Tulang Punggung yang Retak
Daviatul Umam
Siapakah orang paling beruntung di dunia? Tidak perlu penelitian. Saya sangat yakin, Bapak sayalah jawabannya.
Tidak ada yang menyamai apalagi melebihi keberuntungan Bapak. Bahkan, saya kira, ia tidak pantas hidup berlama-lama di dunia. Dunia tidak layak menampung orang yang seberuntung ia. Saya berharap, teroris segera sadar, menyerang rumah ibadah bukan jalan jihad yang tepat. Alangkah baiknya jika mereka menemui dan memeluk Bapak, dan di waktu yang bersamaan bom bunuh dirinya meledak. Dengan begitu, mereka akan cepat sampai ke tempat yang mereka idam-idamkan. Dan Bapak pun bakal lebih bebas di Sana, sebebas-bebasnya.
Sebenarnya Bapak cuma orang biasa. Yang membuatnya sangat beruntung semata-mata adalah kebebasannya menjalani kehidupan. Dari saking bebasnya, ia tidak acuh istri dan anaknya harus makan apa. Tidak mau tahu betapa sukarnya Ibu memikirkan uang belanja yang tidak pernah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga keliling pagar tetangga selalu menjadi satu-satunya jalan keluar. Selain itu, tidak tanggung-tanggung, enam toko di sepanjang jalan desa, dari ujung ke ujung pernah jadi langganan Ibu memohon belas-kasih. Setiap toko akan berhenti memberi pinjaman ketika Ibu sudah tidak bisa dipercaya lagi.
Bapak juga tidak peduli masa depan saya akan seperti apa. Seolah-olah setelah pendidikan saya putus di tengah jalan, saya sudah lepas total dari tanggung jawabnya. Mungkin menurut Bapak, seharusnya saya bisa mandiri. Mencari lowongan kerja bermodal ijazah MTs., atau merantau ke luar kota sebagaimana anak-anak putus sekolah kebanyakan.
“Baiklah. Mungkin memang sudah waktunya saya tidak bergantung lagi sama orang tua,” suatu saat saya membatin.
Akhirnya saya mencari lowongan kerja bersama teman saya, Rahman. Kami berangkat ke kota membawa beberapa berkas persyaratan berjumlah rangkap. Kami datangi kafe, restoran, toko mainan hingga dealer motor, sesuai alamat yang tertera di poster info lowongan kerja yang kami dapatkan dari grup-grup Facebook. Sayangnya, berbeda dengan Rahman, saya tidak punya cukup persyaratan, semisal: minimal lulusan SMA, punya motor sendiri, punya SIM C. Sebetulnya hal itu sudah saya ketahui sejak awal, tapi saya tetap nekat berbekal jurus ‘siapa tahu’. Hasilnya, nihil. Persyaratan tidak bisa dinegosiasi.
Lama-lama saya memutuskan pergi meninggalkan kampung halaman. Bersama teman saya yang lain, Iip, saya merantau ke Depok, bekerja sebagai buruh penunggu toko kelontong. Setelah genap empat bulan di sana, kami pulang kampung. Sebagian kecil dari hasil kerja saya digunakan buat kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar saya habiskan untuk beli sepasang kambing bunting. Tapi sebulan kemudian, dua kambing itu saya jual buat biaya acara pertunangan saya. Sama sekali tidak ada campur-tangan Bapak dalam membiayai acara itu.
Habis terang terbitlah gelap. Rupanya sebuah rumah tanpa sepeser uang di dalamnya membuat rumah itu mirip kuburan. Penghuninya serupa mayat hidup tak punya tujuan. Begitulah keadaan kami suatu hari. Pikiran buntu, sumpek sekaligus dongkol, tapi tidak tahu harus marah sama siapa. Satu-satunya orang yang paling patut disalahkan, ya Bapak. Namun Ibu cuma bisa mengeluh lirih, sesekali terisak. Bapak sendiri tidak mau ambil pusing, walaupun ia juga terlihat bingung mau mengganjal perutnya dengan apa hari itu.
Esoknya, sehabis salat subuh Ibu tampak sibuk di dapur. Tidak biasanya ia menyalakan tungku sedini itu. Saya menangkap gelegak minyak goreng. Penasaran, saya beranjak menghampirinya. Ternyata Ibu menggoreng telur. Saya perhatikan sebuah lincak di mana alat-alat dapur tertata tidak begitu rapi. Ada panci besar mengepul di sana. Saya tengok, panci itu berisi bubur. Seketika dada saya terasa jauh lebih panas dan hancur dari bubur itu. Sebab saya paham, tidak mungkin bubur sebanyak itu hanya untuk sarapan kami bertiga.
Kesedihan plus kekesalan saya memuncak. Sedih atas apa yang Ibu lakukan. Dari mana ia mendapat pinjaman uang? Di mana ia akan berjualan? Apa kata orang-orang nanti? Sejurus saya bayangkan mulut sepupu Ibu, mulut seorang kerabat di belakang rumah, juga mulut seorang tetangga yang terkenal dengan julukan burung kutilang. Saya pastikan Ibu bakal jadi bahan gunjingan yang amat nista, berhubung Ibu akan berjualan dengan menggunakan tangan kirinya saja, karena tangan kanannya tidak berfungsi normal akibat pengaruh stroke.
Di sisi lain, saya juga kesal sekali pada diri saya sendiri, lebih-lebih sama Bapak. Saya mempertanyakan kedewasaan saya. Saya mempertanyakan posisi Bapak sebagai tulang punggung keluarga.
Lain halnya Bapak. Begitu tahu kalau Ibu hendak jualan bubur di depan toko Hajah Rismaniyah, ia langsung marah-marah. Ia tidak mencoba menghalangi Ibu. Tapi ia mengata-ngatai Ibu terus-menerus. Katanya, Ibu tidak tahu diri, tidak tahu malu. Ibu pun menyahut sekenanya. Mendengar percekcokan itu lubang kuping saya bagai ditetesi timah. Hati saya tertusuk puluhan jarum. Lalu saya bergegas pergi. Hampir seharian saya meratap di bawah pohon jati, di sisi pusara Nenek.
Beberapa hari kemudian, kesuraman rumah kami berangsur sirna. Wajah kami mulai berseri. Di samping bubur jualan Ibu terbilang laris, Bapak ikut jadi makelar pembelian tanah atas bantuan saudaranya. Tak jarang Bapak mengajak saya mendatangi rumah-rumah penduduk, membujuk agar lahannya dijual. Saya tahu betul, Bapak memang ahli di bidang ini.
“Tambah tahun bertani makin ruwet. Hasil panen tidak seberapa dibanding modalnya. Belum lagi pengerjaannya yang sangat berat.”
“Ketimbang terus merugi, mending dijual saja. Kemarin, milik Moto yang cuma ‘sejengkal’ laku lima belas juta.”
“Sekarang, orang-orang yang punya toko di Jakarta-lah yang berkembang pesat. Petani dan peternak tinggal tulangnya.”
“Hampir semua lahan di bandungan sudah terjual. Nantinya, lahan-lahan itu akan dipagari kawat berduri. Seandainya ada orang yang tetap mempertahankan lahannya, mau lewat di mana coba kalau dia mau berladang?”
Kira-kira begitulah kalimat-kalimat rayuan Bapak supaya warga yang ditemuinya mudah melepas lahannya. Alhasil, rayuan itu manjur sekali. Dalam sehari, 5-7 pemilik lahan tersangkut kail Bapak. Setiap transaksi beres, otomatis Bapak memperoleh upah dari kedua belah pihak. Tak segan-segan, ia akan menagih tambahan upah itu kalau-kalau ada pihak penjual yang memberi upah di bawah target minimum. Mengenai target ini tentu Bapak sendiri yang menentukan. Hanya saja tidak dipaparkan secara terang-terangan. Itulah barangkali salah satu makna kebebasan baginya.
Belum habis terang, cahaya selanjutnya lekas menyusul. Kabar menyenangkan itu menyeruak dari laut. Ikan-ikan sudah kembali didapat dalam jumlah timbangan yang sangat besar, setelah sekian bulan para nelayan mendekam dalam ketidakpastian. Juragan Bapak datang ke rumah, meminta kesudian Bapak agar kembali bekerja sebagaimana mestinya. Namun, secara halus Bapak menolak. Terus terang saja ia bilang masih sibuk dengan pekerjaannya yang baru.
Berpekan-pekan kemudian, cahaya di rumah kami kembali surut. Keceriaan di wajah kami memudar. Sudah tidak ada lagi warga yang bisa Bapak datangi untuk dibujuk. Jatah wilayah yang dipasrahkan atasan kepadanya sudah habis. Ibu juga sudah berhenti jualan bubur. Kata Ibu, pembeli terus berkurang tiap harinya. Sempat bertahan dalam ‘kesepian’ itu, tetapi Ibu menyerah juga akhirnya.
Kami menganggur, meski sebetulnya masih ada kesempatan bagi Bapak. Tiga kali juragan perahu yang sedari dulu Bapak tumpangi, datang ke rumah kami. Tapi Bapak tetap menolak tawarannya. “Buang-buang tenaga saja,” gerutu Bapak setelah si juragan pulang, “Mending ke Jakarta.”
Belakangan, Bapak lebih sering tidur, bahkan di pagi hari sekalipun. Setiap kali Ibu menegur, Bapak pasti membalasnya dengan bentakan. Setiap kali Ibu menyinggung pekerjaan, Bapak selalu naik pitam dan ujung-ujungnya mereka bertengkar. Tatkala pertengkaran mereda, tak lupa Bapak menyebut-nyebut Jakarta.
Memang, empat tahun terakhir, orang-orang di kampung kami kian semangat berbondong-bondong merantau ke Jakarta, jaga toko kelontong di sana. Sebagian merintis sendiri, sebagian lain jadi buruh. Penghasilannya pun meningkat drastis sebagaimana yang saya alami. Tak heran, tiap hari Jakarta selalu menjadi buah bibir. Toko kelontong selalu dibanding-bandingkan dengan pekerjaan lain.
Namun, tidak memungkinkan bagi Bapak dan Ibu mengikuti arus. Keduanya tidak bisa baca-tulis, berbahasa Indonesia, juga ‘memencet’ kalkulator. Sejak mula saya mengerti, ketika Bapak menyebut-nyebut Jakarta, sebenarnya itu ditujukan pada diri saya supaya kembali merantau.
Merasa ucapan Bapak adalah sindiran keras, saya pun pergi ke ibu kota bersama Sufyan, adik tunangan saya. Saya bertekad kuat untuk bekerja lebih lama di perantauan. Mungkin satu tahun atau lebih. Dan syukurlah, juragan saya menyetujui, lebih tepatnya membantu dan mendukung saya untuk mewujudkan impian saya, yang tak lain ingin mengurangi kerutan di kening orang tua. Sedangkan Sufyan juga tidak keberatan. Katanya, dia ingin mengumpulkan uang yang banyak agar bisa beli motor.
Tiap bulan, saya mengirimkan sebagian gaji saya ke kampung. Saya gembira sekali mendengar cara bicara Ibu di telepon yang kian bergairah tanpa beban. Di lain waktu, tidak dapat saya pungkiri, justru sayalah yang merasa terbebani. Ibu kerap mengeluhkan uang kiriman dari saya. Kebutuhan makin banyak, tuturnya. Bukan cuma buat makan. Melainkan juga untuk keperluan yang lain: lalabat, tetele’, nyapot reng sake’, tompangan ghabay, otangnga nangghala’an, dll. Kendati berat hati, tangan saya tetap terbuka untuk segala macam keluhannya itu. Cuman, yang tak habis saya pikir, di mana peran Bapak?
Setahun kurang lima belas hari di rantau, saya dan Sufyan lantas pulang. Keinginan Sufyan terkabul, dia bisa beli motor dari hasil keringatnya sendiri. Sementara saya, membawa sisa uang gajian yang saya kira cukup untuk kebutuhan keluarga dua bulan ke depan serta bekal persiapan nikah. Tapi nyatanya, sesuatu terjadi di luar perkiraan. Uang modal nikah pun ludes buat biaya perawatan Ibu selama tujuh hari di rumah sakit. Penyakit stroke itu kembali menyerang. Saya cuma bisa menghela napas dan mengelus dada. Yang penting Ibu sembuh, saya masih punya kesempatan membuatnya bahagia dan ia masih bisa mendoakan saya di setiap sujudnya.
Lain cerita soal pandangan saya terhadap Bapak. Saya anggap ia sudah tiada. Maka saya tidak butuh doanya. Biarpun beberapa kali ia mengatakan bahwa selama aku di Jakarta, ia tidak pernah absen mendoakan saya tiap usai tahajud. Saya tidak butuh. Saya tidak acuh. Saya abaikan saja bualannya walaupun saya tahu ia memang tekun bangun larut malam. Sepulang dari merantau, acapkali saya mendapati Bapak tengah berzikir di langgar, di saat saya hendak salat subuh. Aneh. Sebab, sebelumnya, jangankan tahajud, salat jumat pun ia enggan.
Bapak juga sudah rajin salat jumat. Rajin pula salat berjamaah magrib dan isya di masjid. Saya menduga, ia mengamalkan cuplikan ceramah Ustaz Didik Santoso yang sedang naik daun di Youtube, “Barang siapa yang mengejar dunia, niscaya ia akan mendapatkan dunia saja. Barang siapa mengejar akhirat, niscaya dunia dan akhirat sama-sama ia dapat. Ibarat kita menanam rumput, ya kita akan mendapatkan rumput itu saja. Kalau kita menanam jagung, jagung dipanen, rumput pun diangkut.”
Lebih dari itu, Bapak sering membangga-banggakan ibadahnya di depan orang-orang terdekat. Seakan ibadah yang ia laksanakan dengan istikamah merupakan kerja kerasnya demi meraup rezeki. Rezeki yang barangkali bakal turun langsung dari langit sebagaimana Tuhan memenuhi doa Nabi Isa.
Saya kasihan sama Ibu. Ibu tidak pernah lagi menegur Bapak. Bapak tidak pernah menghiraukan omongan tetangga. Tetangga tidak pernah jenuh membicarakan keluarga kami. Keluarga kami yang seolah terbentuk dari sebuah peribahasa: berakit-rakit ke hulu, berakit-rakit lagi ke tepian.
Yogyakarta, 2022