Dedi Tarhedi
PUISI YANG TAK PERNAH LAHIR
Sepertinya dia sudah menyerah,
kalah oleh puisinya sendiri.
Dia terus mencoba menjinakkan kata-kata.
Tapi tak bisa serta merta. Karena
baitnya terlalu rumit.
Dirinya sendiri tak paham arahnya
ke mana. Sering diksinya basi karena telah ditulis ribuan kali.
Lalu bagaimana? dia menghapus puisinya.
"Ingin kubuat sebuah puisi yang beda," tekadnya.
Tapi tentang apa? dia berpikir
Dia belum menulis selarik pun. Dia ingin
puisi yang terbaik.
Atau yang heroik? tentang seorang ibu
yang
berjuang sendiri. Memberi makan
tiga anaknya di tengah pandemi.
Tapi dia menggelengkan kepala.
Dia ingin puisinya lebih heroik dari itu.
Lebih romantis dari puisi Sapardi 'Hujan di Bulan Juni',
lebih flamboyan dari 'Surat Cinta'-nya Rendra pada Sunarti.
Atau lebih lucu dari puisi Joko Pinurbo.
Duh, semua sudah ada. Dia ingin yang beda.
Bagaimana kalau tentang fisika, kimia atau
matematika? Dia terkejut dengan idenya. Tapi
bagaimana menuliskan sesuatu yang tidak dikuasai?
Dia pun menggelengkan kepala.
Atau puisi khusus tentang binatang?
Atau hanya tentang pohon?
Tapi dia menggelengkan kepala.
Dia terus menggelengkan kepala.
Dia terus berpikir.
Dan puisinya tak pernah lahir.
1210021