Puisi
sebagai Ibu
Joko Pinurbo
Segera setelah menunaikan tugas kodrati melahirkan anak, seorang ibu langsung mengemban tugas kemanusiaan yang mendasar. Bukan hanya menyusui dan membesarkan anak, melainkan juga menjadi guru pertama yang mengajari anak berbahasa dan mengenal dunia. Ibu juga buku pertama yang dibaca seorang anak.
Dalam tradisi yang dikendalikan oleh budaya patriarki, yang membebankan sebagian besar urusan domestik kepada perempuan, tugas dan peran seorang ibu menjadi lebih kompleks. Dialah yang mengatur dan menjamin ekonomi keluarga. Bahkan, seorang ibu yang karena satu dan lain hal secara de facto menjadi single parent, harus menjadi pencari dan penanggung jawab nafkah keluarga. Dalam kondisi apa pun, ibulah yang memelihara dan menjamin keberlangsungan hidup anaknya. Di malam mendidih, di siang perih/ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan/menampung segala, ringkih dan perkasa (sajak “Kukusan”).
Keterikatan seorang anak dengan ibunya tetap berlangsung meskipun si anak sudah dewasa dan mandiri secara fisik, material, dan intelektual, bahkan ketika ia sudah memiliki kehidupan sendiri. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ikatan batin seorang anak dengan ibunya berlangsung seumur hidup. Dari seorang pengasuh dan pendidik, ibu beralih peran menjadi motivator dan pemandu rohani. Perjuangan, kesabaran, penderitaan, kesetiaan, dan doa ibu menjadi sumber kekuatan dan referensi bagi seorang anak dalam mengarungi perjalanan hidupnya. Sumur di musim kemarau/airnya kutimba/ tak habis-habis (sajak “Pamudji”).
Ingatan akan sentuhan-sentuhan cinta ibu kadang bisa menjadi obat penahan lara meskipun sementara. Relasi batin antara seorang anak dan ibunya mengandung daya magis yang menguatkan, semacam obat ekstra. Setiap malam, aku tarik/selimut usang/dari masa lalu/hadiah ibu/di ulang tahun ketujuh (sajak “Ibu Rela”).
Satu poin lain yang menjadi pusat permenungan dalam himpunan sajak ini adalah keberadaan dan kedudukan ibu sebagai alamat pulang. Pulang barulah benar-benar pulang jika di dalamnya terjadi perjumpaan dengan sosok ibu. Kalaupun bukan secara fisik, ya pulang secara batin. Pulang berarti napak tilas kehadiran dan perjuangan ibu, menimba kembali kejernihan dan kekuatan darinya, menghidupkan ulang kegembiraan, memupus kesedihan. Ibu adalah alamat yang selalu dirindukan. Di halaman rumah ibu/aku mandi //agar jarum-jarum hujan/menjahit luka kepalaku//yang lama terbentur/tembok-tembok kota (sajak “Jarum-jarum Hujan”).
Itulah sebabnya, kata “ibu” mengandung banyak makna simbolik yang berkaitan dengan kampung halaman, asal usul, sumber, akar budaya, dan semacamnya. Bahasa Indonesia bahkan “memper-lakukan” ibu dengan istimewa, misalnya tanah air disebut ibu pertiwi, pusat pemerintahan negara disebut ibu kota, dan bahasa pertama yang dikuasai manusia disebut bahasa ibu. Setiap orang perlu selalu pulang kepada “ibu”-nya agar tidak mengalami disorientasi hidup.
Di masa pandemi Covid-19, masa diliputi banyak kehilangan, kesedihan, kebingungan, dan keterpurukan, ibu jugalah pihak yang paling banyak menanggung beban. Hanya dengan berpegang pada sipiritualitas keibuan, kita dapat bertahan dan tetap kuat menjalani hari-hari yang berat. Sajak “Mantra Pandemi”, meskipun tidak menyebut-nyebut ibu, merupakan kristalisasi dari semangat keibuan yang dihayati sebagai mantra atau doa cinta yang mengandung harapan. Kepada patah/beri kami sudah/kepada luruh/beri kami tumbuh/kepada hilang/beri kami sayang/kepada malang/beri kami tenang.
Tampaknya, oleh Emi Suy, puisi pun telah
dijadikan dan dimaknai sebagai ibu, sebagai alamat pulang, sebagai ruang
persinggahan. Puisi adalah rumah kecil, tempat untuk “menyusu”
kembali kepada sumber kekuatan dan daya hidup agar terselamatkan dari situasi
dan kondisi yang dirundung oleh kekacauan dan ketdakpastian. Di pangkuan ibu/aku kembali bayi
(sajak “Hening Kening).[]