CELAH DIMENSI
Candrika Adhiyasa
Lelaki
itu memandangi langit-langit dengan perasaan rawan. Perasaan itu tidak dapat ia
mengerti, apalagi ia jelaskan. Namun, ia menghayati betul perasaan itu sebagai
sesuatu yang beresonansi dalam desir darahnya.
Lampu kamar masih padam, dan
satu-satunya sumber cahaya samar adalah dari balik jendela yang tertutup gorden
tipis. Cahaya samar yang menyembul dari balik jendela itu merupakan komposisi
yang disusun oleh sinar bulan, lampu-lampu kota, dan juga bintang-bintang yang
jauh. Langit tentu cerah, dan betapa biru penampakannya apabila penampakan ini
muncul di siang hari.
Lelaki itu merasakan dadanya
berdenyut. Ada debar jantung yang senantiasa berdetak sejak kali pertama ia
dilahirkan. Selama tiga puluh tahun, ia larut dalam kewajaran mekanisme itu,
dan baru kali ini ia memikirkannya: betapa jantung tak pernah berhenti barang
sejenak untuk memompa darahnya, yang artinya juga menjadi bagian dari penggerak
daya hidupnya. Lelaki itu mengira-ngira kapan terakhir kali ia memikirkan
persoalan semacam ini. Persoalan yang lebih sering dilupakan karena “sudah
dianggap wajar”. Penerimaan akan kewajaran, menurutnya, merupakan sesuatu yang
sering membuat orang kehilangan kesadaran akan sesuatu hal yang barangkali
kecil, tetapi begitu menentukan.
Ia menghela napas dengan berat, dan
mencoba bangkit dari ranjang dengan susah payah. Tubuhnya seolah menjadi dua
kali lebih berat, atau barangkali gravitas yang menjadi dua kali lebih kuat. Ia
tidak tahu mana yang benar. Namun ia bersikeras bangkit, dan dengan perlahan
telapak kakinya menyentuh lantai yang dingin. Bahunya terasa dibebani oleh kayu
keras yang berat, ia menghitung usianya, dan merasa kondisi ini tidak terlalu
wajar.
Setelah berjalan ke dapur dan
mengambil minum, ia memandangi wajahnya yang pucat di cermin dekat wastafel.
Untuk sejenak ia merasa asing dengan wajahnya sendiri, seperti sosok yang
bukan-dirinya. Namun perasaan itu baginya tidak masuk akal, dan ia mulai
membasuh wajahnya dengan air, mengelapnya dengan handuk, dan menyadari bahwa
tubuhnya telanjang. Ia pun mengambil kemeja dari lemari pakaian dari besi yang
di beberapa ujungnya tampak berkarat. Setelah memakai kemeja biru tua tanpa
dikancingkan, ia mengenakan celana dalam dan lantas membungkusnya dengan celana
pendek berwarna abu-abu. Ia menuju kulkas dan mengambil gin, menuangkannya pada
gelas kecil dan mengambil es batu di freezer,
meminumnya sambil berdiri dan tercenung.
“Sudah berapa waktu yang lewat?” ia
bertanya pada dirinya. Tidak jelas apa yang telah terlewat. Ia sendiri tidak memikirkannya
dengan jelas. Hanya saja, ia menyadari sesuatu yang tak bisa dijelaskannya,
bahwa sesuatu telah terlewati. Dan sesuatu itu bukanlah hal yang sederhana.
Ia kembali ke kamarnya, menyalakan lampu, lantas memandangi langit-langit yang
pertama ia lihat saat membuka mata. Langit-langit itu ditempeli bercak-bercak
kecokelatan karena rembesan air hujan. Sebuah bola lampu menempel di sana
dengan tidak mencolok. Matanya kini mengarah pada lemari kecil di depan,
barangkali, meja kerjanya. Berderet beberapa buku dengan sembarang. Tidak
tersusun sama sekali; warnanya, ketebalannya, atau kategori lainnya. Barangkali
ia sembarang menaruh buku-buku itu di sana, ia juga tidak ingat pernah membaca
buku-buku itu. Kini ia ragu, jangan-jangan buku-buku itu sebenarnya bukan
miliknya.
Ia menyeret kursi, duduk di depan
meja kerja itu, kemudian memandangi buku-buku itu dengan saksama. Sebagian
adalah buku-buku lama yang rata-rata ditulis di abad pertengahan, tentu sudah
dicetak ulang di tahun, barangkali, 2000-an ke sini. Tidak ada tanda-tanda
bahwa buku itu adalah cetakan lama. Sampulnya masih utuh, bahkan bagus, tidak
ada tanda pernah dibaca, tidak ada debu, dan lain-lain. Kini ia melihat alat
pemutar musik yang lebih mirip radio, lantas memerhatikannya sebentar. Beberapa
keping kaset blues berserak di bagian
belakang alat pemutar musik itu. Ia ambil satu, kaset Jimmy Dawkins. Tangannya
dengan saksama memasukan kaset itu ke alat pemutar musik, dan Kold Actions mengalun. Ia heran dengan
kecakapan tangannya dalam mengoperasikan alat pemutar musik ini. Perasaan asing
dengan benda itu menyembul, tetapi ada keramahan samar yang hinggap. Benda ini
miliknya, ia meyakini itu.
Udara terasa lembap dan pengap, ia
membuka jendela setelah menggeser gordennya. Terhampar lanskap perkotaan yang
bisu. Kebisuan itu bukanlah sesuatu yang lahir dari ketiadaan bunyi—bebunyian
timbul dengan banal—tetapi kebisuan itu seperti sensasi yang lahir dari
pertautan antara mata yang memandang lukisan Picasso dan “realitas” dalam
lukisan itu—yang tak bisa dijangkau oleh pikiran. Lanskap itu tampak aneh di matanya. Tidak ada keakraban
yang timbul dari pertautan matanya dengan lanskap itu. Ia merasa tinggal di
suatu sudut tersembunyi dunia ini, dan lanskap kota yang tampak itu adalah
wilayah yang menghuni cakrawala. Begitu jauh dan tak tersentuh, meski ia ada.
Ketika ia memutar kursinya pelan ke
arah ranjangnya, ia dapati selimut yang tadi ia gunakan ketika tidur. Di
dalamnya seperti ada sesuatu—atau seseorang—yang kemudian mengundang rasa
penasarannya. Tiba-tiba ia dihinggapi rasa cemas yang halus karena tarikan rasa
penasaran tentang apa (atau siapa) yang ada di balik selimut itu dan rasa
enggan untuk mengetahuinya—yang tidak ia ketahui kenapa. Rasa enggan itu juga
bukanlah rasa takut. Namun rasa penasaran yang menghinggapinya lebih kuat, dan
ia bangkit dari kursi, menuju ke sana dengan langkah ragu-ragu.
Angin masuk ke sudut-sudut ruang
melalui jendela yang terbuka, kemudian membelai tengkuknya. Ia rasakan angin
itu sebagai angin yang asing. Dingin, bukan sejuk. Meski ia merasa gerah tetapi
ia tidak merasa nyaman dengan belaian angin itu. Ia terpikir untuk menutup
jendela, tetapi ia memilih untuk menuntaskan hasrat ingintahunya lebih dulu.
Tangannya mulai menyentuh ujung selimut dan menyingkapnya secara perlahan
dengan emosional, seolah-olah ia sedang membuka kotak Pandora yang akan
menampakkan sesuatu yang bisa jadi mengerikan dan begitu berpengaruh pada
peradaban.
Helaian rambut yang halus itu mulai
tampak dari balik selimut, disusul dengan wajah tidur seorang perempuan yang
polos. Ketika selimut itu sepenuhnya disingkap, ia dapati seorang perempuan
tanpa pakaian itu tertidur menyamping ke kanan dan membelakanginya. Tulang
punggung perempuan itu timbul, sebuah kalung berwarna perak menggantung di lehernya.
Lelaki itu berjalan mundur dan mencari-cari kursi, lantas ia pun duduk. Ia
merasa lega sekaligus merasa aneh.
“Siapa dia?” batin lelaki itu. Dalam
benaknya, ia tidak menemukan suatu apa pun yang menyimpan ingatan tentang
perempuan ini, atau situasi ini, atau apa pun. Ia mengorek kembali kedalaman
memorinya dan hanya menemukan dasar tanpa ingatan yang ia cari. Seperti mimpi, ujarnya pelan. Kini lagu
berpindah pada Little Angel Child.
Lelaki itu tidak menemukan kecocokan intro musik ini dengan situasi yang dia
alami. Kata “situasi” juga baginya terkesan berlebihan. “Terlalu dramatis. Aku
bukan pemeran film-film Hollywood.” Kebingungan menyergap kepalanya, dan ia
memutuskan mengambil botol gin di kulkas, dan meminumnya langsung dari
botolnya.
Saat kembali ke kursi itu, ia masih
mendapati perempuan di ranjangnya. Tubuhnya kecil, ramping, tetapi tidak cukup
sensual untuk menarik minat seksualnya. Pemandangan ini lebih seperti
pemandangan “keluarga” ketimbang pemandangan erotis. Namun, ia tidak bisa
memastikan apa pun. Ia tidak bisa menemukan ingatan apa pun mengenai “aktivitas
macam apa” yang telah ia lalui bersama perempuan ini sebelum tidur. Kini lelaki
itu tersadar, bahwa ia sama sekali tidak punya ingatan tentang hari kemarin.
Seolah-olah ia terlempar begitu saja
ke dalam realitas ini, realitas yang baginya ambigu tetapi tidak terlalu
menggetarkan. Realitas ini hanya membingungkannya, dan kebingungan itu sekadar
berkelindan dengan wajar.
Lelaki itu berpikir, barangkali ia hanya harus menunggu
perempuan itu bangun dan menanyakan beberapa hal padanya. Dengan begitu,
barangkali, kebingungan yang ia alami akan terobati.
Lagu berpindah pada Tired of Krying. Lelaki itu memutuskan
untuk membaca sambil menunggu. Ia memilih buku paling tipis, sebuah buku
mengenai seseorang yang meminta kapal pada seorang raja untuk mencari “pulau
tak dikenal”. O Conto da Ilha
Desconhecida yang ditulis José Saramago yang ternyata tidak ditulis di abad
pertengahan, melainkan tahun 1998. Kesadarannya kini beralih pada
dunia-di-dalam-teks tersebut.
Dua puluh menit berlalu, perempuan
itu tak kunjung bangun. Lelaki itu merasa pinggangnya pegal, dan menyimpan
kembali buku yang telah selesai ia baca. “Buku yang menarik,” ujarnya. Ia
tersenyum samar. Setelah mengarungi “realitas lain” dalam buku itu, kini ia
terlempar kembali pada realitas dalam hidupnya. Kecemasannya kini kembali,
menjadi sedikit lebih pejal. Ia berpikir beberapa saat, mempertimbangkan apakah
baik apabila ia membangunkan perempuan itu. Ada ketidaksabaran dalam dirinya,
dan ia merasa harus segera melakukan sesuatu untuk menyudahi kecemasan yang
lahir dari kebingungannya. Ia pun bergerak ke ranjang.
Saat memandangi kembali tubuh
perempuan itu, ia menyondongkan wajahnya ke wajah perempuan itu, tetapi ia
cemas. Ia memang tidak percaya pada hantu, meski ia percaya pada hal-hal
mistik. Hantu hanyalah karakter fiksi yang dibuat oleh masyarakat, batinnya,
dan ia tidak memiliki kehawatiran awam semacam itu ketika hendak memandang
wajah si perempuan. “Tentu ia bukan hantu, dan tentunya wajahnya tidak akan
memiliki bentuk yang aneh.”
Ketika hendak memandang wajahnya,
perempuan itu berbalik dan mendengus. Matanya masih terpejam sambil sesekali
berkedut, dan lelaki itu cukup kaget. Dengan posisi perempuan itu yang
menghadap padanya, kini ia lebih leluasa untuk mengamati wajahnya. Lelaki itu
mencoba meredam rasa kagetnya dan mulai mengamati wajah perempuan itu.
“Yah, wajahnya cukup menarik. Tidak
terlalu cantik menurutku, tetapi ia menarik. Ada sesuatu semacam itu yang ia
miliki. Intinya, wajahnya normal. Itu wajah manusia. Tetapi … siapa dia?”
Lelaki itu memandangi payudaranya yang terbuka. Payudaranya tidak terlalu
besar, tetapi memiliki kepadatan yang cenderung menggoda. Namun, tidak ada
rangsangan yang dirasakan si lelaki. “Ini agak aneh.” Lelaki itu kini
mengkhawatirkan dirinya sendiri sambil memijat pelan dahinya.
Detak jam dinding menguasai ruang,
seolah-olah bebunyian kota padam dan tersapu olehnya. Setelah lega karena
wajahnya tidak memiliki bentuk yang aneh, ia tiba-tiba memiliki kekhawatiran
lain. Untuk memastikan, kini ia menyentuh dahi perempuan itu dengan hati-hati.
“Bisa kusentuh. Ia pasti manusia. Bukan hantu,” ujarnya. Meski ia tidak percaya
pada hantu, hal ini tetap membuatnya lega. Ia tidak terlalu siap dengan hal-hal
yang tidak terduga. Sambil mengeluarkan napas yang semula ditahannya, ia mundur
beberapa langkah, dan mulai mengamati perempuan itu dari sudut yang lain.
Perempuan itu membuka matanya
perlahan. Lelaki itu agak terperanjat, tetapi tidak sampai melompat atau
berteriak. Ia hanya mendesah sedikit karena terkejut. Mata mereka saling adu,
pandangan si perempuan seperti sedang melakukan penyesuaian sensorik, dan lelaki
itu merasakan semacam getaran aneh yang tak dapat dijelaskan. Ia tidak dapat
berkata-kata. Getaran aneh itu juga lebih seperti rasa iba, tetapi ia tidak
mengerti kenapa perasaan semacam itu yang ia rasakan. Lagu berpindah ke Roc-Kin-Sole. Perempuan itu
menghampirinya dengan tatapan yang hendak memastikan sesuatu. Lelaki itu tidak
bisa bereaksi dan semakin kebingungan, mulutnya terkunci. “Dia kenapa?”
batinnya lagi. Perempuan itu terus mendekat, dan lantas memeluknya dengan erat.
Napasnya yang hangat menempel di leher si lelaki, dan lelaki itu salah tingkah.
Ia tidak bergerak, tetapi isi kepalanya gemuruh. Situasi ini benar-benar tidak
dapat ia pahami. Perempuan itu kini terisak.
“Terima kasih sudah hadir dalam
mimpi,” ucap perempuan itu dengan lembut. Getaran suaranya yang memancarkan
perpaduan antara kesedihan dan kegembiraan tertangkap oleh benak si lelaki itu.
Setelah berpikir beberapa saat kebingungannya mencapai klimas, dan ia pun
mendapat suatu kesimpulan sederhana. Lelaki itu mengerti, bahwa ia kini bukan
penghuni dari realitas yang ia tahu. Ia sudah bukan milik bumi, ia sudah bukan
menjadi bagian dari kehidupan. Ia tak lebih dari karakter dalam bunga tidur
seseorang yang mencintainya di kehidupan sebelumnya.
Alat pemutar musik itu berhenti. Come Back Baby menyusut. Lanskap kota mati. Realitas menguap. Mereka berdua lenyap.
Kuningan, 25 Januari 2022