Puisi Antara Perasaan dan Pikiran
Wawan KurniawanMengapa Sully Prudhomme menjadi penerima nobel sastra pertama? Pertanyaan itu muncul beberapa bulan lalu setelah saya sempat mencoba mengumpulkan terjemahan para penyair yang mendapat hadiah nobel sastra. Di tahun 2001, Penerbit Bentang sempat menghadirkan Antologi Puisi Nobel yang berisikan karya dari para penyair pemenang Nobel Sastra mulai tahun 1913-2000. Lantaran dimulai pada tahun 1913 saja, nama Sully Prudhomme serta puisinya pun tidak ditayangkan. Hanya dimulai dari Rabindranath Tagore hingga Günter Grass. Buku itu juga digarap dengan melibatkan sejumlah penerjemah seperti Asrul Sani, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi W.M., Toety Heraty Noerhadi, dan beberapa nama lainnya. Akhirnya, saya kadang penasaran dengan beberapa nama penyair yang menerima nobel namun masih jarang dibicarakan, salah satunya Sully Prudhomme.
Sebelum mencoba menjawab ini, saya mengingat suatu malam di café Dialektika saat tengah menjadi pengisi kelas menulis puisi. Saat itu pesertanya tidak banyak, namun cukup untuk membuat diskusi dan melahirkan sejumlah pertanyaan yang menarik tentang menulis dan puisi. Salah satu pertanyaan yang saya ingat, adalah apakah puisi cukup ditulis dengan perasaan saja?
Di luar dari kelas yang berlangsung malam itu, pertanyaan serupa sering kali muncul dan kadang menjadi jebakan bagi beberapa orang. Di kesempatan lain, saat saya menjadi peserta kelas menulis puisi, saya mendengar seorang pembicara mengatakan, jika puisi adalah “puncak perasaan”. Saya terus mengingat dua kata itu untuk memahami puisi. Beberapa penyair tentu saja ada yang berhasil jika modal perasaan, namun kadang kala apa yang dia miliki itu bukan sekadar perasaan. Namun bercampur dengan pengalaman dan pemaknaan yang dia rasakan dalam menjalani hidup. Sayangnya, saat dipahami oleh beberapa penulis pemula, perasaan kadang hanya menjadi fokus utama tanpa mempertimbangkan hal lain. Bahwa perasaan tidak seutuhnya mengantar seseorang pada penciptaan puisi yang baik.
Saya pada akhirnya berpikir, bahwa puisi bukanlah sekadar perasaan belaka. Puisi menyimpan kerja-kerja akal, pikiran yang mendalam dan tidak hanya berpusat pada perasaan. Tentu saja, butuh waktu yang tidak singkat untuk memahami persoalan tersebut. Rangkaian peristiwa ini, kemungkinan bisa ikut terjawab dari pertanyaan awal yang ada di pembuka tulisan ini. Saya menemukan dan mencoba menghubungkannya, barangkali tidak sepenuhnya tepat. Namun dengan cara ini, saya mencoba untuk memahami kembali puisi yang saya pelajari selama ini.
Pada tahun 1861 Sully bergabung dengan sebuah kelompok sastra “Conférence La Bruyre”, sebuah perkumpulan mahasiswa yang kemudian menerima serta menghargai puisinya dan menjadi batu loncatan untuk karir sastranya.
Setelah buku puisi pertamanya terbit, yang berjudul Stances et poèmes, Sully cukup mendapat sambutan dari pembaca dan kritikus. Namanya mulai dikenal dan membawanya berkunjung ke berbagai tempat.
Salah satu alasan mengapa Sully Prudhomme menerima nobel sastra tahun 1901 itu adalah karena bentuk apresiasi atas kemampuannya dalam menciptakan puisi yang menyeimbangkan antara perasaan dan pikiran. Sebuah keterampilan seni yang begitu artistik yang tergambar dalam puisi-puisinya. Dia juga dikenal atas keinginannya membuat scientific poetry yang mampu menjabarkan zamannya. Sully pernah menerima gelar sarjana muda (semacam diploma) dalam bidang sains. Meski pada akhirnya bergelut di bidang sastra. Hal ini juga yang membuatnya lebih peka dengan temuan ilmiah dan membantunya dalam berkarya.
Buku puisi pertamanya pun diilhami oleh sebuah pemikiran atas alam yang berdasarkan sains, yang bermula dari perhitungan ilmiah, tentang bintang yang begitu jauh dari planet kita sehingga cahayanya telah menuju kita sejak ribuan abad lamanya dan suatu hari akan terlihat oleh mata orang-orang di masa yang akan datang. Tidak hanya itu, pemikiran ilmiah dari Sully diimbangi dengan kepekaan perasaannya yang ekstrem, melankolis, dan dipengaruhi oleh kesenangannya bermeditasi.
Sayangnya, tidak banyak puisi atau bacaan yang membawa kita untuk mengenal karya dari Sully. Kita masih terbatas untuk mengenal dan membacanya. Saya sendiri, melalui tulisan ini, berutang pada sebuah buku yang berjudul “Peomas” dalam bahasa Spanyol, di mana dalam buku itu, ada sedikit pengantar tentang Sully. Beberapa daftar bibliografi Sully dapat ditemukan di wikipedia, beberapa puisinya juga terbatas namun masih ada beberapa yang dapat kita akses.
Namun setidaknya, saya belajar dari Sully bahwa puisi menjadi sebuah upaya yang tidak mudah untuk menghubungkan antara perasaan dan pikiran. Dua hal yang kadang bertentangan dan di dalam puisi, mereka berdua melebur untuk mengungkapkan atau menyampaikan hal-hal secara tulus dari apa yang seorang penyair miliki.
Jika pada akhirnya saya kembali ditanya tentang puisi dan perasaan, saya barangkali punya jawaban yang berbeda lagi. Tapi dalam perjalanan saya menulis, puisi tampak hadir sebagai lintasan yang mengarahkan kita pada penemuan diri yang sebenarnya. Bahwa dengan puisi, akan selalu ada pertentangan atau konflik menghadapi diri yang kadang kerap berterus terang hingga senang menipu diri sendiri. Barangkali puisi melemparkan tali kepada saya, yang tengah berusaha lepas dari dunia yang ingin menenggelamkan pikiran dan perasaan saya secara bersamaan.