Pernyataan-Pernyataan yang Perlu Dikaji Ulang - Akhmad Idris

@kontributor 10/09/2022

Pernyataan-Pernyataan yang Perlu Dikaji Ulang:
Sebuah Kritik atas Kumpulan Esai Harjito

Akhmad Idris

 


Menyoal isu-isu tentang perempuan, konstruksi patriarki, hingga ihwal kesetaraan gender selalu menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Terbukti dengan keberadaan platform digital yang secara khusus menyajikan informasi seputar masalah perempuan, seperti Neswa.id; Jurnalperempuan.org; Magdalene.co; dan lain-lain. Tak heran jika Harjito, seorang dosen di prodi magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Pascasarjana Universitas PGRI Semarang menulis beberapa esai sastra yang diberi tajuk Memandang Perempuan Jawa. Sebagai bagian dari karya sastra, esai-esai sastra Harjito membutuhkan sebuah tanggapan (kritik) untuk memperjelas diri. Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo (1966) dalam tulisannya yang berjudul Esai Bicara tentang Sejarah Kritik Sastra di majalah Horison bahwa kritik sastra diperlukan untuk mengubah dunia seni menjadi dunia pikiran. Seorang kritikus akan merumuskan dunia pikiran tersebut ke dalam dalil-dalil bahasa yang konvensional.

Dari beberapa esai sastra Harjito dalam Memandang Perempuan Jawa, terdapat beberapa pernyataan yang agaknya perlu dikaji ulang. Di antaranya adalah pernyataan tentang tema besar dalam kumpulan esai sastra tersebut (cover belakang), anggapan bahwa telepon pintar tidak lagi mempererat komunikasi antarmanusia (halaman 88), dan ungkapan tentang ajaran bahwa golongan muda ⸻anak, adik, penduduk desa⸻ secara mutlak harus menghormati golongan tua ⸻orang tua, kakak, tetua adat⸻ (halaman 138). Satu hal lagi yang perlu ditegaskan dalam tulisan ini adalah kritikan tak melulu berbicara tentang keburukan, tetapi justru berbicara tentang keunikan gagasan. Logika sederhananya seperti ini, penilaian yang tidak diwajibkan hanya akan tertuju pada karya yang dianggap menarik. Karya yang biasa-biasa saja cenderung hanya akan dilewati begitu saja. Oleh sebab itu, keberadaan tulisan ini merupakan penanda bahwa buku Memandang Perempuan Jawa menarik untuk dibaca.

Kritik yang pertama membahas tentang pernyataan yang berupa “Di sebagian besar tulisannya, Harjito menyoal isu-isu perempuan (Jawa) yang tersaji di dalam teks sastra” (cover belakang). Penggunaan diksi ‘sebagian besar’ mengisyaratkan bahwa esai-esai sastra Harjito didominasi oleh esai dengan topik perempuan. Jika berbicara tentang angka, maka paling tidak persentase esai dengan topik perempuan seharusnya berkisar di atas 50%. Sayangnya, dari 11 esai sastra (jumlah keseluruhan), hanya 4 esai yang membahas tentang perempuan. 4 esai tersebut adalah 1) Perempuan Jawa: Kesetiaan dan Kematian, 2) Peran Ibu Jawa, 3) Memoar Buruh Migran Perempuan dan Media Perlawanan, dan 4) Kemandirian Perempuan Jawa. Sementara 7 esai yang tersisa membahas masalah kuliner dalam sastra (gastronomi), teknologi terbarukan, cerita anak, dan pendidikan. Sejatinya hal seperti ini lumrah terjadi (judul buku tidak mewakili isi keseluruhan, tetapi hanya menampilkan judul andalan dari kumpulan tulisan), namun pernyataan ‘sebagian besar’ di cover belakang-lah yang membuatnya bermasalah.

Berlanjut ke kritik kedua ihwal pernyataan Harjito yang menegaskan bahwa “telepon pintar tidak lagi membantu manusia dalam urusan mempercepat relasi sosial dan komunikasi sesama” (halaman 88). Harjito beranggapan bahwa keengganan manusia bercakap-cakap dengan manusia lain ⸻karena lebih asyik masyuk dengan telepon genggamnya⸻ adalah bukti bahwa telepon pintar tidak membantu manusia dalam mempererat komunikasi dan relasi sosial. Padahal, manusia yang sedang sibuk dengan telepon genggam sejatinya juga sedang membangun relasi sosial sekaligus berkomunikasi dengan manusia-manusia yang ‘lebih jauh’ lewat media sosial (facebook, instagram, twitter, dan sejenisnya). Penggunaan istilah ‘tidak membantu dalam mempercepat relasi sosial dan komunikasi’ agaknya akan lebih tepat jika diganti dengan istilah ‘mendekatkan yang jauh & menjauhkan yang dekat’. Istilah yang digunakan Harjito seakan-akan mendiskreditkan fungsi komunikasi dari telepon genggam, padahal faktor utama yang membuat manusia betah berlama-lama memandang layar telepon genggam adalah sensasi asyik berkomunikasi dengan teman-teman di dunia maya.

Kritik yang terakhir terhadap buku Memandang Perempuan Jawa karya Harjito adalah pernyataan tentang ajaran hormat untuk golongan muda kepada golongan tua yang terdapat dalam kalimat “Teks cerita anak ini mengajarkan agar yang muda bisa menghormati orang tua….. menghormati orang tua adalah syarat mutlak …..” (halaman 138). Pernyataan Harjito dilatarbelakangi oleh kisah dalam cerita anak yang mengisahkan tentang seorang ibu yang mengutuk anaknya menjadi seekor katak karena terlalu malas. Atas dasar kisah tersebut, Harjito hendak mengungkapkan bahwa seorang anak harus patuh terhadap perintah orang tua agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini. Dalam hal ini, Harjito hanya memandang dari satu sisi dan mengacuhkan sisi yang lain. Yang disorot oleh Harjito hanya dari sisi anak yang harus patuh, padahal kecerobohan orang tua juga perlu disorot. Anak memang harus patuh terhadap orang tua, namun orang tua juga perlu berhati-hati dalam berkata dan berdoa. Perkataan serta doa yang buruk akan berdampak pada darah dagingnya sendiri dan ketika itu telah terjadi, yang tersisa hanyalah rasa menyesal. Hal ini dibuktikan dengan penyesalan para tokoh orang tua setelah menyumpahi/mengutuk anak-anaknya.

Akhir kata, kritik adalah bukti eksistensi objek yang dikritik. Tanpa kritikan, sebuah karya tak lebih dari sekadar kata-kata yang (mungkin) kehilangan makna. Sekian.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »