Perjalanan Puitis - Riri Satria

@kontributor 3/15/2022

PERJALANAN PUITIS

Riri Satria



Poetry is a sociohistorical record of both facts and emotion 

(Rosemarie Dombrowski)


Pertama-tama saya mengucapkan selamat kepada Pak Sam (dan juga Ibu Tuti tentunya yang selalu mendampingi Pak Sam), atas terbitnya buku kumpulan puisi “Angin Senja di Tepian Telaga” ini. Sungguh suatu kehormatan buat saya ketika Pak Sam menghubungi saya untuk memberikan sebuah pengantar untuk buku kumpulan puisi ini. Seperti yang saya biasa saya lakukan, saya tidak akan membahas atau bahkan membedah puisi Pak Sam satu per satu, namun sekedar memberikan pengantar mengenai sosok Pak Sam supaya kita dapat menikmati puisinya dengan baik. Biarlah ulasan tentang puisi dilakukan oleh pakar yang lebih kompeten.


Puisi dapat menjadi rekam jejak sejarah sosial dan emosional, demikian Rosemarie Dombrowski, seorang Dosen Sastra di Arizona State University mengatakan pada tahun 2020 yang lalu. Kita dapat menyimak pernyataan lengkapnya pada situs resmi Arizona State University di internet. Berbeda dengan sejarah pada umumnya, yang hanya merekam fakta sosial, maka puisi juga dapat merekam fakta emosional, tentu saja apabila jelas waktu penulisan puisinya.


Saya sangat meyakini pendapat Rosemarie Dombrowski tersebut. Coba kita ingat puisi Karawang Bekasi karya Chairil Anwar, terlihat sekali rekam jejak sejarah sosial dan emosional. Dengan membawa puisi tersebut, kita terbawa ke dalam suasana perang tersebut, dan akhirnya menggugah kita betapa heroiknya pada pejuang kita di masa lalu bertempur melawan penjajah. 


Demikian pula dengan sejarah yang sifatnya personal, seperti perjalanan hidup seseorang. Puisi dapat dipergunakan sebagai media untuk menyampaikan fakta sekaligus emosional. Inilah yang dilakukan oleh Pak Sam dengan 61 puisinya dalam buku ini. Bagaimana Pak Sam mengisahkan kampung halaman di Pesisir Selatan, Sumatra Barat, merantau ke Jakarta untuk menempuh pendidikan, menjadi Sutan Betawi, dan akhirnya sampailah pada usia 61 tahun ini. Semua terekam dalam keseluruhan puisi dalam buku ini, baik fakta maupun emosional. Dalam puisi juga termaktub berbagai pengalaman batin yang dituangkan ke dalam tulisan yang menusuk kepada perasaan yang diperoleh dari dari observasi lingkungan, dialektika sosial, sesuatu yang dirasakan sendiri, dan sebagainya.


Setiap perjalanan hidup manusia itu pasti puitis, namun tidak semua orang mampu menuangkannya ke dalam teks puisi. Dengan latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya, Pak Sam tentu saja tidak menemukan kesulitan ketika harus menuangkan sejarah hidupnya yang terdiri dari fakta sosial dan emosional ini ke dalam teks puisi. Lalu semua puisi dapat kita nikmati bersama, dan akhirnya kita mampu memahami makna perjalanan dan perjuangan hidup seorang Sam Mukhtar Chaniago. Kisah-kisah puitis ini pasti akan memberikan inspirasi kepada banyak pihak yang membacanya, terutama keluarga besar Pak Sam (serta Bu Tuti tentunya), para mahasiswa, serta pencinta puisi lainnya, terutama generasi muda.


Pak Sam ingin menunjukkan kepada kita bahwa menulis puisi bukanlah sekedar menulis bait-bait kata, melainkan menuliskan sebuah perjalanan sejaran, yang tidak hanya sejarah, melainkan ada keterlibatan fakta emosional dalam perjalanan sejarah tersebut.


Jonathan Hart pada tulisannya berjudul “Between History and Poetry: The Making of the Past” pada tahun 2002 mengatakan bahwa, walaupun puisi memiliki unsur imajinasi yang kuat, namun sesungguhnya tetap ada fakta yang ingin disampaikan. Menurutnya, puisi itu pasti diilhami oleh fakta, walaupun mungkin fakta itu disangkal oleh si penulisnya. Dengan demikian, selalu ada benang merah fakta yang disampaikan puisi walaupun sudah dilabur melalui proses kreatif penulisnya, bahkan dicampur imajinasi. Namun, pesan moral puisi itu tetap terlihat, walau puisi yang baik itu tidak “mendikte” pembacanya. Pak Sam meyakini bahwa setiap pembaca puisi memiliki kemerdekaan untuk menginterpretasikan puisi tanpa diintervensi oleh si penulisnya. Walaupun demikian, pasti si penulisnya memiliki pesan atau gagasan yang disampaikan, tetapi dikembalikan kepada si pembacanya.


Demikian pula dengan 61 puisi Pak Sam dalam buku ini. Kita bebas menginterpretasikan dan memaknai sesuai dengan perspektif kita. Namun pasti degree of alignment atau derajat kesesuaian antara pesan yang ingin disampaikan si penulis dengan apa yang diinterpretasikan oleh si pembaca. Pada keselarasan ini pesan atau gagasan puisi, baik fakta sosial maupun emosional sampai kepada pembacanya. Dengan demikian, kita jadi memahami bagaimana perjalanan hidup Pak Sam, bagaimana gejolak emosinya pada berbagai peristiwa, bagaimana filosofi hidupnya, bagaimana memaknai hidup di masa tua sesuai dengan judul buku puisinya Angin Senja di Tepian Telaga, sebuah senja yang sangat menyejukkan, di tepian telaga.


Akhirnya, kembali saya mengucapkan selamat kepada Pak Sam (dan juga Ibu Tuti tentunya) atas terbitnya buku ini. Selamat menempuh usia ke-61 Pak Sam, tetap sehat, tetap semangat, tetap produktif, tetap bahagia, dan tetap membimbing dan menginspirasi para penulis yang lebih muda. Semoga senantiasa dikaruniai keberkahan oleh Allah SWT, Sang Khalik Pemilik Semesta Alam.


Bogor, 16 September 2021

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »