Upaya Memaknai “Dewa Telah Mati” Sajak Subagio Sastrowardoyo
Rahmat Wahyudi
H.B. Jassin pernah mengomentari kumpulan sajak Subagio
Sastrowardoyo yang berjudul Simfoni:
Kumpulan sajak ini dibuka dengan
sajak yang pesimistis "Dewa telah mati", yang jadi nada dasar bagi
seluruh kumpulan ini. Tidak mengherankan, kalau kita ingat dalam keadaan bagaimana
masyarakat sekarang ini. "Dewa telah mati, hanya ular yang mendesir dekat
sumber, lalu minum dari mulut pelacur yang tersenyum dengan bayangan
sendiri". Pesimistis karena penyair tak ada jalan keluar dari
"rawa-rawa mesum", kecuali sikap kepenyairan cari kepuasan dalam diri
sendiri. Bahkan kepuasan ini pun tidak menetap, diganggu kesepian yang
senantiasa datang berulang. Semua serba krisis. Krisis moral, krisis agama,
krisis ideal, krisis kepercayaan, semua makin samar (1967:95)
Perkataan H.B.
Jassin tersebut mengandung unsur ad
hominem, dimana ia menuding Subagio secara kepribadian atas dasar sajaknya
yang menyenggol unsur pornografi. Padahal, Subagio sendiri tak menulis yang
aneh-aneh, hanya dengan "pelacur
yang tersenyum dengan bayang sendiri" dan “rawa-rawa mesum”. Tak ada kesan krisis seperti yang dikatakan H.B.
Jassin itu. Kalimat itu terasa wajar-wajar saja bagi orang dewasa. Barangkali
intuisi yang agamis merasa tersinggung.
Subagio Sastrowardoyo juga pernah menuliskan dalam Bakat Alam dan Intelektualisme:
Tugas yang menyulitkan di dalam menghadapi pornografi adalah menunjukkan batas batas yang tegas antara pornografi dan bukan pornografi. Sebab unsur yang sama, yakni pelukisan perbuatan seks secara visual dalam gambar atau secara verbal di dalam uraian penjelasan, ataupun di dalam hubungan cerita, kecuali di dalam karangan yang kita sebut pornografi, dapat kita temukan pula di dalam kitab-kitab ilmiah mengenai hubungan seks, di dalam film-film yang berkualitas seni dan di dalam karya-karya sastra yang tergolong klasik. (1971:21)
Pada sajaknya yang berjudul "Dewa Telah Mati”, setidaknya bukan serta merta melecehkan kepada agama yang mempercayai dewa. Akan tetapi, ia menggunakan dewa sebagai eponim, dan mencoba memetaforkan "bumi adalah pelacur", telah ia tunjukkan dalam sajaknya, di bawah ini:
DEWA TELAH MATI
Tak ada dewa di rawa-rawa ini
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
pertapa yang terbunuh dekat kuil.
Dewa telah mati di tepi-tepi ini
Hanya ular yang mendesir dekat sumber
Lalu minum dari mulut
pelacur yang tersenyum dengan bayang sendiri
Bumi ini perempuan jalang
yang menarik laki-laki jantan dan pertapa
ke rawa-rawa mesum ini
dan membunuhnya pagi hari.
Kesan dalam Sajak
Dewa dalam sajak
Subagio, memiliki kesan eponim pada situasi di dalamnya. Penyair meminjam sifat
suci pada dewa sebagai penggambaran situasi. Tak ada dewa; tak ada kesucian.
Sehingga sudut pandang penyair merasa cemas, bingung ingin mengadu ke siapa,
sedangkan di rawa hanya ada gagak. Selain itu, gagak juga memiliki kesan yang
suram dan kelam, didukung dengan kuatnya cerita-cerita lama yang mengisahkan
gagak sebagai simbol kegelapan hidup.
Memang kelihatannya sinis pada judul sajak itu, namun dapat
kita hubungkan dengan sudut pandang penyair yang cemas, khawatir dan bingung.
Kalau dalam istilah spiritualnya low vibration,
barangkali semacam itu.
Pada bait
ketiga, larik awal, mengingatkan saya kepada Chairil Anwar pada sajaknya yang
berjudul Aku. Terasa betul pengaruh
Chairil pada sajak ini. Kalau Subagio Sastrowardoyo: bumi ini perempuan jalang, sedang Chairil Anwar: Aku ini binatang jalang. Metafora
tersebut telah menjadikan sajak semakin kuat. Tidak bisa kalimat itu ditelan
mentah-mentah.
Ada pula penggunaan alusi ‘pertapa’. Sebagaimana yang sering
kita baca, dengar, atau lihat kisahnya di film, selalu laki-laki yang bertapa
di hutan. Pada bagian ini, Subagio juga memanfaatkan kesan 'pertapa' untuk
kebutuhan alusi pada sisi spiritual sajak. Permainan alusi sering menunjukkan
luasnya wawasan baca seseorang, idealisme, intelektual, dan kultur budaya.
Perbedaan eponim
dan alusi: eponim menggunakan kesan sifat dari nama/tokoh yang sudah banyak
diketahui masyarakat, untuk menegaskan atau sebaliknya menyembunyikan makna
dalam sajak. Sedangkan alusi menggunakan kesan peristiwa dari nama tokoh untuk
menyeret ingatan pembaca kepada kisah yang sudah banyak diketahui.
Sederhananya, terletak pada sifat dan
peristiwa.
Selain itu, terkait dengan judul sajak, Dewa Telah Mati, barangkali penyair dalam sajaknya ada pengaruh dari Nietzsche yang pernah menulis "Tuhan telah mati". Konon frasa tersebut untuk menegaskan bahwa masa pencerahan sudah mestinya dihapuskan. Nah, barangkali Subagio juga demikian. "Sudah saatnya menghapus kata 'kemajuan'", kalau kata Pram. Ya, sudah semestinya hidup kita terhindar dari segala penindasan yang tercipta sebab selalu mengejar kemajuan.
Sisi Dualisme Sajak
Dalam sajak di
atas, penyair menuliskan kedua gender: laki-laki dan perempuan. Hal itu lalu
memunculkan pertanyaan dalam diri kita. Apakah yang dimaksud 'dewa' pada sajak
tersebut yang mencantumkan kedua gender? Apakah dewa yang dipuja? Apakah kasih
sayang lawan jenis? Atau segala hal yang baik? Atau segala yang dipuja?
Tentu saja
pembaca memiliki interpretasi, kesan dan pertanyaan yang mengganjal masing-masing.
Akan tetapi, setidaknya dapat dipahami melalui upaya pemaknaan saya di atas terkait
eponim. Dan dapat kita pahami juga bahwa dewa tidak melulu merujuk kepada
hal-hal spiritual. Misalnya di sebuah tongkrongan gamers, ada julukan 'dewa' bagi dia yang mahir dan lincah dalam
permainan. Tentu, itu biasa saja, dan tak ada unsur spiritualitas di dalamnya.
Hanya ada kesan berbeda dari gamers lainnya.
Selain dari
dualisme gender, ada pula dualisme pada latar waktu: siang dan malam, di dalam
bait pertama:
Hanya gagak yang mengakak malam hari
Dan siang terbang mengitari bangkai
Dualisme latar
waktu ini memiliki kesan gelap dan terang, tak menutup kemungkinan juga sebagai
simbol sedih dan bahagia pada diri manusia.
Umumnya yang kita ketahui, gagak ialah pemakan bangkai.
Tapi, mengapa penyair menuliskan gagak hanya mengitari bangkai? Hal ini kiranya
menimbulkan kesan kesedihan. Bangkai yang mestinya dimakan, hanya cukup
diitari, seolah-olah bangkai tersebut adalah sosok yang dikasihi, disayangi,
disedihi atas kematian sosok (barangkali pertapa yang terbunuh di dekat kuil).
Tak jarang Subagio memainkan dualisme dalam sajak. Kadang
terlihat, kadang samar. Misalnya pada sajaknya yang berjudul Sodom dan Gomora. Terdapat bunyi “surat pajak” dan “pembagian untung” pada bait pertama. Kedua frasa tersebut bersifat
dualis. Pada sajaknya yang lain juga terlihat dualisme semacam itu jika kita
perhatikan. Dengan dualisme inilah pembaca banyak yang kesulitan menangkap
paradoks dan antitesis yang ditawarkan Subagio.
Kembali lagi ke sajak di atas. Jika
ditilik latar tempat, sudut pandang penyair dalam sajak berada di alam liar,
yaitu rawa-rawa. Maka pantaslah penyair menuliskan "bumi ini perempuan jalang", karena penyair masih
konsisten dengan metaforanya, bumi adalah
pelacur. Dan dilanjutkan dengan sisi emosional yang dibangun penyair,
seperti di larik akhir "dan membunuhnya
pagi hari".
Sajak-sajak Subagio seperti juga yang dikatakan A. Teew:
Subagio Sastrowardoyo, muncul pada tahun 1957, dengan sekumpulan kecil sajak yang berjudul Simfoni. Sajak-sajak itu agak sukar, sinis, liar, kadang-kadang menggemparkan pula. Sajak-sajak tersebut, nampaknya ditulis sewaktu dia melakukan kunjungan yang lama ke Amerika Serikat untuk melanjutkan pelajaran. (1979:241)
Simfoni memuat sembilan sajak Subagio, antara lain: Dewa Telah Mati, Burung, Setasion, Sajak, Adam di Firdaus, Bulan Ruwah, Afrika Selatan, Sodom dan Gomora, Kampung. Kesembilan sajak tersebut, memiliki tema yang bervariasi. Penyair seperti tidak pernah kehabisan topik, sebab luas wawasan serta banyak pengalaman dapat ia tulis dalam sajak-sajaknya.