Pencuri di Mana-Mana
Joe Hasan
Hari pertama...
Saya menunggu Eca tepat di gapura
kampus sesuai janji yang ia rencanakan. Rencananya ia akan meminjami laptop
miliknya. Membosankan memang, tapi saya betah melakukannya. Namun, hingga sore
gapura itu lompong. Tiada sesiapa. Panggilan telepon saya tidak diangkat. Pesan
saya juga tidak dibalas. Baiklah. Saya pulang dengan janji dari Eca yang
kosong. Mungkinkah ini yang disebut dengan pemberian harapan palsu?
Hari kedua...
Pasar begitu padat. Tidak seperti biasa. Setelah membeli beberapa barang yang kubutuhkan, saya naik angkot untuk pulang. Angkot yang saya tumpangi tak bergerak sangking padatnya. Macet. Tiba-tiba ada yang meneriaki saya dari jauh. Ham, kawan kuliah saya. Ham menyuruh saya turun dengan tawa bahagianya yang begitu khas. Saya pun turut saja. Karena tak enak pada pak supir sudah naik angkotnya, aku bayar saja. Saya berikan satu lembar sepuluh ribu. Tampaknya ia tidak punya kembalian. Dirogohnya semua kantong baju, celana dan tas kecilnya. Akhirnya ketemu. Saya mengambil uang kembalian itu tanpa menghitung berapa jumlahnya. Saya buru-buru ingin temui Ham yang sudah menunggu di trotoar. Namun Ham tidak ada. Sepertinya dia sudah jalan meninggalkan saya. Mungkin Ham berpikir saya tidak turun dari angkot. Gara-gara pak supir yang kelamaan cari uang kembalian; batin saya kesal.
Tatapan saya kembali pada angkot yang tadi saya naiki. Lalu arah
mata saya mengarah pada lembaran di genggaman. Satu lembar uang lima ribu. What?
Supir anjing, babi, bangsat! Serapah saya pada supir tadi. “Jadi supir tadi
menganggap tarifku sama dengan jika sudah sampai di tujuan? Wah, parah.
Padahal kan angkotnya belum jalan. Harusnya dia sadar dong, dihargai dua ribu
kek, tiga ribu kek.”
Saya masih merungut sendiri. Saya mencoba menghargai dia tapi dia justru
memanfaatkan itu untuk kepentingannya sendiri. Ah, dasar orang miskin (di
negeri ini profesi supir angkot selalu masuk kategori miskin), pandai juga
ternyata dia mencuri.
Hari ketiga...
Usai kerja saya dan geng (Amir,
Ridwan,Tedi) menuju kontrakan
Tedi. Lama tidak nongkrong. Kita perlu merayakannya. Kebetulan Tedi sedang
ulang tahun. Di tengah-tengah keseruan kami, pembicaraan kami kadang merembet
ke hal politik, hal yang tidak saya pahami dan tidak mau saya pahami. Mereka
membicarakan koruptor yang dengan tega melakukan korupsi. Mencuri uang rakyat.
Mereka mengutuknya, menghinanya, mencaci maki habis seolah koruptor itu
mengambil seluruh harta milik mereka, entah bercanda atau serius. Saya tidak
ikut mencampuri kata-kata mereka. Mengangguk secukupnya saja. Hingga akhirnya
Amir membeberkan rahasianya sendiri. Katanya di tempat kerja yang lama,
diam-diam dia menyelipkan uang sebanyak dua ratus ribu setiap hari. Dan sampai
hari ini bosnya tidak tahu. Bukan main, ia menceritakan itu dengan bangga
seolah baru saja memenangkan medali emas di olimpiade. Untuk yang ini saya tak
tahan menutup mulut.
“Ya sudah, trus
sekarang kamu apa bedanya dengan koruptor. Sama-sama pencuri bukan?”
“Bedalah, aku cuma dua
ratus ribu kalo koruptor itu bermiliar-miliar. Merugikan orang banyak, yang
miskin makin miskin. Kalo aku kan cuma satu orang yang rugi. Itu pun sebenarnya
dia tidak rugi. Keuntungan bosku banyak. Uang yang kuambil itu tidak ada
apa-apanya.”
Amir membela diri.
“Ya, intinya kamu dan
koruptor itu sama-sama mencuri uang orang lain. Bukan masalah besar atau
kecilnya atau seberapa banyak orang yang rugi dari apa yang kita buat. Aku rasa
koruptor itu jelas tergiur dengan uang sebanyak itu. Apalagi dia memang punya
kesempatan besar. Manusiawi jika dia melakukan itu. Bukankah semua manusia
menyukai uang. Seorang ustaz saja jarang yang berkhotbah karena ingin
benar-benar menyebarkan amanat agama. Kebanyakan mereka berkhotbah karena
dibayar. Nah, kamu yang cuma dua ratus ribu aja tergiur, apalagi kalo miliaran.
Artinya, kalo kamu ada di posisi si koruptor itu, bisa jadi kamu pun akan
melakukan hal yang sama. Melakukan korupsi. Jadi pastikan diri kita sudah
terbebas dari kesalahan dulu, baru boleh sumpahin orang lain. Aku bukan membela
koruptor itu loh ya.”
Omonganku sok bijak. Mereka bertiga diam. Hanya tersenyum. Tak membalas lagi.
Kami melanjutkan menghabiskan
makanan yang berserakan di atas meja.
Hari keempat...
Saya masuk supermarket, belanja
kebutuhan kamar mandi. Saat membayar, si kasir malah berulah. Kembalian uang
saya harusnya empat ribu dua ratus, tapi hanya dikembalikan empat ribu. Saya
menunggu, mengira dia mencari uang recehan itu. Ternyata tidak. Dia justru
memanggil antrian berikutnya.
“Loh, kembalianku
masih kurang dua ratus, Mbak.”
“Iiissshh.” Dia seperti kaget.
Terheran-heran tak percaya masih ada orang yang menunggu uang kembalian dua
ratus rupiah. Mimik wajahnya tidak mengenakkan.
“Kenapa, Mbak mukanya
gak enak gitu?”
“Gak papa, Mas.”
“Mbaknya miskin banget
ya sampe uang dua ratus rupiah saya saja mau dicuri juga? Kalo butuh ya minta, Mbak. Jangan ambil gitu aja. Baru jadi kasir sudah korupsi, gimana jadi pejabat?” Rungut saya kasar
lalu pergi tinggalkan meja kasir. Saya sengaja membesarkan suara agar dia malu
sebagai balasan karena tatapan tidak mengenakannya pada saya saat saya minta
uang kembalian dua ratus rupiah yang menurutnya tidak perlu diambil.
Bahkan kasir jago mencuri. Entah
itu kebijakan dari supermarketnya atau kebijakan dari kasir-kasirnya sendiri
untuk menambah gaji.
Belum habis kesal saya pada kasir
yang sok cantik tadi, saya teringat lagi dengan kejadian beberapa hari lalu.
Eca, mencuri waktu saya. Membuat saya menunggu dengan tidak memberikan kabar
sampai hari ini. Supir angkot yang dengan nyata mencuri uang lima ribu saya.
Padahal dia tahu angkotnya belum bergerak sama sekali. Amir, mencuri uang di
tempat kerjanya yang lama. Dan yang baru saja terjadi, kasir supermarket, yang
bahkan hanya dua ratus rupiah, ia begitu niat mengambilnya tanpa izin.
Tukang batagor lewat depan kos,
membuyarkan ingatan saya tentang pencurian. Saya membeli sebungkus batagor
dengan harga empat ribu. Saya rogoh saku celana. Uang itu kembalian dari kasir
supermarket. Namun ada yang aneh, harusnya empat ribu, kenapa ini uangnya jadi dua
puluh dua ribu. Saya tersadar, kasir tadi salah memberi kembalian. Mungkin
disangkanya satu lembar ini uang dua ribu, ternyata dua puluh ribu. Saya tak
jadi membeli empat ribu batagor, tapi sepuluh ribu. Lalu sumringah saya makin
lebar. Saya lahap batagor itu dengan tenang. Saya tahu, saya sedang melakukan
kesalahan. Merayakan kekeliruan antara saya dan kasir supermarket. Padahal bisa
saja saya balik lagi ke supermarket dan mengembalikan uang itu. Toh
supermarketnya masih buka dan ini belum lewat dari tiga puluh menit, pastilah mbak itu
masih mengingat saya. Namun entah kenapa jiwa mencuri saya menyuruh saya untuk
tetap diam di tempat. Nikmati malam ini dengan batagor pedas. Ah, ternyata pencuri memang ada di mana-mana, termasuk dalam
diri sendiri.
(Baubau, Agustus 2021)