PUISI-PUISI
PENGINGAT KEMATIAN
Tjahjono
Widarmanto
Salah satu misteri terbesar manusia dalam sepanjang kehidupannya
adalah kematian. Akal manusia tak
memiliki kemampuanmenjangkau dan menjaring pengetahuan definitif mengenai apa
yang terjadi setelah kematian. Manusia hanya memiliki informasi amat terbatas dan
bahkan satu-satunya, yaitu dari agama dan spiritualitas. Sains, pengetahuan dan
teknologi yang diagung-agungkan manusia tak pernah sanggup mengungkapkan apa
yang terjadi di balik paskakematian.
Sebagai sebuah misteri, kematian tak pernah bisa dijangkau nalar.
Filsafat sebagai babon pengetahuan manusia pun tak mampu
memahami kematian, sungguh pun sejak Rene Descartes yang ahli logika,
matematika, dan metafisika, mencoba menjamin pengetahuan yang pasti secara
mutlak tentang dunia dan manusia. Descartes hanya mampu berada pada titik
pengakuan bahwa ada jiwa dan badan yang menjadi unsur manusia yang saling
menyebabkan perubahan dalam yang lain, namun dia gagal mendefinisikan apa jiwa
itu dan kemana jiwa setelah mati.
Tak berlebihan jikalau pada akhirnya, Martin Heidegger menyebutkan bahwa hakikat
hidup manusia ialah ‘ada’ untuk menyosong kematian. Manusia sudah ditakdirkan
mati begitu ia lahir, yang disebutnya sebagai “Zein Zum Tode”. Senada
dengan Heideggr, Karl Jesper mengistilahkan realitas kematian sebagai
situasi-situasi batas eksistensi manusia. Bahkan dengan sangat serius, seperti
dicatat murid kinasihnya:Plato, dalam ‘Dhialog Phadeo”, Socrates
mengatakan bahwa berfilsafat itu adalah seni untuk melatih diri untuk mati.
Pada akhirnya, semua filsafat itu angkat tangan, menyerah dan gagal
menyibak misteri kematian. Mereka hanya sampai pada batas pengakuan bahwa
manusia memiliki jiwa sebagai penanda kehidupannya, jiwa itu kekal namun jasad
manusia akan lenyap, dan itu menjadi tanda lenyap pula eksistensi manusia
tersebut. Spiritual atau agamalah yang sedikit mampu mendekati realitas dan
fenomena kematian. Itu pun hanya sebatas pengakuan atas realitas kematian itu
tanpa mampu mengongkritkan apa itu roh sebagai penanda kematian.
Islam dalam Al Qur’an menyebut mati sebagai ajal atau tawaffa atau istifa’. Kematian menjadi
pemutus keterikatan roh dan jasad. Perpisahan roh dan jasad ini adalah pintu
gerbang untuk memasuki alam yang baru yaitu alam barzah. Kematian adalah
sesuatu yang pasti, seperti ditegaskan dalam QS. Ali Imron 185, bahwa tiap-tiap berjiwa akan merasakan mati. Sungguh pun
kematian itu pasti, akan tetapi tidak ada yang tahu kapan kematian datang.
Seperti filsafat, sastra mencoba memberikan kepada pembacanya suatu perenungan baru dan mendalam
berkait dengan eksistensi manusia. Maka muncullah tema-tema abadi dalam sastra
yang berkaitan dengan persoalan eksistensi manusia seperti tema kematian, tema
penderitaan, tema cinta, tema ketuhanan/spiritualitas, dan tema hakikat manusia
beserta interaksinya dengan tuhan dan alam.
Tema
kematian sebagai salah satu tema abadi dalam kesastraan memikat para penyair dari berbagai belahan
dunia, baik dari dunia Barat maupun Timur, untuk mengekspresikannya melalui
puisi-puisi mereka. Di Jerman ada seorang penyair yang dikagumi dan dihormati oleh para filosof
seperti Martin Heidegger dan Ludwig Wittgensin. Penyair penuh pesona itu adalah
Georg Trakl. Ia dianggap sebagai penyair paling tragis dan paling nestapa dalam
khazanah sastra Eropa. Seperti Nietzsche, ia mewarisi penderitaan dan kegilaan.
Penderitaan karena pergulatan batin dan cara hidup yang dipilihnya. Hidupnya
yang penuh tragedi hanya sampai pada batas usia 27 tahun. Ia menderita depresi,
psikosis, berbagai fobi, skizofrena, dan memiliki trauma kelam dengan adik
perempuan dan keluarganya, sampai-sampai ia merasa bahwa dilahirkan dari trah
terkutuk dan akhirnya merindukan maut.
Puisi-puisi
Georg Trakl didominasi warna-warna buram, kelam, ngeri dan mencekam. Ia merasa
sendirian dan hanya mautlah yang sanggup menolongnya. Oleh karena itu kematian
acap kali dipanggil-panggilnya dalam
berbagai puisinya. Dalam puisi panjangnya berjudul Mimpi dan Kelam Jiwa,
yang oleh banyak kritikus disebut sebagai ‘halusinasi skizofrenia’,ditulisnya
larik-larik yang mengerikan: .../Tak ada yang mencintainya/kepalanya
membakar dusta dan maksiat di remang kamar.../. Larik-larik tersebut dilanjutkan
oleh Trakl dengan larik-larik mengerikan yang sarat membayangkan kematian:
..//awan ungu mengitari kepalanya/hingga dengan bisu ia menyerbu darah/dan
wajahnya sendiri, /wajah membulan, lalu jatuh/membatu ke hampaan... //
Dalam
puisinya yang lain berjudul O, Berdiam di Senyap Taman Menyenja, Trakl
menggambarkan kematian yang dirindu sekaligus menakutkan:.../mata dinda
terbuka, bulat dan gelap./..ungu bibir-bibir remuk/meleleh sirna di ceruk
senja/ O, detik yang mencabik jiwa/...//...lengan-lengan dingin/menyimpan
hitam, darah mengalir di dalam...//...kenakanlah saya, o, rasa sakit!/lukaku
membara...//. Puisi Trakl yang lain, Helian, menggambarkan kematian
dengan lebih detil dengan kengerian yang juga mencekam. Ditulisnya:../dari
permadani bangkit belulang kuburan/juga kebisuan salib-salib yang runtuh di
bukit/juga manis dupa yang mengelupas dalam ungu malam//wahai, mata remuk di
mulut-mulut hitam/cucu kecil yang berontak dalam liang kelam jiwa/...akhir yang
gulita...//. Pada puisinya yang terakhir berjudul Muramlah Lagu Hujan
Musim Semi Malam Hari; saya bayangkan Trakl dengan badan gemetar menuliskan
baris penutup :...//..saya tak berhak menolak neraka!//.
Kesusastraan Jerman
memang memiliki tradisi kapujanggan yang hebat. Selain Trakl, tercatat seorang
pujangga Jerman yang tak hanya diakui Eropa, tetapi seluruh dunia memujinya.
Pujangga itu adalah: Johann Wolfgang Von Goethe. Sejak belia, Goethe
mempelajari dan menguasai bahasa Latin, Yunani, Perancis, Inggris, dan Ibrani.
Kemampuannya dalam penguasaan berbagai bahasa, menyebabkan Goethe mampu
menyerap berbagai sumber kesastraan tak hanya dari Eropa, melainkan juga
kesusastraan Arab dan Persia. Perkawinan sastra Eropa dan sastra Arab ini
sangat mempengaruhi warna puisi-puisi Goethe yang terbuka pada keberagaman
khazanah sastra, semua genre dan sastra semua bangsa.
Khasanah sastra
Amerika Latin mencatat penyair yang penuh pukau yaitu Octavio Pas (1914-1998).
Sang peraih nobel sastra 1990 ini memiliki corak pengungkapan puitik bergaya
surealisme yang mengusung semangat romantisisme yang memiliki pandangan harmoni
dan universal sekaligus kesadaran akan diskontinuitas:maut (chaos)!
Hidup dan kematian bagi Paz adalah kemanunggalan, maka puisi senantiasa menjadi
visi tentang suatu kehadiran yang meleburkan kehidupan dan kematian. Bagi Paz,
manusia memiliki naluri dasariah yang menjadi penanda eksistensinya, yaitu:
naluri kehidupan (libido/eros) dan naluri kematian (Thanatos).
Pandangannya ini bisa kita amati dalam puisi panjangnya; Kendi Pecah.
Dalam baris-baris puisinya tersebut, ditulis oleh Paz:.../... hidup dan mati
bukan dunia bertentangan,/kita setangkai dengan bunga-bunga
kembar..//...//siang dan malam bagai lelaki dan perempuan/dimabuk cinta/ dan
musim-musim/mengalir di bawah lengkung-lengkung/abad menyerupai/sebuah sungai
tanpa akhir/menuju pusat asal-usul yang hidup,/di luar akhir dan kala mula//.
Di judul puisinya
yang lain: Himne di Tengah Puing, Paz menggambarkan kematian dengan
mencekam: .....//pikiranku pecah, berkelok, dan terjerat,/mulai lagi,/dan,
akhirnya hilang arah, sungai-sungai tanpa akhir,/delta darah di bawah sinar
matahari./dan haruskah semua tamat dalam hamburan air tergenang?.../. Pada
akhirnya dengan getir, melalui puisi berjudul Kubur Penyair, Paz mengaku
tunduk pasrah pada mati:....//...Bersabdalah!/Aku berhenti di
muasalnya/Dalam yang kuucap ini/Aku berhenti/Menjelma/Jadi bayang sekilas
nama//Aku takkan pernah tahu terputusnya silsilahku//
Di Persia Raya
muncullah penyair sufi terkemuka dan paling kesohor di dunia yaitu Jalaludin
Rummi. Beliau lahir dari Balka, Persia Raya 30 September 1207 dan wafat 17
Desember 1273 M. Ketika banyak penyair menarasikan kematian sebagai sesuatu
yang pilu, sedih, tragedi bahkan menakutkan, justru Rummi menggambarkan
kematian sebagai sesuatu yang indah bahkan sakral. Sebagai jalan menuju cinta
yang abadi “enternal love”yang mengantarkan cinta yang penuh kedalaman
dan indah (hubb) serta kerinduan yang mendalam dan penuh pesoana (isyq)
dengan Tuhan.
Kematian bagi
Rummi bukanlah sebuah perpisahan, namun pertemuan kembali dari segala kepunyaan
yang sebelumnya tak dimilikinya. Dunia bagi Rummi hanyalah penjara yang
menghalangi cintanya pada Tuhan. Dengan indah dan penuh kontemplasi
ditulisnya:..../mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil/kehidupan,
kematian menjadi sangat manis./selama aku bersamaMu, kematian bahkan lebih
manis/dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri...//.
Saat Rummi
menghadapi sakit yang parah tak terlihat sedikit pun tanda-tanda sakaratul
maut. Bahkan Beliau melarang para murid dan sahabatnya bersedih kelak
sepeninggalnya. Justru dengan penuh kebahagiaan Beliau menulis dan membacakan
syair yang menggambarkan kematian adalah jembatan penghubung antara hamba
dengann RabbNya :.../..di pelataran rindu /Ia menudingkan tanganNya
padaku dan berkata:/Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku//.Bagi Rummi
kematian bukan sisi gelap yang menakutkan dan menyedihkan apalagi tragedi,
tetapi sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan. Rummi menghargai kehidupan,
akan tetapi cinta yang besar terhadap Tuhan, menghilangkan semua
kecemasan-kecemasan imajiner akan kematian.:...// saat aku mati; saat
kerandaku di bawa keluar/jangan pernah kau berpikir aku merindukan dunia
ini./Janganlah meneteskan air mata, jangan meratapi atau menyesali kematian/aku
tidak akan jatuh ke dalam sarang mahluk mengerikan./Ketika engkau melihat
jenazahku diusung/janganlah menangis karena kepergianku/Aku bukan pergi; aku
sampai pada Cinta yang Abadi/ ketika engkau meninggalkanku di dalam
kuburan/janganlah mengucap selamat tinggal/ingat kuburan hanya tirai bagi surga
yang berada di baliknya.../...//bagaimana bisa ada akhir? Saat matahari
terbenam/atau bulan tenggelam, ini seperti terlihat seperti akhir/ tapi ini
kenyataannya ini adalah fajar//saat kuburan mengurungmu, saat itulah jiwamu
terbebaskan/..//ketika untuk terakhir kalinya engkau menutup mulutmu/kata-kata
dan jiwamu akan menjadi milik dunia yang tanpa ruang/tanpa waktu./ (Arus
Syeb-I;Malam Pengantin).
Dari paparan di atas, tampaklah bahwa puisi mampu memberikan
kesadaran sekaligus mengingatkan manusia pada kematian. Jagat kesusastraan
melalui genre puisi membantu dan mengingatkan manusia akan kefanaan.