Juru Dongeng Zekov Njoubz
Indarka P.P
Sore
di pinggiran kota Delfsky mengepung belang nan kelam seorang tua bernama Zekov
Njoubz usai upayanya bunuh diri gagal dilakukan. Tua seperti kutuk bagi Zekov,
sebab memaksanya hidup menjalani kesendirian. Usia kematian istrinya telah
mencapai satu windu. Tiada anak apalagi cucu, Zekov merutuki takdir dalam detik-detik
yang hening. Ia kerap membayangkan, andai saat terlelap, seekor ular kobra
melata di ranjang dan menusukkan taring berbisa tepat di pangkal lehernya. Atau,
saat merenung di bawah pohon alpukat belakang rumah, tiba-tiba seekor harimau
yang kabur dari kebun binatang muncul lalu menerkam tubuhnya. Ya, seringkali Zekov
Njoubz merajut kematiannya dalam semu.
Zekov benar-benar ingin mengakhiri hidupnya. Namun, ia begitu
gusar, karena saat sedang tekun merajut temali di pohon alpukat belakang rumah,
Dandelo datang bertamu untuk mengemis dongeng tanpa rasa bersalah. Maka Zekov
Njoubz terpaksa menunda niatnya. Ia tak melepas seutas tambang yang telanjur
menggantung di pohon alpukat. Seandainya Dandelo bertanya untuk apa kegunaan
tali tambang itu, maka Zekov akan meramu cerita-cerita palsu.
Keahlian Zekov bercerita memang boleh dibilang ulung.
Semasa kanak-kanak ia dikelilingi dongeng-dongeng dari sang ayah, seorang guru
bahasa di sekolah dasar. Itulah mengapa Zekov tidak kehabisan akal untuk mendongeng
di muka Dandelo, terlebih selama ini Dandelo hanya datang setiap Jumat.
Karenanya, Zekov Njoubz dibuat berang ketika Dandelo datang tiga hari lebih
cepat.
“Tidak ada kesepakatan harus di hari Jumat, Bung.”
Dandelo melakukan pembelaan usai dikecam Zekov Njoubz. Di beranda, dua
laki-laki itu duduk berhadapan. “Besok tanggal merah. Sekolah libur. Sementara
persediaan dongengku sudah habis.”
Zekov menyerapahi pemerintah dalam menentukan penanggalan.
Namun lebih-lebih ia menyalahkan diri sendiri karena belum juga membeli
kalender baru. Pikirnya dulu, Januari masih terlalu dini untuk menantikan
hari-hari besar tahunan.
“Bukankah kedatanganku justru membuatmu senang, Bung?”
tanya Dandelo. “Kesepian adalah tabiat jahat paling mematikan. Anggap saja
kedatanganku ini sebagai penawarnya.” Dandelo dengan mantap meraih cerutu dari
balik mantel sebelah kirinya. Ia potong ujung cerutu itu, lalu membakar dan
menikmati dalam setiap isapan.
“Ayah macam apa yang untuk membohongi bocah dengan sebuah
dongeng saja tak becus?”
“Ah. Kau tahu, Bung. Perpustakaan kota tak ada koleksi
buku dongeng sebagus dongeng-dongeng oralmu. Lagi pula koleksi buku di sana
tidak begitu memadai. Di sana hanya istana bagi para pengelolanya.”
Sekarang giliran Zekov Njoubz menyerobot bungkus cerutu
milik Dandelo yang tergeletak di meja. Usai menyelipkan satu batang di jemari,
Zekov masuk ke dalam rumah.
“Selama ini kau mendapatkan dongeng dariku secara cuma-cuma,
Dandelo,” terang Zekov, muncul kembali dengan menenteng dua gelas kopi.
“Kau ingin memasang tarif?” mata Dandelo terbelalak, punggungnya
terlepas dari sandaran kursi.
Zekov terkekeh kecil—barangkali pertanda
berangnya perlahan sirna. Bagi Zekov, dongeng tak ubahnya omong kosong, meskipun
nyatanya tidak semua orang pandai melakukannya. Sungguhpun pikun telah
menggerogoti ingatan masa kecilnya, karena kerap menyimak dongeng-dongeng dari
sang ayah, Zekov jadi cakap mengimprovisasi diri. Ia sering membunuh waktu dengan
khayalan-khalayan liar. Bahkan, seandainya kudu mendongeng dengan dilempari
satu kata saja, adalah lebih dari cukup bagi Zekov untuk menyusun kata itu
menjadi satu cerita utuh.
Dalam hati, sejatinya Zekov membenarkan apa yang Dandelo
bilang tadi. Ia senang bila Dandelo bertamu ke rumah, menyimak sungguh-sungguh
dongeng yang ia suguhkan. Di tengah jerat tua dan sepi yang selama ini menyiksa,
Zekov kadang berpikir rupa-rupanya ia masih berguna bagi orang lain, sekalipun
sekadar mendongeng sembarangan. Akan tetapi, itu hanya terjadi dalam waktu
singkat. Sisanya, ia kembali dicabik-cabik sunyi.
Empat bulan lalu, Dandelo memohon Zekov Njoubz membantunya
mencari jalan keluar karena anaknya selalu menangis di rumah sebab tak ada hiburan
apa pun seperti gawai, radio, atau televisi. Waktu itu, di tengah rasa murung,
Zekov melihat Dandelo berjalan menyusuri jalanan depan rumahnya dengan wajah
muram dan tampak putus asa. Rasa penasaran Zekov Njoubz membuncah. Maka didatanginya
Dandelo—saat itu belum tahu namanya—dan terjadi perkenalan antara mereka. Satu-satunya
bantuan yang sanggup Zekov tawarkan tentu saja hanya sebuah dongeng. Tak
disangka, dengan senang hati Dandelo menerima bantuan tersebut.
Begitulah. Bahwa waktu-waktu berikutnya adalah menjadi kebiasaan
bagi Dandelo yaitu meminta Zekov mendongeng supaya bisa ia tuturkan lagi di
hadapan sang anak.
“Apakah dia terhibur?” tanya Zekov Njoubz sewaktu Dandelo
bertamu untuk kali kedua.
“Tentu, Bung! Setiap mendongeng, anakku selalu merasa
kegirangan. Senang betul melihatnya seceria itu.”
Kendati sudah puluhan dongeng dibawakan ulang oleh Dandelo,
ia tidak pernah bilang bahwa Zekov Njoubz-lah penutur sesungguhnya. Ia sangsi
kalau-kalau berkata jujur, sang anak justru mengajak bertemu dengan Zekov
Njoubz, yang mana hal demikian malah membuat Dandelo tampak seperti pecundang
di mata anak sendiri. Maka setiap kali sang anak bertanya dari mana asal
dongeng itu, Dandelo akan menjawab enteng, “Dari mimpi-mimpi Ayah, Sayang.”
“Ayolah, Bung! Mulailah mendongeng,” tukas Dandelo seraya
mengeluarkan selembar kertas dari balik mantel sebelah kanannya.
Zekov tampak khidmat dalam sesap kopi dan isapan cerutu. Terpejamlah
matanya barang sebentar. Sesudah mengembus napas panjang, Zekov menjelaskan sebuah
tuntutan. “Kali ini aku akan mendongeng cukup panjang, Dandelo. Dan dongeng ini
harus kau pakai dalam waktu tiga minggu. Entah bagaimana caramu menyikapinya.
Ingat! Selain harus pandai berbohong, kau juga harus pandai berhemat.”
Tanpa pikir panjang Dandelo sepakat. Tangan kanannya menggelar
selembar kertas di atas meja. Tangan kiri bersiap dengan sebatang pena. Kedua
telinganya awas untuk menangkap dongeng yang akan segera Zekov tuturkan.
***
Pada tahun 3099, dunia mengalami kekacauan tatanan kehidupan.
Bencana mahadahsyat terjadi. Meteor-meteor raksasa menerjang bumi dengan brutal.
Tiga per empat makhluk hidup dipastikan lenyap. Adapun sisanya, rata-rata mengalami
reinkarnasi. Kekacauan tersebut jelas berdampak di seluruh belahan bumi. Malam
menjadi terang dan panas. Siang menjadi gelap lagi dingin. Hujan tiada lagi
turun di saat awan legam. Wujud matahari tak pernah muncul di langit cerah. Semua
tampak absurd dan berlainan sama sekali. Jangan tanya tempat aman bagi yang makhluk
tersisa. Di setiap sudut, ancaman senantiasa menguntit mereka.
Di belantara hutan Hartz, pada malam yang panas, napas
Gnijna tersengal dan patah-patah. Mahkluk aneh itu mendesis di sepanjang
langkah yang magis. Gnijna lantas terbang, melayang-layang di udara, mencari
suaka yang dapat digunakannya berlindung dari maut. Gnijna tak ingin jika kesempatan
hidupnya terenggut kembali.
Meski telah mengalami mati, memori Gnijna rupanya tidak
lenyap. Mahkluk absurd itu ingat, beberapa jam sebelum petaka terjadi, ia sedang
tekun menggiring sekawanan domba kembali ke kandang. Persis ketika domba
terakhir hendak masuk ke kandang, gelegar memecah pendengarannya. Dasar naluri
kewaspadaannya terbilang mumpuni, Gnijna melesat lari tunggang-langgang menuju sebuah
goa. Bahwa meskipun di goa itu ia akhirnya mati, setidaknya tubuh Gnijna masih
utuh dan bisa hidup kembali selang dua belas jam berikutnya.
Dahulu, mana pernah Gnijna tahu rasanya menjadi burung-burung,
dan tak sempat terbayang menjadi seekor ular. Namun pada malam yang nahas ini,
ia justru mewarisi keahlian kedua binatang itu. Dan dengan rasa yang tak
terperikan, Gnijna hanya bisa terus menyusuri belantara Hartz. Kedua sayapnya terus
menyibak angin, sementara dari moncongnya keluar bunyi berdesis-desis.
Pada saat itu, tiba-tiba mata nyalang Gnijna menatap
tajam sesuatu yang datang berlawanan. Semakin lama semakin jelaslah yang muncul
dari sana ialah Gnajik. Keduanya berhadapan-hadapan di suatu titik di atas
bukit. Usai berbincang barang sebentar, baik Gnijna maupun Gnajik memutuskan
terbang bersama-sama. Mereka terus menyusuri kejamnya langit Hertz. Tetesan-tetesan
keringat jatuh dari tubuh masing-masing. Secara kebetulan, air keringat itu
mendarat di kepala mahkluk absurd lain bernama Gnicuk.
Gnicuk yang nyaris sekarat karena kehausan merasa girang
bukan main saat mendapati air turun dari langit. Maka dengan menjulur-julurkan
lidah sambil sesekali mengaum-aum, Gnicuk gesit mengikuti titik-titik jatuhnya
air itu, sampai-sampai secara tak sadar membawanya tiba di suatu tempat bekas
pinggiran Kota Delfsky.
Tak lama, Gnijna dan Gnajik turun dari penerbangan. Kini,
di bawah pohon alpukat, baik Gnijna, Gnajik, maupun Gnicuk, bertemu dan
bertukar cerita perihal nasib-nasib mereka setelah berhasil melewati kematian
pertama. Kesemuanya seperti berlomba mengisahkan hidup siapa yang paling pilu.
Gnijna berkata memiliki tuan bengis dan tak berperasaan
yang berasal dari jenis mahkluk bernama Aisunam. Gnicuk tak mau kalah. Sambil
mengaum-aum dan menitihkan air mata ia mengatakan kalau sering dilempari batu
setiap kali datang ke rumah-rumah Aisunam. Sedangkan Gnajik juga mengaku pernah
diburu dan ditembaki oleh mahkluk yang sama. Akhirnya Gnijna, Gnicuk, dan
Gnajik tak lagi menyoalkan hidup siapa yang paling nestapa, melainkan sepakat
bahwa hidup mereka dahulu sama-sama kelam.
Ketiga makhluk absurd itu lantas berpelukan. Di antara tangis,
desis, dan auman, mereka dikejutkan dengan suara yang berasal dari dalam batang
pohon alpukat. Suara sumbang itu lamat-lamat terdengar demikian: “Hiduplah
damai bersamaku,…”
Karena ketakutan, kontan ketiga makhluk itu berhambur ke
sembarang arah. Gnijna terbang dan mendesis. Gnajik terbang dan terus menangis.
Sedang Gnicuk terbirit-birit sambil mengaum-aum. Dongeng tamat!
***
Kertas putih Dandelo kini telah dipenuhi coretan. Wajahnya
semringah. Tak henti-henti ia menaruh kagum pada Zekov. Akan tetapi,
pemandangan lain terjadi di ceruk mata Zekov. Linangan air menjalar di
sekujur pipinya.
“Bung?” Tangan Dandelo memegangi pundak Zekov Njoubz.
Zekov langsung menegaskan bahwa ia sekadar menghayati. Mendengar
hal itu, Dandelo pun lega. Ia beranjak pulang dan berjanji akan bertamu lagi
tiga minggu mendatang. Usai lenyap di tikungan, Zekov lantas berjalan menuju
belakang rumah. Otaknya kini dipenuhi dongeng-dongeng, juga seutas tambang di
pohon alpukat miliknya.