Narator yang Mogok Bercerita - Aliurridha

@kontributor 2/06/2022

Narator yang Mogok Bercerita

Aliurridha



 

Sudah empat minggu tiada satu pun cerpen yang muncul dalam rubrik sastra pelbagai media. Rubrik itu kosong melompong seperti layar monitor yang kutatap saat belajar menulis cerita. Sialan! Bisa-bisanya semua media serentak tidak menerbitkan cerpen. Padahal hanya cerpen yang bisa memberiku sedikit kesenangan dari sekian derita menjadi pekerja dengan upah yang tidak seberapa. Dengan membaca cerpen, aku seperti dibawa ke suatu ruang yang jauh dari bising kehidupan monoton, dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak pernah bisa kunikmati, dari pekerjaan yang kulakukan sekadar untuk bertahan hidup. Langsung saja aku keluar membawa koran itu dan membakarnya di depan rumah.

“Lihat tuh, gilanya kambuh.”

“Iya. Mungkin dia stres. Anak sudah dua, kerjaannya ndak jelas.”

Meski jaraknya lebih sepuluh kaki, aku bisa menangkap apa yang mereka percakapkan. Sejak aku menutup diri dari lingkungan yang gila, telingaku jadi lebih peka. Tapi aku tak mempedulikannya, aku tidak mau ambil pusing dengan apa yang dikatakan ibu-ibu kurang kerjaan. Lagi pula di tengah dunia yang menggila, dituduh gila merupakan sebuah pujian.

Sekarang, apa yang harus kulakukan?

Setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan untuk menghubungi seorang kawanku yang bekerja sebagai redaktur sastra sebuah media.

Dari redaktur itu aku tahu bahwa ternyata tidak ada seorang pun mengirimkan cerpen ke media tempat ia bekerja. Dan, dari redaktur itu pula aku tahu bahwa teman-temannya sesama redaktur mengeluhkan hal yang sama. Tidak hanya media cetak, media daring juga mengalami hal yang sama. “Fenomena ini telah mengglobal,” katanya. Aku betul-betul heran, bukankah media tidak pernah kekurangan dikirimi cerpen? Bukankah setiap hari selalu saja lahir orang yang bermimpi jadi cerpenis, mengirimkan cerpen mereka yang sekadar jadi demi mendapat predikat itu?

Rasa penasaran yang membibit di kepalaku tumbuh menyemak-belukar. Aku tak tahan lagi untuk menghubungi seorang cerpenis kenalanku. Aku cukup punya banyak kenalan cerpenis karena dulunya aku juga pernah bermimpi menjadi cerpenis. Namun aku sadar diri, hidup tidak pernah cukup dengan mimpi. Apalagi saat itu aku adalah seorang ayah yang sedang menanti-nanti anak keduaku lahir. Mimpi itu aku kubur, dan aku kerja serabutan demi dapur tetap ngepul.

“Datang saja ke Lelenggo,” kata temanku itu. Arianto Adipurwanto namanya. Mungkin kamu tahu atau pernah dengar. Ia hampir dapat Kusala Sastra lho. Hampir.

Aku langsung berangkat ke Lelenggo begitu Ari berjanji akan menjelaskan kepadaku fenomena ini.

***

Tiba di Lelenggo aku dibuat terpesona. Alam Lelenggo persis seperti yang digambarkan dalam cerita: hutan dengan pohon-pohon tinggi, diselingi kebun-kebun kopi merupakan lanskap yang dominan. Di kejauhan, aku mendengar samar suara air mengalir di Sungai Keditan. Di sepanjang jalan menuju lembah yang ditumbuhi pohon aren dan bambu, aku menemukan beberapa lelaki yang sedang asyik meneguk tuak berwarna merah muda dan membuat wajah mereka berwarna merah tua.

 “Kita mau ke mana ini?” tanyaku.

“Sudah kamu ikut saja,” kata Ari.

Aku tiba di sebuah rumah yang mungkin tidak layak untuk disebut rumah. Rasanya aku pernah melihatnya, tapi aku tidak ingat di mana. Miris sekali penampilan gubuk ini; sebuah gubuk yang terbuat dari anyaman daun kelapa yang mulai membusuk dan memiliki beberapa lubang yang dapat membuat seekor musang dengan mudahnya masuk untuk mengobrak-abrik isi rumah, atau mencuri segala yang ada di dalamnya. Tapi apa mau dicuri? Tiada apa pun di dalam sini selain bau busuk yang menyengat seperti bau bangkai kucing disiram tuak basi.

“Rumah siapa ini?

“Bugiali.”

“Bugiali?”

Aku senang sekali karena mendengar nama itu. Nama seorang tokoh dalam cerpen yang kubaca, tokoh yang membuatku terbahak sekaligus getir di saat bersamaan. “Dia masih tinggal di sini?”

“Dia sudah lama pergi. Siapa yang tahan tinggal di tempat ini,” kata Ari ketus. Ia yang biasa ramah, dengan bibir selalu berhias senyum dan setiap bicara diselingi tawa, kini bermuka masam; dan dalam setiap tuturannya terdengar nada sinis.

“Kamu sih membuatkannya tempat tinggal di gubuk seburuk ini,” balasku tidak mau kalah sinis.

Ari tidak membalas. Ia diam seperti orang linglung.

Aku bertanya-bertanya dalam hati, ke mana kira-kira perginya Bugiali? Mungkinkah ia mencoba peruntungan di kota? Mungkin saja ia mendengar dari orang-orang kampung kalau di kota banyak makanan. Mungkin juga karena sejak matinya Maq Kepaq, tidak ada lagi yang peduli padanya, tidak ada lagi yang mau membawakannya makanan. Kasian Bugiali, ia pasti tidak menyangka kalau yang dimaksud makanan itu adalah remahan sisa yang telah dibuang ke tong sampah. Tapi memangnya Bugiali peduli? Bukannya dia sudah kebal makan nasi basi?

“Terus kamu akan membiarkannya pergi begitu saja? Ndak kamu cari?”

“Biarlah. Lagian dia ndak mungkin cetak ulang.”

Aku tertawa mendengarnya. Meskipun nadanya masih sinis, rupanya ia belum kehilangan selera humornya. “Apa kamu tinggal di sini sekarang?”

“Tinggal di sini?” Ari terperangah. “Gila apa! Bugiali yang gila saja tidak mau tinggal di sini, apalagi saya.”

Kalau kamu saja tidak mau tinggal di sini, kok seenaknya membuat Bugiali tinggal di sini.

“Saya ke sini untuk mencari inspirasi,” kata Ari.

“Terus dapet inspirasinya?”

Ari menggeleng.

“Jadi gosip itu benar? Semua penulis kehilangan kemampuan bercerita.”

“Sepertinya benar. Mas Kiki saja tidak bisa menulis satu cerita pun, seperti ada kekuatan gaib yang mencuri kemampuannya.”

Aku ragu mendengar jawaban Ari. Cerita-cerita seperti itu kan cuma terjadi di cerpen. Kupikir itu terlalu mengada-ada. Ini pasti ada sebuah konspirasi cerdik antar para penulis cerita yang berjanji untuk bersama-sama tidak mengirimkan cerpen mereka sampai media menaikkan honor; atau mungkin juga ini adalah sebentuk protes terhadap media yang sering telat membayarkan honor.

“Kira-kira apa yang terjadi?”

“Saya ndak tahu. Tapi karena Mas Ali ngajak ketemu, ya saya ajak ke sini. Saya mau ketemu orang pintar yang tinggal di kampung ini.”

“Memangnya ada orang pintar di kampung ini?”

“Lah mana saya tahu, Mas Ali kan yang nulis cerita ini.”

Ingin kupukul wajahnya ketika mengatakan itu. Tidak pernah sebelumnya ia berani mengejekku seperti ini. Aku memang pernah bercita-cita jadi cerpenis, tapi aku selalu gagal menulis cerpen yang baik sesuai selera redaktur. “Saya bukan cerpenis. Saya cuma tokoh dalam cerita,” teriakku lantang.

Ari tersentak mendengar perkataanku. “Sudahlah daripada berdebat ayo kita kunjungi Sumir. Dia itu orang paling pintar di kampung ini. Dia bisa makan api.”

Aku mengikutinya ke rumah Sumir. Rumah Sumir tidak terlalu berbeda dari rumah-rumah yang kutemui di Lelenggo ini. Rumahnya hanya gubuk berdinding bedek dengan tambahan sedikit triplek. Tiang-tiangnya terdiri dari kayu tua yang telah reyot dimakan rayap. Sekali saja gempa muncul, maka rumah ini akan rata dengan tanah. Rumah Sumir hanya terlihat sedikit lebih baik dari gubuk Bugiali.

Tanpa menunggu dipersilahkan oleh tuan rumah, Ari masuk. Lalu tanpa basa-basi ia bertanya, “Waq Sumir tahu tujuan kami kemari?”

Sumir mengangguk-angguk. Kumis bapang yang melintang di atas bibirnya bergoyang. “Apa yang tidak ditahu orang pintar,” katanya menepuk dada. “Silahkan duduk dulu.”

Kami pun duduk tepat di depannya. Kemudian Sumir bertanya, “Jadi apa masalahnya?”

Aku tidak percaya dengan orang ini, bukannya tadi dia bilang dirinya itu orang pintar yang tahu segalanya. Tapi aku lebih tidak percaya lagi ketika Ari tidak mempermasalahkannya dan malah bercerita, “Begini Waq Sumir. Saya sudah sebulan ini tidak bisa menulis satu cerita pun...”

Sumir meminta Ari berhenti. Tangannya seperti seorang polisi yang hendak menyetop pelanggar lalu lintas. “Saya sudah tahu kelanjutan ceritanya,” kata Sumir. Suaranya terdengar begitu berwibawa. Aku yang tadi meremehkannya, kini mendengarkan dengan serius.

Sumir kemudian menjelaskan bahwa fenomena ini terjadi di seluruh penjuru negeri. Teman-temannya, sesama orang pintar, juga didatangi oleh para cerpenis yang mengeluh kehilangan kemampuan bercerita. Ia menjelaskan kepada kami bahwa kemampuan para cerpenis tidak hilang, hanya saja narator mereka yang mogok bercerita.

“Mogok? Ada-ada saja, memangnya mereka buruh?” kataku tak mampu menahan diri. Aku tidak percaya apa yang dikatakan Sumir. Terdengar seperti lelucon yang tidak lucu. Buruh saja yang punya organisasi tidak berani mogok, apalagi sekadar narator. Aku hendak pergi ketika Sumir dengan tiba-tiba menegaskan nada bicaranya.

“Benar. Mereka mogok karena tuntutan mereka tak pernah dipenuhi. Mereka capek membuat cerita tapi para cerpenis yang terkenal. Terus para cerpenis juga tidak pernah memberikan bagian mereka dengan adil. Padahal ada honor di setiap tulisan yang tayang. Mereka muak setengah mati karena merasa diperlakukan seperti buruh yang diperas tenaganya tanpa upah yang layak.” Sumir terus menjelaskan keluhan-keluhan para narator, seolah-seolah ia pernah bertemu dengan mereka. Ia mulai terdengar seperti pengacara sebuah LSM yang peduli dengan hidup para narator.

Aku membisu. Tak mampu aku membalas perkataan Sumir yang terdengar seperti sihir. Aku tak bisa bergerak dan lanjut mendengar penjelasannya. Mendadak aku mendengar suara tangis pecah di sebelahku. Aku menoleh. Kulihat Ari sedang menangis tersedu-sedu. Aku sedih melihatnya menangis seperti itu. Apalagi aku tahu kebenaran yang mungkin tidak diketahui Sumir. Tak mungkin juga para cerpenis bisa membagi penghasilannya, ada keluarga yang menjadi tanggungan mereka. Di saat mencari kerja semakin susah, upah kerja semakin murah, para cerpenis masih berusaha menyisihkan waktu untuk menulis meskipun honor media sering telat atau bahkan kadang tak ada sama sekali. Di tengah era transisi ini, di mana media cetak satu persatu tumbang, dan media daring yang menggantikan belum sanggup menyediakan honor yang layak, hidup para cerpenis sangatlah menyedihkan. Aku ingin untuk sekali ini saja, ada satu, tidak perlu banyak; cukup satu saja narator yang masih bersedia menjadi juru cerita, menceritakan penderitaan para cerpenis. Siapa tahu nasib mereka bisa berubah. Siapa tahu masih ada yang peduli. (*)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »