Kita Butuh Kata Untuk Merayakan Luka
Emi Suy
Bagi saya, yang mahal dari puisi, salah satunya adalah proses kreatif penciptaannya. Proses kreatif merupakan serangkaian
proses untuk mewujudkan ide menjadi karya nyata yang membutuhkan kreativitas. Bagaimana penyair tidak
hanya berjuang menangkap kejadian sebagai ide awalnya. Namun juga berupaya
menggambarkan suasana,
menemukan sudut pandang, gagasan, pemikiran, dan lainnya
ke dalam bentuk puisi. Bagaimana
mengelola itu semua, misalnya luka, menjadi
sebuah karya. Ini membutuhkan kemampuan mengolah energi negatif menjadi positif
yang sarat perenungan. Proses ini tidak hanya melibatkan pergulatan fisik, tetapi juga
pergulatan batin.
Dengan demikian, kita butuh kata. Kata dalam puisi, kata dalam hidup penyairnya. Pekerjaan memindahkan perasaan yang kompleks itu kepada kata-kata tentu bukan persoalan yang mudah. Itulah harga yang harus dibayar oleh seorang penyair. Proses mensublimasikan pengalaman ke dalam kata-kata, susah payahnya merangkai sehingga menemukan gambaran yang tepat adalah sesuatu yang mahal. Sebab tidak semua orang bisa dan sabar melakukannya, tidak semua mampu menemukan kata yang demikian kompleks dan menempatkannya ke dalam deskripsi yang tepat atas pengalaman hidupnya tersebut.
Selain itu, kita juga butuh kata untuk menjalani hidup. Betapa pentingnya kata bagi kita dalam kehidupan ini. Saya tentu tidak dapat membayangkan diri merasa sendirian tanpa kata, seperti misalnya saat sedih dan bingung, merasa suntuk dengan kehidupan, mengalami keadaan tertekan dan stres, atau ketika gembira dan ingin menceritakan. Semua keadaan yang sulit maupun yang mudah sama-sama membutuhkan kata. Saya kira penyair merasakan kebutuhan akan kata itu lebih mendesak daripada kebanyakan orang, bukan karena hidupnya lebih gawat, tetapi karena kesadarannya untuk mengekspresikan perasaan yang penting dicatat dalam perjalanan hidupnya. Apakah maksud mencatatnya berguna bagi orang lain kelak, atau hanya sebagai kepuasan pribadinya.
Demikianlah memang penyair membutuhkan kata untuk menjadi puisi, guna mengabarkan kepada yang lain tentang arti perjalanan, memberikan pelajaran bagaimana menyikapi cobaan, bahasa yang ekspresif ikut menguatkan batin. Memang puisi bukanlah solusi, tetapi kekecewaan yang terbahasakan tampaknya akan menyelamatkan kehidupan tinimbang tetap dipendam menjadi bara yang membakar. Itulah yang telah dilakukan oleh Ayu Yulia Djohan dengan buku puisi Tarian Badai (2022). Buku dua bahasa yang diterjemahkan oleh Anastasia Fanny Lioe ke dalam bahasa Inggris dan telah diluncurkan pada tanggal 13 Agustus 2022 di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Jakarta.
Ayu berhasil melakukannya dengan
baik. Segala perasaan tentang cinta, kerinduan, luka, kekecewaan, penderitaan,
harapan, dan lainnya, dapat
dipindahkan ke dalam puisi dengan cukup intens. Ia seakan
dapat melebur ke dalam jalinan kata-kata yang tertuang dalam puisi-puisinya. Tarian Badai bagi
saya adalah sebuah buku kumpulan puisi yang bersahaja. Di mana Ayu
menggarap tiap puisinya
dengan lembut
menggunakan simbol-simbol sederhana yang dekat dengan keseharian kita. Banyak
puisi tampil bersahaja, tetapi menyimpan pemaknaan
tersendiri atas kehidupan. Mari kita ambil contoh,
salah satu puisi di dalamnya:
Jelita
Kupandang
kaki
Lengkung ibu
jari
Tumit pecah
berkisah
Retak tanah
mana yang telah kupijak
Kuraba jemari
Baru sadar
terasa kasar
Pada telapak
tangan kapalan
Apa saja yang
sudah kau kerjakan?
Perlahan
kutatap wajah
Kantung mata
dan kerut di sudut
Peta petunjuk
arah
Aku pernah
ada
Dalam tangis, dan tawa
Puisi tersebut menggambarkan perjalanan hidup yang pernah dilalui bersama tangis dan tawa. Artinya tidak ada hidup yang statis, semuanya dinamis, tidak ada yang senang terus, pasti ada luka. Pada akhirnya hidup memerlukan puisi untuk menghadapi berbagai cobaan yang sebetulnya tidak selalu buruk, melainkan memiliki hikmah tersendiri, memiliki keindahannya tersendiri. Ayu berhasil melaluinya dengan luar biasa, di mana dia rangkum segala luka menjadi Tarian Badai. Buku tersebut menyiratkan, bukan hanya kemampuan Ayu melewati setiap luka, tetapi juga bagaimana dia bertahan untuk terus hidup. Kalaupun ada ratapan, itu bukan keputus-asaan.
Hidup ini adalah perjalanan. Di mana dalam perjalanan kadang kita dihadapkan pada badai. Apa pun itu, badai kehidupan selalu tentang ujian besar yang tidak mudah dilalui. Pengalaman-pengalaman di masa-masa terpuruk, menguji kekuatan mental, ketabahan iman dan ketahanan jiwa saat menghadapi fase sulit tersebut, seraya tetap yakin, bahwa tidak ada badai yang tak pernah berurai. Persoalan atau permasalahan hidup yang rumit akan terlewati dan melahirkan kedewasaan, juga naiknya tingkat atau derajat kita sebagai manusia. Kita sering mendengar, Tuhan tidak akan memberikan ujian atau cobaan di luar batas kemampuan manusia sebagai hambanya. Segala sesuatu hal di dunia ini telah diukur dengan tepat. Tuhan pasti tahu ketahanan manusia dalam menghadapi badai sehingga setiap bentuk dan durasinya akan sesuai porsinya.
Manusia memang selalu lebih menyukai hidup yang serba mudah ketimbang penderitaan. Namun Tuhan ingin kita menyadari bahwa segala sesuatu tidak bergantung dari keinginan kita melainkan kehendak-Nya, dengan adanya ujian hidup kita dibimbing untuk tidak sampai menyerah dan kembali kepada-Nya. Tuhan memberikan luka lengkap satu paket dengan obatnya. Dengan kata lain, Tuhan ingin dikenal melalui serangkaian kejadian dalam kehidupan. Sekali lagi, Tuhan memberikan disruption atau ujian berbentuk goncangan sebelum menaikkan kelas kita lebih tinggi.
Dalam teori manajemen perubahan, maka kita menemukan bahwa setiap perubahan ke arah yang lebih baik selalu didahului oleh disruption atau goncangan yang dalam istilah Ayu sebagai ‘badai’. Badai kehidupan memang menjadi semacam kiasan. Namun itu sama saja dengan badai dalam arti yang sesungguhnya, yaitu badai di lautan atau di gurun tidak akan terus terjadi. Cepat atau lambat, pasti ada saatnya berhenti juga. Bahkan, badai yang dahsyat, akan berlalu lebih cepat.
Manusia pasti pernah merasa terluka, kecewa dan sakit (hati), tetapi begitu hidup terus berjalan. Semua orang punya cara yang berbeda mengobati dirinya sendiri agar hidup tetap waras dan baik-baik saja, sebab diri sendiri pantas dan berhak bahagia, dan untuk itu harus mampu berdamai dengan diri sendiri, keadaan dan orang lain. Sebagian orang pernah punya rasa "tidak baik-baik saja", beberapa orang pernah "terluka pada saat tertentu", beberapa orang pernah punya "kecewa pada waktu terdahulu" beberapa orang pernah "menghormati kesedihan", beberapa orang pernah berjuang "memaafkan keadaan", sebagian orang mungkin pernah (masih) berjuang untuk berdamai dengan siapa pun yang telah "membuat kecewa" dan bahkan kepada yang "memberi luka". Sejatinya luka hanyalah media untuk membentuk kematangan jiwa.
Melaui puisi-puisi dalam Tarian
Badai, kak Ayu telah berhasil mengemas kekecewaan dan luka menjadi
bait-bait yang menyentuh sekaligus menendang. Ayu
berusaha bangkit dan terus menyala untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih
baik. Melalui (dan dengan) puisi, Ayu berusaha bertumbuh menjadi manusia yang manusiawi yang lebih
peka dan menerima “yang beda atau yang lain (the other)”. Saya rasa, melalui buku ini, Ayu telah menjadi perempuan
yang (bisa) menjahit lukanya sendiri.