Madu Pahit
Adi Zamzam (Nur Hadi)
Dua perempuan itu tersentak saat
terdengar bunyi benda dibanting dari ruang tengah. Entah helm, atau panci?
“Apa di
rumah ini ada tuyul?” suara parau itu terdengar marah.
“Ada apa
ta, mBak?” suara itu berbisik,
khawatir kedengaran yang di dalam.
Zumaroh
acuh. Masih menghitung jumlah kantong sak sesuai pesanan.
Suara
parau itu masih meracau tak karuan. Dari soal uang belanja sampai ‘pelayanan’.
Hingga kemudian menghilang setelah Avanza putih yang parkir depan rumah melaju
kencang dengan decit nyaring.
Sepeninggal
pelanggannya, Zumaroh berulangkali mengelus dada. Biar saja, biar saja,
batinnya. Jika yang ada dalam perempuan hanyalah rumah, sementara yang ada
dalam laki-laki hanyalah permainan, maka pasti dia akan pulang lagi. Bukankah
semua anak yang sudah capek bermain pasti akan pulang ke rumah?
* * *
Isya
baru saja usai. Cahaya di ufuk barat telah sempurna tertelan gelap. Zumaroh
menatap ujung jalan dengan cemas. Mencopot mukena yang masih dikenakan.
Telinganya mulai mendengar riuh musik dan gaduh keramaian.
“Pak
Lurah sudah ada di sana sejak sebelum Magrib, lho, Mbak. Kok kayaknya dirimu
enggak tertarik ke sana juga?” suara dari belakang itu sedikit mengagetkannya.
“Ini
lho, Dhe. Sudah sedari sore Arif ke sana, tapi kok ya ndak balik-balik,” sahutnya.
“Mungkin
ikut bapaknya.”
“Ah,
enggak lah, Dhe. Tadi dia bilang cuma cari mainan.”
“Yang
paling ramai di bagian depan sana. Bapaknya tadi kulihat juga di sana.”
“Ya
sudahlah, Makdhe. Aku mau makan dulu. Sudah lapar,” menemukan alasan yang tepat
untuk menghindar.
“Lho, Bu
Kades bener ndak ikut nonton ke sana? Kabumi itu cuma setahun
sekali lho. Dengar-dengar, di musim korona ini ada pelarangan bikin ramai-ramai
ta? Cuma Pak Lurah lho yang berani
kayak begini. Aku sebenarnya ya senang sekali ada keramaian kayak gini. Tapi ya cemas juga, bagaimana
kalau nanti para polisi datang? Aku ya khawatir kalau suamiku kena garuk,
padahal cuma ikut-ikutan gelar lapak. Mumpung ada keramaian.”
Zumaroh
malas menanggapi lantaran memang sudah lapar. Ia juga hafal betul tabiat
tetangga satu ini—semakin keran dibuka, semakin meluber airnya ke mana-mana.
Untunglah sebuah suara yang memanggilnya kemudian menghentikan ocehan itu.
Merasa
tak mendapatkan respons yang baik, perempuan paruh baya itu akhirnya kembali
lagi menuju teras rumahnya. Menonton lalu-lalang orang yang lewat depan
rumahnya.
“Aku
beli ini, Mak,” Arif menyodorkan mobil-mobilan yang baru saja dibeli.
“Kembaliannya diminta Kakak semua…”
“Mau
dibuat apa?” Zumaroh sedikit kesal. Teringat kemarahan lelakinya tadi sore.
Juga setidaknya, ia harus bisa menjual lima ratus lembar kantong sak gabah demi
mendapatkan uang sejumlah itu. Di tengah persaingan dengan dua toko lain yang
sudah mapan dan punya pelanggan tetap.
Mestinya,
Zumaroh memang bisa memakai nama suaminya untuk menarik pembeli. Toh cukup
banyak orang yang masih sungkan dan hormat. Tapi, ia tidak mau. Ia tidak mau terus-menerus
terperangkap dalam keadaan seperti ini. Ia harus bisa terbang cari makan
sendiri.
Salah
satu alasannya adalah hal yang membuatnya malam itu sulit tidur dan hanya bisa
membolak-balikkan badan di atas pembaringan. Bukan saja anak sulungnya yang
belum juga pulang. Tapi suara ingar-bingar musik dangdut itu. Suara klenongan gamelan telah berganti rampak
musik dangdut dan riuh-rendah para lelaki yang sedang asyik berjoget ria.
Dulu,
Slikin tidaklah seperti itu. Ia adalah lelaki yang penuh perhatian.
Perkenalannya dimulai ketika mereka berdua sama-sama berada dalam kelompok KKN
yang bertugas di sebuah desa lereng Muria. Semua kebutuhan Zumaroh tak ada yang
luput darinya. Sampai ke mana-mana dia mau antar. Zumaroh diratukan. Hingga akhirnya
ada hati yang terjerat.
Apakah
memang semua lelaki seperti itu?
Tidak.
Zum tidak ingin semua lelaki menjadi seperti itu. Setidaknya darah dagingnya
sendiri. Dan itulah yang merasukinya kemudian.
“Kamu di
rumah saja ya. Emak mau cari Kakak dulu,” ujarnya kepada si bungsu yang
terbangun saat ia membuka pintu depan.
Berisik
musik dangdut dan orang-orang yang hanyut olehnya masih terdengar dari arah
balai desa saat kedua mata Zum nyalang bergerilya di dalam bayang kegelapan. Hingga
akhirnya Zum menemukan empat lelaki tanggung yang tergeletak tanpa daya di
teras SD—tak jauh dari pusat keramaian di balai desa. Tiga botol minuman keras
tergeletak tak jauh dari mereka.
“Ayo
pulang, Nang. Mau jadi apa kalau
kelakuanmu kayak begini?” coba menyeret lengan anaknya sekuat tenaga.
Saat
remaja tanggung itu menggeliat dan meracau tak karuan, bau tak sedap langsung
menguar dan membuat kepala Zumaroh pusing. Tak mau menyerah begitu saja. Zumaroh
menarik paksa pemudanya itu.
“Suruh
pulang juga itu Bapak di sana!” bentak pemuda itu tiba-tiba, membuat sebuah
jantung serasa hampir copot.
Kedua
mata Zumaroh memang lantas beralih ke arah ingar-bingar lampu dan suara musik
di sebelah selatan kompleks sekolahan. Ada dua orang yang naik ke panggung demi
menyawer biduan. Di bawahnya, puluhan orang berdesak-desakan sambil joget. Dan
Zumaroh memang merasa ada miliknya yang tersesat di sana.
Tiba-tiba
saja udara dingin berembus mencubit kulit Zumaroh. Saat mendongak ke arah
langit yang dihiasi kilatan-kilatan cahaya, ia berdoa, semoga hujan turun
sederas-derasnya, membubarkan kerumunan itu dengan segera.
***
Semalam
hujan deras sekali. Bau tanah basahnya membuat tubuh Zumaroh terasa segar
sekali. Dadanya seakan penuh dengan semangat baru dan gelora untuk lebih giat
dalam hidup. Meski kemudian kembali mengempis begitu ia melihat putra sulungnya
yang tertatih pulang dari mati surinya. Tubuh degilnya terlihat menggigil.
“Cepatlah
mandi dan makan sana,” tegur Zumaroh saat berpapasan. Sapaan yang tak
bersambut.
“Mau
cari siapa, Buk? Sudah enggak ada orang lagi di sana,” beberapa menit kemudian
gantian dia yang mendapatkan sapaan. Pak Dul, tukang jaga sekolahan yang
merangkap sebagai seksi kebersihan balai desa.
Pandangan
Zumaroh memang tak lagi menemukan apa-apa lagi di sana—selain tenda, deretan
kursi berantakan, dan sampah yang bertebaran. Entah kapan rombongan orkes dan
wayang kulit itu pulang. Zumaroh juga tak tahu persis kapan hujan reda setelah
ia kalah dengan gigil dan kantuk.
“Nanti
pasti akan saya bersihkan, Buk. Saya sudah dipesani Pak Kades, tadi. Sekarang
saya mau bersih-bersih sekolahan dulu,” seolah merasa terbebani dengan
keberadaan Zumaroh.
“Oh,
enggak apa-apa, Pak,” mencoba tersenyum. Juga kepada pertanyaan-pertanyaan yang
hilir-mudik dalam benaknya.
Lelaki
itu pasti akan pulang, setelah capek, bosan, dan kehabisan modal, batinnya.
Sebelum membalikkan tubuh.
***
Mula-mula,
pemandangan itu membuat kepala Zumaroh terasa pening. Sebelum kemudian angin
yang membawa harum melati dan kenanga membuatnya merasakan ketenangan, bak
bius. Bukan deretan pedagang bunga di sepanjang pinggiran Pasar Bintoro yang
menyita penglihatannya, tapi sepasang lansia yang tertatih ke arah sebuah bank.
Zumaroh
tersenyum ketika si nenek memarahi si kakek yang langkahnya begitu lelet bak
anak yang baru bisa jalan. Bentaknya lagi, mengapa tabungan itu tak dialihkan
atas namanya saja, sehingga tak merepotkan begitu. Bentaknya lagi, tak usahlah
nanti mampir-mampir beli ini itu. Bentaknya lagi, harusnya si kakek masih bisa
cari duit sehingga tak mengandalkan uang pensiun saja.
Tapi
pemandangan itu tiba-tiba langsung berubah tatkala suara pedagang kantong sak menerobos
liang telinga Zumaroh, “Dia itu lurahnya Desa Pucangsari lho, Mbak. Dan itu gendhakannya,” sambil menata sak
pesanan.
Zumaroh
tergeragap, ketika sepasang lansia tadi dengan ajaibnya telah berubah menjadi
sepasang laki-laki dan perempuan yang tampak mesra. Ia pun memilih untuk
menyegerakan transaksi itu. Yang bergejolak di dalam dada begitu cepatnya
memanggil genangan di kedua mata. Beruntung bakul sak di hadapannya ini belum
tahu siapa sebenarnya Zumaroh.
***
Seharian
itu tak hanya sekali dua Zumaroh mendapatkan pertanyaan, apakah suaminya sudah
pulang? Bukan lantaran mereka membutuhkan stempel Kades seperti biasanya.
Zumaroh kemudian mengetahuinya ketika ia sedang berniat menjemput si bungsu
dari sekolahnya.
“Yaa,
bagaimana mau maju kalau jabatannya cuma dijadikan sebagai pekerjaan sampingan?”
satu suara, yang bisa Zumaroh duga itu siapa.
“Apalagi
sekarang dia sibuk dengan madunya,” sebuah suara menyambung, yang Zumaroh juga
tahu itu siapa.
“Eh,
yang sinden apa biduannya sih? Orang
mana?” sahut yang lain lagi.
“Yang
sinden. Orang Sayung.”
“Apa Bu
Kades tahu?”
Zumaroh
tak betah lagi. Kedua kakinya refleks mundur sebelum kemudian memutuskan
kembali pulang.
***
Tiga
sore berikutnya, lelaki itu pulang dengan wajah pucat dan muntah-muntah.
Mungkin masuk angin, mungkin juga perutnya penuh dengan minuman keras. Mungkin
dia sudah capek, mungkin juga dia sudah bosan, atau mungkin juga dia masih
ingat bahwa duapuluh empat bahu sawah bengkok
desa jatahnya akan dipanen serentak dua hari lagi—dan itu berarti duit,
duit, duit (orang yang main kan pasti butuh duit). Tapi Zumaroh tak peduli. Bahkan
keluarga besarnya pun sudah menyerah. Dan ia pun tak akan mengurusi sesuatu
yang bukan haknya.
Lagipula
Zumaroh sudah bersiap hendak pergi ke rumah Budhe Aida yang kemarin sudah sedia
meminjami modal untuk sewa kios di pasar.
Zumaroh
mencium pipi si bungsu sebelum kemudian menaikkannya ke atas sepeda motor. “Kita
tengok Kakak di rumah temannya dulu ya?” niat Zumaroh memastikan bahwa
sulungnya benar-benar ada di sana.
Sementara dari dalam rumah masih terdengar suara orang muntah-muntah. Zumaroh membatin, semoga saja terus seperti itu agar ia tak bisa berteriak-teriak memanggil atau marah-marah. Mengapa yang manis-manis diserahkan ke orang lain, sementara yang pahit-pahit dipulangkan kepadanya? Padahal dialah yang sudah bercapek-capek mengurus rumah dan selalu berusaha menghangatkan suasana di dalamnya.*
Demak, 2020-2022
Catatan:
Kabumi, Pesta hajatan desa, seusai panen raya.
Nang, Kenang, panggilan anak laki-laki