Menulis Cerpen yang Bagus
Daruz Armedian
Pada suatu hari, Budi bangun pagi dan ia melihat jarum jam sudah menunjuk ke angka tujuh. Ia sadar telah telat berangkat ke sekolah.
Begitulah salah satu kalimat pembuka cerpen yang ingin sekali Tri hindari. Ia ingin menulis cerpen yang benar-benar bagus kali ini. Cerpen yang belum pernah ia karang sebelumnya, atau bahkan cerpen yang belum pernah orang lain karang.
Cerpen yang dimulai dengan kalimat ‘pada suatu hari’ adalah cerpen yang buruk menurutnya. Itu kalimat klise yang setara dengan ‘konon’, ‘pada zaman dahulu’, ‘dahulu kala’, ‘pada suatu pagi’, dan sejenisnya.
Sayang sekali jika ide ini dituliskan dalam bentuk cerpen yang jelek, pikirnya. Atau, kata jelek sudah keterlaluan, bolehlah memakai kata ‘kurang bagus’. Sayang sekali jika ide ini dituliskan dalam bentuk cerpen yang kurang bagus. Ide ini: menulis cerpen bagus. Dengan jalan cerita begini: ada tokoh bernama Budi. Budi adalah anak kecil yang tidak mengerti kenapa namanya sering disebut-sebut gurunya pada saat pelajaran Bahasa Indonesia. Budi yang tidak tahu kenapa ayah dan ibunya hilang secara misterius, tapi nama dan pekerjaan mereka sering diucapkan gurunya; ayah berangkat kerja dan ibu memasak di dapur. Kenapa laki-laki selalu identik dengan pekerjaan yang berada di luar rumah dengan ciri-ciri ada kata ‘berangkat’ dan perempuan selalu identik dengan pekerjaan di dalam rumah?
Tri punya punya rencana menulis cerpen berjudul ‘menulis cerpen bagus’. Masalahnya, ia kesulitan menulis kalimat pembuka cerpen itu. Beberapa kalimat telah ditulis dan akhirnya tetap ia hapus. Beberapa kalimat ditulis lagi dan akhirnya tetap ia hapus lagi.
Pendidikan adalah jalan terakhir untuk memajukan negeri ini. Budi termasuk murid di sekolah tingkat dasar. Sekolah adalah salah satu untuk menerapkan pendidikan itu. Budi digadang-gadang sebagai salah satu anak yang nantinya akan memajukan negeri ini. Budi adalah harapan bangsa yang gemah ripah loh jinawi tapi rakyatnya kebanyakan tetap miskin dan sengsara.
Kalimat-kalimat itu awalnya adalah paragraf pembuka cerpen yang ditulis Tri. Namun, ia menghapusnya lagi. Kalimat-kalimat yang dihapus itu baginya terlalu tidak masuk akal. Ah, tidak. Tidak. Maksudnya adalah kalimat-kalimat itu saling sengkarut. Tidak mengalir. Dan, toh, itu juga seperti pembukaan sebuah makalah yang ditulis mahasiswa baru yang tidak mau meng-copy-paste tulisan orang lain. Meskipun Tri bangga karena tidak melakukan copy-paste, ia tetap menghapusnya. Karena di samping itu, ia tidak bangga sama sekali dengan pembukaan cerpennya yang kurang menarik.
Secangkir kopi diaduk oleh salah satu pengunjung di kafe itu. Kafe yang gemerlap, penuh lampu-lampu, dan ramai, penuh pengunjung.
Pembukaan seperti itu juga ia hapus. Bagi Tri, sangat susah jika nantinya mengait-kaitkan kopi dengan Budi yang sedang berangkat ke sekolah.
Sebenarnya bisa saja itu ia lakukan. Semisal seperti ini: menceritakan terlebih dahulu tentang pengunjung di kafe yang sedang mengaduk kopi sambil mengingat masa lalunya. Waktu kecil, ia diberi nama Budi oleh seseorang yang ia sendiri tidak mengenalinya. Sampai menjadi dewasa, ia tidak paham kenapa guru Bahasa Indonesianya sering menyebut-nyebut namanya. Tetapi, akan sangat aneh jika cerpen itu jadi. Barangkali, ya, barangkali saja menurut kita, atau menurutmu, atau menurut siapa saja kecuali Tri, itu tidak aneh. Sayangnya, Tri berbeda pendapat dengan kita, atau denganmu, atau dengan siapa saja kecuali dia. Harusnya, jika Tri tidak punya pendapat yang berbeda, cerpen yang akan dikarangnya sudah selesai, bahkan sebelum cerita ini benar-benar selesai.
Pagi yang cerah. Burung-burung bercericit di balik daun-daun. Matahari muncul dari ufuk timur. Alarm dari mulut seorang nenek (yang biasanya mengatakan jam enam sebagai jam tujuh) berbunyi. Budi gelagapan. Tanpa gosok gigi dan cuci muka, ia berangkat ke sekolah.
Pembukaan ini juga dihapus oleh Tri. Apa yang ia harapkan sebenarnya tidak ada yang tahu. Ia muak dengan dirinya sendiri. Mengapa menulis kalimat pembuka dalam cerpen saja tidak becus.
Pada akhirnya, yang ia lakukan adalah mengingat masa lalunya. Masa di mana ia sangat produktif menulis cerpen. Dalam sekali duduk, biasanya ia bisa menulis satu cerpen. Cerpen-cerpennya pun bertebaran di koran setiap minggu. Ia, waktu itu, menulis tanpa memikirkan bagaimana cara membuat kalimat pembuka yang menarik dan alur cerita yang menarik dan ide cerita yang menarik. Ia, waktu itu, berpikir bahwa menulis adalah menulis dan tidak perlu memedulikan hal lain, sehingga setiap ingin menulis cerpen, ia bisa melakukannya saat itu juga dan menyelesaikannya saat itu juga.
Tahun ini adalah tahun-tahun kezaliman. Budi adalah bocah kecil yang terperosok ke tahun tersebut. Ia hidup seperti hanya untuk dibebani penderitaan demi penderitaan.
Lagi-lagi, Tri menghapusnya. Memang, menulis butuh konsentrasi. Tri merasa tidak melakukan itu saat ini. Barangkali, setiap mengetikkan huruf di keyboard, ia mengingat masa-masa yang antah berantah. Ia juga mengingat ide-ide yang seharusnya lebih baik dituliskan dalam bentuk hal lain, misalnya esai atau puisi atau opini, ketimbang cerpen.
Tri kesal. Ia mengambil bungkus rokok dan bertambah kesal karena di dalam bungkus rokok itu tidak ada isinya satu batang pun. Ia mengangkat cangkir dan bertambah kesal karena di dalam cangkir itu kopinya tinggal ampas. Seharusnya hal itu tidak perlu terjadi. Karena bagaimanapun, rokok dan kopi adalah peluntur kekesalan. Tri kesal. Ah, kenapa kalimat ini berulang? Tri semakin kesal. Jemarinya mengelus-elus keyboard, tidak memencetnya sama sekali. Tri memandangi microsoft word yang masih kosong, hanya ada judul: Menulis Cerpen Bagus. Sebagaimana penulisan judul yang benar, penulisan tiga kata tersebut diawali dengan huruf kapital.
Pagi, pada saat terbangun dari tidur, Budi menemukan dirinya berubah menjadi binatang jalang dari kumpulannya terbuang. Tetapi, Budi tidak perlu menyesali itu karena ia sadar bahwa dunia adalah benda-benda yang mudah retak dan kita berusaha membikinnya abadi.
Apakah Kafka, Chairil, dan Goenawan Mohamad akan marah jika aku membuat kalimat pembuka cerpen seperti itu, pikir Tri. Lagi-lagi, ia menghapus kalimat yang baru saja ia tulis.
Tri me-minimize microsoft word, membuka dokumen, membuka local disk E yang ia namai sebagai ‘ruang’, membuka folder ‘hiburan’ yang berisi ‘video’ dan ‘film’ dan ‘musik’, membuka folder ‘musik’ yang berisi ‘instrumen’ dan ‘lokal’ dan ‘barat’, membuka folder ‘instrumen’, memencet mp3 gugur bunga versi biola Idris Sardi. Kesedihan seketika turun di kepala Tri. Tri kembali membuka microsoft word dan mengetikkan sesuatu:
Wahai Tukang Cerita, ceritakan padaku tentang kesedihan.
Maka tukang cerita itu pun bercerita mengenai Budi.
Taik! Ini persis kalimat pembuka cerpen Seno, umpat Tri. Ia memencet ‘ctrl+A’ kemudian ‘delete’.
Kemungkinan besar, Tri tidak bisa menuliskan apa pun jika pikirannya masih seperti itu. Ia tidak segera sadar bahwa di dunia ini, kecuali kutipan-kutipan, apa yang tersisa? Harusnya ia setuju pada Borges. Tetapi, Tri menyangkal pendapat maestro Amerika Latin itu. Harusnya ada yang baru di dunia ini. Harusnya ada. Ya, harusnya ada.
Tri bangkit dari duduknya. Tri meninggalkan laptopnya. Tri melangkahkan kakinya ke arah pintu. Tri keluar rumah. Tri duduk di kursi beranda rumahnya. Tri memandangi bunga-bunga yang menguncup. Tri melihat lampu di jalan masih menyala kekuningan. Tri memejamkan mata. Tri membuka mata. Tri melihat ke langit. Tri melihat bulan. Tri melihat bintang-bintang. Tri jatuh cinta pada langit dan bulan dan bintang-bintang. Tri bangkit dari duduknya. Tri menuju pintu. Tri masuk rumah. Tri melihat jam menunjukkan angka tiga. Tri kembali duduk. Tri melihat laptop. Tri melihat micosoft word masih kosong. Tri mulai menulis kalimat:
Budi bangkit dari duduknya, melangkahkan kakinya ke arah pintu, keluar rumah, lalu duduk di kursi beranda rumahnya, memandangi bunga-bunga yang menguncup, melihat lampu di jalan masih menyala kekuningan, lalu memejamkan mata, lalu membuka mata, melihat ke langit, melihat bulan, melihat bintang-bintang, lalu jatuh cinta pada langit dan bulan dan bintang-bintang, lalu ia bangkit dari duduknya, menuju pintu, masuk rumah, melihat jam menunjukkan angka tiga dan menuju kamar tidur, merebahkan tubuh, memejamkan mata, dan kemudian terbangun dalam keadaan tergeragap karena melihat jam sudah pukul tujuh.
Lagi-lagi Tri menghapus paragraf itu. Matanya kosong, seperti dunianya yang juga kosong.[]
Kutub, 2018