Narator yang Mogok Bercerita
Aliurridha
Sudah empat minggu tiada satu pun cerpen yang muncul dalam
rubrik sastra pelbagai media. Rubrik itu kosong melompong seperti layar monitor
yang kutatap saat belajar menulis cerita. Sialan! Bisa-bisanya semua media
serentak tidak menerbitkan cerpen. Padahal hanya cerpen yang bisa memberiku sedikit
kesenangan dari sekian derita menjadi pekerja dengan upah yang tidak seberapa.
Dengan membaca cerpen, aku seperti dibawa ke suatu ruang yang jauh dari bising
kehidupan monoton, dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak pernah bisa kunikmati, dari
pekerjaan yang kulakukan sekadar untuk bertahan hidup. Langsung saja aku keluar
membawa koran itu dan membakarnya di depan rumah.
“Lihat tuh, gilanya kambuh.”
“Iya. Mungkin dia stres. Anak sudah dua, kerjaannya ndak
jelas.”
Meski jaraknya lebih sepuluh kaki, aku bisa menangkap apa
yang mereka percakapkan. Sejak aku menutup diri dari lingkungan yang gila,
telingaku jadi lebih peka. Tapi aku tak mempedulikannya, aku tidak mau ambil
pusing dengan apa yang dikatakan ibu-ibu kurang kerjaan. Lagi pula di tengah
dunia yang menggila, dituduh gila merupakan sebuah pujian.
Sekarang, apa yang harus kulakukan?
Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk menghubungi
seorang kawanku yang bekerja sebagai redaktur sastra sebuah media.
Dari redaktur itu aku tahu bahwa ternyata tidak ada seorang
pun mengirimkan cerpen ke media tempat ia bekerja. Dan, dari redaktur itu pula aku
tahu bahwa teman-temannya sesama redaktur mengeluhkan hal yang sama. Tidak
hanya media cetak, media daring juga mengalami hal yang sama. “Fenomena ini
telah mengglobal,” katanya. Aku betul-betul heran, bukankah media tidak pernah
kekurangan dikirimi cerpen? Bukankah setiap hari selalu saja lahir orang yang bermimpi
jadi cerpenis, mengirimkan cerpen mereka yang sekadar jadi demi mendapat predikat
itu?
Rasa penasaran yang membibit di kepalaku tumbuh menyemak-belukar.
Aku tak tahan lagi untuk menghubungi seorang cerpenis kenalanku. Aku cukup
punya banyak kenalan cerpenis karena dulunya aku juga pernah bermimpi menjadi cerpenis.
Namun aku sadar diri, hidup tidak pernah cukup dengan mimpi. Apalagi saat itu aku
adalah seorang ayah yang sedang menanti-nanti anak keduaku lahir. Mimpi itu aku
kubur, dan aku kerja serabutan demi dapur tetap ngepul.
“Datang saja ke Lelenggo,” kata temanku itu. Arianto
Adipurwanto namanya. Mungkin kamu tahu atau pernah dengar. Ia hampir dapat
Kusala Sastra lho. Hampir.
Aku langsung berangkat ke Lelenggo begitu Ari berjanji akan
menjelaskan kepadaku fenomena ini.
***
Tiba di Lelenggo aku dibuat terpesona. Alam Lelenggo persis
seperti yang digambarkan dalam cerita: hutan dengan pohon-pohon tinggi, diselingi
kebun-kebun kopi merupakan lanskap yang dominan. Di kejauhan, aku mendengar
samar suara air mengalir di Sungai Keditan. Di sepanjang jalan menuju lembah
yang ditumbuhi pohon aren dan bambu, aku menemukan beberapa lelaki yang sedang asyik
meneguk tuak berwarna merah muda dan membuat wajah mereka berwarna merah tua.
“Kita mau ke mana
ini?” tanyaku.
“Sudah kamu ikut saja,” kata Ari.
Aku tiba di sebuah rumah yang mungkin tidak layak untuk
disebut rumah. Rasanya aku pernah melihatnya, tapi aku tidak ingat di mana. Miris
sekali penampilan gubuk ini; sebuah gubuk yang terbuat dari anyaman daun kelapa
yang mulai membusuk dan memiliki beberapa lubang yang dapat membuat seekor
musang dengan mudahnya masuk untuk mengobrak-abrik isi rumah, atau mencuri
segala yang ada di dalamnya. Tapi apa mau dicuri? Tiada apa pun di dalam sini
selain bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai kucing disiram tuak basi.
“Rumah siapa ini?
“Bugiali.”
“Bugiali?”
Aku senang sekali karena mendengar nama itu. Nama seorang
tokoh dalam cerpen yang kubaca, tokoh yang membuatku terbahak sekaligus getir di
saat bersamaan. “Dia masih tinggal di sini?”
“Dia sudah lama pergi. Siapa yang tahan tinggal di tempat
ini,” kata Ari ketus. Ia yang biasa ramah, dengan bibir selalu berhias senyum
dan setiap bicara diselingi tawa, kini bermuka masam; dan dalam setiap
tuturannya terdengar nada sinis.
“Kamu sih membuatkannya tempat tinggal di gubuk seburuk
ini,” balasku tidak mau kalah sinis.
Ari tidak membalas. Ia diam seperti orang linglung.
Aku bertanya-bertanya dalam hati, ke mana kira-kira
perginya Bugiali? Mungkinkah ia mencoba peruntungan di kota? Mungkin saja ia
mendengar dari orang-orang kampung kalau di kota banyak makanan. Mungkin juga karena
sejak matinya Maq Kepaq, tidak ada lagi yang peduli padanya, tidak ada lagi yang
mau membawakannya makanan. Kasian Bugiali, ia pasti tidak menyangka kalau yang
dimaksud makanan itu adalah remahan sisa yang telah dibuang ke tong sampah. Tapi
memangnya Bugiali peduli? Bukannya dia sudah kebal makan nasi basi?
“Terus kamu akan membiarkannya pergi begitu saja? Ndak kamu
cari?”
“Biarlah. Lagian dia ndak mungkin cetak ulang.”
Aku tertawa mendengarnya. Meskipun nadanya masih sinis,
rupanya ia belum kehilangan selera humornya. “Apa kamu tinggal di sini sekarang?”
“Tinggal di sini?” Ari terperangah. “Gila apa! Bugiali yang
gila saja tidak mau tinggal di sini, apalagi saya.”
Kalau kamu saja tidak
mau tinggal di sini, kok seenaknya membuat Bugiali tinggal di sini.
“Saya ke sini untuk mencari inspirasi,” kata Ari.
“Terus dapet inspirasinya?”
Ari menggeleng.
“Jadi gosip itu benar? Semua penulis kehilangan kemampuan
bercerita.”
“Sepertinya benar. Mas Kiki saja tidak bisa menulis satu
cerita pun, seperti ada kekuatan gaib yang mencuri kemampuannya.”
Aku ragu mendengar jawaban Ari. Cerita-cerita seperti itu
kan cuma terjadi di cerpen. Kupikir itu terlalu mengada-ada. Ini pasti ada sebuah
konspirasi cerdik antar para penulis cerita yang berjanji untuk bersama-sama tidak
mengirimkan cerpen mereka sampai media menaikkan honor; atau mungkin juga ini adalah
sebentuk protes terhadap media yang sering telat membayarkan honor.
“Kira-kira apa yang terjadi?”
“Saya ndak tahu. Tapi karena Mas Ali ngajak ketemu, ya saya
ajak ke sini. Saya mau ketemu orang pintar yang tinggal di kampung ini.”
“Memangnya ada orang pintar di kampung ini?”
“Lah mana saya tahu, Mas Ali kan yang nulis cerita ini.”
Ingin kupukul wajahnya ketika mengatakan itu. Tidak pernah
sebelumnya ia berani mengejekku seperti ini. Aku memang pernah bercita-cita
jadi cerpenis, tapi aku selalu gagal menulis cerpen yang baik sesuai selera
redaktur. “Saya bukan cerpenis. Saya cuma tokoh dalam cerita,” teriakku lantang.
Ari tersentak mendengar perkataanku. “Sudahlah daripada
berdebat ayo kita kunjungi Sumir. Dia itu orang paling pintar di kampung ini.
Dia bisa makan api.”
Aku mengikutinya ke rumah Sumir. Rumah Sumir tidak terlalu berbeda
dari rumah-rumah yang kutemui di Lelenggo ini. Rumahnya hanya gubuk berdinding bedek dengan tambahan sedikit triplek.
Tiang-tiangnya terdiri dari kayu tua yang telah reyot dimakan rayap. Sekali
saja gempa muncul, maka rumah ini akan rata dengan tanah. Rumah Sumir hanya
terlihat sedikit lebih baik dari gubuk Bugiali.
Tanpa menunggu dipersilahkan oleh tuan rumah, Ari masuk. Lalu
tanpa basa-basi ia bertanya, “Waq Sumir tahu tujuan kami kemari?”
Sumir mengangguk-angguk. Kumis bapang yang melintang di
atas bibirnya bergoyang. “Apa yang tidak ditahu orang pintar,” katanya menepuk
dada. “Silahkan duduk dulu.”
Kami pun duduk tepat di depannya. Kemudian Sumir bertanya, “Jadi
apa masalahnya?”
Aku tidak percaya dengan orang ini, bukannya tadi dia bilang
dirinya itu orang pintar yang tahu segalanya. Tapi aku lebih tidak percaya lagi
ketika Ari tidak mempermasalahkannya dan malah bercerita, “Begini Waq Sumir.
Saya sudah sebulan ini tidak bisa menulis satu cerita pun...”
Sumir meminta Ari berhenti. Tangannya seperti seorang
polisi yang hendak menyetop pelanggar lalu lintas. “Saya sudah tahu kelanjutan
ceritanya,” kata Sumir. Suaranya terdengar begitu berwibawa. Aku yang tadi
meremehkannya, kini mendengarkan dengan serius.
Sumir kemudian menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi di
seluruh penjuru negeri. Teman-temannya, sesama orang pintar, juga didatangi
oleh para cerpenis yang mengeluh kehilangan kemampuan bercerita. Ia menjelaskan
kepada kami bahwa kemampuan para cerpenis tidak hilang, hanya saja narator
mereka yang mogok bercerita.
“Mogok? Ada-ada saja, memangnya mereka buruh?” kataku tak
mampu menahan diri. Aku tidak percaya apa yang dikatakan Sumir. Terdengar
seperti lelucon yang tidak lucu. Buruh saja yang punya organisasi tidak berani
mogok, apalagi sekadar narator. Aku hendak pergi ketika Sumir dengan tiba-tiba menegaskan
nada bicaranya.
“Benar. Mereka mogok karena tuntutan mereka tak pernah dipenuhi.
Mereka capek membuat cerita tapi para cerpenis yang terkenal. Terus para
cerpenis juga tidak pernah memberikan bagian mereka dengan adil. Padahal ada
honor di setiap tulisan yang tayang. Mereka muak setengah mati karena merasa
diperlakukan seperti buruh yang diperas tenaganya tanpa upah yang layak.” Sumir
terus menjelaskan keluhan-keluhan para narator, seolah-seolah ia pernah bertemu
dengan mereka. Ia mulai terdengar seperti pengacara sebuah LSM yang peduli dengan
hidup para narator.
Aku membisu. Tak mampu aku membalas perkataan Sumir yang terdengar
seperti sihir. Aku tak bisa bergerak dan lanjut mendengar penjelasannya. Mendadak
aku mendengar suara tangis pecah di sebelahku. Aku menoleh. Kulihat Ari sedang
menangis tersedu-sedu. Aku sedih melihatnya menangis seperti itu. Apalagi aku
tahu kebenaran yang mungkin tidak diketahui Sumir. Tak mungkin juga para
cerpenis bisa membagi penghasilannya, ada keluarga yang menjadi tanggungan
mereka. Di saat mencari kerja semakin susah, upah kerja semakin murah, para
cerpenis masih berusaha menyisihkan waktu untuk menulis meskipun honor media sering
telat atau bahkan kadang tak ada sama sekali. Di tengah era transisi ini, di
mana media cetak satu persatu tumbang, dan media daring yang menggantikan belum
sanggup menyediakan honor yang layak, hidup para cerpenis sangatlah menyedihkan.
Aku ingin untuk sekali ini saja, ada satu, tidak perlu banyak; cukup satu saja
narator yang masih bersedia menjadi juru cerita, menceritakan penderitaan para
cerpenis. Siapa tahu nasib mereka bisa berubah. Siapa tahu masih ada yang
peduli. (*)