
“Saya tidak pernah melihat pemuda itu di sekitar sini. Barangkali dia sedang lewat saja. Mestinya dia lebih berhati-hati biar tidak terjadi hal semacam ini. Saya sempat berteriak, tapi dia sudah tancap gas. Kabur!”
“Hmm. Kamu tidak ingat sedikit pun ciri-cirinya? Minimal jenis sepeda motornya.”
“Matic. Bodi besar, keluaran terbaru.”
“Semoga cepat mampus orang itu! Kamu tidak sempat melihat nomor platnya? Maksud saya, siapa tahu kamu atau siapalah, sempat merekam kejadian tadi.”
Fahmi Idris menggeleng.
Badrul Munir kembali duduk dan menyesap kopinya. Mata Fahmi Idris memindai ke deretan kurungan ayam yang sedang terpapar matahari pagi. Masing-masing kurungan ayam itu terisi dan dalam posisi yang tepat. Tidak ada satu pun yang terbalik atau terbuka.
“Saya tidak menjemurnya pagi ini,” ujar Badrul Munir. “Saya biarkan di kandang sebagai hukuman. Dua kali turun ke arena, Bangkok sialan ini selalu keok! Untung tidak sampai luka parah. Memang masih perlu banyak latihan. Tadi mungkin saya lupa menutup pintu atau apalah… Ayam itu pernah kabur sebelumnya, tapi selalu kembali.”
Fahmi Idris tampak tidak begitu tertarik dengan penjelasan Badrul Munir. Dia mulai gusar dan ingin segera pergi dari tempat itu. Namun, ketika hendak berpamitan, Badrul munir menyergapnya dengan sebuah pertanyaan. “Kenapa kamu berani menggoroknya?”
Fahmi Idris menatap wajah Badrul Munir sejenak. “Saya tidak tega,” jawabnya kemudian.
“Tidak tega? Maksudmu?”
“Sudah saya katakan tadi, ayam ini sekarat. Bagaimana pun ayam ini akan mati. Tapi saya tidak tega melihatnya mati pelan-pelan dalam kesakitan. Itu sangat mengerikan. Makanya, lebih baik saya percepat saja.”
“Oh, mulia sekali hatimu.”
Badrul Munir mengatakan itu dengan nada sinis. Fahmi Idris tahu, laki-laki tua itu hanya sedang menyindirnya dan dia tidak ingin menanggapinya.
“Ayam ini sudah telanjur kamu bawa ke sini,” ujar Badrul Munir. “Mungkin maksudmu jujur atau apalah… Tapi saya tidak bisa mengurus bangkai ayam ini. Pembantu saya sedang pulang kampung dan istri saya keluar kota. Saya punya seekor anjing, tapi tidak berselera dengan daging ayam. Jadi, bantulah saya.”
“Maksud Pak Badrul?”
“Bawalah ayam ini. Kamu sudah menggoroknya, kan? Itu sama dengan apa yang dilakukan di arena persabungan. Semua ayam saya yang kalah dan terluka parah, tidak pernah saya bawa pulang. Ada yang mengurusnya baik-baik. Disembelih sebelum benar-benar mati dan dagingnya dimasak. Itu lebih berguna, kan?”
Fahmi Idris tertegun sejenak. Dia tampak ragu-ragu. Namun, wajah Badrul Munir tiba-tiba terlihat begitu tua di matanya—dan mata Badrul Munir menatapnya penuh iba.
“Ayolah! Saya minta tolong. Kita bertetangga, kan? Saya sangat berterima kasih kalau kamu mau melakukannya.”
Fahmi Idris tidak berpikir panjang. Dia memungut ayam yang tergeletak tidak berdaya itu dan bergegas meninggalkan Badrul Munir tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia kembali ke rumah Sulaiman dan bersungut-sungut. “Botoh tua itu mengembalikan ayamnya. Coba tahu begitu, saya tidak akan membawanya ke sana tadi. Ayam sialan!”
Ahmad Saleh yang masih mengunyah daging sate, menyambutnya dengan keheranan. “Terus, mau kita apakan ayam mati ini? Ada-ada saja.”
“Ya, sudah. Sini, biar saya bersihkan!” Sulaiman mengambil ayam mati itu dari tangan Fahmi Idris dan bergegas ke dapur. Dia meminta istrinya memanaskan air. Sulaiman akan menyiangi ayam itu dan membawanya ke suatu tempat.
***
Mereka berhenti di depan rumah Hasan Sanusi. Pintu rumahnya tertutup rapat dan di sekitarnya terlihat sepi. Sulaiman mengetuk pintu rumah itu berkali-kali, tapi tidak ada jawaban. Seseorang yang kebetulan melintas memberitahunya bahwa pemilik rumah sedang bepergian.
“Dari kemarin,” ujar laki-laki itu, “tapi saya tidak tahu mereka ke mana. Hasan pernah bilang, liburan mau pulang ke kampung bapaknya.”
Sulaiman manggut-manggut dan tidak bertanya lebih lanjut. Dia meminta Fahmi Idris menghidupkan kembali sepeda motornya.
“Sebenarnya kita mau ke mana?” tanya Fahmi Idris. “Kenapa mampir ke sini segala? Hasan ini teman kerja Pak Sulaiman, kan?”
Sulaiman mengangguk. “Tiba-tiba saya ingat dia tadi. Sejak dia berhenti jadi tukang jagal ayam, saya tidak pernah berbagi daging ayam dengannya. Dia tidak bisa makan daging kambing atau sapi. Saya pikir bagus juga memberikan ini padanya.”
“Pak Sulaiman mau memberi teman sendiri daging ayam bekas ditabrak sepeda motor anak muda bangsat itu?” tanggap Fahmi Idris.
“Apa masalahnya? Kamu sendiri yang menggoroknya, kan?”
“Ya, sebelum ayam itu mati.”
“Benar-benar sebelum mati?”
“Astaga! Pak Sulaiman tadi melihatnya langsung.”
Sulaiman terdiam sejenak, sebelum kemudian menepuk pundak Fahmi Idris yang sudah siap menghidupkan mesin sepeda motor. “Sudahlah, jalan lagi!”
Sepeda motor melaju. Sepanjang perjalanan, mereka tidak saling bicara. Tepat di depan sebuah pasar tradisional, Sulaiman kembali menepuk pundak Fahmi Idris. “Berhenti di sini,” ujarnya.
Fahmi Idris menepikan sepeda motor. Dari seberang jalan, pasar terlihat sepi. Hanya ada sejumlah pedagang yang mencoba tetap membuka lapaknya. Sulaiman memberi isyarat kepada Fahmi Idris agar mengikutinya. Di ujung pasar—sekitar dua puluh meter dari jalan besar—sebuah gundukan sampah menguarkan bau busuk yang menyengat. Tiga ekor anjing kurus mengendus-endus aroma daging yang tidak pernah ditemukannya.
“Saya selalu melihatnya di sini,” ujar Sulaiman. “Dan anjing-anjing ini tetap saja kurus. Entah apa saja yang dibuang orang-orang itu ke tempat semacam ini.”
Tangan Sulaiman merogoh kantung plastik yang ditentengnya dan melemparkan sepotong paha ayam ke arah anjing-anjing itu. Ketiga anjing itu segera berebutan. Sulaiman melemparkan sepotong paha ayam lagi. Seekor anjing hitam segera mendapatkan buruannya. Selanjutnya, Sulaiman membagi daging ayam itu menjadi tiga bagian. Anjing-anjing itu kini tidak berebutan lagi. Mereka telah mendapatkan bagiannya masing-masing. Anjing hitam yang tampak paling lapar dari yang lainnya, menggigit tulang paha ayam itu keras-keras. Gemeletuk tulang remuk terdengar hingga ke telinga Fahmi Idris. Fahmi Idris memperhatikan anjing itu dan mulai mendesis. Pelan-pelan dia meraba pipi sebelah kanannya yang mulai membengkak. Rasa nyeri itu datang lagi rupanya—dan kali ini lebih jahanam dari sebelumnya.
“Gigimu kumat lagi, ya?” tanya Sulaiman seraya berjalan menuju sepeda motor yang terparkir di pinggir jalan.
Fahmi Idris kembali mendesis. Dia menatap anjing-anjing itu—anjing-anjing yang tidak berhenti mengunyah. ()
Ampenan, 15 Agustus-22 November 2021