Juru Dongeng Zekov Njoubz - Indarka P.P

@kontributor 10/09/2022

Juru Dongeng Zekov Njoubz

Indarka P.P 



Sore di pinggiran kota Delfsky mengepung belang nan kelam seorang tua bernama Zekov Njoubz usai upayanya bunuh diri gagal dilakukan. Tua seperti kutuk bagi Zekov, sebab memaksanya hidup menjalani kesendirian. Usia kematian istrinya telah mencapai satu windu. Tiada anak apalagi cucu, Zekov merutuki takdir dalam detik-detik yang hening. Ia kerap membayangkan, andai saat terlelap, seekor ular kobra melata di ranjang dan menusukkan taring berbisa tepat di pangkal lehernya. Atau, saat merenung di bawah pohon alpukat belakang rumah, tiba-tiba seekor harimau yang kabur dari kebun binatang muncul lalu menerkam tubuhnya. Ya, seringkali Zekov Njoubz merajut kematiannya dalam semu.

Zekov benar-benar ingin mengakhiri hidupnya. Namun, ia begitu gusar, karena saat sedang tekun merajut temali di pohon alpukat belakang rumah, Dandelo datang bertamu untuk mengemis dongeng tanpa rasa bersalah. Maka Zekov Njoubz terpaksa menunda niatnya. Ia tak melepas seutas tambang yang telanjur menggantung di pohon alpukat. Seandainya Dandelo bertanya untuk apa kegunaan tali tambang itu, maka Zekov akan meramu cerita-cerita palsu.

Keahlian Zekov bercerita memang boleh dibilang ulung. Semasa kanak-kanak ia dikelilingi dongeng-dongeng dari sang ayah, seorang guru bahasa di sekolah dasar. Itulah mengapa Zekov tidak kehabisan akal untuk mendongeng di muka Dandelo, terlebih selama ini Dandelo hanya datang setiap Jumat. Karenanya, Zekov Njoubz dibuat berang ketika Dandelo datang tiga hari lebih cepat.

“Tidak ada kesepakatan harus di hari Jumat, Bung.” Dandelo melakukan pembelaan usai dikecam Zekov Njoubz. Di beranda, dua laki-laki itu duduk berhadapan. “Besok tanggal merah. Sekolah libur. Sementara persediaan dongengku sudah habis.”

Zekov menyerapahi pemerintah dalam menentukan penanggalan. Namun lebih-lebih ia menyalahkan diri sendiri karena belum juga membeli kalender baru. Pikirnya dulu, Januari masih terlalu dini untuk menantikan hari-hari besar tahunan.

“Bukankah kedatanganku justru membuatmu senang, Bung?” tanya Dandelo. “Kesepian adalah tabiat jahat paling mematikan. Anggap saja kedatanganku ini sebagai penawarnya.” Dandelo dengan mantap meraih cerutu dari balik mantel sebelah kirinya. Ia potong ujung cerutu itu, lalu membakar dan menikmati dalam setiap isapan.

“Ayah macam apa yang untuk membohongi bocah dengan sebuah dongeng saja tak becus?”

“Ah. Kau tahu, Bung. Perpustakaan kota tak ada koleksi buku dongeng sebagus dongeng-dongeng oralmu. Lagi pula koleksi buku di sana tidak begitu memadai. Di sana hanya istana bagi para pengelolanya.”

Sekarang giliran Zekov Njoubz menyerobot bungkus cerutu milik Dandelo yang tergeletak di meja. Usai menyelipkan satu batang di jemari, Zekov masuk ke dalam rumah.

“Selama ini kau mendapatkan dongeng dariku secara cuma-cuma, Dandelo,” terang Zekov, muncul kembali dengan menenteng dua gelas kopi.

“Kau ingin memasang tarif?” mata Dandelo terbelalak, punggungnya terlepas dari sandaran kursi.

Zekov terkekeh kecil—barangkali pertanda berangnya perlahan sirna. Bagi Zekov, dongeng tak ubahnya omong kosong, meskipun nyatanya tidak semua orang pandai melakukannya. Sungguhpun pikun telah menggerogoti ingatan masa kecilnya, karena kerap menyimak dongeng-dongeng dari sang ayah, Zekov jadi cakap mengimprovisasi diri. Ia sering membunuh waktu dengan khayalan-khalayan liar. Bahkan, seandainya kudu mendongeng dengan dilempari satu kata saja, adalah lebih dari cukup bagi Zekov untuk menyusun kata itu menjadi satu cerita utuh.

Dalam hati, sejatinya Zekov membenarkan apa yang Dandelo bilang tadi. Ia senang bila Dandelo bertamu ke rumah, menyimak sungguh-sungguh dongeng yang ia suguhkan. Di tengah jerat tua dan sepi yang selama ini menyiksa, Zekov kadang berpikir rupa-rupanya ia masih berguna bagi orang lain, sekalipun sekadar mendongeng sembarangan. Akan tetapi, itu hanya terjadi dalam waktu singkat. Sisanya, ia kembali dicabik-cabik sunyi.

Empat bulan lalu, Dandelo memohon Zekov Njoubz membantunya mencari jalan keluar karena anaknya selalu menangis di rumah sebab tak ada hiburan apa pun seperti gawai, radio, atau televisi. Waktu itu, di tengah rasa murung, Zekov melihat Dandelo berjalan menyusuri jalanan depan rumahnya dengan wajah muram dan tampak putus asa. Rasa penasaran Zekov Njoubz membuncah. Maka didatanginya Dandelo—saat itu belum tahu namanya—dan terjadi perkenalan antara mereka. Satu-satunya bantuan yang sanggup Zekov tawarkan tentu saja hanya sebuah dongeng. Tak disangka, dengan senang hati Dandelo menerima bantuan tersebut.

Begitulah. Bahwa waktu-waktu berikutnya adalah menjadi kebiasaan bagi Dandelo yaitu meminta Zekov mendongeng supaya bisa ia tuturkan lagi di hadapan sang anak.

“Apakah dia terhibur?” tanya Zekov Njoubz sewaktu Dandelo bertamu untuk kali kedua.

“Tentu, Bung! Setiap mendongeng, anakku selalu merasa kegirangan. Senang betul melihatnya seceria itu.”

Kendati sudah puluhan dongeng dibawakan ulang oleh Dandelo, ia tidak pernah bilang bahwa Zekov Njoubz-lah penutur sesungguhnya. Ia sangsi kalau-kalau berkata jujur, sang anak justru mengajak bertemu dengan Zekov Njoubz, yang mana hal demikian malah membuat Dandelo tampak seperti pecundang di mata anak sendiri. Maka setiap kali sang anak bertanya dari mana asal dongeng itu, Dandelo akan menjawab enteng, “Dari mimpi-mimpi Ayah, Sayang.”

“Ayolah, Bung! Mulailah mendongeng,” tukas Dandelo seraya mengeluarkan selembar kertas dari balik mantel sebelah kanannya.

Zekov tampak khidmat dalam sesap kopi dan isapan cerutu. Terpejamlah matanya barang sebentar. Sesudah mengembus napas panjang, Zekov menjelaskan sebuah tuntutan. “Kali ini aku akan mendongeng cukup panjang, Dandelo. Dan dongeng ini harus kau pakai dalam waktu tiga minggu. Entah bagaimana caramu menyikapinya. Ingat! Selain harus pandai berbohong, kau juga harus pandai berhemat.”

Tanpa pikir panjang Dandelo sepakat. Tangan kanannya menggelar selembar kertas di atas meja. Tangan kiri bersiap dengan sebatang pena. Kedua telinganya awas untuk menangkap dongeng yang akan segera Zekov tuturkan.

***

Pada tahun 3099, dunia mengalami kekacauan tatanan kehidupan. Bencana mahadahsyat terjadi. Meteor-meteor raksasa menerjang bumi dengan brutal. Tiga per empat makhluk hidup dipastikan lenyap. Adapun sisanya, rata-rata mengalami reinkarnasi. Kekacauan tersebut jelas berdampak di seluruh belahan bumi. Malam menjadi terang dan panas. Siang menjadi gelap lagi dingin. Hujan tiada lagi turun di saat awan legam. Wujud matahari tak pernah muncul di langit cerah. Semua tampak absurd dan berlainan sama sekali. Jangan tanya tempat aman bagi yang makhluk tersisa. Di setiap sudut, ancaman senantiasa menguntit mereka.

Di belantara hutan Hartz, pada malam yang panas, napas Gnijna tersengal dan patah-patah. Mahkluk aneh itu mendesis di sepanjang langkah yang magis. Gnijna lantas terbang, melayang-layang di udara, mencari suaka yang dapat digunakannya berlindung dari maut. Gnijna tak ingin jika kesempatan hidupnya terenggut kembali.

Meski telah mengalami mati, memori Gnijna rupanya tidak lenyap. Mahkluk absurd itu ingat, beberapa jam sebelum petaka terjadi, ia sedang tekun menggiring sekawanan domba kembali ke kandang. Persis ketika domba terakhir hendak masuk ke kandang, gelegar memecah pendengarannya. Dasar naluri kewaspadaannya terbilang mumpuni, Gnijna melesat lari tunggang-langgang menuju sebuah goa. Bahwa meskipun di goa itu ia akhirnya mati, setidaknya tubuh Gnijna masih utuh dan bisa hidup kembali selang dua belas jam berikutnya.

Dahulu, mana pernah Gnijna tahu rasanya menjadi burung-burung, dan tak sempat terbayang menjadi seekor ular. Namun pada malam yang nahas ini, ia justru mewarisi keahlian kedua binatang itu. Dan dengan rasa yang tak terperikan, Gnijna hanya bisa terus menyusuri belantara Hartz. Kedua sayapnya terus menyibak angin, sementara dari moncongnya keluar bunyi berdesis-desis.

Pada saat itu, tiba-tiba mata nyalang Gnijna menatap tajam sesuatu yang datang berlawanan. Semakin lama semakin jelaslah yang muncul dari sana ialah Gnajik. Keduanya berhadapan-hadapan di suatu titik di atas bukit. Usai berbincang barang sebentar, baik Gnijna maupun Gnajik memutuskan terbang bersama-sama. Mereka terus menyusuri kejamnya langit Hertz. Tetesan-tetesan keringat jatuh dari tubuh masing-masing. Secara kebetulan, air keringat itu mendarat di kepala mahkluk absurd lain bernama Gnicuk.

Gnicuk yang nyaris sekarat karena kehausan merasa girang bukan main saat mendapati air turun dari langit. Maka dengan menjulur-julurkan lidah sambil sesekali mengaum-aum, Gnicuk gesit mengikuti titik-titik jatuhnya air itu, sampai-sampai secara tak sadar membawanya tiba di suatu tempat bekas pinggiran Kota Delfsky.

Tak lama, Gnijna dan Gnajik turun dari penerbangan. Kini, di bawah pohon alpukat, baik Gnijna, Gnajik, maupun Gnicuk, bertemu dan bertukar cerita perihal nasib-nasib mereka setelah berhasil melewati kematian pertama. Kesemuanya seperti berlomba mengisahkan hidup siapa yang paling pilu.

Gnijna berkata memiliki tuan bengis dan tak berperasaan yang berasal dari jenis mahkluk bernama Aisunam. Gnicuk tak mau kalah. Sambil mengaum-aum dan menitihkan air mata ia mengatakan kalau sering dilempari batu setiap kali datang ke rumah-rumah Aisunam. Sedangkan Gnajik juga mengaku pernah diburu dan ditembaki oleh mahkluk yang sama. Akhirnya Gnijna, Gnicuk, dan Gnajik tak lagi menyoalkan hidup siapa yang paling nestapa, melainkan sepakat bahwa hidup mereka dahulu sama-sama kelam.

Ketiga makhluk absurd itu lantas berpelukan. Di antara tangis, desis, dan auman, mereka dikejutkan dengan suara yang berasal dari dalam batang pohon alpukat. Suara sumbang itu lamat-lamat terdengar demikian: “Hiduplah damai bersamaku,…”

Karena ketakutan, kontan ketiga makhluk itu berhambur ke sembarang arah. Gnijna terbang dan mendesis. Gnajik terbang dan terus menangis. Sedang Gnicuk terbirit-birit sambil mengaum-aum. Dongeng tamat!

***

Kertas putih Dandelo kini telah dipenuhi coretan. Wajahnya semringah. Tak henti-henti ia menaruh kagum pada Zekov. Akan tetapi, pemandangan lain terjadi di ceruk mata Zekov. Linangan air menjalar di sekujur pipinya.

“Bung?” Tangan Dandelo memegangi pundak Zekov Njoubz.

Zekov langsung menegaskan bahwa ia sekadar menghayati. Mendengar hal itu, Dandelo pun lega. Ia beranjak pulang dan berjanji akan bertamu lagi tiga minggu mendatang. Usai lenyap di tikungan, Zekov lantas berjalan menuju belakang rumah. Otaknya kini dipenuhi dongeng-dongeng, juga seutas tambang di pohon alpukat miliknya.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »