Neraka Kecil di Mata Hel
Galuh Ayara
Aku meletakkan pisau itu di antara piring apel dan piring yang berisi dua puding bunga matahari yang dikerubungi semut. Angin sore meniup halaman-halaman buku 'Seratus Tahun Kesunyian' yang diletakan begitu saja di muka jendela di atas meja yang sama.
Kalau saja tidak begini, tidak ada perasaan canggung ini atau entah apa, aku hampir lupa bahwa kami sekarang adalah dua manusia dewasa yang sudah matang sempurna secara biologis.
Berusaha keras aku menghindar, tapi Hel terus menggodaku dengan sikap nakalnya. Aku tahu ia cuma iseng, bukan sekali dua kali ia melakukan hal seperti ini, tapi bagaimana mungkin aku tidak berdebar ketika sepasang buah dada yang segar menempel di dadaku. Kemeja putihku seketika basah oleh keringat dingin. Celana dalamku terasa sesak, dan sesuatu di dalamnya mengeras lebih dari apel yang ada di atas meja. Ah, sialan! Aku suka bau keringat itu. Keringat yang menetes-netes di antara belahan dada. Dan bibir keringnya membuat air liurku tak tertahan. Aku ingin melumat dan membasahi bibir itu. Sekuat tenaga aku berusaha menahan diri ketika ia semakin menempel ke tubuhku.
"Haha, kamu horny ya?"
Astaga. Aku berusaha menarik napas ketika perempuan itu melompat ke meja kerjaku sambil meraih apel lalu menggigitnya berkali-kali tanpa rasa bersalah.
"Enak saja! Aku enggak sudi berciuman dengan perempuan yang enggak pernah mandi!"
"Kalau tidur?"
"Nggak!"
"Ya sudah."
Aku merebut apel di tangannya sambil berusaha terlihat biasa saja. Dasar wanita, gumamku.
"Dih, sialan!"
Sejurus kemudian ia menarik piring puding bunga matahari yang sudah penuh dengan semut.
"Hmm." Hel menatap puding itu beberapa menit. "Ibumu setia banget ya? Dia masih aja bikinin puding yang sama selama bertahun-tahun."
"Tentu. Ibuku orang paling setia."
Hel menyingkirkan satu persatu semut itu dengan tangannya. Butuh waktu beberapa menit hingga semua-semut itu hilang dan Hel memotongnya dengan sendok. Ia lantas mengunyah puding itu dengan lahap.
"Di antara beberapa hal di dunia ini yang tidak berubah, aku paling suka dengan puding ibumu ini yang tak pernah berubah. Hmm, puding ini seperti ibumu."
"Sudah kubilang ibuku setia."
"Aku tidak suka orang setia seperti ibumu. Aku lebih suka orang yang berubah-ubah seperti mamaku. Mamaku hebat."
"Hmm, terserah."
"Oke."
"Iya."
"Tapi aku suka puding ini."
"Jujur aku mulai bosan."
Perempuan itu menatapku cukup tajam.
"Apa?!"
"Kau mulai tidak setia, haha."
"Ini kan hanya puding."
"Tidak. Ini ibumu."
"Sekali lagi kau sebut ibuku. Kuterkam mulutmu!"
"Bilang aja pengen nyium."
"Cih!"
"Brengsek!"
Hel menggigit gagang sendok itu persis di depan batang hidungku.
***
Aku ingat, waktu itu di rumah kecilnya ia menggandeng tanganku. Kami akan bermain ular tangga di kamarnya yang mungil, tapi suara erangan entah dari mana, agak menggangguku. Dan sepasang boot coklat tua di teras, membuatku agak pusing.
"Biarin saja. Itu suara binatang lagi kawin." Kata-kata itu lantas keluar dari mulut seorang gadis kecil yang semakin kuat menggandeng tanganku kala itu–Helena, yang lebih sering aku panggil, Hel. Singkat dan cepat selesai.
Helena kecil seperti neraka mungil dengan sepasang matanya yang lancip dan sorot yang tajam. Kulitnya putih pucat seperti salju yang dingin, terutama di bagian tangan dan kaki, kontras dengan kuku-kuku jarinya yang hitam tak terawat. Rambutnya yang kemerahan selalu lengket dan kusut. Hel bisa tertawa seketika seolah mendapat undian yang besar, lalu menangis seketika seolah-olah ada yang menyayat ulu hatinya tanpa ampun. Kemudian berteriak begitu saja, lalu diam seperti batu. Hel benar-benar seperti neraka kecil yang misterius.
Rumah Hel ada di seberang jalan yang tidak terlalu jauh dari rumahku, tepat di sebelah Wihara yang selalu dijaga anjing putih di luar pagar. Anjing yang kadang-kadang juga seperti menjaga Hel. Seringkali aku melihatnya mengejar sekelompok anak lelaki yang selalu mengejek Hel dan berteriak; anak pelacur anak pelacur! Keluarga jalang! Si putih--begitu aku memanggilnya, lari membelah pematang dengan gesit dan gagah. Bocah-bocah brengsek itu tunggang langgang. Sebagian tersungkur di atas tanah sawah kering yang retak-retak. Ingus dan air mata meleleh di wajah mereka seolah sebentar lagi mereka akan cair dan habis seperti lilin yang dilumat sumbu api.
Entah mengapa orang-orang selalu membuat Hel sedih. Setahuku mama Hel hanya bekerja di tempat main biliar yang tidak begitu jauh. Aku tahu tempat itu karena aku dan mama pernah menjemput ayah yang sedang main biliar dengan rekan kerjanya di tempat tersebut, dan aku menjemputnya bersama mama karena hendak merayakan akhir pekan di restoran kesukaan kami.
Aku tidak mengerti apa yang dipikirkan orang-orang, atau waktu itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti? Apa salahnya kerja di tempat main biliar? Memang sesekali perempuan cantik bertubuh bagus itu diantar pulang oleh laki-laki yang berbeda. Kadang naik mobil mewah, kadang naik motor, kadang cuma diantar taksi kuning. Memangnya kenapa? Atau memang waktu itu aku benar-benar polos? Atau aku memang sungguh manusia polos?
Hel tidak punya ayah. Kalau aku bertanya, ia hanya bilang; ayah sudah mati dan kuburannya jauh. Jauh sekali. Di luar angkasa, di Merkurius, di bulan, di bintang, di luar galaksi. Akan tetapi mamanya akan marah jika ada yang menyebut Hel anak yatim.
Helena sering juga bermain ke rumahku. Menuntun sepeda
dan menggantung buntelan kecil di stangnya. Isinya stroberi dan ceri. Aku memberinya sebungkus kuaci. Kami memakannya berdua. Di kebun bunga matahari di belakang rumahku. Aku tidak peduli anak-anak lain yang melintas berteriak mengolok-olok, Bastian banci! Bastian bencong! Mainnya sama perempuan!
Aku memang suka bermain dengan Hel. Aku bahagia setiap kali berada di dekatnya. Ibuku juga suka pada gadis kecil itu. Katanya, Hel adalah anak yang manis. Makanya setiap kali ia datang ke rumah, ibu membuatkan dua puding susu dengan cetakan bunga matahari yang sama besarnya. Ibuku akan memberikan apa pun untuk kami berdua dan membaginya secara adil. Seolah kami adalah kakak beradik yang memiliki hak yang sama. Entahlah, kadang aku berpikir ibu lebih polos dari anak kecil.
Biasanya sambil menunggu puding mengeras, kami bermain di kamar. Aku mengeluarkan semua mainan. Mainanku banyak. Kebanyakan impor. Tentu saja semuanya mainan laki-laki. Dan Hel lebih mirip anak laki-laki ketika ia berhadapan dengan mainanku.
"Ini boleh buatku?" Tanyanya sembari menunjuk pada mobil remote control
Aku diam cukup lama lalu menggeleng. Sebab mainan itu adalah hadiah ulang tahun yang ke-sepuluh dari ayah. Tentu aku harus menjaga dan merawatnya sendiri, bahkan mungkin dengan nyawaku. Meski aku tidak tahu pasti untuk apa aku melakukan itu?
"Pelit!"
Hel menunduk. Dia terlihat kecewa. Aku tahu, pertanyaan itu akan terulang esok hari. Setiap hari. Setiap waktu kami bermain-main. Setiap kali kami bersama.
***
Gadis itu berdiri tegak di atas pagar jembatan yang di bawahnya terdapat sungai yang penuh batu-batu besar. Jarak antara jembatan dan ke bawah sungai itu cukup tinggi, sehingga terlihat seperti sebuah lorong panjang gelap. Drama kematian yang cukup mengerikan akan terjadi seandainya ia jatuh, atau sengaja menjatuhkan diri.
"Aku tidak takut seandainya aku jatuh ke bawah sana," ucapnya sembari menggosok hidung mungilnya dengan punggung tangan.
Aku tersenyum ketus. "Tentu saja, kau kan tidak waras."
Aku baru saja mentraktirnya minuman di sebuah club malam tua yang bertema Eropa kuno di dekat stasiun. Lalu ia berjalan sempoyongan, sambil sesekali meneriaki kereta yang melintas. Aku menguntitnya dengan menuntun sepeda motor. Tiba-tiba di jembatan yang terlihat sunyi itu, yang berada tidak begitu jauh dari club, ia menghentikan langkahnya. Sejurus kemudian ia sudah berdiri di atas pagar jembatan itu. Aku menahan diri untuk tidak mabuk setiap kali dia mabuk, karena aku harus tetap waras untuk menjaganya dan mengantarkannya pulang sampai rumah dengan selamat dan memastikan ia tidak terluka sedikit pun.
"Aku membaca novel 'Seratus Tahun Kesunyian' dan membolak-baliknya sebanyak lima kali. Aku hanya tertarik pada bagian; Remedios yang dibawa pergi oleh angin karena kecantikannya. Sekarang aku membayangkan; aku ini adalah Remedios yang menghilang tiba-tiba dibawa pergi entah ke mana. Kadang-kadang aku sangat bosan dengan kehidupan, dengan kemiskinan, dengan penghinaan tetangga yang hanya jadi penonton. Aku bosan, Bas. Aku capek! Aku juga merindukan sosok ayah. Aku merindukan pelukan laki-laki."
"Aku bukan laki-laki?"
"Kamu sapi perah! Kadang-kadang aku juga capek memerahmu."
"Sialan!"
Tiba-tiba lututnya bergetar. Aku bisa melihat air matanya meluncur deras seperti anak-anak hujan yang jatuh dengan bebas, lalu hilang di permukaan bumi yang luas. Air mata Hel begitu bebas berjatuhan. Aku ketakutan luar biasa kalau-kalau tubuhnya benar-benar jatuh ke dasar sungai.
"Kau mabuk! Turunlah dari situ. Ini hampir larut malam. Aku akan mengantarmu pulang."
"Aku tidak mabuk, Bas!"
"Hmmm, sudah malam, Hel."
"Kau pasti takut ibumu marah, ya?"
"Emangnya ibuku pernah marah?"
"Iya. Ibumu baik, atau lemah? Aku ragu, haha."
Aku malas berdebat lagi, terutama jika ia sudah membahas ibu. Pikiranku sudah cukup terkuras dengan sikap Ayah yang belakangan semakin acuh terhadap ibu. Aku tidak ingin menambah kepusinganku dengan ocehan perempuan itu. Segera saja aku tarik tubuh tersebut. Kami pun jatuh berguling di atas jalanan yang sunyi.
Wuzz! Tiba-tiba sebuah truk besar melintas dengan ganas. Jaraknya hanya beberapa sentimeter dari tubuh kami yang masih menumpuk di atas jalan.
"Brengsek!" Gadis itu berteriak.
Kupikir dia tidak takut mati. Benar-benar gadis sialan.
***
Aku menghentikan motorku di depan Wihara. Anjing putih itu terbangun, lalu berlari kecil ke arah kami. Aku memberi isyarat, lalu ia kembali ke tempatnya tidur. Hel tertidur pulas di punggungku, aku menepuk pahanya pelan-pelan untuk membangunkan.
"Bangun, babi hutan. Udah sampai."
"Oke, sapi perah," katanya sambil terbata, lalu turun dari motorku.
Setelah memasang standar motor, aku segera membopong tubuh itu ke rumahnya. Sesampainya di depan pintu, aku menyandarkan tubuh yang masih dipengaruhi alkohol itu di tiang untuk menggeledah dan mencari kunci di saku baju atau celana jeans-nya.
"Jangan raba-raba. Masuk aja, nggak dikunci kok," ucapnya dengan mata masih terpejam.
Aku menggeleng kemudian membuka pintu dan membopong lagi tubuh itu. Benar saja, rumahnya tidak dikunci.
"Helena pulang, Ma!" Ia berteriak malas-malasan.
Kami melewati kamar itu. Pintunya terbuka agak lebar sehingga aku bisa melihat dua orang yang sedang bergumul seperti sepasang binatang liar. Tentu saja aku sangat mengenali lelaki itu bahkan dari sepatu boot coklat tua tadi yang kulihat di teras.
"Biarin saja. Binatang lagi musim kawin."
Hel menatap mataku, kemudian begitu saja bibirnya yang beraroma alkohol, melumat bibirku dengan nakal. Segera aku menggendong tubuhnya dan mengunci kamar rapat-rapat. Binatang sedang musim kawin, gumamku sembari melucuti pakaian Hel.
"Mau tidur denganku?" Tanya gadis itu dengan mata terpejam dan tubuhnya yang amat letih.
Tiba-tiba bayangan ibu yang tengah mengaduk puding di panci yang panas, melintas begitu saja, dan wajahnya amat pucat, amat lelah. Seketika aku membenci kehidupan, membenci ayah, membenci Hel, termasuk membenci aku sendiri. Aku segera membuka pintu kamar itu, lalu berlari meninggalkan semuanya. Terdengar erangan entah binatang apa yang sedang kawin. Binatang tua yang terkutuk!
Tidak lupa, sebelum menghidupkan mesin motor, aku melempar sepatu boot coklat milik ayahku itu ke tong sampah.
Dasar sampah!
2022