Kisah-Kisah Pendek tentang Kesepian
M.Z. Billal
1. Nyanyian yang Lain
Dia bernyanyi
keras-keras sebagai bentuk luapan kebahagiaan hatinya karena akhirnya mampu
melampaui batas permukaan. Ini lompatan pertamanya ke udara setelah ibunya
mengizinkan hal itu. Rasanya luar biasa bisa menjangkau langit lebih dekat,
dadanya bergejolak tak henti-henti. Salah satu impiannya adalah menangkap bola
cahaya hangat yang melekat erat di cakrawala itu. Dia sangat ingin memeluk dan
membawanya hingga ke dasar paling gelap.
“Tapi kau tetap harus
hati-hati! Jangan jauh-jauh!” Ibunya berseru memberi peringatan. Sepertinya
ibunya masih agak khawatir dan belum siap melihat anaknya mulai tumbuh dewasa.
“Baik, Bu!” Dia
berseru dan kembali melakukan lompatan beberapa kali.
“Aku sangat
menyayangimu, Sayangku!” Ibunya berteriak lagi.
“Aku juga sangat
menyayangimu, lebih dari apa pun, Bu!”
Ibunya tersenyum.
Terharu dan bangga. Seraya terus mendampingi anaknya yang semakin merasa
bahagia bisa mengarungi samudera luas dengan caranya sendiri di antara kawanan,
induk paus biru itu bergumam lirih, “walau aku tak pernah tahu apa yang
kaukatakan, Nak. Rasa sayangku padamu tak pernah berubah.”
Sepanjang waktu dia
bernyanyi, mengajak anak-anak paus lain dalam kawanan berenang bersama. Namun tak
satu pun dari mereka peduli kecuali ibunya sendiri. Dia tidak tahu apa
sebabnya, namun dia berusaha tetap bahagia. Sebab yang terpenting ibunya selalu
ada.
Hingga pada suatu
ketika, mungkin ini adalah momen terburuk dalam hidupnya. Tatkala kebahagiaannya terus bergulung seperti ombak besar di tengah samudera,
dia berenang sedikit lebih jauh dari kawanan, tidak menghiraukan peringatan
ibunya. Barangkali ingin sedikit membuktikan bahwa dia tidak layak diabaikan
oleh anak-anak paus yang lain. Namun sayang, yang terjadi berikutnya sungguh di
luar dugaannya. Tiba-tiba dia oleng dan merasa pusing. Sejenak dia hilang
kesadaran dan merasa akan baik-baik saja. Akan tetapi ketika terbangun kembali
dia justru mendapati kenyataan mengerikan. Bahwa dia tidak melihat kawanannya
lagi berenang bersama. Bahkan dia tidak mampu menemukan keberadaan ibunya.
Entah di mana.
Maka dia jadi begitu
panik dan berusaha berenang lebih cepat untuk mengejar kawanan, sembari terus
berteriak keras di permukaan dan di kedalaman samudera untuk mengirimkan sinyal
permintaan tolong. Sungguh, dia menyesal sekali karena tidak mendengarkan
peringatan ibunya. Namun dia tidak tahu harus apa untuk menemukan mereka. Pada
akhirnya dia menangis ketakutan seraya terus berenang tanpa henti dan tak
peduli dia mulai merasa kebas seperti kehilangan ekornya juga. Tangisan menyayat
hati yang tiap sengguknya dipenuhi harapan dia akan menemukan ibunya.
Akan tetapi, duka
seribu kali duka, hingga bertahun-tahun kemudian, dia tetap tidak bisa
menemukan kawanannya bahkan ibunya yang amat dia sayangi. Dia merasa sangat
putus asa dan ingin bunuh diri. Namun dia yakin betul kesedihan ibunya jauh
lebih dalam dan lebih gelap dari samudera. Maka seiring waktu, dalam
pencariannya, dalam kesedihannya yang sepanjang waktu diratapi, dia mulai
menerima dirinya yang sendirian. Isak tangis mulai berganti menjadi
potongan-potongan lagu yang dia senandungkan. Walaupun dia tidak pernah tahu
apakah ibunya atau paus lain atau ikan lain atau apa saja bisa mendengarnya di
suatu tempat. Dia hanya punya harapan, satu-satunya peninggalan dan senjata
paling ampuh melawan kesepian.
“Waktu terus bergulir. Ujung samudera pasti masih sangat
jauh. Aku tahu akan menemukanmu, aku tahu akan menemukan masa depan. Tapi aku
tidak pernah tahu sampai kapan akan bertahan. Ah, aku akan terus bernyanyi. Aku
bernyanyi untukmu tentang perjalanan lain tanpa kehadiranmu. Aku menyayangimu,
Ibu.”
Dia paus biru itu.
Paus paling kesepian. Yang sendu bernyanyi sendirian.
***
2. Tahun-Tahun Melingkar di Tubuh
Angin pertengahan
musim semi yang ramah bertiup menyentuh tubuhnya. Lagi dan lagi. Selalu. Dari
musim ke musim yang lain. Dan dia masih akan di sana selamanya sampai batas
waktu yang entah kapan.
Hari ini, dia tidak
begitu ingat apakah itu sejarah pertama yang benar atau tidak, tapi dia masih
bisa menghitung tahun-tahun yang melingkar di tubuhnya. Jadi dia cukup yakin
bahwa hari ini adalah peringatan umurnya yang ke 103 tahun hidup di pulau kecil
nun jauh bersama keluarga besar semak rendah berbunga ungu dan burung-burung yang
memutuskan untuk menetap di tubuhnya.
“Selamat hari lahir,
Teman Besar!” seekor burung mematuk-mematuk tubuhnya untuk menggelitik sekaligus
membangunkannya. Sehingga dia bergerak sedikit namun cukup mampu membuat
kehebohan luar biasa bagi seluruh burung yang sedang bertengger pada
rantingnya.
“Wow! Wow! Gerakanmu
yang luar biasa itu nyaris membunuh kami semua, Sobat!” burung lain menimpali.
Dia tertawa sekaligus
terharu ketika memandang ke segala penjuru. Puluhan burung yang bertengger di
dahan dan rantingnya sedang berkicau memberinya ucapan selamat, serta kejutan
lain dari keluarga besar semak rendah berbunga ungu yang benar-benar menakjubkan.
Mereka mekar bersamaan menciptakan pemandangan sangat indah yang sulit
dilupakan. Langit berubah warna jadi ungu menawan ketika memantulkan hamparan
bunga-bunga yang bermekaran di tubuh mereka yang mungil.
“Aku tidak tahu harus
mengatakan apa, tapi ini benar-benar indah!” dia berseru dan agak terisak
saking terharunya. “Kalian selalu memberiku kejutan hebat setiap tahun, bahkan
setiap hari. Sehingga aku tidak terlalu ingat kalau aku satu-satunya makhluk
besar di sini. Sendirian tanpa keluarga yang lain selama 103 tahun.”
“Kami juga sangat
bersyukur memilikimu di sini, Teman Besar.” Semak bunga ungu yang bertubuh
paling tinggi berbicara kepadanya. Dia kenal suara itu. Pemimpin utama semak
bunga ungu yang berusia paling tua, entah generasi ke berapa dari pemimpin
mereka yang barangkali telah mendahuluinya tinggal di pulau kecil itu. “Kami
selalu merasa aman dan selalu siap menghadapi musim karena kau selalu
mengabarkan banyak hal yang tidak terlihat oleh kami.”
“Aku juga.” Burung
bersayap lebar dengan tatapan tajam yang sedang bertengger di dekat batang
besarnya menambahkan. “Kau seperti penjaga yang ramah untuk kami, para burung,
selama bertahun-tahun, sejak para pendahulu kami memutuskan untuk tinggal di
pulau ini. Kau rumah, kau kehidupan bagi kami.”
Dia semakin terharu
oleh ucapan yang terdengar silih berganti dari para burung, keluarga semak,
rumput, dan hewan-hewan mungil lainnya. Bahkan seekor anak burung yang baru
sepekan menetas membisikinya, kalau anak burung itu sangat menyayanginya. Dia
jadi ingin menangis keras. Namun ia sadar itu bisa buruk akibatnya, jadi dia
memilih untuk tertawa saja.
“Aku menyayangi kalian
semua. Dalam keadaan apapun. Bila nanti terjadi sesuatu padaku, kalian harus
tetap bersama di pulau ini, ya!” Dia menutup ucapannya seraya perlahan mengeluarkan
daun-daun kecil dari ujung-ujungnya yang kosong. Dan semua kembali bergembira.
Namun, rindu seribu
kali rindu, sehari setelah perayaan sesuatu benar-benar terjadi padanya.
Sekelompok manusia jahat memasuki pulau kecil yang dia cintai itu dan mulai
memotongi tubuhnya untuk dibawa ke sebuah kapal yang bersandar di tepi pulau.
Semua menangis karena tidak mampu melawan para manusia jahat itu. Yang tersisa
di sana hanya tunggul yang memperlihatkan lingkar tahun penanda usia.
Para burung yang
berduka pun mulai meninggalkan pulau, karena harus mencari tempat bernaung yang
lain. Sementara keluarga semak rendah berbunga ungu tak berhenti dirundung
kesedihan. Mereka terus merayakan kelahiran dan kepergiannya. Hingga
musim-musim yang lain datang silih berganti. Mereka semakin merindukan teman
besar mereka yang ramah.
Hingga pada suatu
ketika, di musim semi yang lain, pada saat perayaan akan dimulai, salah satu
dari keluarga semak rendah bunga ungu berteriak kegirangan.
“Hei!, Lihatlah, dia
kembali! Dia kembali! Teman Besar kita!”
Sontak semuanya merasa
bahagia ketika menyaksikan tunas mungil di tepian tunggul yang mulai lapuk itu.
“Astaga! Aku tidak
percaya!” seru pemimpin semak bunga ungu. “Selamat datang di rumah, Teman
Besar. Kami berjanji akan menjagamu, lebih berani lagi!”
Kemudian terdengar
sorak-sorai yang lain.
Si tunas mungil tidak
menjawab apa-apa. Daunnya yang kecil melambai-lambai ditiup angin yang
sepertinya juga merindukannya. Barangkali dia masih tertidur, barangkali dia
sedang mempersiapkan diri untuk kehidupan panjang yang lain.
***
3. Puisi-Puisi yang Memeluk Tubuh Semua Orang
Kostum yang dia
kenakan memaksanya harus selalu tersenyum dari luar. Meski dia agak tersiksa
bila cuaca panas, namun dia selalu berusaha untuk terus membuat orang lain
merasa bahagia. Yang penting perannya sebagai badut berkostum kelinci tersenyum
yang menunjukkan dua gigi besar di taman kota mendapatkan keuntungan.
Setidaknya tiap mendapat tawaran foto bersama, dia menerima upah lima ribu
rupiah. Walaupun tidak seluruh pengunjung memberinya uang usai foto bersama.
Dia tidak marah. Bahkan, untuk menambah kenyamanan pengunjung taman, dia
sengaja membalasnya dengan sepotong puisi yang dia tulis pada secarik kertas.
Membuat para pengunjung merasa sangat senang dan sebagian pun memberinya uang
tambahan. Terima kasih Tuhan yang baik,
bisiknya di dalam kostum.
Ya, kini dia dikenal
sebagai badut kelinci puitis. Para pengunjung gembira, dia pun merasa bahagia.
Saat di rumah, pada malam-malam yang hening, dia mulai merancang kata-kata
bagus yang lain untuk diberikan kepada para pengunjung taman. Dia tersenyum
sendiri dan sesekali tertawa kecil. Ah, tiba-tiba dia teringat mendiang
istrinya yang telah pergi bertemu Tuhan puluhan tahun yang silam. Masa-masa
indah bersama perempuan kesayangannya itu sulit tergantikan. Barangkali baru
kali inilah, setelah usianya tak lagi muda, dia mulai berpikir bahwa segala
keindahan itu layak untuk dituliskan pada potongan-potongan kertas. Tidak
apa-apa bila sisa waktu yang dia punya harus berjalan tepat di sisi kesepian.
Dia akan berusaha menanggung semua itu dalam keyakinan diri meski tak jarang
pula kesepian selalu datang memukul-mukul dadanya ribuan kali hingga air matanya
menetes dan kostum kelincinya basah oleh ratapan.
Kesunyian adalah sebuah lagu, dia hanya terdengar olehmu.
Dia teman baik, tapi juga nakal. Dia akan selalu membuatmu tertawa dalam tangis
dan sebaliknya, tangis dalam tawa. Jadi jangan berhenti memeluk dirimu sendiri.
Demikian puisi pendek
terakhir yang dia tulis pada potongan kertas yang tersisa. Setidaknya dia punya
dua puluh lima lembar kertas berisi nasihat bijak yang siap dibagikan untuk
para pengunjung yang butuh asupan semangat. Ah, dia tidak sabar menunggu esok.
Akan tetapi, sayang
seribu kali sayang, ketika dia sudah mulai bersiap dengan gembira menyongsong
hari bahagia, ternyata cuaca di luar tidak terduga. Awan mendung berarak dan
tumpah deras di taman kota. Jadi dia memilih untuk berteduh di tangga sebuah
pondok kecil di sudut taman. Berharap hujan segera reda. Namun, jangankan reda,
hujan justru bertambah deras meski sudah satu jam dia berteduh di pondok kecil
itu. Membuatnya kedinginan karena kostumnya mulai lembap. Sungguh, hari yang menguji kesabaran, bisiknya ketika dadanya mulai
terasa sakit dan sesak. Sebab itu artinya kesepian mulai memukul-mukul dadanya
lagi tanpa ampun.
Hingga pada saat dia
semakin larut dalam kesedihan yang mempersempit kostum kelincinya, seorang
pemuda berjaket tudung buru-buru sekali berlari memasuki taman dan memilih
pondok tempat dia duduk untuk berteduh dalam keadaan kuyup. Tampak sekali
pemuda itu panik dan kedinginan.
“Kenapa lari-lari,
Mas?” dia memberanikan diri bertanya kepada pemuda itu seraya melepas kepala
kostumnya
“Iya, Pak. tadi pagi
rencananya mau jalan kaki saja ke kampus. Biar sehat. Eh, Setengah jalan hujan
turun.”
“Iya, Mas. Cuaca lagi
kurang pas. Saya juga sudah satu jam di sini.”
“Ya ampun, sudah lama
sekali itu, Pak.” Pemuda itu tersenyum kepadanya. “Teman-teman yang lain ke
mana, Pak?”
“Di dalam gedung, saya
di sini saja. Siapa tahu bisa dapat pengunjung duluan kalau hujan reda.” Dia
mengakhiri ucapannya dengan tawa kecil disusul tawa pemuda itu. Dia merasa lucu
oleh kata-katanya sendiri. “Lah, kamu sendiri bagaimana, Mas? Pasti telat.”
“Tidak apa-apa, Pak.
Saya sudah minta jemput teman nanti kalau sudah reda,” jawab pemuda itu.
Dan akhirnya pun
mereka terlibat percakapan panjang jelang hujan reda. Dia bercerita banyak hal
tentang hidupnya termasuk kebiasaannya membagi-bagikan puisi pendek untuk para
pengunjung taman. Demikian si pemuda, yang juga berbagi potongan kisah
hariannya. Sesekali tawa kecil pun terselip di antara mereka. Sampai setengah
jam kemudian hujan akhirnya benar-benar reda, menyisakan rintik kecil saja.
Kemudian si pemuda
meminta izin pamit ketika temannya sudah datang menjemput. Namun sebelum pergi,
pemuda itu buru-buru memasukkan sesuatu ke dalam kantong kostumnya. Dia tidak
sempat bertanya itu apa. Dan setelah pemuda itu beserta kendaraan temannya
lenyap dari pandangan dia meraih sepotong kertas terlipat yang tadi dijejalkan
ke dalam kantong kostumnya.
Dia membuka lipatan
kertas itu. Mendapati selembar uang seratus ribu beserta sepotong kalimat
hangat yang tertulis dengan cukup rapi. Entah kapan pula pemuda itu menulis
untuknya. Dia tidak tahu. Namun dia sangat bersyukur atas kebaikannya karena
mampu meredakan kesepian yang tadi memukul-mukul dadanya.
“Terima kasih untuk cerita yang luar biasa, Pak. Tetaplah
hangat, tetaplah terang!”
tulis pemuda itu.
***
Catatan:
Terinspirasi
Paus Biru 52, Pohon Sitka Spruce di Campbell Islands, dan Badut Kelinci Taman Kota