Kecerdasan Buatan Penyair - Dadang Ari Murtono

@kontributor 1/23/2022

Kecerdasan Buatan Penyair

Dadang Ari Murtono



Suatu kali, ada seorang penyair yang mati. Ia kemudian dikubur dan selama ratusan tahun ia tetap tinggal dalam kuburnya yang lembab dan penuh cacing. Lantas pada suatu pagi, ia tiba-tiba bangkit. Tangannya menjulur dari sela-sela tanah yang menguruknya. Dan dengan napas tersengal-sengal, ia berhasil keluar.

Hal pertama yang ia lakukan setelah menyesuaikan matanya dengan cahaya matahari adalah mengingat-ingat kehidupannya yang telah lalu.

“Aku penyair,” gumamnya dengan mantap. “Seorang penyair yang bangga.”

Kemudian ia mulai berjalan dan menemukan betapa segala sesuatunya telah berubah. Ia bertanya kepada seseorang di jalan tanggal berapakah saat itu. Dan orang itu menyebut tanggal dan bulan dan tahun. Dan penyair itu terkejut mendapati berapa lama ia telah mati.

Setelah sembuh dari keterkejutan, penyair itu berkata, “Aku penyair, kalau saja kau ingin tahu.”

Dan orang yang ia temui di jalan itu tertawa.

Penyair itu percaya bahwa puisi yang pernah ia tulislah yang membangkitkannya dari mati. Ia bukan penyair yang produktif. Sepanjang dua puluh enam tahun kehidupannya yang terdahulu, ia hanya berhasil menulis satu buah puisi. Berkali-kali ia membongkar dan menulis ulang puisi tersebut dan selalu merasa bahwa ada sesuatu yang salah dengan puisi itu. Ia kemudian membaca banyak sekali buku, menggelandang dari satu tempat ke tempat lain, terlibat berbagai skandal percintaan, mabuk-mabukan, dan berbagai hal lain untuk memperkaya batinnya demi menyempurnakan puisinya.

Dan usahanya tidak sia-sia.

Pada akhirnya, ia berhasil menyelesaikan puisi itu dan ia merasa puas. Dengan sebiji puisi itulah ia merasa bisa hidup selama-lamanya. Namun yang terjadi setengah menit kemudian adalah ia mati. Mati begitu saja.

Ia masih ingat setiap huruf dari satu-satunya puisi yang pernah ia hasilkan tersebut. 

Penyair itu terus berjalan. Kepada setiap orang yang ia temui, ia mengatakan bahwa ia seorang penyair dan kemudian membacakan satu-satunya puisi yang pernah ia tulis.

Namun semua orang menertawakannya.

“Para penyair sudah punah,” kata orang-orang. “Tidak ada orang yang jadi penyair hari ini karena kecerdasan buatan sudah cukup untuk menulis puisi-puisi yang bagus sesuai pesanan.”

Penyair itu tidak mengerti.

“Tapi aku memang benar-benar penyair,” katanya, “coba dengarkan puisiku ini.”

Lalu ia kembali membacakan puisinya.

“Itu puisi yang bagus,” kata orang-orang setelah ia selesai membacakan puisinya. “Namun seharusnya kau membacakan puisi itu untuk orang yang memesannya. Bukan ke sembarang orang,” kata mereka lagi.

“Tidak ada yang memesan puisi itu,” kata si penyair. “Seorang penyair tidak bekerja berdasarkan pesanan seperti itu.”

Dan orang-orang kembali tertawa. “Lelucon yang bagus. Aku tidak tahu kalau sekarang mereka sudah pula menemukan Kecerdasan Buatan yang mempunyai selera humor,” kata mereka. “Sekarang berhentilah bertingkah seolah-olah kau manusia. Jika kau bisa membuat puisi, maka kau pasti sebuah Kecerdasan Buatan. Oleh karena itu, bersikaplah sebagaimana seharusnya sebuah Kecerdasan Buatan bersikap.”

“Tapi aku memang manusia,” kata penyair itu.

Dan orang-orang tertawa semakin kencang. Lantas mereka meninggalkannya.

Selama berhari-hari, hal yang sama terus terjadi. Dan pada akhirnya, si penyair mulai meragukan dirinya sendiri.

“Jangan-jangan,” pikirnya, “aku memang benar-benar Kecerdasan Buatan seperti yang semua orang katakan.”

Maka si penyair memutuskan untuk mulai mencari informasi terkait Kecerdasan Buatan ini. Ia pergi ke sejumlah perpustakaan, membaca banyak buku, belajar mengoperasikan internet dan mencari data dari sana, dan seterusnya.

“Ini buruk sekali,” pikir si penyair. “Jadi aku ini hanya semacam perangkat lunak yang dimasukkan ke dalam cangkang dan diciptakan untuk menulis puisi berdasarkan pola puisi-puisi yang pernah ditulis manusia ratusan tahun lalu.”

Si penyair merasa sedih karenanya. Namun segera ia menyadari bahwa sebagai sebuah mesin, ia tak semestinya merasa sedih.

Maka ia tersenyum. 

“Aku Kecerdasan Buatan,” katanya, “dan aku bangga sebagai Kecerdasan Buatan Penyair.”

Setelah itu, si penyair mencoba mulai bertingkah sebagaimana seharusnya Kecerdasan Buatan itu bertingkah. Namun ia benar-benar tak tahu bagaimana seharusnya Kecerdasan Buatan bertingkah. Dan ia kembali bertanya kepada sembarang orang yang ia temui.

“Kalau kau Kecerdasan Buatan Penyair, maka seharusnya kau menulis puisi,” kata orang-orang. “Kau melayani orang-orang yang minta dituliskan puisi dan seketika itu juga kau melakukannya.”

Lalu orang itu mengatakan ingin sebuah puisi tentang sesuatu hal. “Tuliskan untukku,” katanya.

Si penyair mencoba melakukannya. Namun ia tidak bisa. 

“Ini hal baru untukku,” kataknya pada akhirnya, “maksudku, menulis puisi sesuai pesanan.”

“Apa maksudmu itu hal baru untukmu?” 

“Aku butuh waktu,” kata si penyair kemudian. “Tapi aku pasti akan menuliskan puisi itu untukmu.”

Itu tidak mudah. Setiap kali ia mencoba menulis, satu-satunya yang muncul di kepalanya adalah satu-satunya puisi yang pernah ia tulis. Tidak yang lain. Ia mencoba begitu keras membangkitkan semua pola-pola dari puisi yang pernah ditulis orang lain dan dimasukkan ke dalam dirinya sebagai sebuah Kecerdasan Buatan, namun ia benar-benar tidak bisa mengaksesnya.

“Jangan-jangan aku hanyalah Kecerdasan Buatan yang sudah rusak,” pikirnya. “Seseorang pasti pernah mematikan perangkat lunakku dan karena itu aku rusak. Atau aku pernah rusak dan seseorang mematikanku namun sesuatu terjadi dan aku kembali hidup lalu merasa bahwa aku adalah seorang manusia,” pikirnya lagi. Dan pikiran itu membuatnya stres.

Maka ia berusaha lebih keras mengingat. Ia pergi ke sebuah air terjun yang sepi. Di sana, ia diam selama berhari-hari untuk mengakses segala program kecerdasan yang dimasukkan ke tempurung kepalanya.

Setelah beberapa lama, ia melihat setitik harapan.

Awalnya, ia melihat seorang perempuan dengan rambut tergerai yang melilit tubuh. Perempuan itu duduk di atas kelopak kembang padma sembari menoreh daun lontar dengan ujung pisau yang tajam.

“Inilah program yang dimasukkan ke kepalaku,” pikir si penyair.

Ia mendekati perempuan itu dan bertanya siapa sebenarnya si perempuan untuk memastikan dugaannya.

Perempuan itu mengatakan bahwa namanya Ratu Trengganawulan, dan ia adalah putri dari Brawijaya, raja terakhir Majapahit.

“Apakah kau penyair?” tanya si penyair.

Si perempuan menggeleng. Lalu mengatakan bahwa dulu, ia biasa menembangkan syair-syair untuk tamu-tamu kerajaan. Syair-syair indah yang tiada bandingannya, yang lebih berharga ketimbang rempah-rempah dan barang dagangan dan kekuasaan, syair-syair yang kuasa menjauhkan si curang dari judi, tukang gunjing dari gunjingan, pengecut dari kehinaan, si serakah dari keuntungan, dan barangsiapa yang menembangkan syair-syair itu akan tenggelam jiwa raga dalam keindahan.

“Kami menyebut syair itu Kalangwan, keindahan tulen,” kata perempuan itu.

Si perempuan meneruskan bahwa syair-syair itu kemudian dilupakan bersamaan dengan runtuhnya Majapahit dan bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam. Orang-orang menganggit tembang serta suluk untuk menggantikan syair-syair dari Majapahit dan si perempuan kemudian mengungsi, hanya sanggup mengingat satu saja syair, dan ia menghabiskan seluruh waktunya untuk menyalin ulang satu-satunya syair tersebut agar tidak turut punah.

“Dan itulah yang membuat aku tetap hidup,” kata si perempuan. “Maksudku, satu-satunya syair yang terus menerus kutulis ulang itulah yang membuatku tetap hidup meski dalam kesepian. Percayakah kau bahwa semenjak Majapahit runtuh dan aku mulai menulis ulang satu-satunya syair yang kuingat, aku hanya pernah bertemu dengan dua manusia? Seseorang bernama Tambangraras pada masa Mataram dan sekarang kau. Dan kalian berdua sama-sama tidak tahu apa-apa tentang syair kalangwan.”

“Tapi bukankah kau program kecerdasan yang dimasukkan ke tempurung kepalaku?” tanya si penyair.

Dan perempuan itu tak mengerti apa yang dimaksudkannya.

Penyair itu pergi dengan kebingungan yang lebih besar. Ia berjalan tak tentu arah dan suatu hari ia menemukan sebuah pameran di sebuah perpustakaan yang menampilkan puisi-puisi yang pernah ditulis oleh manusia dan bukannya kecerdasan buatan.

Ia melihat foto-foto para penyair masa lalu.

Ia melihat dirinya begitu serupa dengan mereka.

Ia keluar dari gedung perpustakaan itu dengan pikiran yang semakin kalut. Ia kemudian membeli sebuah buku yang berisi riwayat para Kecerdasan Buatan Penyair. Ia membaca dengan lebih seksama, melihat foto mesin-mesin itu. Pada akhirnya, ia yakin jika ia bukan salah satu dari Kecerdasan Buatan Penyair itu.

Maka ia kembali ke perpustakaan dan berteriak ke semua orang. “Aku penyair manusia, aku penyair manusia,” katanya.

Namun semua orang menertawakannya.

Keesokan harinya, penyair itu kembali ke air terjun yang sepi. Ia menunggu Ratu Trengganawulan. Dan ketika perempuan itu muncul kembali, ia duduk di sebelah si perempuan, lantas menulis ulang satu-satunya puisi yang pernah ia ciptakan.

“Kupikir,” kata penyair itu, “inilah yang membuat aku hidup. Sama sepertimu.”

Perempuan itu tersenyum. Dan tak ada lagi yang mengingat mereka.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »