Jamais Vu
Andria Septy
Ketahuilah kekasihku, suka maupun tidak, kita membutuhkan pertolongan. Engkau sangat paham apa maksudku. Bagaimana kita bersitemu saat-saat paling terapuh dalam hidup. Terlebih, kedukaan mendalam yang mendera bertahun-tahun silam. Seratus hari menjelang perjumpaan itu, kau tahu, kekasihku meninggal dunia di usia terbilang muda; dua puluh satu tahun.
Aku mencintainya segenap jiwa. Sementara dia mencintaiku, seribu persen katanya. Kupanggil dia Nandyta yang berarti ‘bahagia’ sebagai kado hari jadi kami. Aku berharap kebahagiaan senantiasa menyertai dirinya. Menyertai kami berdua.
Pernyataan berikut kumaksudkan tanpa menyakiti siapapun. Nandyta begitu rajin membahagiakan keluarga besarnya yang sedemikian racun berbisa. Pihak keluarga terdekat, baik itu paman, bibi, termasuk kedua orangtuanya, senang memperbudak Nandyta. Sebagaimana mesin penghasil uang bersama. Di pikiran dangkal mereka, anak adalah aset guna menghasilkan uang sebanyak mungkin. Jaman telah sedemikian pesat, masih ada saja yang berpikir terbelakang semacam itu. Aku dan satu teman terdekatnya terheran-heran.
Tidak hanya itu. Lingkungan pertemanan sosial pun tidak jauh berbeda. Nandyta senantiasa menyisihkan uang demi kawan-kawannya yang toksik. Entah apa yang ada di benak Nandyta. Dia semacam susah menolak untuk menidakkan. Senantiasa mengiyakan walau hati berkata tidak ingin melakukannya. Dengan gamblang mereka meminta iuran bulanan, tak peduli Nandyta sedang masa paceklik atau tidak. Berbanding terbalik ketika Nandyta genting. Mereka akan langsung acuh tak acuh, berpaling dan menghilang. Apabila pemikiran Nandyta berseberangan, seringkali kudengar mereka mengolok-oloknya di sosial media.
Perkawanan di tempat kerja jauh lebih kikir dan biadab, perempuan itu tetap beradab. Begitu satu kawan terdekat melaporkannya padaku lewat surat elektronik. Aku sendiri selaku orang yang menyayanginya, bisa mati berdiri menyelami watak Nandyta. Kepribadiannya menyebalkan sekaligus mengesankan.
Dari sekolah menengah pertama, hingga lulus Sekolah Tinggi Keperawatan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ia mengurus segala sesuatunya sendiri. Aku sudah tidak kaget, jikalau Nandyta tahu-tahu berada jauh di pedalaman Kalimantan yang lain. Nandyta meninggalkan Muara Teweh, kampung halamannya ketika berusia dua belas tahun.
Walaupun penghasilanku perbulan jauh lebih mapan daripada Nandyta. Namun, tidak ada hal yang membanggakan. Aku hanyalah seorang yang tidak lebih dari sekedar berperangai buruk. Senang berpesta, berjudi dan pemabuk tulen. Hidupku sedemikian hancur gara-gara ketergantungan pada alkohol dan nyaris mati konyol karenanya. Aku juga cukup berbahagia dengan bercekcok lagi baku hantam. Termasuk, mencari gara-gara kepada anggota keluarga dan teman-teman dari kekasihku, Nandyta.
Dengan penuh kesadaran kuakui, lingkar hidup kami yang beracun berkelindan. Aku tahu kau bakal menghujatku bertubi-tubi. Melontarkan ujaran kebencian yang juga ujung-ujungnya menyakiti dirimu sendiri. Hal itulah yang biasanya kau lakukan sepanjang waktu. Tiada hari tanpa memancing percekcokan. Setiap pagi harus ada api emosi.
Berbanding terbalik dengan Nandyta. Perempuan itu senantiasa mendukung dan menantikanku sampai benar-benar pulih dari ketergantungan. Bahkan menyarankan untuk ikut program terapi mental realisasi diri. Baginya merawat kesehatan mental itu sangat penting.
Barangkali ada seratus pertanyaan yang kaupunya. Salah satu pertanyaan itu pasti berawal dari kata ‘mengapa’. Mengapa aku bisa jatuh cinta pada perempuan itu? Pertama-tama, dia begitu memenuhi kebutuhanku yang kurang kasih sayang ini. Sikap penuh perhatian, pengertian dan penyayang itulah yang kubutuhkan dari pasangan.
Kecantikan yang dimiliki tidak hanya sebatas fisik tapi juga dari dalam dirinya. Pernah menjadi finalis salah satu bintang sampul majalah lokal. Juga sebagai figuran sebuah proyek film dokumenter besutan sutradara kenamaan. Terakhir dan terpenting, Nandyta selalu dan selalu bisa menjadi pendengar yang baik. Tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Semuanya saling mendukung dan memberi penghargaan lebih. Bagaimana mungkin, aku tidak sampai jatuh cinta padanya?
Pertanyaan selanjutnya, di mana kami bertemu? Akan kujawab rasa penasaranmu itu.
Semua ini berawal dari kenalan yang mengajakku terlibat ke sebuah acara. Menginap dua hari dua malam di area perkebunan milik sebuah perusahaan swasta. Yang jaraknya sekitar 246 kilometer dari tepi laut terdekat. Rupanya area itu diperuntukkan bagi khalayak umum yang ingin menikmati sensasi berkebun. Memanen sawi dan selada di pagi hari. Menyiapkan menu-menu makanan dengan mengelilingi api unggun di malam hari. Pada salah satu rangkaian acara itulah akhirnya bisa akrab dengan perempuan menawan itu. Nandyta memang cukup mencolok dari yang lain oleh karena penampilannya senantiasa mengikuti mode terkini. Demikian pesona dan persona seorang Nandyta dan aku terlampau mengaguminya.
Membahas topik apa pun kami senantiasa sejalur, satu frekuensi. Kami juga kerap mengobrol mengenai topik yang bahkan jauh dari jangkauan. Seperti masalah ekonomi, budaya, sosial dan politik. Sehari-hari kami lebih banyak menggunakan bahasa Jepang. Aku punya alasan kuat dengan ini. Rona wajahnya sama sekali nggak ada potongan paras Indonesia. Begitu pula dia mengatakan dengan gamblang. Aku orang Jepang tulen yang kebetulan tertarik, atau barangkali pernah tinggal di Indonesia.
Setelah acara berkebun, hubungan kami berlanjut di dunia maya. Selanjutnya kami lebih sering berbahasa Indonesia. Kuhabiskan jam-jam malam hanya untuknya. Maksud hati ingin membelikan tiket ke Gifu, ia menolak secara halus. Lebih senang menetap bersama keluarga beberapa bulan belakangan ini. Alih-alih menjawab rasa penasaranku, ia justru mempromosikan pesta adat di kampung halamannya.
Memasuki tahun kedua masa-masa pacaran, kubulatkan tekad mengunjungi Nandyta. Aku teramat rindu setengah mati padanya. Apa pun yang terjadi aku harus bertemu pujaan hatiku. Seolah-olah kami memang diciptakan bersama. Kusadari semenjak kusentuh dan kuciumi harum rambutnya.
Berada di pulau kalimantan adalah masa-masa paling indah dalam hidup. Kendati tidak suka jalan-jalan, ia mengajakku berkeliling kota. Mengarungi pasar terapung sesambil menyantap dodol kandangan. Aku menyukai kulit mulus dan wangi parfum lembut bebungaan floral miliknya. Apa pun tentangnya membuatku senantiasa ingin berada di dekatnya.
***
“Aku mencintaimu,” bisik Nandyta ketika mendekapku di bandara waktu itu.
“Aku juga,” balasku lirih dan ingin segera kukecup bibir merah jambu itu. Kami paham norma sopan santun ketika berada di tempat umum. Jadi, kami tangguhkan melampiaskan rasa rindu itu.
Seolah Nandyta dapat membaca gestur tubuh. Perempuan berbulu mata lentik itu berbisik, “Sabar ya, Lan…”
“Aku kangen banget sama kamu, sayang!” seruku sesambil meremas tangannya yang berulang kuletakkan ke pipi. Seakan dengan begitu rasa rinduku terlampiaskan.
“Aku juga. Kita ke kostku sekarang?” ajak Nandyta dengan kalem dan lirikan nakalnya.
Masih kuingat setengah mati di pagi buta yang dingin itu. Kami bercinta beberapa kali sepanjang hari. Berpelukan demi saling menghangatkan sesambil menikmati kopi, memandang langit biru dan sebuah sangkar burung merpati di kejauhan. Melupakan sejenak hari-hari yang penuh kepenatan dan lamban. Berlama-lama memeluknya menentramkan jiwaku.
Hal yang berkenaan dengannya membuatku kecanduan. Kecanduan untuk selalu terjaga menikmati malam demi malam. Dari suara gelak tawa, ekspresi wajah sampai ketika mengamati Nandyta melahap sarapan paginya. Kami selalu menyukai pukui 12:21 siang. Pada jam-jam itulah kami melahap makan siang sembari mengobrol-obrol singkat dan setelahnya jalan-jalan sore. Kembali lagi menikmati malam hari yang selalu hujan. Sebisa mungkin memanfaatkan waktu yang sedikit.
Sekembalinya ke kota Gifu, aku kembali ke kehidupan semula. Menyibukkan diri kepada dunia malam dan hal-hal yang mengitarinya. Hanya sedikit yang bisa kucurahkan untuknya. Penderitaanku kian beruntun pasca mengunjungi Nandyta. Di antaranya, kehilangan pekerjaan karena kelalaian yang kuperbuat sendiri. Aku menjadi susah fokus dan terjebak pada situasi rumit. Kecanduan menikmati Vodka, berfoya-foya dan bermain-main bersama wanita malam lainnya. Padahal, aku bermaksud ingin segera melamar Nandyta satu atau dua bulan mendatang.
Di bulan November itu, tepat dua hari setelah ulang tahun kedua puluh satu sang kekasih. Cinta kami benar-benar mengalami ujian terberat. Ini cobaan hidup paling menyakitkan dengan trauma yang tak akan pernah sembuh. Sampai-sampai aku ingin disuntik mati saja.
Telah kusiapkan gaun putih tulang yang sangat indah untuknya. Bersamaan kosmetik, sebuah kalung dan sepatu dengan merek ternama. Iya. Semua itu teruntuk belahan jiwaku, Nandyta. Namun kenyataannya, orang terkasih justru bergaun pengantin dengan molek di tempat lain. Setibaku di kota kelahirannya, ia telah tertidur dalam damai di sebuah peti. Siap sedia diantar ke pemakaman katolik setempat.
Menurut satu kawan dekatnya, Nandyta mengidap penyakit mematikan. Sudah dideritanya selama dua tahun terakhir. Dari penuturan sang kawan, Nandyta sebisa mungkin menyembunyikan semua itu.
Kini, kau tahu, setelah perlahan melawat kisah sendu itu, aku kembali menjadi seperti yang kaumau. Kembali menjadi wanita seutuhnya.
Apa kau tahu, betapa sulitnya mengubah semua itu? Tidak semudah membuka dan menutup buku kanon koleksimu. Aku telah bersusah payah mengembalikan diri selayaknya wanita. Berusaha menjadi penurut dan berlaku lembut padamu.
Tolong, dengarkanlah ini baik-baik. Aku telah berupaya mendekati tipe ideal garis miring idaman. Aku bisa memulai untuk berkeluarga sebagaimana orang-orang kebanyakan. Terlebih, aku telah seperti yang kaupinta sebelum pernikahan digelar.
Aku menemukan cinta pertamaku lagi dan sudah pasti itu kamu. Tapi apa yang kau lakukan? Kau terlampau emosi tingkat tinggi. Teramat sensi pada Nandyta yang sudah beristirahat untuk selama-lamanya. Kau mengatakan ingin berpisah, ketika mengetahui aku berziarah ke makam mantan tunanganku itu. Kau bilang aku pengkhianat. Kini, kau malah mengajukan talak cerai, dikala rasa cintaku tengah bersemi padamu.
Dosakah menyimpan kisah tersembunyi ini? Toh, kini yang kucinta hanya dirimu seorang.
Aku sungguh terheran-heran dengan pengandaian demi pengandaian yang kau ajukan.
“Bagaimana jikalau Nandyta masih hidup?! Apa kau masih akan tetap mencintaiku?” tanyamu bertubi-tubi dengan bola mata berapi sehari sebelum mediasi.
“Ketahuilah sayang, pertanyaanmu konyol, jikalau aku dilarang mengatakan tolol. Itu pertanyaan yang sungguh menggelikan yang pernah kudengar seumur hidup. Sudah pasti kekanak-kanakan dan sempit.”
Begitu jawabku dengan uraian-uraian yang entah mungkin tidak bisa masuk di laci akalmu. Dengan perkataan-perkataanku itu, kau bilang merasa terhina. Menganggap jawaban tadi cemoohan dan bentuk dari pembangkangan. Dua pasang mata ini pertanda bahwa jiwa kita teramat saling membutuhkan.
Padahal kau dengan mutlak paham. Aku sangat benci ‘kehilangan’! Aku pun mengerti kau juga begitu. Sakit rasanya kehilangan lelakimu yang menikah dua bulan lalu di negeri kincir angin. Kau depresi berat karenanya. Tentu itu sudah menjadi penanda, bahwasanya kau sangat membutuhkanku. Sadarilah itu belahan jiwaku tersayang. Hanya aku dan kekasih lelakimu yang tahu kedokmu. Terlepas dari semua itu, bukankah kita sama-sama impas?
2017, 2021