JALAN RANDU
Yin Ude
Zarkasi memiringkan topi koboinya ke kanan untuk menghalangi paparan
panas matahari di pipinya. Saat itu pula hatinya berkata bahwa pagi sudah
beranjak ke pukul sembilan. Lalu seperti biasa ia pun bangkit, menyudahi
aktivitas duduk tiga jamnya di kursi kayu panjang di pinggir jalan.
Jalan tempatnya itu Jalan Randu, sudah
bertahun-tahun menjadi saksi kebiasaan yang dilakukan Zarkasi, yakni datang
pukul enam pagi, duduk memandangi lalu lalang kendaraan, menghentikan dua tiga
anak jalanan yang melintas, membelikan mereka nasi bungkus dari penjual
keliling, mengajaknya ngobrol selama satu dua jam. Kadang disuguhi pula dengan
minuman jika kebetulan ada gerobak minuman lewat. Setelah anak-anak itu pergi
ia akan berdiam lagi, memandangi lalu lalang kendaraan lagi, hingga tiba waktu
pipi kanannya panas oleh matahari, yang ia yakini pertanda jam sembilan, ia pun
beranjak pulang.
Ia melangkah di trotoar dengan langkah lamban,
kian lamban dibandingkan empat lima tahun lalu. Kakinya memang sudah tak kukuh
lagi seiring pertambahan usianya yang kini menginjak tujuh puluh lima tahun. Beberapa
orang menyapa, dijawabnya dengan ramah. Bahkan sejenak berhenti untuk diajaknya
orang itu bersalaman. Ia memang dikenal ramah, walaupun baru empat lima tahun.
Zarkasi sebelumnya orang tertutup. Warga
sekitar Jalan Randu, para tetangganya di Kelurahan Randu tak begitu akrab
dengan lelaki ini. Ia jarang keluar seperti sekarang. Hanya muncul berolahraga
sebatas di dalam pekarangan, merawat bunga atau memandikan burung piaraan.
Hanya dia yang seperti itu. Isteri dan anak-anaknya bergaul layaknya orang
kebanyakan.
Tak ada warga yang tahu mengapa Zarkasi
bertabiat seperti itu. Seperti tak adanya orang yang bisa menjelaskan pula
kenapa kini ia mendadak berubah; tiap pagi keluar rumah, jalan-jalan dan duduk
di tepi jalan, perhatian kepada anak-anak jalanan, baik kepada siapa saja.
Naim, pemilik lapak kopi yang berdekatan
dengan tempat Zarkasi biasa duduk, adalah orang yang paling sering mendengar
suara-suara bernada penasaran pelanggannya tentang Zarkasi.
Lelaki bertubuh tambun itu akan berkata
dengan mantap, “Pak Zarkasi sudah sadar sebentar lagi mati dan dia merasa sudah
waktunya bergaul. Ia takut tidak ada orang yang akan mengusung kerandanya.”
*
“Tidak! Aku tidak akan
ikut kamu!” seru Zarkasi. Tatapannya tajam melekati wajah Sri, anaknya yang
tampak terkejut dengan suara kerasnya barusan.
“Aku tidak akan meninggalkan rumah ini. Aku
tidak akan pergi dari kota ini,” ucap Zarkasi lagi, sudah dengan nada rendah.
Ia sepertinya menyesal telah menunjukkan sikap berlebihan kepada Sri.
Sri tertunduk, sadar
telah membuat orang tuanya itu marah. Lama ia tertunduk, tanpa bicara. Jemarinya
meremas-remas tumpukan serbet di atas meja di sampingnya, yang memisahkan
tempat duduknya dengan Zarkasi.
Lelaki itu pun diam,
tengadah, memandang langit-langit dapur.
Sampai Maemunah,
isterinya muncul.
Perempuan itu menarik
kursi dan duduk di depan suami dan anaknya.
“Tak perlu keras begitu
sama anak, Pak,” katanya pelan. “Kalau memang tidak mau ikut pindah, ya tidak
apa-apa. Sri juga tidak memaksa…”
“Dia memaksaku,” potong
Zarkasi. “Dari dua minggu lalu, sejak kedatangannya dia terus meminta aku dan
kamu meninggalkan kota ini, ikut dia dan suaminya ke Jakarta. Aku terus
menolak, dengan halus, dengan sabar, tapi dia tak mengerti juga. Itu namanya
memaksa.”
Maemunah menatap Sri,
seolah hendak mengonfirmasi pernyataan suaminya.
Yang ditatap membalas
tatap, tanpa bicara. Hatinya saja yang berkata, “ya, saya hendak memaksa
Bapak.”
“Saya yakin sekali anak
kita tidak bermaksud memaksa. Jadi sudahlah,” pungkas Maemunah.
Zarkasi bangkit dari
kursi, menuju ruang tengah. Sri menghela nafas, mencoba mengatasi gumpalan
beban di dadanya.
Maemunah tak peduli
lagi. Ia sedang meletakkan wajan di atas kompor.
**
Naim bergegas mendekati
Zarkasi yang memanggilnya dari tepi jalan tempat biasa ia duduk.
“Pak Naim tahu ke mana
kursi panjang yang ada di sini?” Tanya Zarkasi begitu Naim tiba di
depannya.
Muka lelaki tua itu tampak tegang,
menyiratkan pula kebingungan dan rasa kehilangan.
Mulut Naim menganga,
memperlihatkan keterkejutan mendapati kursi panjang telah raib.
“Tidak tahu, Pak,”
ucapnya pelan. “Dari tadi saya tidak memperhatikan tempat ini, jadi tidak sadar
kalau kursi panjang itu sudah hilang.”
Zarkasi mengitari
sekeliling dengan matanya, mencoba menelisik sekitar, siapa tahu kursi panjang
itu hanya berpindah tempat saja, dipindahkan tadi malam oleh orang yang iseng.
Jalan Randu, jika malam, tempatnya mangkal anak-anak muda. Bisa saja anak-anak
itu yang telah iseng.
Tapi tidak ada. Kursi
panjang itu tak terlihat sama sekali.
“Kalau Bapak mau
duduk-duduk, ada kursi plastik di lapak saya. Bisa Bapak pakai selama yang
Bapak mau. Saya ambil, ya?” kata Naim mencoba menyela ekspresi tegang, bingung
dan kehilangan lelaki bertopi koboi yang rambutnya sudah rata memutih itu.
Zarkasi tak menjawab.
Ia masih mengulang menjelajah sekitar dengan tatapan. Ketika harus yakin bahwa
apa yang dicarinya tak akan pernah ada lagi, ia pun menggeleng-geleng,
menyatakan penyesalan dan keputusasaan teramat dalam.
“Ini kursi plastiknya,
Pak.”
Naim menyodorkan kursi
plastik.
Zarkasi duduk. Di
depannya melintas-lintas peristiwa lima tahun lalu. Saat itu Katijan, pedagang kaki
lima menjadi korban razia petugas trantib. Gerobak mi ayamnya diangkut dengan
truk. Petugas trantib lupa menaikkan kursi kayu panjang tempat duduk pelanggan.
Dari atas kendaraan petugas yang membawanya, Katijan berteriak kepada Zarkasi,
“kursi itu untuk Bapak! Biar jadi kenang-kenangan saya!”
Waktu lima tahun belum
juga membuat lapuk atau rusak kursi panjang itu. Kemungkinan kayu bahannya
adalah kayu pilihan, yang kuat. Atau memang Tuhan sengaja memeliharanya, agar
ada sisa sejarah kesewenang-wenangan yang bertahan di tempat itu, yang
berdampingan dengan cerita konyol; lapak Naim tak pernah dirazia, karena tiap
hari menjadi tempat mangkal petugas trantib, yang suka berhutang kopi.
Zarkasi tak lagi
memiringkan topi koboinya walaupun sinar matahari telah mengelus pipi kanannya.
Panasnya sudah berpindah ke rongga dadanya.
***
Lima hari sudah sejak
kejadian hilangnya kursi panjang, Zarkasi pasrah menjalani aktivitas tiga
jamnya di tepi Jalan Randu dengan duduk di atas kursi plastik milik Naim.
Kursi itu tidak membuat
dia nyaman apalagi puas, sebab pantat dan hatinya sudah lekat dengan kursi kayu
panjangnya. Tiba-tiba ia merasa jiwanya tertekan oleh rasa kehilangan.
Dan pagi ini datang
lagi masalah yang membuat jiwanya lebih kehilangan. Naim baru saja membawa
berita bahwa dua tiga anak jalanan “sahabatnya” yang biasa keliaran di Jalan
Randu telah dijaring oleh dinas sosial dan entah telah dibawa kemana.
“Terus untuk alasan apa
lagi aku duduk-duduk di sini?” keluh batinnya. “Kursiku diambil orang, kini
anak-anak jalanan yang selalu kutunggu dan membuat pagiku, hidupku terus
berarti, hilang pula.”
Dada Zarkasi bergetar.
Ada kehampaan meluap-luap, bentur membentur di dalamnya. Kehampaan yang
sesungguhnya telah mulai pupus selama lima tahun belakangan, yang menjadi
penyebab ia tak lagi mengurung diri di dalam rumah, menutup diri dari semua
orang. Tapi, sepertinya dirinya sedang didorong lagi untuk menjadi Zarkasi yang
dulu.
“Ada seorang ibu dan tiga anaknya meninggal bersimbah darah di dalam
selokan!”
“Harusnya perempuan itu tidak bersembunyi di situ. Semua regu pasti
akan memeriksa selokan dan rimbunan semak belukar sebab sangat besar
kemungkinan dijadikan tempat persembunyian.”
Seruan-seruan itu
mendadak bergema dalam kepala Zarkasi. Lalu riuh. Lalu bergemuruh. Lalu seperti
menumbuk-tumbuk
tengkoraknya.
Zarkasi lunglai, tak
sadarkan diri. Ia hampir terjerembab ke tanah seandainya Naim tak cepat-cepat
berlari, datang memeluknya.
****
Seminggu Zarkasi
dirawat di rumah sakit. Begitu keluar, Sri langsung mengultimatumnya agar
menurut untuk diajak pindah ke Jakarta.
“Kejadian pingsan
semacam ini yang saya takutkan. Bapak sudah tua, harus selalu dalam pengawasan.
Saya di Jakarta tidak akan tenang memikirkan Bapak di sini. Jadi Bapak dan Ibu
harus ikut saya.” Itu alasan Sri. Maemunah pun ikut memaksa.
Zarkasi yang merasa
bersalah karena telah merepotkan anak isterinya tak lagi bisa membantah.
Terlebih ia sudah benar-benar dicekam kehampaan, kesia-siaan harapan akan
kembalinya sesuatu yang selalu ia tunggu, yang selama lima tahun membuat
pagi-paginya, hidupnya terasa kembali berarti. Saat menjenguk, Naim mengabarkan
lagi bahwa lokasi Zarkasi biasa duduk akan segera berubah menjadi halaman
parkir sebuah supermarket yang akan dibangun di sana.
Jam sembilan pagi
Zarkasi terlihat duduk di jok depan mobil Sri. Suami anaknya itu yang menyetir,
membawanya pergi dari kota kediamannya selama ini.
Melewati Jalan Randu, matahari
sedang memanasi tanah, rumputan dan daun-daun pohon randu yang berjejer. Tak
lagi memanasi tubuhnya, pipinya. Air mata Zarkasi menetes. Berat ia pergi. Tapi
apa boleh buat. Lekas disekanya, malu dilihat oleh menantunya.
Di belakangnya, di jok
tengah, duduk berdampingan Sri dan Maemunah.
Sri tak melepas tatapan
dari sebuah gudang kosong yang mereka lalui. Di dalam gudang itu, atas
suruhannya, Naim telah menyembunyikan kursi kayu panjang tempat bapaknya biasa
duduk.
Lelaki tambun itu
memang pintar bersandiwara setelah dibayar. Ia pun sanggup membohongi Zarkasi
tentang akan dibangunnya supermarket di Jalan Randu.
Beberapa kilometer
mobil melaju, giliran pangkalan anak-anak jalanan yang tak lepas dipandangi
oleh Sri. Di sana terlihat dua tiga anak jalanan yang selalu ditunggu Zarkasi.
Anak-anak itu telah diwanti-wanti pula oleh Naim agar tak lagi keliaran di
Jalan Randu. Untuk kepatuhannya, mereka diberikan uang, titipan dari Sri pula.
Sri mengaktifkan layar
ponsel. Dibacanya kembali sederetan pesan di sana, pesan teman psikolognya yang
berbunyi, “jauhkan bapakmu dari lokasi kejadian yaitu Jalan Randu dan segala
hal yang bisa memicu ingatan beliau pada peristiwa tersebut. Termasuk dari
anak-anak yang selalu beliau tunggu, yang beliau ajak bicara, yang beliau beri
perhatian. Beliau lakukan itu karena terdorong oleh obsesi membayar kesalahan
atas apa yang menimpa tiga anak saat kejadian itu. Akan lebih efektif jika bisa
membawa pindah beliau ke kota lain, yang jauh dari kota tempat tinggal beliau
sekarang.”
Sri merasa telah
menjalankan saran temannya itu. Ia merasa lega, yakin bapaknya akan segera bisa
dipisahkan dari kenangan buruk kejadian puluhan tahun lalu. Kejadian yang
terurai dalam catatan yang sedang ia baca di layar ponsel.
Catatan itu adalah salinan
dari buku tua yang ia temukan di dalam lemari bapaknya. Buku itu berisi “curahan
hati” lelaki itu pada dirinya sendiri tentang kesalahannya yang fatal, yang
mengakibatkan terenggutnya nyawa tiga anak beserta ibu mereka, dalam suatu
kejadian puluhan tahun lalu;
PENGAKUANKU, SEORANG PEMUDA YANG DALAM USIA DUA PULUH TAHUN TELAH MEMBUAT NYAWA TIGA ANAK TERENGGUT BERSAMA IBU MEREKA
-entah akan kusimpan selamanya, atau suatu waktu nanti kuserahkan pada petugas hukum, sebagai pertanggungjawabanku atas dosaku- ZARKASI
Aku tulis
ini pada malam Jumat tanggal 6 April 1967, setelah sebelumnya di siang hari
tadi telah terjadi peristiwa terbunuhnya tiga anak beserta ibunya. Penyebabnya
adalah aku. Ya, aku.
Bermula dari kekacauan di wilayah dalam kota. Kekacauan yang sebenarnya
biasa; perburuan, penangkapan terhadap orang-orang yang diduga pendukung partai
yang beberapa waktu sebelumnya melakukan pemberontakan terhadap negara.
Aku, ikut dalam salah satu regu pemburu.
Aku sedang tergesa
mengejar anggota regu lain yang telah meninggalkanku masuk ke dalam kampung.
Di ujung gang aku bertemu dengan
seorang ibu yang berlari sambil menggendong bayi. Di belakangnya ada pula dua
orang anak kecil. Yang satu perempuan kira-kira empat tahun, yang satu lagi
laki-laki sekitar enam tahun.
Aku tahu ibu itu adalah isteri
seorang pendukung partai.
Aku pun menghadangnya dan hendak
berseru memanggil teman-temanku, memberitahukan bahwa aku memergoki seorang
sasaran.
Ibu itu berlutut, mukanya
menengadah, memelas.
“Ampun, Nak, ampun! Tidakkah kamu
kasihan pada nasib anak-anakku ini kalau kami tertangkap?” ucapnya menghiba.
“Betul suamiku orang partai, tapi aku, apalagi anak-anak kami tidak tahu
apa-apa! Tolong, jangan tangkap kami!”
Aku tertegun. Ucapan perempuan itu
merasuk ke dalam hatiku. Mungkin saja si ibu berbohong, tapi tiga anak itu
jelas-jelas tak layak menjadi sasaran penangkapan, sasaran perlakuan buruk!
Bimbanglah aku. Diriku tiba-tiba
harus berhadapan dengan musuh sekaligus makhluk-makhluk tak berdosa. Tapi
apakah aku harus jadi penghianat dengan menuruti permintaan ibu itu? Mendadak
melintas pikiran ngeri saat kubayangkan apa yang akan terjadi jika teman-teman
reguku atau para pemburu lain melihat keberadaan ibu dan anak-anaknya itu.
“Ke sini, cepat!” perintahku seraya
menggendong bersamaan dua anak yang berdiri terpaku tak tahu apa yang sedang
terjadi itu.
Aku berlari menyeberangi Jalan Randu
dan mengajak si ibu turun ke dalam selokan yang cukup dalam yang ada di depanku,
yang ditutup sempurna pula oleh rerimbun semak belukar dan tanaman liar.
Beberapa saat pandanganku mengitari sekitar, memperhatikan situasi di sela-sela
pohon randu besar yang tumbuh rapat di sepanjang jalan.
“Para pengejar sedang berada di
dalam kampung. Ibu diam di sini, tiarap, jangan keluar sampai mereka pergi!”
ucapku tegang. “Saya tidak bisa lama-lama di sini. Kalau ketahuan
menyembunyikan Ibu, saya yang akan dihakimi teman-teman.”
Aku lari kembali masuk ke dalam kampung.
Dua jam aku di sana, ikut menggeledah
rumah-rumah yang dicurigai, mengumpulkan orang-orang yang ditangkap, kemudian keluar
ke jalan untuk menggelandang pendukung partai menuju tanah lapang di pusat
kota.
Saat keluar itulah diriku terkejut
bukan kepalang. Kulihat sekumpulan pemburu sedang berdiri di atas selokan tempat
aku menyembunyikan si ibu dan anak-anaknya. Semak belukar dan tanaman liar di
atasnya telah porak poranda bekas ditebas dengan senjata tajam.
“Apa yang terjadi!” Tanya Salim,
pimpinan tertinggi para pemburu yang muncul menyeruak dari kerumunan orang-orang
yang baru keluar dari dalam kampung.
Ia bertanya sambil mendekat ke
selokan.
“Ada seorang ibu dan tiga anaknya
meninggal bersimbah darah di dalam selokan!” seru salah seorang pemburu.
“Ya, Allah, kenapa anak-anak harus
diperlakukan seperti ini?” teriak Salim marah. “Regu mana pelakunya?”
Tatapan lelaki lima puluh tahunan
itu melembing ke segala arah, kepada anggota-anggotanya yang juga bingung dan
saling memandang.
“Harusnya perempuan itu tidak
bersembunyi di situ. Semua regu pasti akan memeriksa selokan dan rimbunan semak
belukar sebab sangat besar kemungkinan dijadikan tempat persembunyian.”
Telingaku berdenging ditumbuk suara
berbisik seorang teman satu regu yang berdiri di sampingku.
“Aku, aku tak bisa menyelamatkan
perempuan itu dan anak-anaknya! Justru aku yang telah membuat mereka terbunuh!”
jerit batinku kalut.
Tubuhku gemetar, tak sanggup
berdiri. Untung di belakangku ada pagar rumah warga. Kusandarkan punggungku.
Peluh dingin merayapi badanku. Aku sadar mukaku pasti pucat. Lekas kusembunyikan
dengan menunduk dalam.
Duh, kejadian ini telah membuatku
tak tenang. Aku terus dibayang-bayangi trauma dan rasa bersalah. Kini pun aku
tak lagi bisa tidur. Entah, setelah ini, sampai berapa puluh tahunkah aku akan
bisa menepis rasa bersalah ini? Aku seperti kehilangan diriku sendiri. Pada
siapa aku bisa melepaskan beban ini? Isteriku Maemunah? Oh, aku tak akan pernah
berani memberitahukannya.
Sri menutup layar ponselnya.
Pandangannya beralih ke arah bapaknya yang terus memandang ke luar jendela
mobil. Kota mereka, apalagi Jalan Randu telah benar-benar jauh di belakang.
Selesai
Sumbawa Timur, 27
Mei 2022