Warisan Buah Kandung
Beri Hanna
SETELAH beberapa waktu menghilang dari dusun, Bakung Tapah yang ditemukan duduk termenung pada sebuah batu menghadap sungai, tak bisa mengelak untuk dinikahkan dengan Juma Hili—si perempuan bisu—sebagai penebus utang adat lima puluh babi almarhum bapak-nya.
Beda halnya dengan yang tertulis dalam kitab Zend, bahwa bulan pertama pernikahan adalah bulan madu(1), yang dirasakan Bakung Tapah sejak hari pertama pernikahannya hanyalah kutukan berkepanjangan.
Bukannya tak ingin menggarap tubuh model buah jambu yang lebar di pinggul itu, hanya saja Bakung Tapah benar-benar tidak bisa melakukannya. Meski berkali-kali Juma Hili tampak hendak memulai dengan mengatup-ngatupkan bibirnya seolah mendesiskan kata Bapak, Bakung Tapah malah menangis, menahan sengsara.
Semua berawal dari cerita amat memalukan saat Bakung Tapah buang air besar setelah menyaksikan kematian di depan matanya. Seekor ular yang dikiranya akar pohon beringin telah menggigit batang kelaminnya sesaat tinja tergantung di duburnya. Dengan cepat bisa ular menjalar, membuat kelaminnya menghitam. Bakung Tapah panik. Dengan wajah yang sontak putih memucat, ia berlarian mencari pertolongan. Sempat ia melihat beberapa orang dusun, tetapi timbul keraguan saat hendak menghampiri.
Bakung Tapah memilih lari ke hutan, mencari batu berwarna putih, memukul-mukul bagian yang terkena gigitan tadi—entah dengan maksud apa, mungkin semacam usaha menangkal bisa ular yang entah dipelajari di mana. Setelah beberapa kali memukul hingga kelaminnya berdarah, Bakung Tapah memutuskan untuk menghilang dari dusun.
Lantaran ia merasa sudah tak memiliki tujuan hidup, terpikirlah olehnya untuk bunuh diri. Bakung Tapah menggantung dirinya di pohon, menghanyutkan diri di arus sungai, melompat ke jurang, sampai menetak-netak lehernya dengan senjata tajam, hasilnya nihil. Bakung Tapah sakti—mungkin sebab bisa ular yang telah meresap di tubuhnya.
Sambil memikirkan susahnya bunuh diri, teringatlah ia tentang dosa besar yang ia lakukan kepada Maringin Madu—adik Juma Hili—perempuan yang sering ia garap paksa di kandang babi bapak-nya. Ia sering mengancam akan membunuh Maringin Madu jika memberi tahu orang. Pada kenyataannya, memang benar, Maringin Madu tak pernah membuka mulut.
Seusai digarap oleh Bakung Tapah, dengan ragu Maringin Madu menyampaikan berita kehamilannya dan berita tentang bapak Bakung Tapah yang sering datang malam hari ke rumah. Bakung Tapah sontak berang, caci maki keluar dari mulutnya. Karena Maringin Madu melawan dan terus mengatakan semua itu benar, Bakung Tapah tak tahan, gelap mata berujung tamparan dan tendangan.
“Jangan tuduh bapak-ku main cinta denganmu,” teriak Bakung Tapah.
Bukan hanya Maringin Madu yang menjadi takut sekaligus menahan sengsara amukan Bakung Tapah, kawanan babi yang semula memandang seolah paham perkara pun mulai terganggu dan merasa terancam.
Maringin Madu yang terus memohon ampun atas amukan Bakung Tapah tampak menyesal telah mengatakan hal yang mungkin tidak perlu ia katakan, atau barangkali perlu, hanya saja tidak pada waktu yang tepat. Bakung Tapah yang terlanjur panas serta gejolak amarah meronta-ronta dari dalam tubuhnya, merasa perlu berbuat sesuatu yang akan membuat Maringin Madu trauma mendalam, agar ia tak lagi mengulang kesalahan.
Lantaran tidak membawa senjata tajam, pecut babi, senapan, atau senjata sejenis yang dapat menyakiti, Bakung Tapah melihat batu dan langsung mengambilnya untuk mengancam akan dijatuhkan ke perut yang dikatakan mengandung itu.
Dalam tangisan dan rasa takut akan batu yang hendak dijatuhkan Bakung Tapah, Maringin Madu bersumpah tidak akan mengulang kesalahannya dan tidak akan membicarakan apa pun tentang kehamilan dan bapak Bakung Tapah. Ia juga bersumpah bersedia menjadi bisu, seperti kakaknya.
Mendengar itu, Bakung Tapah lega dan luluh. Saat ia membuang batu dengan lemparan kuat ke arah yang lebih dekat ke kawanan babi, Maringin Madu melihat celah yang tak mungkin bisa terulang. Dengan sekuat tenaga ia berdiri lalu lari, tanpa melihat dari arah berlawanan seekor babi dari kawanan itu merasa ancaman datang lantas menyeruduk Maringin Madu hingga terpental.
Bagai sebuah durian yang jatuh dari batang pohon, Maringin Madu tergeletak lemah sambil membuang napas terakhir. Bau durian menguar dari kulit yang terbuka, rohnya bagai melayang ke angkasa. Sementara Bakung Tapah yang memucat, melarikan diri untuk bersembunyi.
Beruntungnya, rahasia persetubuhan tidak terbongkar. Orang-orang menganggap kematian Maringin Madu sebagai kecelakaan, kesalahan bapak Bakung Tapah yang lalai mengurus babi. Itu sebabnya bapak Bakung Tapah bertanggung jawab membayar lima puluh babi sebagai ganti nyawa. Sesaat dituntut untuk membayar, sakit jantung menyerang, bapak Bakung Tapah meninggal.
Tak ada jalan selain merampas babi-babi tanpa tuan itu. Setelah dihitung tak sampai lima puluh, masyarakat mengamuk, kandang babi dirobohkan.
“Ke mana kita cari babi yang kurang?” tanya salah seorang.
“Ke dia punya anak, dia harus bayar kurang babinya!”
“Utang adat perlu dibayar!”
Mereka mencari keberadaan Bakung Tapah, mulai di sekitar kandang babi yang telah roboh sampai ke gubuk dan semak di sekitarnya. Merasa tak ada tanda, mereka menerobos hutan, menaiki bukit dan menyeberangi sungai, barulah Bakung Tapah ditemukan.
“Jangan pernah kaulari dari masalah adat, Bakung Tapah!”
“Ini tidak main-main. Tujuh belas ekor babi yang kurang untuk membayar nyawa anak kami!”
Bakung Tapah yang diam diseret ke tengah kampung untuk dipermalukan bersama tiga puluh tiga ekor babi. Ia dipertontonkan seperti babi yang bernomor lima puluh. Namun, orang kampung tak puas di sana. Mereka menuntut babi hidup yang benar-benar seperti babi.
“Mustahil,” kata seorang.
“Ia tidak punya babi.”
“Kita tahu dia tidak punya babi, maka ia perlu membayar dengan cara lain!”
“Cara seperti apa?”
“Menghidupi salah seorang anggota keluarga sebagai tanggung jawab nyawa.”
Atas keputusan seperti itu, Bakung Tapah tidak dapat menolaknya.
Kini, memandang Juma Hili, Bakung Tapah seperti memandang Maringin Madu. Ia sadar, putusnya batang kelamin adalah kutukan atas dosanya sendiri. Oleh sebab itu, ia sering berdoa dalam hati, semoga dengan pernikahan ini ia diampuni.
Namun, kutukan tak sampai di situ. Belum habis bulan pertamanya, sesuatu seperti angin seolah meniup perut Juma Hili hingga menggunduk. Bakung Tapah tak bisa marah atau mencurigai orang telah menggarap Juma Hili. Ia malu jika semua orang bertanya kenapa kehamilan suami istri jadi masalah. Ia takut semua orang tahu bahwa ia tidak punya batang kelamin.
Tiap waktu Bakung Tapah berpikir bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi. Ia betul-betul tidak percaya sekaligus tidak mengerti. Sesekali ia pernah menduga atas ingatan tentang apa yang pernah dikatakan almarhumah Maringin Madu. Hingga jawaban belum terpecahkan, perut menggunduk Juma Hili sampai di penghujung melahirkan budak lapay(2).
Orang-orang beramai-ramai datang untuk melihat bayi lucu itu. Mereka memberi selamat kepada Bakung Tapah yang kini telah resmi menjadi bapak, juga rasa hormat atas tanggung jawabnya.
“Matanya mirip dengan matamu, Bakung Tapah,” ucap salah seorang.
“Hidungnya pun juga sangat mirip dengan Bakung Tapah.”
Mereka terus bersahut-sahutan menyamakan bayi itu dengan Bakung Tapah. Mereka semua tampak gembira. Saat mendengar bayi itu menangis, mereka berseru memanjatkan rasa syukur. ***
(1) Baca, Zadig karya Voltaire (Penerbit Oak, Yogyakarta, 2015), hlm. 23.
(2) Anak perempuan.