Amarah Sang Arwah - Arianto Adipurwanto

@kontributor 10/23/2022

Amarah Sang Arwah

Arianto Adipurwanto



Maq Pongkor menuruni jalanan terjal Tangkok Popo, memikul gulungan tikar pandan. Di dalam gulungan tikar itu, tersimpan sebuah bantal kumal dan beberapa lembar pakaian yang berhasil ia selamatkan. Mendekati Sungai Popo, ia mendengar suara ledakan. Ia berhenti, berbalik, tetapi tidak dapat melihat apa-apa. Namun ia tahu, itu adalah ledakan tiang bambu rumahnya yang baru saja terbakar.

Desisan keluar dari mulutnya, melewati barisan giginya yang besar-besar dan tampak tidak wajar. Lama-lama, desisan itu berubah menjadi racauan. Suaranya bergetar. Tubuhnya mandi keringat. Amarah menguasai dirinya, sampai ke ubun-ubun. 

Telah tiga kali rumahnya terbakar. Pertama ketika ia baru tinggal di Lelenggo setelah berminggu-minggu mencari tempat tinggal. Waktu itu, dalam keadaan hampir putus asa; serangkaian kutukan ia tujukan pada hidupnya yang penuh ujian, ia bertemu dengan perempuan tua di Sungai Keditan, Naq Colaq. Perempuan tua bungkuk yang tampak seperti belalang raksasa di matanya itu, tengah berusaha mencari siput yang melekat di tepian batu-batu kali. “Setan hidup ini,” teriak Maq Pongkor. Naq Colaq langsung saja mendongak, menatap penuh keheranan. Maq Pongkor duduk di atas batu, meletakkan sebuntal pakaian yang selalu ia bawa ke manapun ia pergi di atas pangkuannya, dan ia mulai menceritakan asal usul dirinya.

 “Saya dari sanaaa,” ucap Maq Pongkor sambil menunjuk arah timur. Mulutnya terbuka lebar dan matanya mendelik saat ia mengucapkan kata “sana.” Naq Colaq memandang ke arah yang ia tunjukkan dan mengetahui di arah yang Maq Pongkor maksud hanyalah hutan belantara tak tertembus. Bukan hanya itu, Naq Colaq juga tahu di hutan itu hidup seekor boro-boro yang akan mengunyah siapa pun yang berhasil ia temukan. Naq Colaq menyampaikan hal itu sambil memandang Maq Pongkor keheranan.

“Ada kampung di sana. Banyak orang tinggal. Tapi katanya kampung itu mau diserang,” ucap Maq Pongkor. “Baru saya hidup tenang sudah ada begitu-begitu.”

“Diserang siapa?”

“Katanya akan ada perang.”

Naq Colaq kedinginan. Ia menepi, menggenggam beberapa siput temuannya. Kain lusuh motif bunga-bunga sepatu yang ia kenakan telah basah. Menempel di pahanya. Kedua betisnya penuh bekas luka berwarna putih—sangat putih—dan berkerut-kerut. Tetes-tetes air jatuh dari tubuhnya, jatuh ke atas batu-batu dan tanah di bawahnya.

“Saya cari tempat tinggal,” kata Maq Pongkor sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Naq Colaq yakin laki-laki di depannya tengah kesusahan. Ia segera menawarkan pertolongan. Ia mengajak laki-laki yang belum ia tahu namanya itu ke rumahnya dan hanya selang tiga hari dari itu, Maq Pongkor mengangkut puluhan batang bambu yang masih hijau menuju selatan rumah Naq Colaq. Persis di atas bekas perkampungan tua yang para penghuninya terbantai penyakit tak dikenal, Maq Pongkor mendirikan rumah. Barangkali karena telah dibangun di atas tanah yang lebih dulu dikuasai arwah, rumah itu begitu saja terbakar, pohon-pohon di sekitar rumah itu ikut pula hangus. Rumah kedua dibangun tidak jauh dari tempat pertama dan ia hanya menemukan abu sepulang dari minum tuak di rumah salah seorang warga di seberang sungai. Hanya asap tipis meliuk-liuk naik, seperti tarian selamat tinggal untuk dirinya. Terakhir, ia berpindah cukup jauh, tepat di puncak bukit, dekat sebuah makam yang tidak lain adalah makam suami Naq Colaq, Maq Colaq.   

Maq Pongkor membangun rumah bambunya sendirian. Sesekali Naq Colaq menaiki bukit dengan terbungkuk-bungkuk, menemani Maq Pongkor dengan aneka cerita. Naq Colaq berbicara dengan gemetar. Dan karena beberapa giginya telah tanggal, seringkali suara yang ia keluarkan hanya berupa desisan, tidak begitu terdengar jelas.

Naq Colaq memulai cerita tentang kubur yang dipenuhi ilalang, hanya jarak beberapa meter dari tempat duduknya. Dua biji batu nisan kuburan itu telah miring. Suaminya meninggal saat Lelenggo masih ramai. Dan seolah-olah dijemput oleh arwah suaminya—ia sendiri percaya bahwa itu benar—puluhan warga yang lain pun bertumbangan. Satu orang tewas setelah menenggak tuak dan tak seorang pun yang tahu persis apa yang menyebabkan kematiannya. Puluhan dukun didatangkan dan mereka melontarkan puluhan jawaban yang semakin membuat kecurigaan antar warga semakin membesar. Laki-laki itu katanya mati setelah menenggak tuak yang telah ditaburi racun kiriman orang selaq dari suatu tempat yang sangat jauh yang dikirim melalui seekor lalat berwarna hijau dan bermata merah. Dukun yang lain mengatakan laki-laki itu mati karena janji nenek-moyangnya yang belum dilunasi. Ada yang mengatakan, setelah menyombongkan diri bahwa dirinya yang paling sakti dan dukun yang lain adalah kacang baginya, bahwa laki-laki itu mati karena diracuni oleh teman minumnya karena persoalan perempuan. Ada puluhan lagi yang hampir mirip satu sama lain. Laki-laki lainnya tewas pada saat Lelenggo diguyur hujan lebat. Ia jatuh dari pohon enau, menimpa batu dan kepalanya pecah. Seorang perempuan tewas di tengah kebun, ia mencangkul kakinya sendiri saat ia mencari gayas untuk sedaq minum tuak. Siapa pun dan bagaimanapun cara mereka mati, Naq Colaq yakin mereka terlibat dalam pembunuhan suaminya, dan arwah suaminya telah menjemput paksa para warga itu pergi dari dunia.

“Maq Colaq mati malam Jumat,” kata Naq Colaq. “Maaf, saya sebut-sebut nama kamu. Mudahan banyak reseki saya,” lanjutnya sambil mengetuk-ketuk tanah. Ia memang selalu meminta maaf setiap kali ia menyebut suaminya secara berlebihan. “Bagus tempatnya di sana, dia ndak punya salah apa-apa, apa-apa yang orang minta dia kasih,” lanjutnya.

Barangkali lantaran terlalu sering mendengar nama Maq Colaq disebut, suatu malam, di bawah limpahan cahaya bulan, Maq Pongkor seperti melihat seorang laki-laki kurus beruban tengah duduk mencangkung di kuburan itu dan terus memandanginya tanpa berkedip sekalipun. Samar-samar, Maq Pongkor melihat rambut beruban laki-laki itu bergerak-gerak kecil tertiup angin, senada dengan gerakan ilalang di sekelilingnya.

Pemandangan itu, tanpa Maq Pongkor sangka, benar-benar ia lihat pada saat rumahnya di puncak bukit itu terbakar. Semalam ia tidur di rumah Naq Colaq. Ia lupa bagaimana kejadiannya. Ia hanya ingat bagaimana ia minum berbotol-botol tuak dan berpiring-piring gayas. Naq Colaq seperti biasa menemaninya minum. Naq Colaq duduk bersandar di tiang, menghadap ke utara, menyelonjorkan kaki, dan dengan tangan kanannya, ia mengelus-elus betis. Berhenti mengelus-elus saat ia meraih gelas tuak dan gayas, dan sesekali saat cerita tentang suaminya membuat ia harus mengibas-ibaskan tangannya.  

Pagi sekali Maq Pongkor terbangun dan mendapati dirinya tidur di samping Naq Colaq. Di atas dipan bambu yang berkeriat-keriut. Naq Colaq memunggunginya. Tampak oleh Maq Pongkor tali kutang perempuan tua itu, penuh bintik-bintik hitam. Punggung keriputnya juga dipenuhi bintik-bintik seperti puluhan lalat mungil. Perempuan tua baik hati yang menolongnya itu tidur dengan sangat pulas. Tidak berani membangunkan Naq Colaq, Maq Pongkor turun dari dipan, membuka pintu dari anyaman bambu dengan setengah tenaganya, dan berjalan dengan sedikit sempoyongan ke rumahnya. Beberapa kali umpatan keluar dari mulutnya saat ia terjerumus ke dalam lubang bekas Naq Colaq mencari kekeh. Ia tidak mengumpat siapa yang telah membuat lubang itu di situ, tetapi benar-benar mengumpat lubang itu seolah-olah lubang itu adalah seorang manusia yang dengan sengaja ingin mencelakakannya. Hampir saja lubang ketiga mendapatkan dampratannya, jika tidak dari puncak bukit, tepatnya dari arah rumahnya, terdengar sebuah ledakan. Tatkala ia mendongak, tampak olehnya asap membubung tinggi.    

Segar bugar, seolah ia tidak pernah menenggak berbotol-botol tuak semalam, dan seolah ia tidak pernah tersungkur ke dalam lubang, ia berlari. Sumpah serapah berhamburan dari mulutnya. Sumpah serapah itu seperti ribuan tentara yang tengah merontokkan gigi-giginya yang besar-besar dan kuat. Tidak butuh waktu lama untuk ia sampai. Api baru saja melahap sebagian dinding rumahnya dan atap terasnya. Ia segera masuk setelah memberikan tendangan keras pada pintu yang sebenarnya telah setengah terbuka. Ia dengan gerakan sangat cepat menyelamatkan tikar, bantal, dan sebuntal pakaian yang teronggok di sudut rumahnya. Hanya itulah yang ia miliki. Sebuah piring tergeletak di sudut yang lain, masih ditempeli bumbu yang telah basi. Piring yang ia pakai untuk membawa nasi dan lauk pemberian Naq Colaq hari sebelumnya.

Api membesar dengan cepat. Keringat membasahi tubuh Maq Pongkor dan membuat bajunya lengket. Ia tidak habis pikir, telah tiga kali rumahnya terbakar tanpa sebab. Ia teringat kata-kata seorang dukun yang datang ke rumah Naq Colaq untuk mengobati sakit encok perempuan tua itu. Katanya, rumah Maq Pongkor telah dibangun di tempat yang salah. Rumah itu dibangun tepat di tengah jalan raya para jin. Karena itu, para jin itu marah dan membakar rumahnya. Saat rumahnya terbakar kedua kalinya, Maq Pongkor yakin pada kata-kata dukun itu dan membuatnya membangun rumah ketiganya di tempat yang cukup jauh dari tempat kedua. Akan tetapi, rumah ketiganya ternyata terbakar juga dan itu membuat amarahnya benar-benar tak terkendali. 

Tergesa-gesa, ia meletakkan bantal dan buntalan pakaiannya ke atas tikar dan menggulung harta paling berharga miliknya. Ia akan diam di rumah Naq Colaq sementara waktu. Jika bisa, pikirnya, ia akan tinggal di tempat itu sampai ia mati. Sebelum pergi, ia melayangkan pandangan ke rumahnya dan terakhir ke seonggok tanah yang dipenuhi ilalang dan ditancapi dua batu nisan itu.

Ilalang itu bergoyang-goyang ringan. Dua batu itu tertancap dengan sangat dingin. Selama ia tinggal di situ, ia tidak ingat kapan ia memandang makam selama itu. Semakin lama ia memandang ia merasa melihat sesuatu yang bukan hanya ilalang dan dua buah batu. Akan tetapi, sesuatu yang lain, yang benar-benar hidup. Saat api yang membakar rumahnya semakin membesar, dan seolah api itu yang membantu ia melihat, ia mendapati sesuatu yang sangat jelas tengah duduk menjangkung di atas makam itu. Seorang laki-laki tua, beruban, memandangnya dengan melotot. Maq Pongkor berpikir laki-laki itu adalah arwah Maq Colaq. Namun, saat beberapa detik kemudian, laki-laki tua itu menghamburkan api, Maq Pongkor berpikir yang lihat adalah jin.

Takut atau karena sebab lainnya, Maq Pongkor buru-buru pergi. Memikul gulungan tikar pandan di bahu kanannya. Bertelanjang kaki ia menuruni bukit, menuju rumah Naq Colaq. Namun, entah bagaimana, kedua kakinya justru terus berjalan. Melewati rumah Naq Colaq, menjauh, hingga sampai di Tangkok Popo. Desisan yang kemudian berubah menjadi racauan keluar dari mulutnya. Ia tidak tahu apa yang membuatnya pergi dari Lelenggo, dan harus mencari tempat tinggal lagi. Setelah cukup jauh berjalan, ia berhenti dan saat itulah ia merasa yakin bahwa yang ia lihat di atas kubur itu bukanlah jin, tetapi arwah Maq Colaq yang telah dikuasai amarah.*

 

4 Juli 2018

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »