Amarah Sang Arwah
Arianto
Adipurwanto
Maq Pongkor menuruni jalanan terjal Tangkok Popo,
memikul gulungan tikar pandan. Di dalam gulungan tikar itu, tersimpan sebuah
bantal kumal dan beberapa lembar pakaian yang berhasil ia selamatkan. Mendekati
Sungai Popo, ia mendengar suara ledakan. Ia berhenti, berbalik, tetapi tidak
dapat melihat apa-apa. Namun ia tahu, itu adalah ledakan tiang bambu rumahnya
yang baru saja terbakar.
Desisan keluar dari mulutnya, melewati
barisan giginya yang besar-besar dan tampak tidak wajar. Lama-lama, desisan itu
berubah menjadi racauan. Suaranya bergetar. Tubuhnya mandi keringat. Amarah
menguasai dirinya, sampai ke ubun-ubun.
Telah tiga kali rumahnya
terbakar. Pertama ketika ia baru tinggal di Lelenggo setelah berminggu-minggu
mencari tempat tinggal. Waktu itu, dalam keadaan hampir putus asa; serangkaian
kutukan ia tujukan pada hidupnya yang penuh ujian, ia bertemu dengan perempuan
tua di Sungai Keditan, Naq Colaq. Perempuan tua bungkuk yang tampak seperti
belalang raksasa di matanya itu, tengah berusaha mencari siput yang melekat di
tepian batu-batu kali. “Setan hidup ini,” teriak Maq Pongkor. Naq Colaq langsung
saja mendongak, menatap penuh keheranan. Maq Pongkor duduk di atas batu,
meletakkan sebuntal pakaian yang selalu ia bawa ke manapun ia pergi di atas
pangkuannya, dan ia mulai menceritakan asal usul dirinya.
“Saya dari sanaaa,” ucap Maq Pongkor sambil
menunjuk arah timur. Mulutnya terbuka lebar dan matanya mendelik saat ia
mengucapkan kata “sana.” Naq Colaq memandang ke arah yang ia tunjukkan dan
mengetahui di arah yang Maq Pongkor maksud hanyalah hutan belantara tak
tertembus. Bukan hanya itu, Naq Colaq juga tahu di hutan itu hidup seekor boro-boro yang akan mengunyah siapa pun
yang berhasil ia temukan. Naq Colaq menyampaikan hal itu sambil memandang Maq
Pongkor keheranan.
“Ada kampung di sana. Banyak orang
tinggal. Tapi katanya kampung itu mau diserang,” ucap Maq Pongkor. “Baru saya
hidup tenang sudah ada begitu-begitu.”
“Diserang siapa?”
“Katanya akan ada perang.”
Naq Colaq kedinginan. Ia menepi,
menggenggam beberapa siput temuannya. Kain lusuh motif bunga-bunga sepatu yang
ia kenakan telah basah. Menempel di pahanya. Kedua betisnya penuh bekas luka
berwarna putih—sangat putih—dan berkerut-kerut. Tetes-tetes air jatuh dari
tubuhnya, jatuh ke atas batu-batu dan tanah di bawahnya.
“Saya cari tempat tinggal,” kata
Maq Pongkor sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Naq Colaq yakin
laki-laki di depannya tengah kesusahan. Ia segera menawarkan pertolongan. Ia
mengajak laki-laki yang belum ia tahu namanya itu ke rumahnya dan hanya selang
tiga hari dari itu, Maq Pongkor mengangkut puluhan batang bambu yang masih
hijau menuju selatan rumah Naq Colaq. Persis di atas bekas perkampungan tua
yang para penghuninya terbantai penyakit tak dikenal, Maq Pongkor mendirikan
rumah. Barangkali karena telah dibangun di atas tanah yang lebih dulu dikuasai
arwah, rumah itu begitu saja terbakar, pohon-pohon di sekitar rumah itu ikut
pula hangus. Rumah kedua dibangun tidak jauh dari tempat pertama dan ia hanya
menemukan abu sepulang dari minum tuak di rumah salah seorang warga di seberang
sungai. Hanya asap tipis meliuk-liuk naik, seperti tarian selamat tinggal untuk
dirinya. Terakhir, ia berpindah cukup jauh, tepat di puncak bukit, dekat sebuah
makam yang tidak lain adalah makam suami Naq Colaq, Maq Colaq.
Maq Pongkor membangun rumah
bambunya sendirian. Sesekali Naq Colaq menaiki bukit dengan terbungkuk-bungkuk,
menemani Maq Pongkor dengan aneka cerita. Naq Colaq berbicara dengan gemetar.
Dan karena beberapa giginya telah tanggal, seringkali suara yang ia keluarkan
hanya berupa desisan, tidak begitu terdengar jelas.
Naq Colaq memulai cerita tentang
kubur yang dipenuhi ilalang, hanya jarak beberapa meter dari tempat duduknya.
Dua biji batu nisan kuburan itu telah miring. Suaminya meninggal saat Lelenggo
masih ramai. Dan seolah-olah dijemput
oleh arwah suaminya—ia sendiri percaya bahwa itu benar—puluhan warga yang lain
pun bertumbangan. Satu orang tewas setelah menenggak tuak dan tak seorang pun
yang tahu persis apa yang menyebabkan kematiannya. Puluhan dukun didatangkan
dan mereka melontarkan puluhan jawaban yang semakin membuat kecurigaan antar
warga semakin membesar. Laki-laki itu katanya mati setelah menenggak tuak yang
telah ditaburi racun kiriman orang selaq
dari suatu tempat yang sangat jauh yang dikirim melalui seekor lalat berwarna
hijau dan bermata merah. Dukun yang lain mengatakan laki-laki itu mati karena
janji nenek-moyangnya yang belum dilunasi. Ada yang mengatakan, setelah
menyombongkan diri bahwa dirinya yang paling sakti dan dukun yang lain adalah
kacang baginya, bahwa laki-laki itu mati karena diracuni oleh teman minumnya
karena persoalan perempuan. Ada puluhan lagi yang hampir mirip satu sama lain.
Laki-laki lainnya tewas pada saat Lelenggo diguyur hujan lebat. Ia jatuh dari
pohon enau, menimpa batu dan kepalanya pecah. Seorang perempuan tewas di tengah
kebun, ia mencangkul kakinya sendiri saat ia mencari gayas untuk sedaq minum
tuak. Siapa pun dan bagaimanapun cara mereka mati, Naq Colaq yakin mereka terlibat
dalam pembunuhan suaminya, dan arwah suaminya telah menjemput paksa para warga
itu pergi dari dunia.
“Maq Colaq mati malam Jumat,”
kata Naq Colaq. “Maaf, saya sebut-sebut nama kamu. Mudahan banyak reseki saya,” lanjutnya sambil mengetuk-ketuk tanah. Ia memang
selalu meminta maaf setiap kali ia menyebut suaminya secara berlebihan. “Bagus
tempatnya di sana, dia ndak punya
salah apa-apa, apa-apa yang orang minta dia kasih,” lanjutnya.
Barangkali lantaran terlalu
sering mendengar nama Maq Colaq disebut, suatu malam, di bawah limpahan cahaya
bulan, Maq Pongkor seperti melihat seorang laki-laki kurus beruban tengah duduk
mencangkung di kuburan itu dan terus memandanginya tanpa berkedip sekalipun.
Samar-samar, Maq Pongkor melihat rambut beruban laki-laki itu bergerak-gerak
kecil tertiup angin, senada dengan gerakan ilalang di sekelilingnya.
Pemandangan itu, tanpa Maq
Pongkor sangka, benar-benar ia lihat pada saat rumahnya di puncak bukit itu
terbakar. Semalam ia tidur di rumah Naq Colaq. Ia lupa bagaimana kejadiannya.
Ia hanya ingat bagaimana ia minum berbotol-botol tuak dan berpiring-piring gayas. Naq Colaq seperti biasa
menemaninya minum. Naq Colaq duduk bersandar di tiang, menghadap ke utara, menyelonjorkan
kaki, dan dengan tangan kanannya, ia mengelus-elus betis. Berhenti
mengelus-elus saat ia meraih gelas tuak dan gayas,
dan sesekali saat cerita tentang suaminya membuat ia harus mengibas-ibaskan
tangannya.
Pagi sekali Maq Pongkor terbangun
dan mendapati dirinya tidur di samping Naq Colaq. Di atas dipan bambu yang
berkeriat-keriut. Naq Colaq memunggunginya. Tampak oleh Maq Pongkor tali kutang
perempuan tua itu, penuh bintik-bintik hitam. Punggung keriputnya juga dipenuhi
bintik-bintik seperti puluhan lalat mungil. Perempuan tua baik hati yang
menolongnya itu tidur dengan sangat pulas. Tidak berani membangunkan Naq Colaq,
Maq Pongkor turun dari dipan, membuka pintu dari anyaman bambu dengan setengah
tenaganya, dan berjalan dengan sedikit sempoyongan ke rumahnya. Beberapa kali
umpatan keluar dari mulutnya saat ia terjerumus ke dalam lubang bekas Naq Colaq
mencari kekeh. Ia tidak mengumpat siapa
yang telah membuat lubang itu di situ, tetapi benar-benar mengumpat lubang itu
seolah-olah lubang itu adalah seorang manusia yang dengan sengaja ingin
mencelakakannya. Hampir saja lubang ketiga mendapatkan dampratannya, jika tidak
dari puncak bukit, tepatnya dari arah rumahnya, terdengar sebuah ledakan.
Tatkala ia mendongak, tampak olehnya asap membubung tinggi.
Segar bugar, seolah ia tidak
pernah menenggak berbotol-botol tuak semalam, dan seolah ia tidak pernah
tersungkur ke dalam lubang, ia berlari. Sumpah serapah berhamburan dari
mulutnya. Sumpah serapah itu seperti ribuan tentara yang tengah merontokkan
gigi-giginya yang besar-besar dan kuat. Tidak butuh waktu lama untuk ia sampai.
Api baru saja melahap sebagian dinding rumahnya dan atap terasnya. Ia segera
masuk setelah memberikan tendangan keras pada pintu yang sebenarnya telah
setengah terbuka. Ia dengan gerakan sangat cepat menyelamatkan tikar, bantal,
dan sebuntal pakaian yang teronggok di sudut rumahnya. Hanya itulah yang ia
miliki. Sebuah piring tergeletak di sudut yang lain, masih ditempeli bumbu yang
telah basi. Piring yang ia pakai untuk membawa nasi dan lauk pemberian Naq
Colaq hari sebelumnya.
Api membesar dengan cepat. Keringat
membasahi tubuh Maq Pongkor dan membuat bajunya lengket. Ia tidak habis pikir,
telah tiga kali rumahnya terbakar tanpa sebab. Ia teringat kata-kata seorang
dukun yang datang ke rumah Naq Colaq untuk mengobati sakit encok perempuan tua
itu. Katanya, rumah Maq Pongkor telah dibangun di tempat yang salah. Rumah itu
dibangun tepat di tengah jalan raya para jin. Karena itu, para jin itu marah
dan membakar rumahnya. Saat rumahnya terbakar kedua kalinya, Maq Pongkor yakin
pada kata-kata dukun itu dan membuatnya membangun rumah ketiganya di tempat
yang cukup jauh dari tempat kedua. Akan tetapi, rumah ketiganya ternyata
terbakar juga dan itu membuat amarahnya benar-benar tak terkendali.
Tergesa-gesa, ia meletakkan
bantal dan buntalan pakaiannya ke atas tikar dan menggulung harta paling
berharga miliknya. Ia akan diam di rumah Naq Colaq sementara waktu. Jika bisa,
pikirnya, ia akan tinggal di tempat itu sampai ia mati. Sebelum pergi, ia
melayangkan pandangan ke rumahnya dan terakhir ke seonggok tanah yang dipenuhi
ilalang dan ditancapi dua batu nisan itu.
Ilalang itu bergoyang-goyang
ringan. Dua batu itu tertancap dengan sangat dingin. Selama ia tinggal di situ,
ia tidak ingat kapan ia memandang makam selama itu. Semakin lama ia memandang
ia merasa melihat sesuatu yang bukan hanya ilalang dan dua buah batu. Akan tetapi,
sesuatu yang lain, yang benar-benar hidup. Saat api yang membakar rumahnya semakin
membesar, dan seolah api itu yang membantu ia melihat, ia mendapati sesuatu
yang sangat jelas tengah duduk menjangkung di atas makam itu. Seorang laki-laki
tua, beruban, memandangnya dengan melotot. Maq Pongkor berpikir laki-laki itu
adalah arwah Maq Colaq. Namun, saat beberapa detik kemudian, laki-laki tua itu
menghamburkan api, Maq Pongkor berpikir yang lihat adalah jin.
Takut atau karena sebab lainnya,
Maq Pongkor buru-buru pergi. Memikul gulungan tikar pandan di bahu kanannya.
Bertelanjang kaki ia menuruni bukit, menuju rumah Naq Colaq. Namun, entah
bagaimana, kedua kakinya justru terus berjalan. Melewati rumah Naq Colaq,
menjauh, hingga sampai di Tangkok Popo. Desisan yang kemudian berubah menjadi
racauan keluar dari mulutnya. Ia tidak tahu apa yang membuatnya pergi dari
Lelenggo, dan harus mencari tempat tinggal lagi. Setelah cukup jauh berjalan,
ia berhenti dan saat itulah ia merasa yakin bahwa yang ia lihat di atas kubur
itu bukanlah jin, tetapi arwah Maq Colaq yang telah dikuasai amarah.*
4 Juli 2018