Gelombang Ketiga Kepenyairan Emi Suy
Riri Satria
You must live in the present, launch yourself on every wave,
find your eternity in each moment.
Kita harus selalu menyiapkan diri kita untuk melewati setiap gelombang kehidupan, serta menemukan kebahagiaan pada setiap momen, demikian filsuf dan penyair asal AS, Henry David Thoreau menuliskan pada sebuah esainya. Ibarat berselancar di lautan, setiap gelombang baru akan membuat dorongan dan energi baru kepada kita. Setiap gelombang adalah momentum dalam perjalanan kehidupan kita.
Itulah yang ingin saya sampaikan kepada sahabat saya, penyair Emi Suy, sebagai prolog pada buku kumpulan puisi tunggalnya yang kelima ini, yang berjudul Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami. Sebelumnya Emi sudah membuat empat buku kumpulan puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), serta Api Sunyi (2020) di mana saya memberikan epilog untuk buku terakhir ini. Selamat untuk sahabat saya Emi Suy atas terbitnya buku kelima ini serta pencapaiannya sejauh ini dalam perjalanan kepenyairannya.
Saya mengenal Emi Suy sudah lama, semenjak tahun 2011, namun mengenal lebih dekat sejak tahun 2015 sampai sekarang. Saat ini Emi membantu saya sebagai pengurus pada komunitas Jagat Sastra Milenia serta sebagai Sekretaris Redaksi merangkap Redaktur pada Sastramedia.com, sebuah jurnal sastra daring, di mana saya menjadi Pemimpin Umum.
Dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun itu semenjak tahun 2011, saya mengamati dan melalui berbagai dialog serta obrolan dengan Emi, saya menyimpulkan bahwa saat ini Emi sedang memasuki gelombang ketiga dalam perjalanan kepenyairannya. Mengapa demikian?
Saya mulai dengan gelombang pertama, yaitu pada kurun waktu sampai dengan tahun 2015. Ini adalah masa pencarian jati diri oleh seorang Emi Suy. Pada masa ini, karya-karya Emi sudah banyak dimuat di berbagai buku kumpulan puisi atau antologi bersama, bahkan yang termasuk papan atas di Indonesia seperti yang diterbitkan oleh Dari Negeri Poci (DNP), Memo Penyair, dan sebagainya. Emi juga aktif hadir di berbagai pertemuan sastra, terutama puisi, yang diselenggarakan di berbagai kota di Indonesia. Sebenarnya, pada tahun 2011, Emi sempat membuat buku kumpulan puisi berjudul Tirakat Padam Api. Namun tidak sempat beredar banyak, karena beberapa alasan. Dalam sebuah obrolan santai beberapa tahun yang lalu, Emi menjelaskan mengapa buku tersebut tidak diedarkan secara luas, intinya masih sebatas buku eksperimen saat itu.
Jadi, gelombang pertama ini adalah fase pencarian jati diri (in search of identity) oleh seorang Emi Suy, sekaligus membangun kompetensi dan eksistensinya sebagai seorang perempuan penyair.
Gelombang kedua terjadi pada kurun waktu tahun 2016–2020. Ini adalah sebuah gelombang besar yang menempatkan Emi pada fase tinggal landas. Pada fase ini Emi meluncurkan tiga buku kumpulan puisi tunggalnya yang dikenal dengan Trilogi Sunyi, yang terdiri dari Alarm Sunyi (2017), Ayat Sunyi (2018), serta Api Sunyi (2020). Akibatnya, Emi pun mendapatkan julukan sebagai ‘penyair sunyi’ dan sampai sekarang julukan itu masih melekat kepadanya.
Gelombang kedua ini memberikan energi dan momentum bersejarah buat Emi, karena sanggup membawa Emi meraih berbagai prestasi di bidang kepenyairan, seperti Basa-Basi Award pada tahun 2019 dari penerbit Basa-Basi atas puisi-puisinya yang dimuat basabasi.co. Kemudian, buku Ayat Sunyi terpilih menjadi Juara Harapan III Buku Terbaik Perpustakaan Nasional RI Kategori Buku Puisi tahun 2019, sedangkan buku Api Sunyi masuk nominasi 25 besar Sayembara Buku Puisi yang diselenggarakan Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2020. Sosok dan karya Emi diulas oleh penyair senior Joko Pinurbo dalam bukunya Berguru kepada Puisi (2019).
Tidak hanya sampai di situ, puisi Emi berjudul “Malam” dan “Kukusan” dibuat menjadi aransemen musik klasik untuk piano oleh pianis dan komposer Ananda Sukarlan dan dimuat pada buku Ananda Sukarlan berjudul Tembang Puitika Vol. V (2020), lalu puisi Emi berjudul “Malam” dinyanyikan penyanyi tenor Nikodemus Lukas diiringi piano oleh Ananda Sukarlan, pada December in Sriwijaya Concert pada tahun 2020.
Jadi, gelombang kedua ini adalah fase tinggal landas (take off) yang memperkuat kompetensi dan eksistensinya sebagai seorang perempuan penyair di Indonesia.
Bagaimana dengan gelombang ketiga? Pada gelombang ketiga ini, Emi mulai mengembangkan dan melebarkan sayapnya dalam aktivitas kepenyairan. Emi memiliki aktivitas baru selain menulis puisi, yaitu sebagai editor buku puisi bahkan sudah mulai menjadi kurator, mengelola sebuah jurnal puisi daring sebagai redaktur pada Sastramedia.com, serta diundang menjadi narasumber pada berbagai forum diskusi puisi, baik di kalangan komunitas, seperti Perempuan Menulis Bogor, MULA Indonesia dan Light Hub Integration, lalu oleh instansi atau organisasi, seperti Museum AK Gani Palembang, serta yang diselenggarakan oleh kalangan akademik, seperti di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muria Kudus (UMK).
Nah, inilah gelombang ketiga perjalanan kepenyairan seorang Emi Suy, di mana Emi mengembangkan dan melebarkan sayapnya dalam aktivitas kepenyairan (extend the wings and expand the horizon) sekaligus memperkokoh eksitensinya sebagai perempuan penyair yang diperhitungkan di Indonesia.
Demikianlah tiga gelombang perjalanan kepenyairan Emi Suy, gelombang satu adalah fase mencari jati diri (sampai dengan 2015), gelombang kedua adalah fase tinggal landas (tahun 2016-2020), serta gelombang ketiga mengembangkan dan melebarkan sayap (dimulai tahun 2021 yang lalu sampai sekarang). Emi selalu mendapatkan momentum kuat pada gelombang pertama dan kedua. Saya mengamati bahwa Emi adalah sosok pembelajar yang baik dalam proses kepenyairannya, dan mencatat berbagai kemajuan dalam setiap gelombang yang dilewatinya. Dalam berbagai kesempatan ngobrol santai sambil menikmati kopi sore dengan Emi, dia selalu mengatakan bahwa ini adalah sebuah karunia Tuhan yang luar biasa kepadanya dan selalu dia syukuri. Ya, menurut saya Emi banyak memiliki tacit knowledge ketimbang explicit knowledge dalam berpuisi dan proses kepenyairannya. Saya sering mengatakan kepada Emi, “you are poetic street smart, Emi”.
Pada buku ini, Emi memang menampilkan Ibu sebagai tokoh sentral puisinya. Emi memang sangat mencintai Ibunya. Emi merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak masih bayi, dan mendapatkan kasih sayang dari Ibunya yang luar biasa sampai dewasa. Emi kerap kali menceritakan kepada saya tentang hubungannya batinnya dengan sang Ibu yang luar biasa. Pada buku puisi ini, Emi memang mencurahkan bagaimana rasa cintanya kepada sosok Ibu.
Semoga Emi mendapatkan momentum gelombang yang kuat sehingga perjalanannya menempuh gelombang ketiga menjadi semakin dahsyat dan memberi dampak kepada dunia perpuisian dan kepenyairan di Indonesia, serta kesusastraan pada umumnya. Dengan aktivitasnya dalam sosial kemanusiaan serta fotografi, tentu Emi akan mampu menghadirkan berbagai topik yang lebih kuat dalam puisi ke depannya.
Sekali lagi, selamat untuk sahabat saya, penyair Emi Suy. Buat para pembaca, selamat menikmati dan semoga mendapatkan banyak kebaikan serta inspirasi dari buku Emi ini. Kita tunggu karya-karya selanjutnya.
Saya tutup prolog ini dengan sebuah cuplikan puisi
yang ditulis oleh saya bersama Emi pada tahun 2015:
suara itu akan menuntun langkah di jalan setapak
bernama kehidupan
kehidupan
menghidupkan
menghidupi
biar saja doa-doa yang mendekap
di awal dan penghujungnya
hakikat diri dengan segala ingatan dan rancangan
ketika waktu tak pernah kembali
kita ada di pusaran narasi besar
kehidupan
(Kontemplasi,
Emi Suy dan Riri Satria, 2015)
Cibubur, 12 Januari
2022