Hidup Adalah Meja Kecil Jelek di Ruang Tamu - Aliurridha

@kontributor 9/11/2022

Hidup Adalah Meja Kecil Jelek di Ruang Tamu

Aliurridha

 


Di luar untuk mendapat penghiburan, membaca sebuah cerita pendek adalah untuk melihat cara pandang baru terhadap sesuatu. Cara pandang baru bisa lahir lewat pelbagai hal, salah satunya lewat metafora konseptual. Lewat metafora konseptual yang dihadirkan narator dalam cerita, kita bisa mengetahui bagaimana sikap narator terhadap sesuatu, dan perasaan itu saya rasakan begitu kuat ketika membaca cerpen Etgar Keret berjudul Pineaple Crush.

Cerpen ini merupakan salah satu cerpen yang terhimpun dalam kumpulan cerpen Fly Already yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi Galat di Ujung Galaksi. Cerpen ini berkisah tentang pertemuan yang dituturkan lewat sudut pandang orang pertama. Naratornya adalah seorang laki-laki muda yang membenci pekerjaannya, tapi ia tidak punya pilihan selain terus bekerja. Karenanya, tiap sore ia menghisap lintingan ganja di tepi pantai sambil menatap matahari terbenam guna melunakkan realitas. Di sanalah ia bertemu seorang wanita asing yang meminta lintingan ganja yang sedang diisapnya. Lalu wanita itu meminta ia menyediakan lintingan ganja untuk mereka isap bersama.

Sekilas cerpen ini hanya berkisah tentang dua orang yang bertemu dan (mungkin) jatuh cinta tapi tidak bisa bersama. Namun jika dibaca lebih dalam, ceritanya jauh lebih dalam dari itu. Kita bisa melihat begitu banyak cara pandang baru. Salah satu lewat cara pandang narrator terhadap hidup. Ada kesinisan narator yang tertangkap lewat cara pandang narator terhadap hidup.

Pada umumnya hidup dikonseptualisasikan sebagai sebuah perjalanan; hidup adalah perjalanan. Itulah alasan kita sering menemukan ungkapan metaforis “dia telah tiba di akhir perjalanannya” ketika seseorang baru saja meninggal. Hal ini dikarenakan dalam kebudayaan kita, hidup dipahami lewat konsep perjalanan. Hidup adalah sebuah konsep yang abstrak. Untuk memahami sebuah konsep yang abstrak, manusia menggunakan referen yang lebih konkret, dan dengan cara inilah manusia menghadirkan apa yang disebut metafora konseptual. Lalu, metafora konseptual ini kemudian dimunculkan lewat ekspresi linguistik. Lewat ekspresi linguistik ini pula kita bisa menemukan bahwa ada kesamaan konseptual dari pelbagai kebudayaan di dunia atas cara pandangnya terhadap hidup. Hampir setiap bahasa dunia hidup dipahami lewat pengalaman manusia dalam melakukan perjalanan. Bisa dikatakan hidup dikonseptualisasikan sebagai perjalanan berlaku hampir di setiap kebudayaan.

Sebagai metafora konseptual, hidup adalah perjalanan bernada netral. Kita tidak tahu hidup akan membawa kita ke perjalanan yang seperti apa; baik, buruk, sengit, menyenangkan, atau bahkan sangat membahagiakan. Akan tetapi narator dalam cerita ini melihat hidup begitu sinis. Ia mengatakan:

“Giting yang pertama dalam sehari itu ibarat kawan sekolah, cinta pertama, iklan tentang hidup. Tapi bukan hidup itu sendiri—hidup adalah sesuatu yang, kalau bisa kumiliki, sudah bakal kukembalikan ke asalnya dari dulu. Dalam iklannya, hidup siap dipesan, semua sudah termasuk di dalamnya, nikmatnya bukan main, dan bebas. Setelah yang pertama, giting beberapa kali lagi membantuku melunakkan realitas, dan hari jadi lebih bisa dijalani meski rasanya tidak akan sama lagi seperti yang pertama.”

Lalu cara pandangnya yang sinis terhadap hidup itu semakin meningkat lewat ungkapan metaforis,


“Hidup itu ibaratnya meja pendek jelek yang ditinggalkan di ruang tamu oleh penyewa sebelumnya. Hampir sepanjang waktu kita awas dan berhati-hati, kita ingat benda itu ada di sana. Tapi kadang-kadang kita lupa lalu ujungnya yang runcing membentur tulang kering atau tempurung lutut, dan rasanya sakit sekali. Dan hampir selalu meninggalkan bekas luka. Saat kita nyimeng, meja rendah itu memang tetap ada di sana. Tidak ada selain kematian yang bisa membuatnya hilang. Tapi seisapan saja bisa menghaluskan sudut-sudut itu, menumpulkannya sedikit. Dan bila kita sedang melayang, sakitnya jadi jauh lebih ringan.”

Lewat ungkapan ini kita bisa tahu narator memandang hidup tidak ada bedanya dengan benda jelek yang ditinggalkan orang. Metafora konseptual yang berlaku hampir di seluruh kebudayaan direstruktur oleh narator hingga tidak lagi bernada netral; hidup menjadi bernada negatif. Karena cara pandang narator yang seperti ini tentang hidup, saya sebagai pembaca menjadi bertanya-tanya, ada apa dengan narator ini? Kenapa ia begitu sinis terhadap hidup? Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya ingin terus membaca cerita ini.

Jawaban mengapa ia berpandangan begitu sinis terhadap hidup adalah karena hidupnya sangat membosankan. Ia tidak punya tujuan hidup. Tidak juga punya ambisi. Hidup baginya seperti perjalanan tanpa tempat untuk dituju. Kesan itu benar-benar kuat ditanamkan kepada pembaca. Bahkan sampai menjelang berakhirnya cerita, kesan itu semakin bertambah lewat perenungannya tentang hidup ketika ia pertama kali menghisap barang bagus yang disebut Pineaple Crush. Narator berkata, “Lalu aku memikirkan Raviv lagi, menua lalu menjadi bayi lagi seperti ubur-ubur mini itu.”

Di sini kehidupan menjadi siklus tiada akhir, berputar-putar seperti salah satu jenis ubur-ubur yang ketika tua kembali menjadi bayi. Kesan tentang pengulangan-pengulangan membosankan sedikit tidak membuat saya teringat pada Sisifus yang dihukum mendorong batu sampai ke atas gunung, lalu setelah tiba di atas, batu digelinding dan jatuh ke bawah. Lalu ia kembali diperintahkan mendorongnya ke atas. Ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ia tahu bahwa ia akan terus melakukan hal yang sia-sia, tapi ia tetap juga melakukannya. Absurd. Dan memang seabsurd itu juga cara pandang narator cerita ini terhadap hidup. Lalu kemudian datang Akirov. Narator jadi seperti punya tujuan. Sisifus seperti lepas dari kutukan. Itu membuat cerita berubah warna, meski sedikit. Pahit berkurang meski hanya sedikit. Hidupnya menjadi sedikit lebih manis. Tapi hanya sedikit. Namun segala yang sedikit itu sangat terasa karena pahitnya begitu kental.

Setelah pertemuan narator dengan Akirov—seorang pengacara cantik yang berusia lebih tua darinya—cerita berkembang menjadi sesuatu yang menggairahkan. Ada sisi misteri dari sosok Akirov, dan itu membuat pembaca menjadi penasaran. Lalu narator dengan pandai membuat pembaca semakin penasaran memberi informasi yang terpotong-potong soal Akirov. Mulai dari ia tidak takut kehilangan ingatan jangka pendek, sampai ketidaktakutannya melanggar hukum. Lalu teknik penundaan (delay) yang digunakan Keret untuk menunda informasi soal kenapa Akirov akan menghilang tiga minggu lagi membuat pembaca semakin penasaran. Ketika narator bertanya kenapa ia harus menghilang tiga minggu lagi, Akirov hanya menjawab, “Akan kuceritakan tapi tidak hari ini.” Misteri pun semakin bertambah ketika Akirov mulai cerita sedikit-sedikit tentang dirinya. Narator bertanya, “Apakah Oded suaminya?” Akirov malah menjawab, “Kurasa sekarang aku nggak terlalu yakin bahwa dia suamiku.”

Perkembangan cerita dalam cerpen ini memang tidak terlalu mengejutkan. Tidak ada plot twist yang sampai membuat cerita berbelok terlalu tajam. Meski begitu, cerpen ini bukannya tanpa unsur kejutan. Menjelang akhir cerita kejutan hadir ketika Akirov mengungkapkan rahasianya bahwa ia tersangkut urusan hukum yang berkembang menjadi tidak terduga. Ia mengungkap suatu kasus suap yang ternyata lebih besar dari yang ia duga. Korupsi itu melibatkan begitu banyak orang besar di negerinya, dan itu membuat ia terpaksa keluar dari negerinya. Akirov terpaksa mengikuti program perlindungan saksi, dan itu membuatnya harus membuang nama dan kehidupannya untuk mendapat identitas baru dan tinggal di suatu tempat yang ia tidak tahu di mana. Ternyata suami Akirov malah tidak ingin ikut dengannya. Lelaki itu berkata, ia terlalu dekat dengan keluarganya. Lalu narator yang tadinya tidak punya tujuan hidup langsung dengan sigapnya berkata, “Aku akan ikut denganmu, ke mana pun itu. Aku suka kejutan.” Narator yakin betul ketika mengatakannya, seolah tahu bahwa untuk itulah ia hidup. Nada netral dari metafora tentang hidup kembali. Hidup tidak lagi menjadi sebuah meja kecil jelek di ruang tamu, tapi kembali ke konsep yang sudah mapan dalam cara kebudayaan manusia: hidup adalah perjalanan. Hal ini terbukti di akhir cerita, saat Akirov akhirnya pergi meninggalkannya, narator berkata:


“Kedengarannya seperti awal—atau mungkin akhir—kisah sebuah dongeng. Aku percaya dia akan bahagia di sana, di mana pun itu, bahkan tanpa bersamaku. Akan ada orang lain yang memetikkan kelapa untuknya. Atau dia akan memetiknya sendiri. Ke mana pun mereka mengirimnya, kuharap tempat itu hangat. Setiap kali kuoper lintinganku dan tangan kami bersentuhan, jari-jarinya selalu terasa dingin.”

Cerpen ini ditutup dengan cara yang begitu epik. Saya bisa katakan ini adalah salah penutup terbaik dari cerita yang pernah saya baca. Setiap membaca cerita, saya selalu memikirkan penutup alternatif, dan untuk cerpen ini saya belum menemukan akan ada cara menutup yang lebih baik dari ini. Saya sempat memikirkan penutup alternatif untuk cerita ini. Saya mencoba membayangkan cerita ini ditutup dengan si narator ikut Akirov. Tapi akhir yang bahagia seperti ini tidak pernah mengendap lama di kepala kita. Bukannya selalu begitu, kenangan pahit selalu lebih awet dari kenangan manis? (*)

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »