Pernyataan-Pernyataan
yang Perlu Dikaji Ulang:
Sebuah Kritik atas Kumpulan Esai Harjito
Akhmad Idris
Menyoal
isu-isu tentang perempuan, konstruksi patriarki, hingga ihwal kesetaraan gender
selalu menjadi hal yang menarik untuk dibicarakan. Terbukti dengan keberadaan platform digital yang secara khusus
menyajikan informasi seputar masalah perempuan, seperti Neswa.id; Jurnalperempuan.org;
Magdalene.co; dan lain-lain. Tak heran jika Harjito, seorang dosen di prodi
magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Pascasarjana Universitas PGRI Semarang menulis
beberapa esai sastra yang diberi tajuk Memandang
Perempuan Jawa. Sebagai bagian dari karya sastra, esai-esai sastra Harjito membutuhkan
sebuah tanggapan (kritik) untuk memperjelas diri. Sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh Subagio Sastrowardoyo (1966) dalam tulisannya yang berjudul Esai Bicara tentang Sejarah Kritik Sastra
di majalah Horison bahwa kritik sastra diperlukan untuk mengubah dunia seni
menjadi dunia pikiran. Seorang kritikus akan merumuskan dunia pikiran tersebut
ke dalam dalil-dalil bahasa yang konvensional.
Dari
beberapa esai sastra Harjito dalam Memandang
Perempuan Jawa, terdapat beberapa pernyataan yang agaknya perlu dikaji
ulang. Di antaranya adalah pernyataan tentang tema besar dalam kumpulan esai
sastra tersebut (cover belakang),
anggapan bahwa telepon pintar tidak lagi mempererat komunikasi antarmanusia
(halaman 88), dan ungkapan tentang ajaran bahwa golongan muda ⸻anak, adik,
penduduk desa⸻ secara mutlak harus menghormati golongan tua ⸻orang tua, kakak,
tetua adat⸻ (halaman 138). Satu hal lagi yang perlu ditegaskan dalam tulisan
ini adalah kritikan tak melulu berbicara tentang keburukan, tetapi justru berbicara
tentang keunikan gagasan. Logika sederhananya seperti ini, penilaian yang tidak
diwajibkan hanya akan tertuju pada karya yang dianggap menarik. Karya yang
biasa-biasa saja cenderung hanya akan dilewati begitu saja. Oleh sebab itu,
keberadaan tulisan ini merupakan penanda bahwa buku Memandang Perempuan Jawa menarik untuk dibaca.
Kritik
yang pertama membahas tentang pernyataan yang berupa “Di sebagian besar
tulisannya, Harjito menyoal isu-isu perempuan (Jawa) yang tersaji di dalam teks
sastra” (cover belakang). Penggunaan
diksi ‘sebagian besar’ mengisyaratkan bahwa esai-esai sastra Harjito didominasi
oleh esai dengan topik perempuan. Jika berbicara tentang angka, maka paling
tidak persentase esai dengan topik perempuan seharusnya berkisar di atas 50%. Sayangnya, dari 11 esai sastra (jumlah
keseluruhan), hanya 4 esai yang membahas tentang perempuan. 4 esai tersebut
adalah 1) Perempuan Jawa: Kesetiaan dan
Kematian, 2) Peran Ibu Jawa, 3) Memoar Buruh Migran Perempuan dan Media
Perlawanan, dan 4) Kemandirian
Perempuan Jawa. Sementara 7 esai yang tersisa membahas masalah kuliner
dalam sastra (gastronomi), teknologi terbarukan, cerita anak, dan pendidikan. Sejatinya
hal seperti ini lumrah terjadi (judul buku tidak mewakili isi keseluruhan,
tetapi hanya menampilkan judul andalan dari kumpulan tulisan), namun pernyataan
‘sebagian besar’ di cover belakang-lah yang membuatnya bermasalah.
Berlanjut
ke kritik kedua ihwal pernyataan Harjito yang menegaskan bahwa “telepon pintar tidak lagi membantu manusia
dalam urusan mempercepat relasi sosial dan komunikasi sesama” (halaman 88).
Harjito beranggapan bahwa keengganan manusia bercakap-cakap dengan manusia lain
⸻karena lebih asyik masyuk dengan telepon genggamnya⸻ adalah bukti bahwa
telepon pintar tidak membantu manusia dalam mempererat komunikasi dan relasi
sosial. Padahal, manusia yang sedang
sibuk dengan telepon genggam sejatinya juga sedang membangun relasi sosial
sekaligus berkomunikasi dengan manusia-manusia yang ‘lebih jauh’ lewat media
sosial (facebook, instagram, twitter, dan
sejenisnya). Penggunaan istilah ‘tidak membantu dalam mempercepat relasi sosial
dan komunikasi’ agaknya akan lebih tepat jika diganti dengan istilah
‘mendekatkan yang jauh & menjauhkan yang dekat’. Istilah yang digunakan
Harjito seakan-akan mendiskreditkan fungsi komunikasi dari telepon genggam,
padahal faktor utama yang membuat manusia betah berlama-lama memandang layar
telepon genggam adalah sensasi asyik berkomunikasi dengan teman-teman di dunia
maya.
Kritik
yang terakhir terhadap buku Memandang
Perempuan Jawa karya Harjito adalah pernyataan tentang ajaran hormat untuk
golongan muda kepada golongan tua yang terdapat dalam kalimat “Teks cerita anak ini mengajarkan agar yang
muda bisa menghormati orang tua….. menghormati orang tua adalah syarat mutlak
…..” (halaman 138). Pernyataan Harjito dilatarbelakangi oleh kisah dalam
cerita anak yang mengisahkan tentang seorang ibu yang mengutuk anaknya menjadi
seekor katak karena terlalu malas. Atas dasar kisah tersebut, Harjito hendak
mengungkapkan bahwa seorang anak harus patuh terhadap perintah orang tua agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diingini. Dalam hal ini, Harjito hanya
memandang dari satu sisi dan mengacuhkan sisi yang lain. Yang disorot oleh
Harjito hanya dari sisi anak yang harus patuh, padahal kecerobohan orang tua
juga perlu disorot. Anak memang harus patuh terhadap orang tua, namun orang tua
juga perlu berhati-hati dalam berkata dan berdoa. Perkataan serta doa yang
buruk akan berdampak pada darah dagingnya sendiri dan ketika itu telah terjadi,
yang tersisa hanyalah rasa menyesal. Hal ini dibuktikan dengan penyesalan para
tokoh orang tua setelah menyumpahi/mengutuk anak-anaknya.
Akhir
kata, kritik adalah bukti eksistensi objek yang dikritik. Tanpa kritikan, sebuah
karya tak lebih dari sekadar kata-kata yang (mungkin) kehilangan makna. Sekian.