Bertemu Serkan
Benny Arnas
Di Bandara Lanarca, saya dan seorang pemuda petugas bandara dengan tanda pengenal di atas kantong seragam bertuliskan Serkan—ya, Serkan namanya!—terlibat perdebatan sengit yang tolol. Paling tidak, karena saya menggunakan bahasa Inggris dan ia ngotot bicara dalam bahasa Turki. Kalau saja seorang perempuan paruh baya berambut pirang berombak tidak mendekati kami dan meminta maaf kepada saya dalam bahasa Inggris dengan nada yang sopan mungkin saya benar-benar gagal tampak sebagai penulis cum pegiag literasi terkemuka di tanah air. “Maklumi anak saya, Tuan,” katanya ketika si Serkan justru pergi begitu saja.
Ah saya jadi tak enak hati, meski tentu saya makin dongkol pada putranya. Kalau saja istri saya—yang sedari tadi sibuk membujuk Maura terus merengek karena stroler-nya tak kunjung muncul di putaran barang bagasi—tidak mengelus-ngelus punggung saya, saya pasti akan berteriak memanggil pemuda itu.
“Ini hari pertama putra saya bekerja,” lalu ia meneriaki Serkan yang sudah berjalan menuju ruangan bertuliskan Oversized Bagage. Pemuda itu menoleh, mengangguk, sebentar, lalu lanjut berjalan.
Dasar!
“Ayah juga harus minta maaf karena sudah berteriak-teriak tadi,” kata istri saya dalam bahasa Indonesia.
Saya pun mengikuti sarannya.
“Nah, itu dia!” seru perempuan itu beberapa saat setelah istri saya mengajak putri kami yang berusia 4 tahun itu ke toilet untuk mengganti pakaian kami dengan longjhon dan jaket yang lebih tebal.
Serkan sudah datang dengan sebuah bungkusan besar wrapping di tangan kanannya. Oh, itu adalah mini-stroler-nya Maura! Pemuda itu menyerahkan benda itu kepada ibunya tanpa menoleh ke arah kami sedikit pun. Mereka terlibat percakapan dalam bahasa Turki sekitar dua menit. “Serkan sempat melihat barang ini dan memutuskan memindahkannya ke ruangan khusus bagasi dengan ukuran ekstra.”
Saya menerima barang itu dan meletakkannya di lantai. Saya ingin protes, tapi saya pikir ibu itu belum selesai.
“Sebenarnya, sedari awal, sudah diumumkan bahwa barang-barang tertentu, termasuk stroler, bisa diambil di ruangan itu,” ia menunjuk ruangan oversized baggage tadi, tapi saya maklum. Anda sibuk sekali mengurus putri Anda yang berlarian ke sana-kemari sedari tadi.”
“Saya benar-benar tidak sadar,” kata saya. “Pengumumannya dalam bahasa Turki?”
“Turki, Yunani, dan Inggris.”
Oh. Saya tak enak hati. Saya juga baru ngeh kalau Turki dan Yunani diakui pemerintah Siprus sebagai bahasa resmi negara.
“Anda akan ke mana?”
“Belum tahu,” kata saya, bingung. “Saya tidak yakin rekan yang menunggui kami di luar sejak dua jam yang lalu masih di luar. Jadi, sangat mungkin kami langsung menuju hotel. Anda bisa membantu saya mengaktifkan WiFi bandara?” saya menyerahkan ponsel kepadanya.
Ia mengangguk. Tapi, malah menyerahkan ponsel itu ke Serkan sambil bicara dalam bahasa Turki. “Serkan lebih paham urusan itu,” kata perempuan itu. “Semoga dengan membantu Anda, Anda pun bisa memaafkannya.”
Saya menyeringai. “Anda sopan sekali, Bu.” Akhirnya tercetus juga pujian itu.
Dari arah toilet, Maura dan ibunya sudah muncul dengan tubuh berbalut jaket tebal. Seturun dari pesawat tadi, monitor pesawat memberi tahu kami kalau Lanarca bersuhu lima derajat. “Tapi, tidak ada salju,” kata salah seorang pramugari yang kami tanyai.
“Serkan sebenarnya bisa bahasa Inggris, tapi … yaaa … masih sangat terbatas—sebagaimana orang yang masih belajar. Apalagi Anda tadi tampak emosi sekali, mungkin Serkan jadi lupa semua pelajaran bahasa Inggrisnya.”
Saya mengangguk-angguk. Sekarang, giliran saya yang merasa bersalah.
“Sir, you want it to be used right now?” Ah, bagai hendak mengonfirmasi kata-kata ibunya, Serkan bicara dalam bahasa Inggris yang menurut saya sangat baik. Ia menunjuk stroler Maura yang masih di-wrapping di lantai setelah menyerahkan ponsel saya yang mengeluarkan puluhan bunyi denting.
“Anda bisa mencarikan saya cutter?” pinta saya dengan mata tak beralih dari stroler. Tampaknya petugas wrapping di Cengkareng membalut benda itu dengan kuat sekali sehingga besi rakitannya tidak goyang sedikit pun.
Serkan menggeleng. Ia mengangkat stroler dan menyobek plastik wrap dengan kedua tangannya. Oh, tidak itu saja. Ia bahkan langsung merakitnya. Tidak sampai satu menit, Maura sudah duduk di sana.
“Mia,” perempuan itu menyebut namanya ketika istri saya seperti merasa perlu berkenalan ketika kami memutuskan akan meninggalkan ia dan putranya. “Lima puluh meter ke arah kanan pintu keluar, Anda bisa menggunakan ATM apabila kalian belum memiliki euro,” katanya.
“Lev dan lira?” kata saya.
Mia mengangguk. “Di ATM yang sama.”
“USD?”
“Ada di sisi kirinya, tapi sedang macet,” kata Serkan. Pemuda itu tampaknya sudah mulai santai.
Kami pun melambaikan tangan dan meninggalkan mereka.
Di gerbang kedatangan, pemandangan bandara yang tidak terlalu ramai membuat kami bingung. Banyak sekali konter yang mirip ATM dengan keterangan dalam bahasa Yunani.
“This way!” suara seseorang di belakang mengejutkan kami. Oh, Serkan.
Kami tak sempat bertanya mengapa ia masih mengikuti kami karena kami keburu mengikuti langkah kakinya yang besar-besar. Ia lalu berhenti di sebuah ATM dan jongkok di hadapan Maura. Ia mengeluarkan boneka mungil berbentuk kuda poni berwarna pink. Maura cekatan mengambilnya. Ketika Serkan mencium Maura, gadis kecil kami itu tak sempat menghindar karena semuanya berjalan begitu cepat. Maura menghapus bekas ciuman di pipi kanannya dengan kuda poni pemberian Serkan sehingga kami semua tertawa. Maura pasti bingung sebab orang asing—termasuk Serkan—tidak diizinkan mencium dan menyentuh area pribadinya. Ia sudah terlatih untuk itu. Saya sudah membayangkan, di perjalanan nanti, harus mempersiapkan jawaban kenapa kami “mengizinkan” Serkan menciumnya.
Pemuda itu melambaikan tangan dan setengah berlari ke gerbang kedatangan tadi, tanpa peduli dengan ucapan terima kasih yang kami teriakkan. Kali ini Maura sibuk mengelap pipi kanannya dengan lengan jaketnya.
“Tumben Bunda nggak ikutan marah pas kami berdebat tadi?” kata saya beberapa saat setelah mesin ATM mengeluarkan 7000 lira. Saya memutuskan batal mengambil lev sebab baru besok atau paling telat lusa kami terbang ke Sofia, sementara saya masih memiliki stok euro yang cukup untuk bertahan beberapa hari di sini.
“Lain kali Ayah tidak perlu emosi seperti tadi,” kata istri saya seraya menyimpan lira ke yang baru saya berikan ke dalam dompetnya.
Saya mengangguk dengan malas. “Eh Bunda belum menjawab pertanyaan Ayah,” tagih saya.
“Kasih tahu, Bunda,” katanya sambil mendorong stroler, “pernah, nggak, selama perjalanan Ayah ke luar negeri, menemukan pemuda setampan Serkan tadi?”
Asem! “Jangan bilang kamu menyesal dilahirkan lebih cepat, ya, Bun?” saya merangkul pundaknya. “Tapi Bunda boleh berdoa agar kita ketemu lagi dengannya.”
Istri saya mendongak. “Hei, Ayah tak menangkap maksudku?”
Saya menggeleng. “Ada yang salah?”
“Bunda mau tanya,” nada bicaranya terdengar lebih dalam. “Sebenarnya kenapa Ayah ngotot membawa kami dalam residensi menulis di Siprus ini?”
“Karena Anatolia dekat sekali dari sini, Bun.”
“Trus?”
“Bunda tidak bermimpi memandangi secara langsung keindahan Kapadokia di antara balon-balon terbang warna-warni?”
“Buat apa itu semua, Yah?” suaranya meninggi. “Bunda nggak …”
“Bun?” saya tahu, kening saya berkerut ketika memanggilnya dengan sedikit tekanan—peringatan.
“Bunda tak tahu,” ia menghela napas, “apakah Ayah lupa, amnesia, atau tak peduli dengan permakaman Jamani dua minggu lalu?”
Oh. “Maafkan Ayah, Bun,” saya merasa bersalah, meski belum mampu menyambungkan berpulangnya adik istri saya sebulan yang lalu dengan percakapan kami tentang Serkan tadi.
“Sudahlah,” ia mengibaskan tangan. “Sekarang fokuslah ke narasumber yang sudah menunggu kita dua jam-an tadi. Dia benar-benar pergi? Yakin dia hanya mengandalkan email dan tak punya ponsel?”
Saya celinguk-celinguk dan, setelah melihat ulang foto Charalambros (ah, nama Siprus yang unik!) yang saya unduh dari surelnya sebulan lalu, tampaknya pegiat literasi yang mengaku masih mewarisi darah Orang Kitim yang cerdas benar-benar sudah meninggalkan bandara itu.
Di konter pusat informasi, saya bertanya tentang taksi, kartu provider setempat yang bisa kami gunakan, dan hotel bintang lima terdekat.
“Mr. …?”’perempuan petugas informasi itu tiba-tiba menyebut nama saya. “Your taxi is ready.”
Lho? Kami tidak memesan taksi, saya hanya …
“Your sponsor, Sir,” katanya seperti menangkap kebingungan saya. “Satu lagi,” katanya masih dalam bahasa Inggris yang gagal menanggalkan aksen setempat. “Tuan Charalambros memilih menunggu Anda di hotel.”
“Alhamdulillah,” batin saya. “Ayo Bun, kita keluar,” teriak saya ke istri saya yang tampak kewalahan melayani pertanyaan Maura tentang apakah boleh laki-laki asing menciumnya hanya karena memberinya boneka yang lucu.
“Ini siapa?” cecar istri seraya menunjukkan foto laki-laki 20 tahunan di ponselnya ketika kami sudah berada di dalam taksi. Tampaknya ia sudah berhasil memuaskan Maura. Paling tidak, untuk sementara.
“Mendiang adik laki-lakimu,” jawab saya seraya membukakan kotak cokelat kedua untuk Maura. “Ada apa, Bun …”
“Lihat lagi, Yah,” desaknya.
Saya mengambil ponselnya.
“Lihat latar foto itu dengan saksama.”
Saya mengerutkan kening. Bandara, orang dan orang-orang asing yang lalu lalang dalam foto itu …
“Sudah paham sekarang?”
Saya membelalak—dan mati kata.
“Bagaimana bisa Jamani hidup lagi dan bertengkar denganmu barusan, hah?”
Oh.
“Bagaimana Ayah tidak peka sedikit pun?”
Saya merasa bersalah di tengah perasaan aneh yang merundung.
“Bunda tahu,” suaranya terdengar datar, “Ayah mengajakku ke Kapadokia agar aku tidak terus dirundung kesedihan memikirkan kepergian adikku satu-satunya yang meninggal dalam kecelakaan di jurang yang tak sanggup kulihat jenazahnya karena kata petugas wajahnya tak tak bisa dikenali karena tubuhnya menghantam tebing tajam dari ketinggian 160 meter. Apakah …?”
Kepala saya pusing. Perut saya menjadi mual. Lalu lengan kanan saya jadi sasaran pukulan perempuan itu. Ia menangis keras. Meraung-raung. Maura yang bingung ikut-ikutan menangis.
“Turn back to the airport, please,” teriak saya kepada sopir.
Ya, kami harus bertemu lagi dengan Serkan. Meski aku tak tahu untuk apa.(*)
Istanbul, 2022