BAU TUBUH
Mochamad Bayu Ari Sasmita
Restoran keluarga itu penuh dan sibuk di jam
makan malam. Kebanyakan yang berkunjung ke sana adalah orang-orang kaya yang tingkahnya
membuatku muak. Ketika aku bekerja di restoran ini sebagai pelayan, kukira
tidak masalah melihat orang-orang semacam itu setiap hari. Rupanya aku salah.
Secara perlahan, semakin aku sering bertemu orang-orang semacam itu, semakin aku
bisa mengendus bau busuk dari diri mereka; pegawai lain tidak bisa melakukan
ini. Aku memiliki dua kategori untuk menilai setiap orang yang kutemui: (1)
mereka yang berbau busuk dan (2) mereka yang tidak berbau busuk (aku tidak bisa
menyebutnya beraroma wangi). Penilaian itu bukan didasarkan oleh sabun dan
sampo yang mereka gunakan ketika mandi, merek parfum yang mereka kenakan, atau semacamnya;
melainkan karena … aku sendiri juga kurang yakin. Yang jelas, aku dapat
mengetahui bau setiap orang begitu aku bertemu dengan mereka.
“Maruta, bisa kau pergi ke meja nomor
empat? Aku sedang sibuk sekarang,” kata seniorku. Dia lelaki bertubuh jangkung
dengan wajah pipih. Dibandingkan dengan setiap orang yang bekerja di sini,
dialah yang paling dekat denganku. Yang lebih penting, dia bukan orang yang
berbau busuk. Itu adalah hal yang patut disyukuri.
“Aku akan ke sana.”
Aku mengambil menu dan segelas air putih
kemudian berjalan ke meja nomor empat dengan sikap elegan yang kubuat-buat, aku
belum bisa menyebut sikap itu sebagai bagian dari diriku dan tampaknya aku
tidak akan pernah mampu bersikap elegan sepenuhnya sebagaimana yang dilakukan
para seniorku. Meja itu hanya ditempati oleh seorang lelaki. Usianya mungkin
sekitar tiga puluhan awal. Pakaiannya tidak begitu bagus, setidaknya jika
dibandingkan dengan para pelanggan lain. Tapi sebenarnya pakaian itu masih
pantas dikenakan untuk mengunjungi tempat seperti ini. Terakhir, dia membawa
sebuah tas ransel yang terlihat berat. Mungkin dia seorang pelancong atau yang
semacam itu. Yang terpenting, dia tidak berbau busuk seperti kebanyakan pelanggan
di sini. Setidaknya, selama aku bekerja di sini, dia adalah pelanggan ketiga
yang tidak berbau busuk. Aku dipenuhi rasa syukur ketika bertemu dengannya.
Kuletakkan menu dan segelas air putih di
hadapannya. Dia menatapku sebentar. Matanya terlihat seperti mata orang putus
asa. Aku sering melihat mata seperti itu di cermin pada pagi hari ketika bangun
dari tidur.
“Terima kasih,” katanya dan kemudian mengalihkan
pandangannya untuk menatap menu.
Sambil menunggunya, aku mengeluarkan buku
catatan dan siap mencatat pesanannya ketika dia mengatakannya nanti.
“Pasta.”
“Baik.” Aku mencatatnya. “Minumannya?”
“Apa boleh aku mendapatkan air putih
saja? Air putih dengan gelas besar.”
“Tentu. Biar saya ulangi. Pasta dan air
putih dengan gelas besar.”
Dia mengangguk kemudian berkata, “Terima
kasih.”
“Mohon untuk menunggu.”
Aku mengambil menu itu lagi dan pergi
menyampaikan pesanan itu kepada juru masak. Setelah semuanya siap, aku
mengantarkannya dan meletakkan hidangan itu di hadapannya.
“Selamat menikmati, Tuan.”
Dia mengangguk. Lalu, ketika aku telah
menjauh darinya, dia menyantap pastanya dengan tenang. Aku melihatnya sejenak sebelum
kemudian mengurusi meja-meja lain. Ada suatu hal yang membuatku ingin
melihatnya. Entah apa itu.
Dia kemudian memanggilku lagi beberapa
saat kemudian dan aku pergi ke sana membawa tagihan.
“Tagihannya, Tuan.”
Dia menyodorkan secarik kertas kepadaku.
Kertas itu dilipat menjadi empat bagian. Perlahan aku membukanya. Mataku
melotot ketika membaca tulisan pada kertas itu.
AKU TELAH MENGAKTIFKAN BOM DI SINI. SURUH
PELANGGAN LAIN PERGI DAN SEGERA HUBUNGI POLISI.
Aku diam sejenak dan mengatur napasku. Aku
melirik sebentar ke arah tas di bawah kakinya. Aku berharap dia sedang membuat
lelucon, tapi ini lelucon yang tidak lucu sama sekali. Aku mustahil tertawa
karena lelucon yang tidak memiliki kelucuan semacam itu. Lelaki itu tidak
menatapku, dia duduk dengan tenang dan mengabaikan yang ada di sekitarnya. Dia
memain-mainkan garpu perak yang baru saja selesai dia gunakan untuk menyantap
pasta. Dia mungkin merasa bahwa segala yang ingin disampaikannya sudah
ditulisnya pada secarik kertas yang sekarang kupegang, sebuah pesan singkat
seperti yang dikirimkan melalui telegram pada abad lalu. Sekali lagi, aku
berharap dia sedang membuat lelucon, meskipun lelucon itu tidak lucu sama
sekali, dan aku mustahil tertawa atas lelucon itu. Tapi, jika dia memintaku
tertawa atas lelucon itu, dengan senang hati aku akan melakukannya mengingat
dia bukanlah orang berbau busuk.
Aku segera pergi menghampiri seniorku. Barangkali
hal semacam ini pernah terjadi sebelumnya dan dia tahu cara mengatasinya.
Kuberikan kertas itu kepadanya. Dia menerimanya dan membacanya. Setelah melihat
kertas itu sejenak, dia melihat kepadaku dengan kening berkerut.
“Aku juga tidak tahu,” kataku. “Dia
membawa sebuah tas ransel yang tampak berat. Tas itu ada di samping kakinya.”
Kutunjukkan posisi tas itu. Tas itu terlihat jelas dari tempat kami berdiri.
“Dia mungkin hanya beromong kosong. Dia
mungkin ingin makan gratis. Pelanggan yang tidak mau bayar! Itu jenis terburuk.”
“Tapi bagaimana jika dia sungguh-sungguh?
Sebenarnya aku berharap dia hanya membuat lelucon.”
“Lelucon yang buruk, sangat buruk.”
Aku melihat ke arah lelaki itu lagi. Dia
mengeluarkan sebuah remote kontrol yang mencurigakan dan seperti memeriksa
benda itu dengan cermat. Dia bolak-balik remote tersebut dan kuharap dia tidak
akan menekan satu tombol pun. Sekarang, aku tidak bisa lagi menganggapnya
sedang mengeluarkan sebuah lelucon.
“Kita tidak bisa mengambil risiko. Kita tidak
bisa bertaruh untuk urusan nyawa. Kita bukan seorang prajurit terlatih yang
sanggup mengatasi tekanan semacam ini,” kataku lagi.
Seniorku kemudian menghadap manajer dan
manajer memutuskan untuk memercayai catatan itu, meskipun dia sendiri juga
meragukannya. Baginya, keselamatan adalah yang utama. Mungkin citra restorannya
akan buruk, tapi itu lebih baik daripada gagal menyelamatkan puluhan nyawa.
Seluruh pekerja disuruh untuk “mengusir” setiap pelanggan dengan alasan bahwa
restoran akan segera tutup karena suatu urusan. Sebagai gantinya, mereka tidak
akan ditagih untuk makanan yang telah mereka makan. Manajer kemudian menyuruh
seniorku untuk menelepon polisi dan dia pergi ke pelanggan yang menurut
penciumanku tidak berbau busuk itu bersamaku karena aku yang diberi catatan
itu.
“Kalian semua keluarlah dari restoran ini,”
kata lelaki itu segera begitu melihat kami berada di depannya.
“Kita bisa membicarakannya baik-baik,”
kata manajerku dengan nada memelas.
“Kalian semua keluarlah dari restoran!”
Dia mengabaikan kata-kata manajer. “Kalian sudah menghubungi polisi?”
“Sudah.”
“Cepat tinggalkan restoran ini!”
Tidak ada pilihan lain selain keluar dari
restoran. Mungkin ini semacam perampokan. Baru kali ini aku mengalami situasi
semacam ini. Kami beramai-ramai keluar restoran. Kemudian kami berdiri di
seberang jalan.
Di dalam sana lelaki itu sedang membuat
sebuah barikade menggunakan kursi dan meja di dekat pintu dan jendela. Setelah
itu dia memadamkan lampu. Aku tidak tahu posisinya sekarang. Sepuluh menit
kemudian polisi baru datang, awalnya mereka hanya datang dengan dua mobil.
Mereka turun dan salah satu dari mereka menanyai manajer.
“Apa dia sungguh teroris?”
“Setidaknya, begitulah yang dikatakan
catatan ini.” Manajer menyerahkan catatan itu kepada petugas polisi. “Kami
tidak bisa membahayakan pelanggan dan memilih untuk percaya pada catatan itu.
Kami hanya mengandaikan bahwa dia bersungguh-sungguh.”
“Pilihan bijak. Serahkan semuanya kepada
kami.”
Tim antihuru-hara tiba beberapa menit
kemudian dan satuan yang berpakaian lengkap dengan rompi antipeluru itu mengepung
restoran. Keriuhan segera terjadi. Orang-orang yang kebetulan ada di sekitar
restoran itu ingin melihat yang terjadi tapi polisi-polisi itu mencegah mereka
dan menyuruh mereka untuk mundur. Kami juga sudah berada di jarak yang menurut
mereka aman.
“Kau sudah terkepung. Sebaiknya
menyerahkan diri secepatnya,” kata salah seorang petugas kepolisian dengan
megafon.
Tidak ada balasan apa pun dari dalam
sana. Polisi itu terus menyerukan peringatan menggunakan megafon kepada lelaki
yang ada di dalam restoran.
“Mau merokok, Maruta?” tanya seniorku.
Dia mengeluarkan pak Marlboro, membukanya, dan hendak mengambil satu batang.
“Aku tidak bisa merokok di situasi
seperti ini.”
“Sepertinya kau benar.” Dia memasukkan satu
batang rokok tadi kembali ke paknya dan memasukkan pak itu kembali ke sakunya.
“Apa dia benar-benar teroris?”
“Aku yakin dia hanya sedang melucu, tapi
leluconnya sangat buruk.”
“Aku harap seperti itu.”
“Ini pertama kalinya terjadi sejak aku
mendirikan restoran keluarga,” kata manajer kami.
“Kau mungkin sedang sial hari ini.”
“Apa menurutmu aku harus menghitung hari
untuk buka dan tutup?”
“Mungkin.”
“Apa tujuannya sebenarnya?” tanyaku.
“Merampok,” kata seniorku, “tidak ada
yang lain. Itulah pekerjaan terburuk, bagaimanapun cara merampoknya. Baik itu
sambil duduk di kursi dengan setelan rapi dan menandatangani surat-surat
perjanjian atau bahkan dengan cara yang dilakukan si sialan di dalam sana itu.”
Seniorku menunjuk ke arah restoran keluarga tempat kami bekerja.
Kira-kira tiga jam kemudian lelaki yang menurut
indra penciumanku tidak berbau busuk itu berhasil diamankan oleh tim
antihuru-hara. Restoran di geledah malam itu juga dan pihak polisi menyatakan
bahwa restoran itu aman, tidak ditemukan hal-hal yang mencurigakan di dalamnya.
Uang di mesin kasir juga aman.
Siang keesokan harinya aku datang ke
restoran dan melihat beberapa pekerja lain mengerubungi sebuah surat kabar. Mereka
sedang istirahat. Aku ikut bergabung.
“Lihat, Maruta. Kau pasti menyukai berita
semacam ini. Kau bisa menjadikannya ceritamu berikutnya,” kata seniorku. Dia
kemudian menyodorkan surat kabar yang sudah terbuka itu kepadaku.
Di sana, di halaman yang terbuka itu, ada
wajah si lelaki yang menurut indra penciumanku tidak berbau busuk. Berita yang
ditulis di sana cukup singkat. Menurut keterangan yang diberikan oleh pihak kepolisian,
lelaki itu sudah hidup menjadi gelandangan selama sekitar dua minggu. Tidak ada
bom sama sekali yang ditemukan di dalam tasnya. Tas itu hanya berisi
benda-benda pribadinya seperti pakaian dan semacamnya. Sebenarnya dia juga
tidak tahu apa pun soal merakit bom.
“Kau menyukainya, bukan?” tanya seniorku
lagi. Aku tidak menjawabnya. Aku belum selesai membacanya.
Menurut keterangan lelaki itu, dirinya
telah berbuat kejahatan besar dan pantas untuk dihukum mati. Dia benar-benar
berharap pengadilan memberikan hukuman mati kepadanya. Terserah caranya, entah
gantung, entah tembak, entah setrum. Yang penting adalah hukuman mati.
“Bagaimana, Maruta?” tanya seniorku lagi.
“Selama aku bekerja di sini dia adalah
pelanggan ketiga yang tidak berbau busuk.”
Tatapan mereka menunjukkan seolah mereka kebingungan, mereka memang tidak pernah kuberitahu soal orang yang berbau busuk dan tidak. Perlahan, hidungku mencium bau busuk dari tubuh mereka. Lalu, kedua mataku menangkap sebuah kabut hijau tipis yang muncul dari tubuh mereka.
Mojokerto, 9 Januari—13 Oktober 2022