Puisi-Puisi Pengingat Kematian - Tjahjono Widarmanto

@kontributor 10/16/2022

PUISI-PUISI PENGINGAT KEMATIAN

Tjahjono Widarmanto



 

Salah satu misteri terbesar manusia dalam sepanjang kehidupannya adalah kematian.  Akal manusia tak memiliki kemampuanmenjangkau dan menjaring pengetahuan definitif mengenai apa yang terjadi setelah kematian. Manusia hanya memiliki informasi amat terbatas dan bahkan satu-satunya, yaitu dari agama dan spiritualitas. Sains, pengetahuan dan teknologi yang diagung-agungkan manusia tak pernah sanggup mengungkapkan apa yang terjadi di balik  paskakematian. Sebagai sebuah misteri, kematian tak pernah bisa dijangkau nalar.

Filsafat sebagai babon pengetahuan manusia pun tak mampu memahami kematian, sungguh pun sejak Rene Descartes yang ahli logika, matematika, dan metafisika, mencoba menjamin pengetahuan yang pasti secara mutlak tentang dunia dan manusia. Descartes hanya mampu berada pada titik pengakuan bahwa ada jiwa dan badan yang menjadi unsur manusia yang saling menyebabkan perubahan dalam yang lain, namun dia gagal mendefinisikan apa jiwa itu dan kemana jiwa setelah mati.

Tak berlebihan jikalau pada akhirnya,  Martin Heidegger menyebutkan bahwa hakikat hidup manusia ialah ‘ada’ untuk menyosong kematian. Manusia sudah ditakdirkan mati begitu ia lahir, yang disebutnya sebagai “Zein Zum Tode”. Senada dengan Heideggr, Karl Jesper mengistilahkan realitas kematian sebagai situasi-situasi batas eksistensi manusia. Bahkan dengan sangat serius, seperti dicatat murid kinasihnya:Plato, dalam ‘Dhialog Phadeo”, Socrates mengatakan bahwa berfilsafat itu adalah seni untuk melatih diri untuk mati.

Pada akhirnya, semua filsafat itu angkat tangan, menyerah dan gagal menyibak misteri kematian. Mereka hanya sampai pada batas pengakuan bahwa manusia memiliki jiwa sebagai penanda kehidupannya, jiwa itu kekal namun jasad manusia akan lenyap, dan itu menjadi tanda lenyap pula eksistensi manusia tersebut. Spiritual atau agamalah yang sedikit mampu mendekati realitas dan fenomena kematian. Itu pun hanya sebatas pengakuan atas realitas kematian itu tanpa mampu mengongkritkan apa itu roh sebagai penanda kematian.

Islam dalam Al Qur’an menyebut mati sebagai ajal atau tawaffa  atau istifa’. Kematian menjadi pemutus keterikatan roh dan jasad. Perpisahan roh dan jasad ini adalah pintu gerbang untuk memasuki alam yang baru yaitu alam barzah. Kematian adalah sesuatu yang pasti, seperti ditegaskan dalam QS. Ali Imron 185, bahwa tiap-tiap  berjiwa akan merasakan mati. Sungguh pun kematian itu pasti, akan tetapi tidak ada yang tahu kapan kematian datang.

            Seperti filsafat, sastra mencoba memberikan kepada pembacanya suatu perenungan baru dan mendalam berkait dengan eksistensi manusia. Maka muncullah tema-tema abadi dalam sastra yang berkaitan dengan persoalan eksistensi manusia seperti tema kematian, tema penderitaan, tema cinta, tema ketuhanan/spiritualitas, dan tema hakikat manusia beserta interaksinya dengan tuhan dan alam.

            Tema kematian sebagai salah satu tema abadi dalam kesastraan  memikat para penyair dari berbagai belahan dunia, baik dari dunia Barat maupun Timur, untuk mengekspresikannya melalui puisi-puisi mereka. Di Jerman ada seorang penyair yang  dikagumi dan dihormati oleh para filosof seperti Martin Heidegger dan Ludwig Wittgensin. Penyair penuh pesona itu adalah Georg Trakl. Ia dianggap sebagai penyair paling tragis dan paling nestapa dalam khazanah sastra Eropa. Seperti Nietzsche, ia mewarisi penderitaan dan kegilaan. Penderitaan karena pergulatan batin dan cara hidup yang dipilihnya. Hidupnya yang penuh tragedi hanya sampai pada batas usia 27 tahun. Ia menderita depresi, psikosis, berbagai fobi, skizofrena, dan memiliki trauma kelam dengan adik perempuan dan keluarganya, sampai-sampai ia merasa bahwa dilahirkan dari trah terkutuk dan akhirnya merindukan maut.

            Puisi-puisi Georg Trakl didominasi warna-warna buram, kelam, ngeri dan mencekam. Ia merasa sendirian dan hanya mautlah yang sanggup menolongnya. Oleh karena itu kematian acap kali  dipanggil-panggilnya dalam berbagai puisinya. Dalam puisi panjangnya berjudul Mimpi dan Kelam Jiwa, yang oleh banyak kritikus disebut sebagai ‘halusinasi skizofrenia’,ditulisnya larik-larik yang mengerikan: .../Tak ada yang mencintainya/kepalanya membakar dusta dan maksiat di remang kamar.../. Larik-larik tersebut dilanjutkan oleh Trakl dengan larik-larik mengerikan yang sarat membayangkan kematian: ..//awan ungu mengitari kepalanya/hingga dengan bisu ia menyerbu darah/dan wajahnya sendiri, /wajah membulan, lalu jatuh/membatu ke hampaan... //

            Dalam puisinya yang lain berjudul O, Berdiam di Senyap Taman Menyenja, Trakl menggambarkan kematian yang dirindu sekaligus menakutkan:.../mata dinda terbuka, bulat dan gelap./..ungu bibir-bibir remuk/meleleh sirna di ceruk senja/ O, detik yang mencabik jiwa/...//...lengan-lengan dingin/menyimpan hitam, darah mengalir di dalam...//...kenakanlah saya, o, rasa sakit!/lukaku membara...//. Puisi Trakl yang lain, Helian, menggambarkan kematian dengan lebih detil dengan kengerian yang juga mencekam. Ditulisnya:../dari permadani bangkit belulang kuburan/juga kebisuan salib-salib yang runtuh di bukit/juga manis dupa yang mengelupas dalam ungu malam//wahai, mata remuk di mulut-mulut hitam/cucu kecil yang berontak dalam liang kelam jiwa/...akhir yang gulita...//. Pada puisinya yang terakhir berjudul Muramlah Lagu Hujan Musim Semi Malam Hari; saya bayangkan Trakl dengan badan gemetar menuliskan baris penutup :...//..saya tak berhak menolak neraka!//.

Kesusastraan Jerman memang memiliki tradisi kapujanggan yang hebat. Selain Trakl, tercatat seorang pujangga Jerman yang tak hanya diakui Eropa, tetapi seluruh dunia memujinya. Pujangga itu adalah: Johann Wolfgang Von Goethe. Sejak belia, Goethe mempelajari dan menguasai bahasa Latin, Yunani, Perancis, Inggris, dan Ibrani. Kemampuannya dalam penguasaan berbagai bahasa, menyebabkan Goethe mampu menyerap berbagai sumber kesastraan tak hanya dari Eropa, melainkan juga kesusastraan Arab dan Persia. Perkawinan sastra Eropa dan sastra Arab ini sangat mempengaruhi warna puisi-puisi Goethe yang terbuka pada keberagaman khazanah sastra, semua genre dan sastra semua bangsa.

Khasanah sastra Amerika Latin mencatat penyair yang penuh pukau yaitu Octavio Pas (1914-1998). Sang peraih nobel sastra 1990 ini memiliki corak pengungkapan puitik bergaya surealisme yang mengusung semangat romantisisme yang memiliki pandangan harmoni dan universal sekaligus kesadaran akan diskontinuitas:maut (chaos)! Hidup dan kematian bagi Paz adalah kemanunggalan, maka puisi senantiasa menjadi visi tentang suatu kehadiran yang meleburkan kehidupan dan kematian. Bagi Paz, manusia memiliki naluri dasariah yang menjadi penanda eksistensinya, yaitu: naluri kehidupan (libido/eros) dan naluri kematian (Thanatos). Pandangannya ini bisa kita amati dalam puisi panjangnya; Kendi Pecah. Dalam baris-baris puisinya tersebut, ditulis oleh Paz:.../... hidup dan mati bukan dunia bertentangan,/kita setangkai dengan bunga-bunga kembar..//...//siang dan malam bagai lelaki dan perempuan/dimabuk cinta/ dan musim-musim/mengalir di bawah lengkung-lengkung/abad menyerupai/sebuah sungai tanpa akhir/menuju pusat asal-usul yang hidup,/di luar akhir dan kala mula//.

Di judul puisinya yang lain: Himne di Tengah Puing, Paz menggambarkan kematian dengan mencekam: .....//pikiranku pecah, berkelok, dan terjerat,/mulai lagi,/dan, akhirnya hilang arah, sungai-sungai tanpa akhir,/delta darah di bawah sinar matahari./dan haruskah semua tamat dalam hamburan air tergenang?.../. Pada akhirnya dengan getir, melalui puisi berjudul Kubur Penyair, Paz mengaku tunduk pasrah pada mati:....//...Bersabdalah!/Aku berhenti di muasalnya/Dalam yang kuucap ini/Aku berhenti/Menjelma/Jadi bayang sekilas nama//Aku takkan pernah tahu terputusnya silsilahku//

Di Persia Raya muncullah penyair sufi terkemuka dan paling kesohor di dunia yaitu Jalaludin Rummi. Beliau lahir dari Balka, Persia Raya 30 September 1207 dan wafat 17 Desember 1273 M. Ketika banyak penyair menarasikan kematian sebagai sesuatu yang pilu, sedih, tragedi bahkan menakutkan, justru Rummi menggambarkan kematian sebagai sesuatu yang indah bahkan sakral. Sebagai jalan menuju cinta yang abadi “enternal love”yang mengantarkan cinta yang penuh kedalaman dan indah (hubb) serta kerinduan yang mendalam dan penuh pesoana (isyq) dengan Tuhan.

Kematian bagi Rummi bukanlah sebuah perpisahan, namun pertemuan kembali dari segala kepunyaan yang sebelumnya tak dimilikinya. Dunia bagi Rummi hanyalah penjara yang menghalangi cintanya pada Tuhan. Dengan indah dan penuh kontemplasi ditulisnya:..../mengetahui bahwa adalah Engkau yang mengambil/kehidupan, kematian menjadi sangat manis./selama aku bersamaMu, kematian bahkan lebih manis/dibandingkan dengan kehidupan itu sendiri...//.

Saat Rummi menghadapi sakit yang parah tak terlihat sedikit pun tanda-tanda sakaratul maut. Bahkan Beliau melarang para murid dan sahabatnya bersedih kelak sepeninggalnya. Justru dengan penuh kebahagiaan Beliau menulis dan membacakan syair yang menggambarkan kematian adalah jembatan penghubung antara hamba dengann RabbNya :.../..di pelataran rindu /Ia menudingkan tanganNya padaku dan berkata:/Bersiap-siaplah untuk bertemu denganku//.Bagi Rummi kematian bukan sisi gelap yang menakutkan dan menyedihkan apalagi tragedi, tetapi sesuatu yang membahagiakan dan membebaskan. Rummi menghargai kehidupan, akan tetapi cinta yang besar terhadap Tuhan, menghilangkan semua kecemasan-kecemasan imajiner akan kematian.:...// saat aku mati; saat kerandaku di bawa keluar/jangan pernah kau berpikir aku merindukan dunia ini./Janganlah meneteskan air mata, jangan meratapi atau menyesali kematian/aku tidak akan jatuh ke dalam sarang mahluk mengerikan./Ketika engkau melihat jenazahku diusung/janganlah menangis karena kepergianku/Aku bukan pergi; aku sampai pada Cinta yang Abadi/  ketika engkau meninggalkanku di dalam kuburan/janganlah mengucap selamat tinggal/ingat kuburan hanya tirai bagi surga yang berada di baliknya.../...//bagaimana bisa ada akhir? Saat matahari terbenam/atau bulan tenggelam, ini seperti terlihat seperti akhir/ tapi ini kenyataannya ini adalah fajar//saat kuburan mengurungmu, saat itulah jiwamu terbebaskan/..//ketika untuk terakhir kalinya engkau menutup mulutmu/kata-kata dan jiwamu akan menjadi milik dunia yang tanpa ruang/tanpa waktu./ (Arus Syeb-I;Malam Pengantin).

Dari paparan di atas, tampaklah bahwa puisi mampu memberikan kesadaran sekaligus mengingatkan manusia pada kematian. Jagat kesusastraan melalui genre puisi membantu dan mengingatkan manusia akan kefanaan.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »