Kisah-Kisah Pendek tentang Kesepian - M.Z. Billal

@kontributor 2/20/2022

Kisah-Kisah Pendek tentang Kesepian

M.Z. Billal

 



1.      Nyanyian yang Lain

Dia bernyanyi keras-keras sebagai bentuk luapan kebahagiaan hatinya karena akhirnya mampu melampaui batas permukaan. Ini lompatan pertamanya ke udara setelah ibunya mengizinkan hal itu. Rasanya luar biasa bisa menjangkau langit lebih dekat, dadanya bergejolak tak henti-henti. Salah satu impiannya adalah menangkap bola cahaya hangat yang melekat erat di cakrawala itu. Dia sangat ingin memeluk dan membawanya hingga ke dasar paling gelap.

“Tapi kau tetap harus hati-hati! Jangan jauh-jauh!” Ibunya berseru memberi peringatan. Sepertinya ibunya masih agak khawatir dan belum siap melihat anaknya mulai tumbuh dewasa.

“Baik, Bu!” Dia berseru dan kembali melakukan lompatan beberapa kali.

“Aku sangat menyayangimu, Sayangku!” Ibunya berteriak lagi.

“Aku juga sangat menyayangimu, lebih dari apa pun, Bu!”

Ibunya tersenyum. Terharu dan bangga. Seraya terus mendampingi anaknya yang semakin merasa bahagia bisa mengarungi samudera luas dengan caranya sendiri di antara kawanan, induk paus biru itu bergumam lirih, “walau aku tak pernah tahu apa yang kaukatakan, Nak. Rasa sayangku padamu tak pernah berubah.”

Sepanjang waktu dia bernyanyi, mengajak anak-anak paus lain dalam kawanan berenang bersama. Namun tak satu pun dari mereka peduli kecuali ibunya sendiri. Dia tidak tahu apa sebabnya, namun dia berusaha tetap bahagia. Sebab yang terpenting ibunya selalu ada.

Hingga pada suatu ketika, mungkin ini adalah momen terburuk dalam hidupnya. Tatkala kebahagiaannya terus bergulung seperti ombak besar di tengah samudera, dia berenang sedikit lebih jauh dari kawanan, tidak menghiraukan peringatan ibunya. Barangkali ingin sedikit membuktikan bahwa dia tidak layak diabaikan oleh anak-anak paus yang lain. Namun sayang, yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaannya. Tiba-tiba dia oleng dan merasa pusing. Sejenak dia hilang kesadaran dan merasa akan baik-baik saja. Akan tetapi ketika terbangun kembali dia justru mendapati kenyataan mengerikan. Bahwa dia tidak melihat kawanannya lagi berenang bersama. Bahkan dia tidak mampu menemukan keberadaan ibunya. Entah di mana.

Maka dia jadi begitu panik dan berusaha berenang lebih cepat untuk mengejar kawanan, sembari terus berteriak keras di permukaan dan di kedalaman samudera untuk mengirimkan sinyal permintaan tolong. Sungguh, dia menyesal sekali karena tidak mendengarkan peringatan ibunya. Namun dia tidak tahu harus apa untuk menemukan mereka. Pada akhirnya dia menangis ketakutan seraya terus berenang tanpa henti dan tak peduli dia mulai merasa kebas seperti kehilangan ekornya juga. Tangisan menyayat hati yang tiap sengguknya dipenuhi harapan dia akan menemukan ibunya.

Akan tetapi, duka seribu kali duka, hingga bertahun-tahun kemudian, dia tetap tidak bisa menemukan kawanannya bahkan ibunya yang amat dia sayangi. Dia merasa sangat putus asa dan ingin bunuh diri. Namun dia yakin betul kesedihan ibunya jauh lebih dalam dan lebih gelap dari samudera. Maka seiring waktu, dalam pencariannya, dalam kesedihannya yang sepanjang waktu diratapi, dia mulai menerima dirinya yang sendirian. Isak tangis mulai berganti menjadi potongan-potongan lagu yang dia senandungkan. Walaupun dia tidak pernah tahu apakah ibunya atau paus lain atau ikan lain atau apa saja bisa mendengarnya di suatu tempat. Dia hanya punya harapan, satu-satunya peninggalan dan senjata paling ampuh melawan kesepian.

“Waktu terus bergulir. Ujung samudera pasti masih sangat jauh. Aku tahu akan menemukanmu, aku tahu akan menemukan masa depan. Tapi aku tidak pernah tahu sampai kapan akan bertahan. Ah, aku akan terus bernyanyi. Aku bernyanyi untukmu tentang perjalanan lain tanpa kehadiranmu. Aku menyayangimu, Ibu.”

Dia paus biru itu. Paus paling kesepian. Yang sendu bernyanyi sendirian.

***

 

2.      Tahun-Tahun Melingkar di Tubuh

Angin pertengahan musim semi yang ramah bertiup menyentuh tubuhnya. Lagi dan lagi. Selalu. Dari musim ke musim yang lain. Dan dia masih akan di sana selamanya sampai batas waktu yang entah kapan.

Hari ini, dia tidak begitu ingat apakah itu sejarah pertama yang benar atau tidak, tapi dia masih bisa menghitung tahun-tahun yang melingkar di tubuhnya. Jadi dia cukup yakin bahwa hari ini adalah peringatan umurnya yang ke 103 tahun hidup di pulau kecil nun jauh bersama keluarga besar semak rendah berbunga ungu dan burung-burung yang memutuskan untuk menetap di tubuhnya.

“Selamat hari lahir, Teman Besar!” seekor burung mematuk-mematuk tubuhnya untuk menggelitik sekaligus membangunkannya. Sehingga dia bergerak sedikit namun cukup mampu membuat kehebohan luar biasa bagi seluruh burung yang sedang bertengger pada rantingnya.

“Wow! Wow! Gerakanmu yang luar biasa itu nyaris membunuh kami semua, Sobat!” burung lain menimpali.

Dia tertawa sekaligus terharu ketika memandang ke segala penjuru. Puluhan burung yang bertengger di dahan dan rantingnya sedang berkicau memberinya ucapan selamat, serta kejutan lain dari keluarga besar semak rendah berbunga ungu yang benar-benar menakjubkan. Mereka mekar bersamaan menciptakan pemandangan sangat indah yang sulit dilupakan. Langit berubah warna jadi ungu menawan ketika memantulkan hamparan bunga-bunga yang bermekaran di tubuh mereka yang mungil.

“Aku tidak tahu harus mengatakan apa, tapi ini benar-benar indah!” dia berseru dan agak terisak saking terharunya. “Kalian selalu memberiku kejutan hebat setiap tahun, bahkan setiap hari. Sehingga aku tidak terlalu ingat kalau aku satu-satunya makhluk besar di sini. Sendirian tanpa keluarga yang lain selama 103 tahun.”

“Kami juga sangat bersyukur memilikimu di sini, Teman Besar.” Semak bunga ungu yang bertubuh paling tinggi berbicara kepadanya. Dia kenal suara itu. Pemimpin utama semak bunga ungu yang berusia paling tua, entah generasi ke berapa dari pemimpin mereka yang barangkali telah mendahuluinya tinggal di pulau kecil itu. “Kami selalu merasa aman dan selalu siap menghadapi musim karena kau selalu mengabarkan banyak hal yang tidak terlihat oleh kami.”

“Aku juga.” Burung bersayap lebar dengan tatapan tajam yang sedang bertengger di dekat batang besarnya menambahkan. “Kau seperti penjaga yang ramah untuk kami, para burung, selama bertahun-tahun, sejak para pendahulu kami memutuskan untuk tinggal di pulau ini. Kau rumah, kau kehidupan bagi kami.”

Dia semakin terharu oleh ucapan yang terdengar silih berganti dari para burung, keluarga semak, rumput, dan hewan-hewan mungil lainnya. Bahkan seekor anak burung yang baru sepekan menetas membisikinya, kalau anak burung itu sangat menyayanginya. Dia jadi ingin menangis keras. Namun ia sadar itu bisa buruk akibatnya, jadi dia memilih untuk tertawa saja.

“Aku menyayangi kalian semua. Dalam keadaan apapun. Bila nanti terjadi sesuatu padaku, kalian harus tetap bersama di pulau ini, ya!” Dia menutup ucapannya seraya perlahan mengeluarkan daun-daun kecil dari ujung-ujungnya yang kosong. Dan semua kembali bergembira.

Namun, rindu seribu kali rindu, sehari setelah perayaan sesuatu benar-benar terjadi padanya. Sekelompok manusia jahat memasuki pulau kecil yang dia cintai itu dan mulai memotongi tubuhnya untuk dibawa ke sebuah kapal yang bersandar di tepi pulau. Semua menangis karena tidak mampu melawan para manusia jahat itu. Yang tersisa di sana hanya tunggul yang memperlihatkan lingkar tahun penanda usia.

Para burung yang berduka pun mulai meninggalkan pulau, karena harus mencari tempat bernaung yang lain. Sementara keluarga semak rendah berbunga ungu tak berhenti dirundung kesedihan. Mereka terus merayakan kelahiran dan kepergiannya. Hingga musim-musim yang lain datang silih berganti. Mereka semakin merindukan teman besar mereka yang ramah.

Hingga pada suatu ketika, di musim semi yang lain, pada saat perayaan akan dimulai, salah satu dari keluarga semak rendah bunga ungu berteriak kegirangan.

“Hei!, Lihatlah, dia kembali! Dia kembali! Teman Besar kita!”

Sontak semuanya merasa bahagia ketika menyaksikan tunas mungil di tepian tunggul yang mulai lapuk itu.

“Astaga! Aku tidak percaya!” seru pemimpin semak bunga ungu. “Selamat datang di rumah, Teman Besar. Kami berjanji akan menjagamu, lebih berani lagi!”

Kemudian terdengar sorak-sorai yang lain.

Si tunas mungil tidak menjawab apa-apa. Daunnya yang kecil melambai-lambai ditiup angin yang sepertinya juga merindukannya. Barangkali dia masih tertidur, barangkali dia sedang mempersiapkan diri untuk kehidupan panjang yang lain.

***

3.      Puisi-Puisi yang Memeluk Tubuh Semua Orang

Kostum yang dia kenakan memaksanya harus selalu tersenyum dari luar. Meski dia agak tersiksa bila cuaca panas, namun dia selalu berusaha untuk terus membuat orang lain merasa bahagia. Yang penting perannya sebagai badut berkostum kelinci tersenyum yang menunjukkan dua gigi besar di taman kota mendapatkan keuntungan. Setidaknya tiap mendapat tawaran foto bersama, dia menerima upah lima ribu rupiah. Walaupun tidak seluruh pengunjung memberinya uang usai foto bersama. Dia tidak marah. Bahkan, untuk menambah kenyamanan pengunjung taman, dia sengaja membalasnya dengan sepotong puisi yang dia tulis pada secarik kertas. Membuat para pengunjung merasa sangat senang dan sebagian pun memberinya uang tambahan. Terima kasih Tuhan yang baik, bisiknya di dalam kostum.

Ya, kini dia dikenal sebagai badut kelinci puitis. Para pengunjung gembira, dia pun merasa bahagia. Saat di rumah, pada malam-malam yang hening, dia mulai merancang kata-kata bagus yang lain untuk diberikan kepada para pengunjung taman. Dia tersenyum sendiri dan sesekali tertawa kecil. Ah, tiba-tiba dia teringat mendiang istrinya yang telah pergi bertemu Tuhan puluhan tahun yang silam. Masa-masa indah bersama perempuan kesayangannya itu sulit tergantikan. Barangkali baru kali inilah, setelah usianya tak lagi muda, dia mulai berpikir bahwa segala keindahan itu layak untuk dituliskan pada potongan-potongan kertas. Tidak apa-apa bila sisa waktu yang dia punya harus berjalan tepat di sisi kesepian. Dia akan berusaha menanggung semua itu dalam keyakinan diri meski tak jarang pula kesepian selalu datang memukul-mukul dadanya ribuan kali hingga air matanya menetes dan kostum kelincinya basah oleh ratapan.

Kesunyian adalah sebuah lagu, dia hanya terdengar olehmu. Dia teman baik, tapi juga nakal. Dia akan selalu membuatmu tertawa dalam tangis dan sebaliknya, tangis dalam tawa. Jadi jangan berhenti memeluk dirimu sendiri.

Demikian puisi pendek terakhir yang dia tulis pada potongan kertas yang tersisa. Setidaknya dia punya dua puluh lima lembar kertas berisi nasihat bijak yang siap dibagikan untuk para pengunjung yang butuh asupan semangat. Ah, dia tidak sabar menunggu esok.

Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, ketika dia sudah mulai bersiap dengan gembira menyongsong hari bahagia, ternyata cuaca di luar tidak terduga. Awan mendung berarak dan tumpah deras di taman kota. Jadi dia memilih untuk berteduh di tangga sebuah pondok kecil di sudut taman. Berharap hujan segera reda. Namun, jangankan reda, hujan justru bertambah deras meski sudah satu jam dia berteduh di pondok kecil itu. Membuatnya kedinginan karena kostumnya mulai lembap. Sungguh, hari yang menguji kesabaran, bisiknya ketika dadanya mulai terasa sakit dan sesak. Sebab itu artinya kesepian mulai memukul-mukul dadanya lagi tanpa ampun.

Hingga pada saat dia semakin larut dalam kesedihan yang mempersempit kostum kelincinya, seorang pemuda berjaket tudung buru-buru sekali berlari memasuki taman dan memilih pondok tempat dia duduk untuk berteduh dalam keadaan kuyup. Tampak sekali pemuda itu panik dan kedinginan.

“Kenapa lari-lari, Mas?” dia memberanikan diri bertanya kepada pemuda itu seraya melepas kepala kostumnya

“Iya, Pak. tadi pagi rencananya mau jalan kaki saja ke kampus. Biar sehat. Eh, Setengah jalan hujan turun.”

“Iya, Mas. Cuaca lagi kurang pas. Saya juga sudah satu jam di sini.”

“Ya ampun, sudah lama sekali itu, Pak.” Pemuda itu tersenyum kepadanya. “Teman-teman yang lain ke mana, Pak?”

“Di dalam gedung, saya di sini saja. Siapa tahu bisa dapat pengunjung duluan kalau hujan reda.” Dia mengakhiri ucapannya dengan tawa kecil disusul tawa pemuda itu. Dia merasa lucu oleh kata-katanya sendiri. “Lah, kamu sendiri bagaimana, Mas? Pasti telat.”

“Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah minta jemput teman nanti kalau sudah reda,” jawab pemuda itu.

Dan akhirnya pun mereka terlibat percakapan panjang jelang hujan reda. Dia bercerita banyak hal tentang hidupnya termasuk kebiasaannya membagi-bagikan puisi pendek untuk para pengunjung taman. Demikian si pemuda, yang juga berbagi potongan kisah hariannya. Sesekali tawa kecil pun terselip di antara mereka. Sampai setengah jam kemudian hujan akhirnya benar-benar reda, menyisakan rintik kecil saja.

Kemudian si pemuda meminta izin pamit ketika temannya sudah datang menjemput. Namun sebelum pergi, pemuda itu buru-buru memasukkan sesuatu ke dalam kantong kostumnya. Dia tidak sempat bertanya itu apa. Dan setelah pemuda itu beserta kendaraan temannya lenyap dari pandangan dia meraih sepotong kertas terlipat yang tadi dijejalkan ke dalam kantong kostumnya.

Dia membuka lipatan kertas itu. Mendapati selembar uang seratus ribu beserta sepotong kalimat hangat yang tertulis dengan cukup rapi. Entah kapan pula pemuda itu menulis untuknya. Dia tidak tahu. Namun dia sangat bersyukur atas kebaikannya karena mampu meredakan kesepian yang tadi memukul-mukul dadanya.

“Terima kasih untuk cerita yang luar biasa, Pak. Tetaplah hangat, tetaplah terang!” tulis pemuda itu.

***

 

Catatan:

Terinspirasi Paus Biru 52, Pohon Sitka Spruce di Campbell Islands, dan Badut Kelinci Taman Kota

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »