JEMBATAN GANTUNG YANG BERAYUN
Mahan Jamil Hudani
Rubiyah sering berhenti dan berdiri di sisi
pinggir jembatan ini setiap kali sedang pulang kampung. Tatapannya akan
mengarah pada air sungai yang mengalir panjang di bawahnya. Sesungguhnya lebih
dari itu, ia sedang menatap bayangan dan sosok bapak yang tidak akan pernah
hilang dan terlupakan olehnya.
Jembatan ini sekarang begitu kokoh. Baru
beberapa tahun belakangan jembatan ini selesai dibangun hingga menjadi seperti
ini, tepatnya tiga tahun lalu, dan pada saat tepat jembatan ini selesai dan
diresmikan, bapak yang Rubiyah cintai, berpulang ke pangkuan Tuhan. Rubiyah
yang mendengar kabar meninggalnya sang bapak segera pulang kampung. Ia bersama
calon suaminya, saat kematian bapak, pulang dengan mobil yang baru dibeli
beberapa minggu sebelumnya dengan cara mengangsur seperti kebanyakan orang kota
lainnya. Ia telah merencanakan akan mengajak bapak, ibu, dan saudara-saudaranya
di kampung untuk jalan-jalan saat mudik lebaran. Ia sudah membayangkan mobil baru
mereka akan melewati jembatan yang belum lama selesai dibangun itu.
Rubiyah sudah sangat lama memimpikan hal
itu. Bermimpi mengajak bapak jalan-jalan ke kota, sejenak meninggalkan lumpur
sawah dan rumput untuk pakan sapi milik tetangga yang bapak pelihara, atau
meninggalkan sejenak linggis, golok, dan kelapa-kelapa yang bapak panjat dan
kemudian ia kupas lalu dijual ke pasar kampung bawah yang jaraknya hampir tiga
kilometer dengan cara dipikul sambil berjalan kaki sebagai tambahan uang untuk
mencukupi kehidupan keluarga. Ya, betapa Rubiah ingin membuat bapak dan ibu
sekadar berwisata barang satu atau dua hari saja dengan kendaraan pribadi, bukan
dengan mobil bak terbuka saat pernah sekali Rubiah kecil diajak bapak kondangan
ke pernikahan saudara yang ada di luar kota. Di mobil itu mereka harus
berdesak-desakan dalam terik sinar matahari yang sangat menyengat.
Hal itu terasa mustahil bisa ia lakukan
sebelum tiga tahun lalu, sebelum bapak meninggal, juga sebelum jembatan kokoh
itu selesai dibangun. Saat semua yang Rubiyah impikan sejak kecil hampir
terwujud, takdir berbicara lain. Hal ini yang masih selalu saja menyesak di batin
dan pikiran Rubiyah. Sosok bapak, jembatan, dan impiannya merantau ke Jakarta,
adalah hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
***
Kampung Gunung Sadar, nama kampung Rubiyah,
terletak persis di sebelah barat jembatan itu. Orang-orang sering menyebutnya kulon kali, karena kebetulan rumah Rubiyah
terletak di bagian luar atau mulut desa Gunung Sadar. Di bagian atas atau
bagian barat desa Gunung Sadar, masih terdapat banyak kampung lain. Orang-orang
desa di atas sana dalam jarak lima kilometer akan melewati rumah Rubiyah saat
mereka akan ke pasar besar desa sebelah atau menuju kota kecamatan dan
kabupaten. Selebihnya, setelah Desa Sinar Banten dan Tayas yang terletak lebih
lima kilometer dari rumah Rubiyah, warga sana akan melewati jalan tembus
sebelah barat laut untuk menuju pasar desa atau kota kabupaten.
Sebelum ada jembatan baru itu, kampung Rubiyah
dan kampung-kampung sebelah atas seperti wilayah terisolasi. Tak ada listrik,
tak ada kendaraan, sekalipun itu roda dua, dan semua orang berjalan kaki untuk
pergi ke mana-mana. Jalanan masih berupa tanah, setapak dengan medan tak rata
karena berupa pegunungan, dan seperti belukar. Hampir semua penduduk hidup
dalam kesederhanaan untuk tidak mengatakan kehidupan yang penuh dengan
kemiskinan. Para penduduk bagian atas hidup sebagai petani kelapa atau petani kopi.
Tak ada rumah permanen dari tembok di sana, rumah-rumah mereka berbentuk
panggung dengan dinding papan atau bambu yang disebut geribik dengan beratap
seng.
Jembatan kokoh dan lebar itu dulu berupa
jembatan gantung dengan papan-papan sebagai alas yang ditali dan disangkutkan
di atas pohon-pohon di pinggir sungai. Lebarnya mungkin hanya satu meter dan
panjang lebih dari lima puluh meter. Jika lewat di atasnya, pastilah
berayun-ayun yang membuat Rubiyah sering merasa ketakutan. Tak terbayangkan
oleh Rubiyah jika tali jembatan gantung yang berayun itu putus atau papan
pijakannya rusak dan ia terperosok lalu jatuh ke sungai yang cukup lebar dengan
arus yang begitu deras di bawahnya. Sungguh Rubiyah sering ngeri membayangkan
itu.
***
Rubiyah tak pernah berani sendirian melewati
jembatan gantung yang berayun itu. Bapak yang sabar akhirnya menggendong Rubiyah
jika melewati jembatan itu. Itu juga setelah sang bapak membujuk Rubiyah
terlebih dahulu untuk berjalan kaki sambil dituntun oleh bapak. Rubiyah lalu merengek
dan menangis hingga akhirnya mau tak mau bapak menggendongnya.
Rubiyah biasanya melewati jembatan itu
saat ia merengek pada bapak untuk ikut pergi ke pasar yang jatuh pada hari
Rabu. Rubiyah senang jika bapak dan ibunya akan ke pasar untuk berbelanja
barang belanjaan. Ia bisa minta dibelikan jajan di sana. Bapak akan melewati
jembatan itu dua kali. Pertama, ia memikul kelapa-kelapa yang akan dijual terlebih
dahulu dan meninggalkan Rubiyah dan ibu di seberang. Lalu bapak kembali untuk
menggendong Rubiyah, menyeberang sambil sang ibu menghibur Rubiyah yang
ketakutan di belakang punggung bapak. Rubiyah akan merasa aman jika sang bapak
menggendongnya meski kadang ia masih merasa takut saja karena jembatan gantung
itu akan berguncang-guncang saat mereka lewat.
Peristiwa itu selalu berulang hingga Rubiyah
masuk bangku SD. Rubiyah menyelesaikan SD di desanya. Ia tak perlu melewati
jembatan gantung itu kecuali kalau ia sedang ikut ke pasar saja. Tapi Rubiyah
harus berjalan kaki naik ke atas untuk bersekolah. SD-nya terletak di ujung
kampung. Masa SD itu, Rubiyah kerapkali nyeker
karena sepatunya kadang hanya mampu bertahan beberapa bulan, sementara bapak
butuh waktu lama untuk bisa membelikan sepatu baru yang berharga murah di pasar
desa sebelah.
Meski anak kampung, Rubiyah tumbuh menjadi
anak yang memiliki tubuh berisi dengan kulit bersih, juga berparas cantik.
Lulus SD, banyak pemuda kampung atas ingin meminangnya. Rubiyah menolak karena
ia masih ingin melanjutkan sekolah. Karena di desa Rubiyah tak memiliki SMP, Rubiyah
lalu melanjutkan SMP di desa sebelah. Meski masih merasa ngeri lewat jembatan
gantung itu, namun tekad kuat untuk sekolah, Rubiyah terpaksa sering meminta bapak
untuk mengantarnya hingga seberang jembatan. Rubiyah memang tak digendong lagi,
namun ia akan kuat memegang tangan bapak yang menuntunnya sampai seberang. Bapak
pula telah siap menanti Rubiyah pulang sekolah untuk kemudian menggandenganya
pulang melewati jembatan itu. Tiga tahun itu berjalan hingga Rubiyah lulus SMP.
“Rubiyah ingin merantau ke Jakarta, Pak.”
Kata Rubiyah mantap saat ia lulus SMP. Perempuan berkulit bersih itu merasa
kasihan pada bapak yang telah bekerja keras di sawah dan kebun kelapa untuk
membiayai Rubiyah dan adik-adiknya. Rubiyah ingin sekali bisa membantu bapak
jika ia bekerja di Jakarta. Ia juga punya alasan untuk menolak dikawinkan
dengan beberapa pemuda kampung atas yang berhasrat sekali menikahinya.
Rubiyah bekerja di sebuah pabrik kecil di
Jakarta. Ia hidup penuh prihatin, Rubiyah menyisakan sebagian gajinya untuk dikirim
ke bapak, memang jumlahnya tak seberapa, namun bapak selalu menerima itu dengan
penuh rasa terima kasih dan senang hati. Tiap lebaran Rubiyah bisa pulang
kampung, dan bapak akan diberi kabar untuk menjemput Rubiyah di seberang
jembatan gantung.
“Kamu itu sudah besar lho, Nduk. Kok masih
saja takut melewati jembatan gantung sih?” Rubiyah tahu bapak bertanya itu
bukan dengan nada keberatan. Rubiyah dengan manja, seperti beberapa tahun lalu
akan menggenggam tangan bapak erat saat melewati jembatan gantung itu. Sambil
satu tangan menggenggam erat tangan Rubiyah, tangan satu lagi membawa tas besar
Rubiyah, kadang bapak mengempit tas Rubiyah di pinggang atau terkadang
memanggulnya.
Beberapa tahun bekerja di Jakarta,
akhirnya Rubiyah, sebagai perempuan kampung, harus memikirkan permintaan
orangtuanya untuk menikah. Rubiyah lalu menikah dengan teman seperantauan. Pernikahan
itu memang sesuatu hal yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Suami Rubiyah
terkena PHK, lalu menganggur lama. Praktis Rubiyah hidup dalam keadaan yang
sangat prihatin hingga ia tidak mampu mengirimi uang untuk bapak.
“Nduk, jangan pikirkan Bapak, Ibu, dan
adik-adikmu. Melihatmu sehat dan bahagia, Bapak sudah senang sekali.” Perkataan
bapak itu sungguh membuat Rubiyah terharu. Perjalanan nasib dan hidup memang
tak berjalan mulus, sering berguncang seperti jembatan gantung yang
berayun-ayun yang membuat orang dalam ketakutan.
Ketika suami Rubiyah telah bekerja
kembali, terjadi hal yang sangat menyakitkan. Suaminya menikah lagi dengan
perempuan lain. Batin Rubiyah hancur, rasanya ia ingin pulang kampung. Mengingat
sosok bapak, ia mencoba bertahan sebagai seorang single parent sambil mengasuh anaknya yang mulai masuk TK. Rubiyah
bekerja keras bertahan hidup sambil membesarkan anaknya. Betapa ia sering ingin
menangis karena ia tidak bisa mengirimi bapak sejumlah uang.
“Nduk, nanti kalau Galuh anakmu sudah SD,
masuk sekolah di kampung saja ya,” sungguh Rubiyah terharu mendengar permintaan
bapaknya itu. Akhirnya justru ia yang merepotkan bapak karena anaknya tinggal
di kampung. Tapi itu memang yang terbaik, nyatanya sebagai seorang buruh
pabrik, Rubiyah tak mampu mengawasi dan memenuhi dengan baik segala kebutuhan
anaknya.
***
“Galuh senang bermain di jembatan gantung.
Ia sering main di sana. Namun tidak lama lagi, jembatan gantung itu akan
dibangun menjadi jembatan beton. Pembangunan jembatan baru sendiri sudah mau
dimulai. Jalan utama menuju kampung kita juga sudah diperlebar dan berbatu.
Listrik juga sudah masuk desa kita,” cerita bapak dalam perbincangan telepon
seluler.
Rubiyah begitu rindu kampung halamannya. Sudah
dua tahun lebih ia tak pulang kampung. Rubiyah juga ingin mengabarkan bapak jika
ia ingin menikah. Satu tahun ini ia menjalin hubungan dengan seorang pria
mapan, penuh perhatian, dan kasih sayang serta sabar. Rubiyah sudah mantap untuk
memulai hidup baru lagi. Beberapa bulan lagi ia akan pulang kampung. Bersama
Hartono, Rubiyah merasa yakin bahwa nasib mereka akan lebih baik. Walau baru
satu tahun menjalin hubungan dengan Hartono, ia tahu persis karakter lelaki
itu, pekerja keras dan tanggung jawab.
“Nduk, jembatan baru sudah selesai,
jembatannya lebar dan sangat kuat. Jembatan beton, Nduk. Jadi kamu tidak perlu
takut lagi kalau mau lewat sini. Jembatan mau diresmikan besok oleh Pak Bupati lho.
Jadi mudik, Nduk?” Suara itu terngiang-ngiang di telinga Rubiyah. Itulah suara bapak
yang ia dengar terakhir kalinya. Bapak meninggal karena sakit mendadak. Malam
itu bapak merasa sakit perut, paginya bapak dinyatakan telah tiada. Hari itu
pula, Hartono dengan penuh kesabaran mengantar pulang Rubiyah ke kampung untuk
meminta restu pernikahan mereka.
Jembatan itu kini serasa berayun, Rubiyah
merasa ketakutan. Ia lalu seperti melihat tangan bapak menggenggamnya kuat.***