Membaca dan Memaknai Perkembangan Peradaban melalui Puisi
Alhamdulillah, akhirnya buku antologi puisi LIMA TITIK NOL: Masyarakat Cerdas dalam Puisi telah selesai dan diterbitkan. Ide untuk membuat buku ini lahir dalam beberapa kali diskusi internal di komunitas Jagat Sastra Milenia maupun di berbagai forum diskusi tentang sastra yang membahas bagaimana sastra mampu mengikuti perkembangan zaman. Topik yang hampir sama juga menjadi tema Perayaan Puncak Hari Puisi Indonesia tahun 2021 yang lalu, di mana Jagat Sastra Milenia juga mendukung Yayasan Hari Puisi untuk menyelenggarakan acara tersebut, terutama terkait dengan seminar.
Gagasan tersebut kemudian dimatangkan dalam sebuah webinar yang diselenggarakan Jagat Sastra Milenia pada tanggal 6 Agustus 2021 bertajuk "Puisi dan Penyair dalam Era Masyarakat Cerdas (Smart Society) 5.0", dengan narasumber Fikar W Eda (penyair, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015, serta Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh 1995-2000), Maman S Mahayana (akademisi, kritikus sastra, Ketua Yayasan Hari Puisi, serta Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia), serta Riri Satria (pengamat ekonomi digital, Ketua Jagat Sastra Milenia, serta Pimpinan Umum SASTRAMEDIA.COM). Acara tersebut dipandu oleh Eka Ardhinie (Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Gunadarma).
Puisi adalah bagian dari dunia sastra, dan sastra adalah sesuatu yang besar. Ada hadiah Nobel untuk sastra, sama dengan ilmu Fisika, Ilmu Kedokteran, Ilmu Ekonomi, dan sebagainya. Betapa terhormatnya posisi sastra dalam peradaban manusia. Sastra sejajar dengan ilmu pengetahuan atau sains yang membentuk peradaban manusia. Dengan demikian, puisi beserta karya sastra lainnya adalah karya intelektual yang mengawal bahkan ikut serta membentuk peradaban. Jadi, tidak berlebihan dan tidak salah jika puisi juga perlu memotret masyarakat cerdas 5.0 melalui tangan dan pikiran para penyair, supaya perkembangan teknologi yang membentuk masyarakat cerdas 5.0 tidak kebablasan dan mengikis nilai-nilai kemanusiaan kita. Puisi menjaga kita tetap memiliki narasi kemanusiaan dalam kepungan teknologi.
Banyak yang mengatakan bahwa dengan perkembangan teknologi digital dan siber saat ini, aspek-aspek kemanusiaan mulai memudar. Ini diamini oleh banyak pakar dan budayawan. Namun Chris Skinner –penulis buku Digital Human- memandangnya dari sisi lain, di mana aspek kemanusiaan tidak memudar, tetapi bertransformasi menuju fourth revolution of humanity yang dikenal dengan istilah digital human. Chris Skinner memisahkan dua hal, yaitu antara nilai-nilai dasar kemanusiaan serta aspek-aspek teknis dalam kehidupan. Nah, nilai-nilai dasar seperti cinta kasih, kebersamaan, dan sebagainya, tidak akan hilang. Namun wujud teknisnya sehari-hari itulah yang mengalami perubahan. Misalnya kebersamaan atau gotong royong dalam meringankan beban sesama. Dulu dilakukan dengan mengumpulkan donasi atau barang-barang bantuan di balai desa, sedangkan saat ini dilakukan melalui crowdfunding dengan memanfaatkan media sosial. Prinsip dasarnya sama, hanya teknis operasionalnya yang berubah akibat perkembangan teknologi.
Setiap munculnya teknologi baru, pasti akan menimbulkan kegamangan atau anxiety dari para generasi yang merasa itu sudah bukan zaman mereka lagi. Ada perasaan takut tersingkir. Bahkan dulu di kampung saya di Padang, televisi sempat dianggap barang haram karena dianggap menjauhkan anak-anak dari masjid, karena sore hari disiarkan film kartun Scooby Doo bertepatan dengan jam anak-anak mengaji di masjid. Namun seiring berjalannya waktu, tatanan baru akan terbentuk, dan hal-hal baru menjadi sesuatu yang biasa. Dulu televisi membuat orang lupa waktu dan bisa berlama-lama duduk di depan layar kaca itu. Lama-kelamaan bosan juga dan ditinggalkan. Televisi sudah tak menarik lagi, maka, kini muncul internet. Kondisinya kurang lebih sama, tetapi pada akhirnya akan membosankan juga.
Nah, sejalan dengan pemikiran Chris Skinner, maka puisi dapat menjadi salah satu pengawal fourth revolution of humanity atau digital human tersebut, di mana nilai-nilai dasar kemanusiaan tidak mati, tetapi hanya bertransformasi dalam wujud lain menyesuaikan dengan perkembangan, yaitu era digital atau masyarakat cerdas 5.0.
Saya pribadi sangat bersyukur dan bahagia dengan adanya buku ini. Pada seminar Perayaan Puncak Hari Puisi Indonesia tahun 2021, sebagai salah seorang pembicara, saya menjelaskan bahwa terdapat 8 (delapan) dampak utama era 5.0 kepada dunia perpuisian dan kepenyairan, yaitu: (1) Berubahnya medium of delivery menjadi digital di samping media cetak kertas, (2) Topik karya yang semakin beragam termasuk era digital dan masyarakat cerdas 5.0, (3) Wujud puisi baru, yaitu hypertext poems yang tidak bisa disajikan dalam media kertas, (4) Munculnya puisi multimedia melibatkan teknologi digital, (5) Lahirnya algoritma kecerdasan buatan dan machine learning yang mampu membuat puisi atau computer-generated poetry, (6)Isu kurasi karya puisi yang semakin kompleks, (7) Membangun jejaring global untuk kemaslahatan bersama, serta (8) Puisi menjadi soul-guardian untuk sustainable development growth. Nah, setidaknya buku yang sedang Anda pegang ini menyentuh poin 2, 6, 7, serta 8.
Para kurator yang ditugaskan untuk mengevaluasi semua puisi yang masuk ke panitia penyusunan buku ini telah menyelesaikan tugasnya dengan baik pada akhir tahun 2021 yang lalu. Para kurator terdiri dari Fikar W. Eda (penyair, Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta 2013-2015, serta Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh 1995-2000), Khrisna Pabichara Marewa (penyair, cerpenis, novelis, esais, serta aktivis sastra), Sofyan RH. Zaid (penyair, kritikus sastra, pengurus Jagat Sastra Milenia, serta Redaktur SASTRAMEDIA.COM), Emi Suy (penyair, pengurus Jagat Sastra Milenia, serta Redaktur SASTRAMEDIA.COM), dan dibantu oleh Riri Satria (pengamat ekonomi digital, Ketua Jagat Sastra Milenia, sekaligus Pimpinan Umum SASTRAMEDIA.COM) sebagai konsultan evaluasi kesesuaian konten puisi.
Proses kurasi dilakukan dengan voting dari para kurator yang berjumlah empat orang, kemudian ditambah dengan pertimbangan dari konsultan kesesuaian konten. Sebuah puisi akan lolos kurasi apabila minimal tiga dari empat kurator menerima atau menyetujui. Jika kurang dari jumlah tersebut, maka puisi tersebut dikategorikan tidak lolos kurasi. Kami menyadari bahwa proses kurasi puisi memiliki unsur subjektivitas. Itulah sebabnya kami menggunakan sistem rating dan voting serta pertimbangan kesesuaian konten dari ahlinya. Proses seperti ini kami yakini dapat menekan subjektivitas tersebut.
Terdapat 165 puisi yang lolos kurasi dari 225 puisi yang masuk ke panitia. Hal yang menggembirakan adalah ternyata cukup banyak puisi yang mendapatkan persetujuan bulat dari keempat kurator dan juga memiliki kesesuaian dengan topik masyarakat cerdas 5.0. Ini menandakan bahwa penyair pun sudah mampu memotret fenomena masyarakat cerdas atau smart society 5.0 dengan baik. Catatan kurasi yang diberikan oleh Fikar W. Eda sebagai Ketua Tim Kurator dapat dibaca pada buku ini sebagai tambahan pengetahuan, pertimbangan, maupun bahan analisis.
Terima kasih kepada Tim Operasional penyusunan buku ini, Nunung Noor El Niel (Wakil Ketua Jagat Sastra Milenia sebagai Ketua Tim), Rissa Churria (Pengurus Jagat Sastra Milenia sebagai Sekretaris Tim), serta Dhe Sundayana Perbangsa (Pengurus Jagat Sastra Milenia sebagai Staf Perlengkapan dan Ekspedisi). Terima kasih kepada tim kurator Bang Fikar W Eda, Daeng Khrisna Pabichara Marewa, Syekh Sofyan RH Zaid, serta Emi Suy. Terima kasih untuk Prof. Teddy Mantoro, Guru Besar Ilmu Komputer Universitas Sampoerna sekaligus pencinta puisi, yang berkenan memberikan epilog untuk buku ini. Terima kasih untuk semua sahabat penyair yang menjadi kontributor buku ini.
Semoga buku ini mampu memberikan kontribusi kepada
dunia puisi khususnya,
serta dunia sastra pada umumnya di Indonesia terkait dengan bagaimana para
penyair membaca dan memaknai perkembangan peradaban, yaitu masyarakat cerdas
5.0.
Perubahan adalah suatu
keniscayaan
Peradaban manusia
maju karena perubahan
Namun, ada empat
sikap manusia terhadap perubahan
Ada yang pro, ada
yang kontra
Semua tergantung
sudut pandang mereka
Pertama, mereka
yang menolak perubahan:
Perubahan buat
mereka adalah ancaman
Entah itu ancaman
eksistensi, atau yang lainnya
Mereka mungkin
sudah mapan dalam zona nyaman
Mereka memberi
label bencana terhadap perubahan
Perubahan perlu
ditolak, perlu diwaspadai
Ada 1001 alasan
menolak perubahan
Malahan, mereka
berperang dengan perubahan
Ada yang menang,
namun lebih banyak yang kalah
Belakangan,
mereka mengeluhkan kehidupan
Bahkan mungkin
komplain kepada Tuhan
Kedua, mereka
yang hanya menyaksikan perubahan:
Angin perubahan
tak mereka tolak
Namun juga tak
memberi manfaat
Mereka tetap
seperti apa sebelumnya
Perubahan
bukanlah ancaman
Namun juga bukan
karunia apalagi anugerah
Perlahan, mereka
digulung oleh perubahan
Sehingga mereka
perlahan tersingkir
Perubahan jadi
ratapan dan air mata
Mereka sadar,
sedang terjadi perubahan
Mereka mungkin
ingin mengikuti gelombang
Namun tak ada
biduk apalagi kapal bersamanya
Mereka menanti
uluran tangan kita
Mengajak mereka
turut serta
Ketiga, mereka
yang mengikuti perubahan:
Mereka bahkan
mampu memanfaatkan perubahan
Mereka memasang
kincir ketika angin datang
Mereka siap dan
sadar dengan perubahan
Perubahan
memberikan nilai tambah kehidupan
Perubahan adalah
karunia dan anugerah
Mereka mampu
melihat sisi positif perubahan
Mereka tak
bersembunyi di balik 1001 alasan
Mereka sudah
menyiapkan kapal sejak lama
Untuk mengarungi
gelombang perubahan
Mereka visioner,
antisipatif, mempelajari masa depan
Keempat, mereka
yang menciptakan perubahan:
Mereka membuat
dunia tercengang
Mereka membentuk
peradaban
Mereka
menginginkan dunia menjadi lebih baik
Mereka tampil
dengan ide-ide cemerlang
Mungkin, tak semua
manusia sanggup memikirkan
Apalagi mengikuti
mereka untuk mewujudkan
Hari ini harus
lebih baik daripada kemarin
Hari esok harus
lebih baik daripada hari ini
Dan itu hanya
dilakukan melalui perubahan
Demikian sabda
alam yang dia pikirkan
Perubahan itu,
membentuk peradaban
Namun tak mudah
manusia menerima perubahan
Apalagi
menciptakan perubahan
Mental manusia
mengikuti kurva perubahan
Butuh waktu untuk
penyadaran
Tetapi, perubahan
tetap suatu keniscayaan
Karena dia
membentuk peradaban
Perubahan bukan sekadar
ingin berubah
Perubahan harus
membawa kemaslahatan
Perubahan harus
dibingkai kebaikan
Namun ada satu
yang tidak boleh berubah sampai akhir zaman
Itulah Cinta
sejati kepada Tuhan
kepada sesama manusia, dan alam
Terima kasih.
Bogor, 20 Februari 2022