Penulis yang Ingin Melawan Dunia
Tiga
bulan terakhir ini saya mencoba membaca beberapa wawancara penulis. Membacanya
seolah membuat saya merasa sedang bercakap bebas dengan mereka. Dan salah satu
wawancara penulis yang berkesan bagi saya adalah wawancara Roberto
Bolaño.
Dalam
banyak wawancaranya, Bolaño kerap membagikan sejumlah bacaan dan nama penulis
yang memberi pengalaman berbeda. Dalam wawancara terakhirnya bersama Monica
Maristain di tahun 2003 misalnya, Bolaño berbagi mulai dari nama penulis hingga
lima buku yang bermakna atau berkesan dalam hidupnya. Bolaño pun menyebutkan
Don Quixote karya Cervantes, Moby-Dick karya Melville. Karya lengkap Jorge Luis
Borges, Hopscotch karya Cortázar, dan A Confederacy of Dunces karya Toole.
Bukan hanya lima ini saja sebenarnya, namun baginya ini bisa menjadi ujung
tombak.
Maristain
mengajukan permintaan wawancara kepada Bolaño saat penyakit liver penulis ini
mulai parah, namun saat itu Bolaño tetap menerimanya dengan senang hati.
Akhirnya wawancara itu terbit di bulan kematian Bolaño, Juli 2003 di majalah
Playboy México.
Saat
membaca salah satu novel Bolaño yang berjudul The Savage Detectives, kita
akan mendengarkan semacam narasi yang tak berkesudahan. Terlebih saat memasuki
bagian kedua novel ini, di mana kita akan menemukan narasi polifonik. Bagian
ini kita akan bertemu lebih dari empat puluh narator dengan rentang waktu dari
tahun 1976 hingga 1996.
Namun
semua itu tidak hadir begitu saja. Novel ini memberikan gambaran perlawanan
kepada pembaca dengan meninggikan sekelompok penyair muda yang bertarung
melawan penulis yang didanai negara selama tahun-tahun Perang Kotor di Meksiko (Mexico’s
Dirty War). Ada kekuatan penulis yang terasa dalam novelnya ini. Namun
sebenarnya, bukan hanya novel ini yang memberi kesan demikian.
Faktanya,
subjek utama dari karyanya adalah hubungan antara seni dan keburukan, kerajinan
(craft) dan kejahatan, penulis dan negara totaliter. Dan hampir sebagian
besar karya Bolaño, memberikan kita gambaran bagaimana reaksi penulis terhadap
rezim represif. Artinya, sosok seorang penulis atau pekerja seni di mata
seorang Bolaño selalu punya ruang untuk melawan dunia.
Karyanya
yang berjudul, Distant Star (1996) berkutat dengan dunia seorang penyair yang
berubah menjadi seorang pembunuh berantai. Lalu selanjutnya, karyanya, Amulet
(1999) berkisah tentang penyair setengah baya yang selamat dari invasi
pemerintah tahun 1968 di Autonomous University of Mexico State dengan
bersembunyi di kamar mandi. Dan karya terbaiknya, 2666 juga dipenuhi dengan
penulis, seniman, dan intelektual. Kisah-kisah dalam novelnya ini menempatkan
penulis sebagai benang merah yang terus bergerak menghadirkan bentuk dan makna
atas dunia yang ada.
Saya
pun bertanya-tanya, energi apa yang dimiliki seorang Bolaño untuk tetap menulis
dan menghadirkan penulis dalam novelnya. Dalam salah satu pertanyaan wawancara
Maristain, dia bertanya seperti ini, “Kegilaan, kematian dan cinta.
Manakah dari tiga hal ini yang paling Anda miliki dalam hidup Anda?”
Bolaño
kemudian menjawab, “Saya berharap dengan sepenuh hati bahwa itu adalah cinta.”
Saya kemudian berpikir, tampaknya penulis ini memang menyimpan cinta yang
begitu besar atas kehidupan yang dia jalani sebagai penulis.
Dalam
pidato penerimaan Penghargaan Rómulo Gallego tahun 1998, Bolaño mengungkapkan
bahwa dalam beberapa hal semua yang dia tulis adalah “surat cinta atau selamat
tinggal” kepada orang-orang muda yang tewas dalam perang kotor Amerika
Latin.
Di
luar dari pada membaca wawancara Bolaño, saya juga membayangkan betapa beratnya
hari-hari yang dia jalani sebagai seorang penulis. Novel-novelnya sering
ditolak penerbit, bahkan namanya dikenal pembaca internasional setelah dia
meninggal, seperti halnya yang dialami Franz Kafka. Namun, dia tentu sosok yang
menyimpan cinta begitu besar atas kehidupannya. Meski sulit untuk kembali
menjabarkan cinta seperti apa yang terpendam dalam dirinya. Tapi mari dengarkan
kutipan dari salah seorang yang mengenal Bolaño, aktivis politik Chili, Rodrigo
Quijada. “Bolaño adalah salah satu dari orang-orang yang Anda temui pada saat
tertentu dalam hidup Anda yang akan selalu Anda ingat dengan jelas dan dengan
penuh kasih sayang. Orang-orang yang pernah bertemu Bolaño tahu bahwa apa yang
saya katakan itu benar. Dia adalah tipe orang yang Anda akan rindukan di sebuah
pertemuan.”
Dan
apa yang telah dikatakan Rodrigo Quijada dibuktikan langsung oleh Monica
Maristain, yang setelah wawancara terakhirnya bersama Bolaño terasa berkesan,
dia kemudian tergerak membuat sebuah biografi Bolaño dengan mewawancarai
orang-orang terdekat dan diterbitkan dalam buku yang berjudul “Bolaño: A
Biography in Conversations”
Saya
mungkin keliru saat mengatakan Bolaño adalah sosok penulis ingin melawan dunia,
namun dari sosoknya serta sejumlah wawancara dan karyanya, saya bisa memahami
energi utama yang dia jaga, sesuatu yang membantunya melawan dunia di luar dan
dalam dirinya sebagai penulis. Tanpa itu, saya rasa penulis akan lebih
dulu meninggal setelah diserang ketidakpastian dan penolakan bertubi-tubi di
berbagai dimensi yang ada.*