Nobel Sastra 2022: Kemenangan Sang Penziarah - Hikmat Gumelar

@kontributor 10/23/2022

NOBEL SASTRA 2022: KEMENANGAN SANG PENZIARAH

Hikmat Gumelar



Pengumuman Hadiah Nobel Sastra 2022 untuk Annie Ernaux atas “keberanian dan ketajaman klinis yang dengannya ia mengungkap akar, kerenggangan, dan pengekangan kolektif dari ingatan pribadi", tak terdengar menyulut kontroversi sebagaimana biasanya. Begitu pula ucapan Anders Olsson, Ketua Komite Nobel, ihwal penulis Prancis yang lahir dari keluarga kelas pekerja, di pedesaan Normandia, itu, “Ernaux secara konsisten dan dari sudut yang berbeda, meneliti kehidupan yang ditandai oleh perbedaan yang kuat mengenai gender, bahasa dan kelas".

Memang ada saja orang-orang yang kecewa. Saya salah satunya. Saya agak kecewa terutama karena Ngugi Wa Thiong’o masih saja seperti beberapa tahun terakhir, hanya sampai menjadi kandidat yang menambah ramai rumor dan untung bandar taruhan. Padahal, karya-karya Ngugi menerobos batas-batas, baik apa-apa yang diungkapnya maupun cara ungkapnya, sehingga kemungkinan-kemungkinan bagi sastra sebagai karya emansipatoris menjadi bertambah. Dan ini dicapai “godfather” sastra Kenya itu dengan sedia menanggung risiko ditangkap dan dibui bertahun-tahun, bahkan berulang diteror dan nyawanya dan nyawa keluarganya diancam direnggut.

Ernaux memang belum pernah diciduk dan diterungku. Namun, Ernaux menulis sebagai konsekuensi dan bukan tujuan itu sendiri. Konsekuensi dari mempraktikkan kesadaran akan betapa pentingnya sejarah diri, sejarah keluarga, dan sejarah kelas yang berkelindan, yang memberi tahunya bahwa akar berbagai negativitas yang terus menerus menggasak dirinya, keluarganya, dan orang-orang sekelasnya adalah ketidakadilan sosial dan ketidakadilan akan perempuan. Kesadaran Ernaux ini buah renungan atas kejadian-kejadian negatif yang dialaminya, seperti dihina, dijauhi, dikucilkan, dipaksa, diperkosa, aborsi, kekurangan darah, tidak menstruasi selama dua tahun, bulimia, anoreksia, dan kanker payudara, serta kematian ayahnya dan Alzheimer ibunya.

Langkah demi langkah mempraktikkan kesadaran tersebut selalu saja mempertemukan Ernaux dengan fakta-fakta baru yang membuatnya merasa harus terus melangkah lebih jauh lagi dan sekaligus mengharuskannya menuliskan apa-apa yang diingat dan ditemukannya. Tuntutan untuk menuliskan adalah untuk, pertama, menghadirkan dan melestarikan keberadaan dirinya, keluarganya, dan orang-orang sekelasnya yang absen dalam narasi sejarah. “Memori saja tidak cukup. Tulisan yang mampu melestarikan,” ungkap Ernaux.

Kedua, menghadirkan dan melestarikan yang ditiadakan melalui tulisan merupakan penyetopan operasi kuasa persekutuan kekuatan-kekuatan dominan. Ernaux meyakini, “Hanya tulisan yang dapat menyelamatkan.” Menulis baginya adalah “komitmen akan dunia, cara bertindak di atasnya”. Bertindak memperjuangkan keadilan sosial dan keadilan gender.

Namun, bagaimana menulis yang memungkinkan impian itu terjangkau? “Sejak aku mulai berpikir tentang menulis,” tulis Ernoux dalam esainya tentang hubungan dia dengan Simon de Beauvoir, “menginterogasi genre tradisional telah menjadi bagian dari pertanyaan sastraku dan “bagaimana menulis" tidak dapat dipisahkan dari “apa yang harus ditulis””

Dan itu sudah coba diwujudkan dengan Les Amoires vides(1974). Hadiah Goncourt, penghargaan sastra paling bergengsi di Prancis, menominasikan karya pertama Ernaux yang dibukukan. Ketakberhasilan meraih hadiah itu menambah dalih terutama para kritikus dan awak media massa, yang kebanyakan laki-laki borjuis, untuk menyerang Ernaux. Mereka demikian terkait dengan kisah Les Amoires vides.

Kisahnya kisah hidup Ernaux sendiri. Namun tentu tak seluruhnya, hanya sebagian kecil masa lalunya, hanya satu segi darinya; transisi dari dunia kelas pekerja ke dunia yang dominan secara budaya, berkat sekolah. Pada tahun 1960-an, di asrama kampusnya, protagonis melakukan aborsi klandestin. Aborsi yang merupakan pelanggaran hukum ini pemantik untuk ia mengingat masa kecil dan masa remajanya hingga peristiwa tersebut. Di karya ini, Ernaux sudah mulai mencoba memain-mainkan fakta, fiksi, dan ambiguitas.

Aborsi di situ dideskripsikan dengan detil dan mengerikan. Hal ini dimungkinkan sebab referensinya pengalaman Ernaux sendiri serta keberanian dan kerelaannya mengisahkannya secara terbuka. Kehamilan Ernaux sendiri akibat diperkosa di bumi perkemahan musim panas dan tiadanya alat kontrasepsi di Prancis ketika itu. Hukum Prancis pun melarang aborsi. Larangan ini bisa disebut tak berlaku untuk kaum borjuis, yang memiliki banyak duit, ungkap Ernaux. Mereka mudah saja melakukannya dengan membayar mahal dokter.

Itulah yang membuat Ernaux hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun terus disudutkan. Namun, sejak langkahnya pertama kali masuk gerbang sekolah asrama, suasana borjuis sudah kuat mendorong anak perempuan ndeso ini ke sudut sumpek dan suram. Buku fiksi dan nonfiksi, dan buku harian menyulap sudut sempit dan suram itu menjadi ruang lapang dan terang. Hari-hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun, ia banyak menenggelamkan diri dalam membaca fiksi dan nonfiksi dan menuliskan apa-apa yang dialaminya, apa-apa yang dirasakannya, apa-apa yang dipikirkannya, apa-apa yang dibayangkannya.

Ternyata itu latihan menerima, mengenali, dan mengolah kejadian-kejadian keseharian, termasuk yang kelam, menjadi pengalaman-pengalaman bermakna dan mencerahkan; latihan mengumpulkan dan mengakrabi berbagai perspektif yang memperluas cakrawala dan membebaskan; latihan mengartikulasikan kompleksitas subjektivitasnya yang unik tapi tidak terisolasi, melainkan terkait dengan tubuh sosial yang dibentuk terutama oleh sejarah, ekonomi, politik, dan agama.

Kecuali itu, ibunya pun diakuinya amat membantu. Memang ibunya berhenti bersekolah pada usia dua belas tahun. Hari-harinya kemudian berlumur minyak karena bekerja di pabrik margarin. Tapi ia gemi sehingga pendapatannya dan pendapatan suaminya, yang pula buruh kecil, sebagiannya ditabung sampai kemudian mereka dapat pindah dari desa, hidup di kota kecil Yvetot dengan membuka usaha kecil toko kelontong dan kafe. Dan ibunya pun seorang yang rakus membaca buku. “Ibuku selalu lebih dulu mencuci tangannya kalau mau membaca buku,” tutur Ernaux.

Ibunya juga berulang secara verbal mendorong Ernaux untuk menjadi orang sekolahan dan pecandu bacaan bernas. Dan ibunya menyertai ini dengan jungkir balik mengembangkan usaha kecil mereka.

Maka hujan tanggapan buruk terhadap buku pertamanya tak membuat Ernaux terpuruk, apalagi membusuk. Ia menanggapi balik dengan menerbitkan buku-buku berikutnya.

Iklim memang tak pula bersalin. Berbagai stigma negatif diterakan kepadanya. Namun Ernaux bergeming. Ia paham benar, seperti dikatakannya, “Aku seorang perempuan, dan secara umum, perempuan kurang dikenal di Prancis. Di berbagai bidang sama. Di bidang sastra, dominasi laki-laki sama dengan di bidang lain. Ada lebih banyak kritikus sastra laki-laki, lebih banyak juri, lebih banyak penerbit, lebih banyak patron; pria dengan mulut besar.”

Bagi Ernaux, jelas itu ketidakadilan sosial dan ketidakadilan akan perempuan. Maka ia memberontak melawannya. Kematian ayahnya pada 1967 menjadikan pemberontakannya kian bergolak.

Ayahnya memang jauh dari buku. Suatu kali, ketika Ernaux kecil menceritakan sebuah buku yang baru dibacanya, ayahnya menanggapi, “Semua buku bagus dan baik untukmu. Tapi bagiku, aku tidak membutuhkan mereka untuk hidup.”

Meski begitu, ayahnya seorang pekerja keras dan kerap membawa Ernaux kecil menonton pementasan teater dan pameran seni rupa. Ayahnya juga yang membawa Ernaux untuk pertama kalinya ke perpustakaan umum. Dan ayahnya adalah seorang pria yang terbebas dari maskulinitas.

Jadilah kematiannya kian menyalakan keyakinan Ernaux mengenai menulis sebagai “cara untuk membawaku lebih dekat ke dunia asalku.” Ernaux pun menulis kisah hidup ayahnya. Prosesnya jauh dari mudah. Sambil menjadi guru sekolah menengah, lebih kurang sepuluh tahun ia menggali.

“Aku ingin menggali ketidakadilan yang kualami melalui asal-usulku. Novel tak mungkin lagi dan semua tulisanku terbalik, aku menyerah kepada fiksi. Aku harus menemukan bentuknya, sebab otobiografi bukan catatan kenangan yang sederhana. Ini telah menjadi bidang penelitian,” ujar Ernoux kepada Sophie Joubert, yang mewawancarainya untuk I’HUMANITE.

Dari situ, lahirlah La Place (1984). Karya yang disebut Ernaux “elemen menuju etnografi keluarga” ini meraih hadiah Renaudor, penghargaan sastra paling bergengsi di Prancis setelah hadiah Gouncourt. Namun pengakuan akan Ernaux singkat saja. Kaum borjuis-patriarki segera kembali merundungnya. Kali ini yang mereka persoalkan terutama aspek kesastraannya.

Meski tetap terkejut, Ernaux tak limbung. Kesadaran politiknya malah kian meningkat. Tulisannya ia sebut écriture plate (tulisan datar). Penggambaran yang gamblang dan objektif perihal akar kelas pekerjanya menjadi kejaran utamanya.

Beberapa kritikus sastra Paris menandainya sebagai bid’ah sastra. Sementara Isabelle Charpentier, seorang profesor sosiologi Universitas Amiens, mendaulat karya-karyanya sebagai “”auto-sosio-biografi”. Ernoux sendiri cenderung sehaluan dengan Isabelle, meski ia tak terlalu peduli dengan luapan gelombang derau itu.

Kadang memang suka juga ia menanggapi. Misalnya, terkait klaim bahwa karya-karyanya bukanlah fiksi, ia berkata, “Bagiku, fiksi adalah organisasi teks dalam pengertian yang diberikan Aristoteles.” Meski demikian, yang utama baginya adalah terus mengangkut sebanyak-banyak harta karun dari dunia asalnya, yang gerbangnya adalah tubuhnya, dan mengangkutnya dengan “kata-kata seperti batu, punya kekuatan realitas.”

Perkataannya itu kian terbukti dengan The Years, bukunya yang memeriksa Ernaux dari tahun ke tahun sejak tahun kelahirannya, 1940, hingga tahun 2006. Pemeriksaan ini berarti juga pendedahan berbagai-bagai konteks hidup Ernaux, yang karenanya dengan sendirinya terkait pula dengan perkembangan Prancis. Bahkan pun terkait dengan penghancuran menara kembar di Amerika Serikat. Aneka ragam bahasa merupakan salah satu pilar arsitektur naratif karya tersebut.

Barulah dengan itu panggung sastra Prancis memberi tempat terhormat bagi Ernaux. Dunia sastra (berbahasa) Inggris pun mulai meliriknya, mulai menerjemahkan karya-karyanya, meski masih dengan selektivitas berlebih dan, tentu saja, terlambat.

Namun itu tak membuat Ernaux besar kepala. Pun tak membuatnya hangus terbakar kemarahan. Semangat dan energinya menjadi tetap besar untuk melakukan apa yang membawanya lebih dekat ke dunia asalnya, meski kini ia sudah berusia 82 tahun. Ia tetap penuh gairah melangkah menziarahi sejarah dirinya, sejarah keluarganya, dan sejarah kelasnya yang berkelindan.

Hadiah Nobel Sastra 2022 pun, setidaknya bagi saya, tampak sebagai kemenangan sang penziarah.
 

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »