Alena Tidak Meninggal Pukul Delapan
Pasini
Ketika Jun bicara tentang
pernikahan Erick, Alena menyandingkannya dengan kematian Pipo. Ketika Jun
mengungkit orang tuanya yang menuju renta dan memaksa untuk segera memberinya
cucu, Alena serta-merta membelokkannya dengan kematian Bibi Lili, pekerja di
rumahnya sejak ia masih remaja. Juga kematian anjing kecil yang ditemuinya di
jalan dan seketika diberi nama ‘Acio’ sebelum dibawanya pulang, dikubur di
halaman belakang.
“Nama memudahkan mengirimi mereka doa,” lanjut
Alena, meski Jun tidak mengejarnya
dengan pertanyaan susulan.
Tentu saja Jun tidak suka dengan kematian. Apa
pun atau siapa pun. Ia berusia tiga enam. Masih ingin pergi ke Sapporo pada
musim semi dan menikmati sakura bermekaran, di usia empat lima. Bahkan berencana
menghabiskan masa tua tidak di Indonesia setelah menerima kabar dari salah
seorang teman yang awalnya kuliah di Melbourne. Kini teman itu beroleh
pekerjaan di Warburton dan hidup dengan kekasih masa kecilnya sewaktu di
Jakarta. Di sana mereka serumah dengan bahagia tanpa ada yang peduli atau
mengusiknya. Tidak seperti di timur. Kota itu sungguh cocok untuk usia senja
yang sudah tidak ingin lagi direcoki tuntutan dunia.
Tetapi Alena justru membuat Jun berpikir bahwa
usianya hanya akan sampai esok atau lusa. Kekasihnya itu begitu sering menyebut
kematian, alih-alih pernikahan karena hubungan mereka sudah berjalan tiga
bulan, gosip kawin cerai selebriti ala ibunya di rumah, atau tren busana
terbaru selayaknya gadis-gadis di pantaran usia.
Meski memang perbedaan Alena dengan
gadis-gadis kebanyakan itulah yang awalnya membuat Jun yakin memilihnya. Seorang
gadis dengan keranjang sepeda berisi jagung, asparagus, kentang, dan wortel
yang saking penuhnya dengan roda goyah membentur badan jalan berlubang, jatuh
berceceran serta beberapa di antaranya terlindas oleh roda mobil. Jun bersyukur
bukan si pengendara yang terjatuh. Ia bahkan tidak sanggup membayangkan
bagaimana nasib kepala Alena tanpa helm pengaman.
Jun buru-buru turun dari mobil yang
dikemudikannya. Memastikan tidak ada yang menjadi korban selain sayur malang
tadi. Alena mengatakan itu sepenuhnya salahnya karena memaksakan menerobos
lubang, tidak ada yang perlu dilakukan pelindasnya, meminta maaf sekalipun.
Tetapi Jun justru menawari gadis itu minum es
tebu yang dijual seorang lelaki tua di bawah pohon pakis.
“Siapa tahu tadi kamu sedang di ambang
dehidrasi sehingga menurunkan konsentrasi,“ kata Jun.
“Mungkin saja. Karena nyaris ke mana pun aku
pergi sendiri dengan mengayuh sepeda.”
“Sendirian? Tanpa satu pun teman?”
Jun langsung terpikir untuk mendekati gadis
itu.
***
“Tapi Alena selalu membahas tentang maut.
Bagaimana jika sebenarnya ia juga telah mempersiapkan kematiannya sendiri suatu
hari nanti?”
“Tak apa. Yang terpenting hal itu terjadi
setelah ia melahirkan seorang anak lelaki atau perempuan yang mirip denganmu...”
Entah apakah Erick bercanda waktu itu. Hanya
saja senyumnya membuat Jun berpikir bahwa semuanya masih baik-baik saja. Meski
bagi Jun, ia sudah mulai entah muak, entah aneh, belakangan ngeri, karena Alena
selalu saja membawa-bawa kematian yang pernah ditemuinya.
Kematian pertama yang diceritakan Alena adalah
kematian Bibi Lili. Setelah Alena lebih dulu bertanya pada Jun, apa kesibukan
ibumu di rumah jika kau tidak mengizinkannya banyak pergi ke luar. Apakah ia
lebih sering diam dan kadang-kadang saja bersenandung seperti ibuku di rumah?
“Ibuku justru banyak bicara. Dan tidak ada
yang perlu aku lakukan selain mendengarkan. Namun yang lebih sering, aku hanya berpura-pura
saja mendengarkan.”
“Bukankah menyenangkan mendengarkan seseorang
bicara? Kenapa kau harus berpura-pura ketika melakukannya?” Alena tak habis
pikir. Ia bahkan berandai menjadi Jun setiap hari agar bisa mendengarkan
seorang perempuan tua bicara. Alangkah menyenangkan.
“Aku menyayangi ibuku, kecuali banyak bicara
dan sifat menuntutnya. Lebih dari apa pun. Hanya perempuan hebat yang mampu
membesarkan seorang anak sejak usia delapan tahun sendirian.”
“Ayahmu?”
“Saat itu kami bertiga pergi liburan. Ayah
menyeberang jalan untuk membelikan kami minuman. Sebuah tronton tiba-tiba
menyambar tubuhnya. Di depan mataku, mata Ibu. Tubuh Ayah menggelepar bagai
ayam yang disembelih dan sekarat, sebelum kemudian benar-benar diam. Banyak
darah. Ibu berteriak-teriak bagai orang gila. Demi Tuhan aku bahkan yakin,
kalau saja Ibu melihat darah sebanyak itu sekali lagi, ia akan menjadi
benar-benar gila.”
Alena suka Jun kala ia bicara. Alena juga suka
Jun karena ia tak pernah bertanya hal konyol seperti Alex dan Milea. Sama
sekali tidak pernah.
“Ibu pernah bertemu lelaki berkumis tebal di
jalan. Tiba-tiba memukulnya. Memakinya. Hanya gara-gara lelaki seperti itu yang
menabrak Ayah. Jika sudah begitu, bukankah akan lebih baik jika ia di rumah
saja? Membuat sup asparagus. Dan aku hanya perlu berpura-pura mendengarkan
celotehannya saat ia menyantap sup itu sambil menonton acara gosip di televisi.”
“Oh. Ibumu suka sup asparagus juga? Seperti
mendiang Bibi Lili. Sayang, sejak ia meninggal, aku harus membuat sup itu
sendiri saat ingin menyantapnya.”
Jun beralih diam dan menggantikan posisi
sebagai pendengar kala Alena lebih lanjut bercerita tentang Bibi Lili yang
kemungkinan meninggal akibat serangan jantung. Sehari sebelumnya ia masih
mengomeli Pipo karena mencuri daging asapnya. Keesokan harinya Bibi Lili
ditemukan sudah dalam keadaan terbujur kaku di tengah ranjang.
Padahal ketika itu Jun hanya sedang
berpura-pura mendengarkan selayaknya Alena adalah seorang perempuan tua dengan
sup asparagusnya. Yang terpenting bagi Jun, ibunya begitu menyukai Alena. Itu
adalah pertama kalinya pula ia membawa seorang gadis ke rumah.
“Pacarmu itu begitu menggemaskan, Jun. Mungkin
di kehidupan dulu ia seorang peri dan karena kebaikannya diberi kesempatan
untuk terlahir kembali sebagai gadis yang sangat manis.”
Jun tidak pernah melihat ibunya sebahagia itu
sejak ayahnya meninggal. Selama puluhan tahun keceriaan terkubur bagaikan magma
dan kehadiran Alenalah yang meletuskannya kembali ke permukaan.
“Bola matanya begitu berbinar mendengarkan
ceritaku tentang sup yang keasinan. Menanyaiku berapa sendok garam yang aku
larutkan. Berapa liter air yang kupakai sebagai kaldu. Seperti bertahun-tahun
tidak mendengarkan seseorang bicara. Seperti bertahun-tahun tidak ada yang
mengajaknya bicara.”
Saking bahagianya, ibu Jun memberi kunci
duplikat rumahnya agar Alena bisa datang kapan pun gadis itu mau. Bagi Jun tak
masalah. Alena bukan ular berbisa yang dipelihara dengan penuh kekhawatiran
kelak akan berbalik melukai tuannya. Selama ini hanya Erick, temannya sejak kecil,
yang dipercaya ibu Jun untuk bisa dekat dengan keluarga mereka.
Alena percaya Jun lelaki yang baik meski di
awal ia menerimanya sebagai kekasih karena lebih tertarik dengan cerita Jun
tentang ibunya yang banyak bicara. Jun tidak seperti Alex, kekasih pertama yang
datang ke rumah Alena dan menanyainya kenapa rumahmu sepi seperti kuburan. Lalu
Alex membanggakan rumahnya dengan ibu, ayah, dan dua adik yang saling
bercengkerama sepanjang makan malam.
Tetapi Jun tidak. Yang didengarnya dari Alena
sepenuhnya dipercaya. Ia tidak mempermasalahkan apa pun. Seandainya ia tahu
Bibi Lili sebenarnya meninggal karena bunuh diri, sikapnya pada Alena
sepertinya tidak akan berubah. Mungkin ia hanya akan berkomentar bahwa Bibi Lili
adalah perempuan yang malang. Sebagaimana komentar Alena.
Alena yakin, ayahnyalah yang sebenarnya jahat.
Menjadi pejabat publik, ia mencitrakan dirinya bersih sebagai lelaki santun dengan
seorang istri setia dan anak gadis yang berbakti. Ibu Alena sudah lama
mendengar suaminya itu punya beberapa perempuan di luar sana. Baginya tak apa.
Toh perempuan-perempuan itu hanya akan menjadi serupa bayangan. Tidak akan
pernah menjadi sosok nyata yang secara tiba-tiba berdiri di depannya dan
merusak hidupnya.
Tetapi, kenapa harus Bibi Lili? Kenapa ayah
Alena harus menodai perempuan kampung yang polos? Perempuan paruh baya itu
menangis tersedu-sedu di depan Alena dan ibunya. Sejak itu ibu Alena mulai mematung.
Entah apa yang merasuki kepala Bibi Lili hingga ia ditemukan dalam keadaan
mulut berbusa beberapa hari kemudian.
Milea bertanya pada Alena suatu kali, “Apakah
benar ayahmu kawin lagi?”
Alena tak habis pikir, bagaimana seseorang
yang berpredikat teman baik bisa menanyakan sesuatu yang menyakiti hati teman
baiknya. Sebagai jawaban, Alena tidak membenarkan atau membantahnya. Ia justru
menyarankan agar Milea menjadi kekasih baru Alex. Sepertinya mereka berdua
pasangan yang cocok.
Alena lalu menciptakan dunianya sendiri. Tidak
lagi pergi bersenang-senang dengan teman-temannya di akhir pekan. Tidak lagi
punya kekasih. Ia hanya cukup berjalan-jalan dengan sepedanya. Lalu setibanya
di rumah, Pipo akan menyambutnya dengan jilatan pada kaki. Kemudian bermanja-manja
di pangkuannya. Sayang sekali, Pipo yang lucu itu kini sudah mati.
“Tak apa. Setelah kau menikah dengan Jun,
kalian akan memiliki bayi-bayi yang lebih lucu daripada seekor kucing. Kau bisa
menamai mereka dengan Pipo atau Acio,” hibur ibu Jun.
***
Sebelum polisi, pewarta, dan orang-orang lebih
banyak datang, mayat Alena pertama kali ditemukan oleh Jun, ibunya, dan Erick.
Setelah tak bisa dihubungi berkali-kali. Tapi tak ada siapa pun yang bisa
ditanyai. Di rumah Alena hanya ada perempuan tua yang sakit jiwa. Sudah
bertahun-tahun mengunci mulutnya, cuma sesekali membukanya bila tiba-tiba ingin
bernyanyi lirih. Seorang kepala keluarga tidak lagi pernah pulang, hanya saja
masih rutin mengirimkan uang di setiap awal bulan.
“Demi Tuhan, aku sudah memperlakukannya
selayaknya seorang putri. Seperti yang kamu perintahkan, Rick.” Jun meremas-remas
kepalanya sendiri. Tak mengerti.
Semua orang menduga Alena meninggal sekitar
pukul delapan, satu jam sebelum ia seharusnya menikah. Tapi itu salah. Alena sendiri
menyatakan bahwa ia sudah kehilangan nyawa sejak hari sebelumnya, dalam keadaan
berdiri menguping di balik pintu kamar.
“Bagaimana jika lambat laun ia menyadari?”
“Tidak mungkin. Ia tidak punya teman yang akan
memberi-tahunya. Ia juga tidak suka bertemu dengan banyak orang. Kau hanya
perlu bersikap manis untuk mencegahnya curiga. Agar semua terlihat baik-baik
saja. Setelah kita sama-sama memiliki anak, waktunya untuk hidup sesuai
keinginan kita. Anak-anak kita, biarlah ibunya yang mengurus mereka.”
“Tapi Alena selalu membahas tentang maut.
Bagaimana jika sebenarnya ia juga telah mempersiapkan kematiannya sendiri suatu
hari nanti?”
“Tak apa. Yang terpenting hal itu terjadi
setelah ia melahirkan seorang anak lelaki atau perempuan yang mirip denganmu.
Ibumu bisa mengasuhnya dengan bahagia karena kau telah menjadi anak yang patuh.
Memberi cucu yang diidamkannya. Setelah ia tutup usia, kau bisa membawa anak
itu bersama kita. Lalu kita menikah. Warburton tidak akan mempermasalahkan
seorang anak yang memiliki dua ayah, kan?”
Seketika Alena merasa malaikat melintas dan
mencabut rohnya. Dengan jasad kosong ia kembali membawa pulang sup asparagus
dipadu pipilan jagung yang sedianya hendak ditaruh di meja makan. Semalaman
Alena terus didatangi bayangan Bibi Lili. Bayangan Pipo. Juga Acio. Serentak
menyuruhnya mengambil benda tipis tajam dari atas meja. Mengiriskan ke urat
nadi.
“Sopir sialan! Sopir brengsek!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seiring dengan
genangan darah di mana-mana. Diikuti dengan amukan. Menjadikan suasana semakin
kacau dan riuh.